Chapter 2: Mille-Fuille

Hai, hai pembaca yang penuh cinta. Jangan lupa vote, komen, dan masukin cerita ini ke reading list kamu yah. Saya request dong di mana dan kapan kalian baca cerita ini di kolom komentar, boleh yah. Big love.

-Tane, Setu 6 April 2021-


Yvonne

"Bon Appétit, Bonsoir. Selamat datang!" sapaku reflek saat pintu toko terbuka. ("Bon Appétit, Selamat malam. Selamat datang!")

Aku menegur Om Pram yang menghalangi pintu masuk saat ada pelanggan masuk. Laki-laki itu menunggu mama dan aku tidak suka dengan caranya mendekati mama.

Dua orang pelanggan sebelum toko tutup. Yang pertama masuk—entah kenapa—berdiri cukup lama di depan pintu meskipun tubuh pria yang menurutku tua itu sudah menyingkir.

Sementara satu lagi masih di luar, aku melihatnya berdiri tepat di balik pintu. Orang itu masuk setelah mengucapkan beberapa kata, aku tidak begitu mendengarkan karena sibuk menghindari Om Pram. Dia datang untuk menemui mama dan aku tidak suka.

Dengan memasang wajah pura-pura tersenyum—seperti yang diajarkan mama—kudekati dua pelanggan itu. Berdiri di samping seseorang yang membuka pintu tadi. Berada sedekat ini membuatku bisa mencium aroma menyegarkan.

Apa yah? Oh ya, aroma kayu mint. Aku menyukai aroma menyegarkan ini setelah sejak tadi, Om bau siraman matahari itu menempel seperti prangko.

Jangan tanyakan kenapa hidungku begitu sensitif dengan bau. Mungkin karena aku anak tukang roti atau mungkin memang itu anugerah Tuhan.

"Dek, saya mau yang ini." Tangannya menujuk mille-feuille. "Dan kroisan."

Aku mendengar laki-laki di samping wanita paruh baya itu protes. Suaranya nge-bass, sedikit mirip dengan suara Papa. Mungkin dulu saat muda papa juga punya suara seperti ini. Aku merindukan papa.

"Ini buat merayakan kamu diterima kuliah kedokteran, dr. Virgo. Sesekali nggak apa-apa. Masa Bunda cuma kasih ucapan selamat saja? Kamu bilang 'kan kurang ditelatenin ngasuhnya sama Bunda."

"Guyon, Bun. Jangan panggil dokter ah, belum jadi dokter. Masih ada minimal sepuluh tahun lagi untukku bisa jadi dokter spesialis. Lagi pula ... Bunda, roti-roti di sini bukan seleraku."

Bunda? Anak manja? Dia bilang roti-roti ini bukan seleranya? Aku memutar kedua bola mata. Ternyata hanya baunya saja yang menyenangkan.

Laki-laki yang dipanggil Virgo itu menyandarkan badannya ke kaca etalase sembari membuang wajah ke samping. Agaknya kedua mata kami bertemu, entahlah. Dengan reflek aku menggelengkan kepala. Isyaratku itu dimengerti dan laki-laki itu menjauh dari etalase toko.

Bisa-bisa kacanya pecah. Badan gede begitu, santai banget nyender!

"Minggu depan udah harus daftar ulang, kan? Ini buat merayakan di rumah. Kalau kroisan buat ayah. Tadi nitip, katanya udah lama nggak ngeteh sama kroisan. Lagi pula, ini 'kan pastry. Rendah kalori apalagi gula. Iya, kan, Dek?"

Si Bunda melibatkanku dalam percakapan. Aku tersenyum dengan semua informasi dan pengucapan croissant yang salah itu. Kuangkat tangan di depan dada dan saling menangkupkannya sopan.

"Maaf saya koreksi sedikit, Madame. Pertama croissant bukan diucapkan kroisan. Madame bisa mengucapkannya dengan suara sengau, krwa-sang. Dan ini memang termasuk pastry—dibuat dengan butter yang melimpah artinya krwa-sang ini bukan rendah kalori." Aku berusaha mengingat jelas penjelasan Mama setiap kali ingin nambah makan pastry ini.

Sunyi dan berjeda.

Aku berdehem. "Jadi, kalau untuk diet lebih baik jangan sambil minum sesuatu yang terlalu manis." Aku tahu persis kalau orang lokal suka menyesap teh hangat yang manisnya kebangetan di pagi hari, ditambah dengan aneka gorengan yang berminyak.

