Orang Tua Baginda Nabi

Ibnu Ishaq di dalam sirah-nya mengatakan bahwa pada masa itu Aminah binti Wahab adalah gadis Quraisy paling utama, baik dilihat dari asal keturunannya maupun dilihat dari kedudukannya.

Ketika Aminah masih kanak-kanak ia sudah mengenal putera pamannya yaitu Abdullah bin Abdul Mutholib.
Kedua anak dari keluarga Wahab dan keluarga Abdul Mutholib itu sering bermain-main di halaman Baitullah Al Haram, Ka'bah.

Menjelang usia remaja, Aminah dikenakan pingitan dan selama ia berada didalam pingitan, di luar sana Abdullah bertambah besar dan akhirnya menjadi pemuda. Aminah pun tumbuh menjadi sosok gadis remaja Bani Zuhroh yang menanjak usia dewasa.

Setiap Aminah mendengar berita dari ayah ibunya mengenai orang yang datang melamar dirinya, ia selalu teringat akan teman karibnya di waktu kanak-kanak yaitu Abdullah bin Abdul Mutholib.

Dalam hatinya timbul tanda tanya, "kenapa bukan dia yang datang melamarku?"
Bagaimana perasaan Aminah terhadap Abdullah hanya Allah sajalah yang tau.
Ia sendiri tidak tahu apa sebab sering teringat akan Abdullah, teman berlari-lari dan bercanda dekat Ka'bah di kala masa kecil. Kadang-kadang ia tertawa di dalam hati bila teringat akan ulah temannya itu dan dan ulahnya sendiri di saat sedang bermain-main. Alangkah senangnya bila keakraban itu dapat terulang kembali dalam kehidupannya setelah sama-sama mencapai usia remaja.

Makin teringat akan Abdullah, makin terasa adanya keanehan di dalam hati. Makin banyak kenangan masa lampau yang terbayang di pelupuk mata, makin resah dan makin sedih perasaannya.

Seiring berjalannya waktu dengan banyaknya kejadian yang telah terlewati. Salah satunya yaitu kabar gembira mengenai keselamatan Abdullah dari pembantaian ayahnya sendiri. (Abdul Mutholib yang bernadzar hendak menyembelih salah satu putranya yang ternyata jatuh pada Abdullah, Allah menyelamatkan Abdullah dengan sebuah tebusan, agar Abdul Mutholib  memotong korban 100 unta sebagai tebusan nadzarnya.)

Disaat Aminah berbincang berdua dengan ibunya. Wahab, ayah Aminah datang membawa berita yang mendebarkan hati putrinya.
Kepadanya ia berkata : "Pemimpin Bani Hasyim (Abdul Mutholib) datang melamarmu untuk dinikahkan dengan putranya yang bernama Abdullah."

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pemberitahuan ayahnya itu diterima Aminah dengan denyutan jantung berdegup dan desiran darah menghangati sekujur badan.

Abdullah adalah pemuda yang gagah perkasa, karena itu tidak mengherankan kalau banyak wanita selain Aminah yang ingin dipersunting sebagai istrinya.

Seusai pesta pernikahan selama tiga hari tiga malam, Abdullah tinggal di rumah mertuanya. Pada hari keempatnya, tibalah giliran Aminah harus meninggalkan rumah ayah ibunya sendiri dan pindah ke rumah suaminya.

Aminah melangkahkan kaki meninggalkan masa lalu, menyongsong masa mendatang yang diawali dengan perpindahan ke tengah keluarga Bani Hasyim.

Hatinya serasa tersayat-sayat pedih saat meninggalkan keluarganya sendiri, tetapi saat ini ia telah mempunyai penawar duka yaitu Abdullah, teman hidup di dalam satu bahtera yang akan selalu bersama-sama mengarungi samudra kehidupan.

Dua sejoli, Abdullah dan Aminah mulai memasuki dunia kehidupan yang tenang dan tentram, tiada kegaduhan suara mengusik.
Dua orang suami istri ini duduk berdampingan, berbincang-bincang mempercakapkan berbagai soal yang melegakan hati dan merekahkan senyum semanis madu.

