🍹 4. Kesibukan Baru 🍹

Malem, temans. Maaf, ya, aku telat update🥰

Athena berjalan masuk ke kediamannya setelah mobil yang mengantarnya pergi. Hari-hari terasa begitu menyenangkan selama beberapa tahun ini. Ada begitu banyak kebahagiaan saat dia memutuskan untuk menuruti keinginan Om Daniel.

"Jadi, pria itu yang membuatmu tidak mau pulang, Athena?"

Athena menoleh dan mendapati Daniel berdiri, bersandar pada sebatang pohon. Wajah tampan omnya benar-benar menunjukkan bagaimana pria itu begitu perhatian merawat diri. Meski telah menduda, Daniel tidak tampak sedih karena beliau sudah merelakan kepergian Tante Ratih.

"Om," kata Athena, "kapan datang?"

"Aku tidak ingat," tukas Daniel, "tapi cukup lama untuk mengawasimu berinteraksi dengan pacarmu."

Athena tidak menanggapi ucapan Daniel. Omnya yang satu itu memang bisa begitu berlebihan menanggapi sikapnya. Terlebih lagi jika menyangkut masa depan. Jelas tak akan ada kata mudah jika berurusan dengan Om Daniel. Omnya bisa sangat garang jika Athena memiliki hubungan dengan pria tanpa mengenalkannya lebih dulu pada beliau.

"Bukan pacar, Om. Hanya teman."

"Sebaiknya memang begitu, Athena. Karena Om merasa dia bukan calon yang cocok untukmu."

Athena melanjutkan langkah memasuki rumah yang beberapa tahun ini dia tinggali. Sebuah rumah yang tak terlalu besar dan terletak di sebuah perumahan dengan lokasi strategis. Asri dengan adanya pohon mangga di depan rumah serta taman tak begitu luas serta bunga-bunga yang tertanam subur.

Om Daniel mengikuti Athena masuk dan langsung duduk di salah satu sofa tunggal. Pandangannya mengelilingi ruangan, meneliti semua yang ada di sana. Matanya mengamati saat Mbak Warti membawa nampan dan menyuguhkan secangkir kopi untuknya.

"Om mau kamu pulang sekarang juga."

Athena terkejut. "Maksud Om gimana?"

"Om tunggu. Ambil barang-barangmu seperlunya!"

"Tapi, Om ...."

"Sudah cukup Om membiarkanmu di sini selama beberapa tahun. Bahkan saat kuliahmu sudah selesai. Dinasmu saja di Malang, kenapa kamu masih betah tinggal di Surabaya?"

Athena tidak bisa berkata-kata. Omnya benar, saat dinasnya ada di Malang, kenapa dia harus tinggal di Surabaya? Sebenarnya Athena juga dinas di rumah sakit, tetapi Om Daniel tidak tahu.

"Tapi, Om ...."

"Kamu bekerja di rumah sakit, kan? Sudah Om pindahkan. Tidak usah risau. Praktikmu juga siap. Jadi, ayo segera berangkat. Apa yang tersisa di sini, biar dibereskan oleh Mbak Warti."

Athena tidak bisa berkata apa-apa jika Om Daniel sudah berbicara dengan nada setegas itu. Sebagai pengganti orang tuanya, Om Daniel memang sangat baik dan perhatian. Beliau tidak membedakan dirinya yang hanya keponakan dengan anak kandungnya sendiri.

***

Athena berlari-lari menembus hujan dan masuk ke klinik. Tidak repot mengibaskan air dari rambutnya, Athena langsung menuju meja di mana ada dua orang perawat yang sibuk mencatat. Salah satu perawat melihatnya terlebih dulu dan berdiri disertai senyum ramah.

"Selamat sore, Ibu Athena." Perawat itu menyapa Athena tanpa menghilangkan senyum ramahnya.

Athena hanya mengangguk. "Sore. Dokter Aegea sudah datang?"

"Hari ini beliau tidak datang, Bu. Dokter Alfredo menggantikannya dan sudah ada di ruangan."

"Ada pasien?"

"Ada, Bu."

Athena kembali mengangguk. "Baiklah, saya punya janji dengan dua mahasiswa. Suruh masuk saja. Tapi kalau klien saya datang, mahasiswanya belakangan."

"Siap, Bu."

Athena berlalu menuju ruangannya. Menyalakan lampu dan membuka jendela supaya udara menjadi lebih segar. Sambil menunggu klien, Athena memeriksa laporan klinik yang dia kelola bersama sepupunya. Alisnya mengerut ketika mendapati laporan jam kerja perawat mereka yang lebih panjang dari biasanya.

Suara pintu diketuk membuyarkan konsentrasi Athena. Seorang suster memberikan map baru yang berisi beberapa lembar kertas kosong.

"Bu, apa kliennya sudah bisa masuk?"

Anggukan Athena sudah cukup menjadi jawaban. Suster itu keluar dan masuk lagi beberapa saat kemudian diikuti oleh sepasang suami istri.

"Selamat sore Bapak dan Ibu. Saya Athena. Apa yang saya bisa bantu." Athena mulai menyapa dengan ramah sambil menggerakkan tangannya memberi isyarat supaya kliennya duduk.

"Begini, Dok. Saya mau cerita kalau saya sudah-"

"Biar aku saja yang cerita, Pa. Nanti kamu banyak bohongnya. Jadi begini Dokter, saya dan suami saya ini mau cerai. Saya sudah nggak bisa hidup berdua dengan tukang selingkuh begitu." Si Ibu menyela.

"Kamu jangan ngomong begitu, Ma. Gimanapun kan kamu salah juga." Suaminya tak mau kalah.