"Nggak ada yang sedang bahas tentang diet," timpal laki-laki bernama Virgo itu datar.

Aku bungkam. Wajah bocah laki-laki yang lebih tua dariku itu tidak begitu jelas padahal jarak kami hanya dipisahkan oleh etalase. Namun, aku tahu kalau kami ... sedang saling menatap.

Oh, sepertinya minusku bertambah. Apa aku harus cek mata?

"Kamu kelas berapa?" tanya ibu itu padaku.

"Kelas dua SMP, Madame." Mungkinkah aku menyinggungnya? Biasanya orang tua susah dikoreksi meski salah.

Si Bunda itu mengangguk-angguk. "Kamu pintar. Anak yang punya toko ini, kan?"

Aku membenarkan dan tersenyum lega. Untunglah dia bukan tipikal ibu-ibu ngeyel yang tidak mau dikoreksi.

"Calon anak saya juga, Maddam." Om Pram tiba-tiba nimbrung dengan pengucapan madame sangat lokal. Aku memutar kedua bola mata—masa bodoh.

Kutarik keluar mille-feuille dari etalase dan memasukkannya ke dalam kotak kardus kue. Lalu memasukkan tiga croissant di kemasan lainnya. Tak lupa menambahkan lilin dan melekatkan penutupnya dengan sticker Bon Appetite.

Ibu dan anak itu segera berlalu setelah membayar. Aku segera mengucapkan salam khas toko ini. "Bon appétite, Madame."  (Selamat menikmati, Nyonya.)

Om Pram meniru kata-kataku dengan vokal yang sangat lokal. Benar-benar menyebalkan! Jangan-jangan Om ini mabuk?

Ibu itu sempat berbalik untuk menjawab, "Merci (terima kasih)." Ah, ibu ini juga mengucapkannya dengan cara yang salah.

Aku kembali melirik tidak senang pada Om Pram yang kini melihat-lihat etalase bertanya ini itu. "Kamu pintar, Nak Ponne. Udah pintar, cantik, persis kayak ibu kamu. Bedanya cuma warna rambut sama kulitnya lebih putih. Nanti kalau Mama kamu jadi sama Om, anaknya kayak gimana, ya?"

Aku menolak menjawab karena menjawab artinya 'merestui' imajinasi Om-om ini. Benci. Bagaimana Vonne bisa jadi Ponne? Memangnya aku lahir dinno pon? Aku lahir legi, tahu!

"Jadi, bapak bule-mu itu balik lagi ke negara asalnya? Udah pasti cerai?"

Satu kata terakhir yang diucapkan oleh pria dengan lengan penuh tato di belakang mesin kassa membuatku terhenyak. Ingatan akan perpisahan dengan papa membuat mataku memanas.

"Ma Chérie, Papa akan coba mengunjungimu sesering mungkin. Ce mois de Ramadan. Toi pouvez visite Papa dans Paris lorsque I'Aïd. (Ini bulan Ramadan. Kamu bisa mengunjungi Papa saat lebaran). Atau ... kamu bisa ikut Papa ke Paris," ucap papa saat kutodong dengan berbagai rasa kekecewaan. Lalu mama? Apa aku harus ikut meninggalkan mama di sini seorang diri?

"Je vais bien, Papa (Tidak apa-apa, Papa). Aku nggak akan ke mana-mana tanpa Mama." Tentu saja aku juga tidak ingin ke mana-mana tanpa papa. Orang dewasa sangat egois, mereka memulainya dengan cinta bersama-sama lalu mengakhirinya begitu saja?

Bibirku bergetar menahan rindu pada papa. Membayangkan hanya ada mama di sisiku tidak pernah muncul selama ini. Genggaman kunci laci kasir semakin erat dan bergetar. Rasa kecewa, sedih, dan tidak adil menyerang bersamaan setiap mengingat lambaian tangan terakhir papa yang tersenyum sementara mama justru menyibukkan diri membuat roti dan pastry.

"Berarti kamu butuh Papa baru." Tubuh laki-lai yang kuanggap tua itu kembali bersandar membelakangi meja kasir sementara jarinya memutar kunci berulang kali.

Itu benar-benar mengganggu. Apa laki-laki tua ini tahu betapa keberadaannya tidak diharapkan di sini? Kalau saja aku punya kekuatan untuk mendorongnya keluar, sudah kulakukan sejak pertama kali dia datang.