Menjelang tengah malam, Aminah tertidur pulas, sedang Abdullah berada di sampingnya tidak tidur menantikan fajar menyingsing sambil mengamati wajah istrinya yang tampak tersenyum kecil, tenggelam di alam mimpi yang indah dan menyenangkan.

Menjelang subuh, Aminah bangun dari kenyenyakan tidurnya. Lalu ia menatap wajah suaminya, kemudian menceritakan  apa yang dilihatnya dalam mimpi - Ia melihat sinar terang benderang memancarkan cahaya lembut dari sekitas dirinya, hingga ia seakan-akan dapat melihat istana-istana Bushara di negeri Syam. Tak lama kemudian ia mendengar suara yang  mengatakan kepadanya "Engkau telah hamil dan akan melahirkan orang termulia di kalangan umat ini."

Selama berhari-hari yang dapat dihitung dengan jari, dua orang pengantin baru itu kurang tidur, dilamun impian mulia yang mengasyikkan dan cita harapan agung yang ditimbulkan oleh berita gembira yang didengar Aminah di dalam mimpinya.

---***---

Tibalah saat perpisahan, tidak ada seorang pun dari Bani Abdul Mutholib dan dari Bani Zurah yang mengetahui, apakah perpisahan dua pengantin baru itu sementara ataukah untuk selama-lamanya.

Ketika terdengar suara aba-aba yang menandakan kafilah Quraisy hendak segera berangkat meninggalkan Mekkah, Abdullah mengucapkan selamat tinggal dengan wajah pucat kesedihan dan dengan hati iba.
Aminah pun menjawab dengan ucapan selamat jalan.

Abdullah menjabat tangan istri kinasih yang lembut itu. Tangan berjari-jemari kecil mungil itu gemetar, menandakan pikiran dan perasaannya yang gundah gulana hendak berpisah dengan seorang suami yang baru beberapa hari tinggal bersamanya (konon tidak lebih dari sepuluh hari).

Hari berganti hari dan siang berganti malam, Aminah enggan meninggalkan tempat pembaringannya kecuali untuk keperluan mendesak. Kadang ia duduk dan kadang merebahkan diri resah gelisah membayangkan suaminya yang sedang menempuh perjalanan jauh.

Abdul Mutholib bersama segenap keluarganya berusaha menghibur Aminah dan mengisi kesunyian hatinya dengan berbagai tutur kata manis meriangkan. Semua mengkhawatirkan keseharannya bila dibiarkan terus menyendiri.

Akan tetapi Aminah lebih suka menyendiri, bahkan adanya orang menemaninya dirasa mengganggu keasyikan jiwanya yang mengembara di alam khayali.

--***--
Sebulan terlewati tanpa ada hal-hal baru yang dialami Aminah selain merasakan ngidam. Namun ... ngidam yang dirasakannya tidak seberat dialami wanita lain.

Diriwayatkan bahwa Sayyidah Aminah berkata :

ما شعرت بأني حملت به، ولا وجدت له ثقلا كما تجد النساء إلا أني أنكرت رفع حيضتي

"Aku tidak mengetahui bahwa alu mengandungnya, dan aku tidak merasakan kesusahan seperti yang dirasakan wanita-wanita lain yang mengandung. Hanya saja aku merasa heran haidh ku terhenti." *

Dalam masa kandungan, Sayyidah Aminah kerap mendapat kabar gembira mengenai keagungan anak yang dikandungnya.

Diriwayatkan bahwa Sayyidah Aminah RA pernah bermimpi mendengar seorang berkata :

إنك حملت بسيد هذه الأمة و نبيها
"Sungguh engkau tengah mengandung pemimpin dan Nabi Umat ini.".*

Ketika Aminah menyadari dirinya sedang hamil, kerinduannya kepada suami makin mencekam.