Banyak hal yang tidak kusukai. Bertemu dan mengobrol dengan orang yang bukan kenalan dekat salah satunya. Teman-temanku di sekolah sering melabeliku dengan si bule sombong. Itulah kenapa meladeni pelanggan menjadi kegiatan yang paling kuhindari. Apalagi orang itu laki-laki udik seperti Om Pram. Aku lebih suka menghabiskan waktu di dapur, membantu menguleni adonan daripada menjadi penunggu garda terdepan Bon Appétit.

Kutelan air liur dengan susah payah. Aku yakin—Om Pram—pria bau bensin tersiram matahari ini sedang menyeringai, membayangkan betapa indahnya kesempatannya untuk mengambil hati Mama. Geram hatiku.

"Mama kamu itu masih muda. Gak tega Om kalau dia membesarkanmu sendirian. Kalian hanya punya toko roti kecil ini, kan? Berapa yang bisa dihasilkan dalam sehari? Ganti aja sama jual gorengan, bubur, soto. Pasti banyak yang mampir. Tenang, nanti Om modalin."

Mataku terpejam. Panas di wajah juga semakin terasa. Sabar, sabar. Jangan meladeni bapak tua gila ini. Aku berkali-kali mengingatkan diri.

"Mama kamu pasti kecapekkan ke sana kemari antar pesanan. Om bisa menghasilkan lebih banyak uang, lho. Cukup kamu setuju saja Om menikah dengan mamamu. Om juga bisa bantu mama kamu antar pesanan. Gimana? Mau yah bantu bujuk mama kamu?"

"Om mau lamar jadi sopir apa suami mama?" tukasku kesal. Rasa-rasanya emosiku sudah diubun-ubun.

"Kalau suami, maaf ya mama udah punya suami ... biarpun sekarang papa jauh di Paris." Aku menyanggah kenyataan bahwa sidang perceraian mama dan papa sudah ketok palu.

"Kalau jadi sopir juga maaf, kami udah punya sopir untuk antar pesanan ke sana kemari. Kebetulan saja hari ini sedang cuti." Kuberi penekanan pada kalimat terakhir.

Mau menghidupi aku dan mama dengan gaji sebagai sopir travel? Aku bukan ingin memandang rendah status seseorang, tapi om-om ganjen ini benar-benar memancing emosi. Sejak awal datang, auranya sudah buat perutku mual.

Om Pram mencomot mini danish dari cerana yang terbuat dari jalinan rotan. Mini danish variasi topping potongan buah kiwi itu lenyap di mulutnya. Mais c'est chuli ca! (Menyebalkan sekali!) Awas saja kalau tidak bayar!

Suara menahan rasa kecut terdengar. Dia jelas-jelas punya lidah kampung. Rasain! Kecut, kan?

Suara mobil pick up Mama terdengar. Kepalaku melongok ke kaca jendela yang di pasaknya ditempatkan vas bunga lili. Mama turun dari mobil sambil menenteng kantong kresek berwarna hitam.

"Vonne, makasih udah bantu Mama jaga toko, Sayang." Mama menyapaku sambil mendorong pintu kaca. Ia terhenyak melihat siapa yang sedang berdiri di dekat pintu masuk, di seberang mesin kassa.

"Mas Pram, malam-malam begini cari apa?" Beliau bertanya sambil melewati Om Pram begitu saja.

"Cari kamu, Dek Risma. Mas nungguin dari tadi sore. Udah lama nggak lihat wajah Dek Risma sama calon anak sambung."

Emosiku meluap mendengarnya. Membayangkan wanita terhormat seperti mama digoda dengan suara memuakkan itu membuat tanganku mengepal. Jelas sudah kalau Mama risih. Aku merasakannya. Kuraih blackforest mini yang terpajang di meja. Tangan kiriku sudah siap untuk melemparnya ke wajah ganjen itu.

Uhn (Satu) ... deux (dua) ... trois (tiga)!

Author's Note
Bonjour, gimana bab 2? Kira-kira Vonne jadi bakal lempar Pram pake blackforest nggak yah?
Oh ya, mungkin ada yang sedikit bingung, saya gunain POV 1 gantian dari tokoh utama. Jadi, selang-seling gitu. Semoga ngga membingungkan yaah.

Merci 🥰🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top