Kepergian Abdullah kini telah memasuki bulan kedua. Dalam bulan itulah kafilah Quraisy akan tiba kembali di Makkah. Karena itulah Aminah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut kedatangan suami tercinta.

Siang malam ia membayang-bayangkan kedatangan suaminta membawa kerinduan yang hangat. Alangkah bahagianya jika Abdullah mendengar berita menggembirakan ini.

Aminah duduk termangu seorang diri di dalam rumah. Menuahkan segala pikiran dan perasaannta kepada suaminya yang tak kunjung tiba. Padahal, Aminah melihat sendiri gugus depan kafilah daru kejauhan.

Suara hiruk pikuk yang didengarnta makin berkurang dan berubah menjadu sunyi.
Sayup-sayup ia dengar derap langkah mendekati rumah. Aminah mengarahkan pandangan ke pintu.

Ketika pintu dibuka, ternyata yang datang bukanlah Abdullah melainkan Abdul Mutholib bersama Wahab.
Aminah melihat mereka berjalan lesu dan menundukkan kepala, seolah-olah ada sesuatu yang mencemaskan perasaan.
Ummu Aiman tampak berjalan di belakang mereka serap mengusap-usap linangan air mata yang membasahi pipinya.

Setelah mereka ke dalam rumah. Ayahnya, Wahab memberi kabar dengan hati-hati bahwa suaminya mendadak sakit dalam perjalanan pulang. Setelah sembuh, barulah akan segera pulang.

Abdul Mutholib pun menyambung kata mencoba menghibur menantunya itu.
"Teman-teman Abdullah mengatakan bahwa Ia ditinggalkan di Yatsrib, di rumah pamannya dari bani Makhzum. Aku telah menyuruh Harist berangkat ke sana untuk menemani dan mengantarnya pulang bila sehat. Sabarlah dulu dan berdoalah agar ia segera sembuh."

---***---
Tepat dua bulan lamanya Aminah berusaha sekuat mungkin melawan perasaan putus asa.
Harits bin Abdul mutholib kini telah tiba kembali di Makkah seorang diri. Ia pulang untuk menyampaikan berita duka kepada ayahnya, kepada Aminah dan kepada orang-orang Quraisy lainnya.

Abdullah bin Abdul Mutholib telah wafat dan jenazahnta dimakamkan di tempat wafatnya, tidak jauh dari Yatsrib (Madinah)

Betapa remuk tedam hati Aminah mendengar berita ini. Dua bulan 7a menunggu kedatangan suaminya menahan sesaknya rindu yang masih pengantin baru, tapi yang datang bukan Abdullah, melainkan berita duka yang dibawa oleh Harits.

Abdullah bin Abdul Mutholib wafat dalam usia 18 tahun. Betapa malang nasib seorang muda belia yang selang dua bulan lalu baru saja bersuka ria menikmati masa pengantin baru bersama sang istri yang begitu ia cintai, tetapi kini harus pergi untuk selama-lamanya.

Segenap keluarga Bani Hasyim dan Bani Zuroh turut merasakan betapa berat kemalangan yang menimpa Aminah binti Wahab. Makkah berada dalam suasana berkabung atas wafatnya putera pemimpin Mekkah, Abdul Mutholib.

.
.
.
Bersambung.

08 Syawwal 1441 H

Assalamu'alaikum sahabat pembaca.
Mohon maaf ya karena cerita ini sempat ku unpublish beberapa part.
Tujuannya biar lebih lengkap dan lebih bermanfaat jika ada sumbernya.

Jadi ...  part ini saya nulisnya meringkas dan mengutip dari beberapa sumber yakni:

📕Buku "Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW" karangan H.M.H. AL HAMID AL HUSAINI

📕Majalah Cahaya Nabawiy edisi 189

Semoga bisa menambah ilmu sejarah tentang Nabi dan menambah rasa cinta kita kepada Beliau setelah membaca ini. AAMIIN. 😊😊😊

Jika ada kesalahan jangan sungkan untuk mengingatkan ya 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top