"Enak aja nuduh aku begitu. Kan kamu yang ketauan jalan sama perempuan nggak jelas itu. Mendingan aku kemana-mana. Apa yang bisa kau banggakan saat bisa jalan sama dia." Istrinya tidak mau kalah.

Athena memandang kliennya dalam diam. Sedikit banyak dia sudah bisa menebak maksud dari pasutri ini. Mereka masih terus cekcok hingga lebih dari 30 menit. Dan Athena masih belum berkomentar sama sekali. Hingga genap menjadi empat puluh menit akhirnya Athena menjeda.

"Maaf Bapak dan Ibu, jadi apakah Anda berdua kemari hanya untuk membuat saya melihat pertengkaran ini?"

Pasangan suami istri itu terdiam. Memandang Athena dengan rasa bersalah serta malu yang tidak bisa disembunyikan. Athena memberikan senyum bijak.

"Bapak dan Ibu bisakah membuat ulang jadwal pertemuan dengan saya? Saya sarankan untuk konsultasi secara terpisah di lain kesempatan. Terserah mau Bapak atau Ibu dulu. Bagaimana?"

Bersamaan suami istri itu mengangguk. "Gara-gara kamu ini, Pa." Istrinya masih menggerutu.

"Sudahlah, Ma. Nggak usah menggerutu terus." Suaminya mulai menurunkan emosi. "Berapa biaya konsultasinya, Dok?" Si bapak bertanya sementara tangan kanannya berusaha untuk mengeluarkan dompet dari saku belakang celana panjangnya.

"Bayar di kasir saja." Athena menjawab lugas.

"Oh iya. Tolong dijadwalkan ulang ya, Dok." Bapak itu menegaskan dan Athena hanya mengangguk ramah.

"Baik kalau begitu. Sesi ini kita akhiri saja ya, Bapak dan Ibu. Terima kasih." Athena menyalami kliennya bergantian dan berjalan ke arah pintu. Kliennya keluar, masih sempat mengangguk sungkan saat melewati Athena.

Athena masuk kembali ke ruangannya, meraih sebuah buku dan sebentar kemudian sudah tenggelam dalam bacaannya. Pintu mendadak terbuka dari luar dan wajah Alfredo muncul di sana. Athena memberi seulas senyum kemudian beranjak ke arah pintu dan membukanya lebih lebar.

"Mas Al. Tumben sih ke sini."

"Istriku sedang lelah. Ayo ke rumah, dia bilang kalian akan mendiskusikan sesuatu."

Athena melirik jam di pergelangan tangannya. Dia menganggguk lalu membereskan semua barang dan berjalan keluar ruangan. Ponselnya dia pegang saja karena berniat menelepon Aegea setelah meletakkan map klien ke perawat jaga.

Di depan meja penerimaan, Athena dihadang oleh dua orang yang baru saja berlari. Napasnya masih terengah-engah. Athena mengangkat alisnya santai.

"Selamat sore, Bu Athena. Saya mau bimbingan." Salah satu dari orang itu memberi salam serta mengucapkan tujuannya.

"Kamu berdua janjian sama saya jam berapa?" Suaranya pelan, tetapi siapa pun tahu nada mengintimidasi yang terdengar.

"Jam enam tiga puluh, Ibu."

"Dan sekarang jam berapa?"

Wajah salah satu mahasiswa itu terlihat keruh. "Jam tujuh lebih enam menit."

"Itu artinya sudah lewat, kan?"

"Maaf, Ibu. Tadi jalanan macet dan ...."

"Saya tidak mau dengar alasanmu. Yang butuh bimbingan itu kamu, bukan saya. Jadi kamu harus datang sesuai kesepakatan karena saya tidak menoleransi keterlambatan. Temui saya di kampus besok jam delapan tepat."

Athena berlalu tanpa menunggu jawaban mahasiswanya. Alfredo mengikuti langkahnya ke depan klinik.

"Naik mobilku saja, Senorita. Mobilmu biar nanti ada yang urus."

Athena menyerahkan kunci mobilnya pada Alfredo yang langsung diterima oleh suami sepupunya. Alfredo pergi ke pos Satpam dan memberikan beberapa instruksi sebelum menyerahkan kunci mobil Athena. Seelahnya, Alfredo memasuki mobil di mana Athena sudah duduk di dalam, lalu mengemudi dengan mahir keluar dari klinik.

Athena menyalakan radio dan memilih salah satu gelombang yang sedang memutar lagu-lagu terkini. Kepalanya manggut-manggut seiring irama musik.

"Kamu dosen yang galak, Senorita." Alfredo memulai pembicaraan.

Athena menoleh ke arah Alfredo sebentar sebelum menjawab. "Kaya sendirinya nggak galak aja."

Alfredo tergelak keras. "Aku enggak galak lhoo. Tanya saja pada istriku nanti di rumah."

"Dih nggak galak. Ya iyalah nggak galak sama Aegea. Secara ya dia bucin banget ke kamu, Mas. Coba kalo Aegea lagi marah sama kamu, seluruh bagian bedah hawanya kaya di kutub. Koas terancam nggak lulus. Kelakuanmu Mas, benar-benar mines."

"Tapi aku nggak kaya kamu lho, Senorita. Mahasiswa sudah datang malah kamu suruh pergi."

"Setiap dosen punya rule sendiri mas. Nikmati saja." Athena tersenyum lebar dan tidak dijawab lagi oleh Alfredo.

Memasuki gerbang rumahnya, Alfredo memberikan seplastik keripik pada Satpam yang kebetulan sedang bercakap-cakap dengan tukang kebunnya. Athena turun dari mobil, langsung berjalan menuju pintu. Didorongnya pintu kokoh itu dan Ale sudah berlari ke arahnya.

"Tante Senorita kangen." Athena tertawa begitu Ale, sang keponakan memeluknya erat.

"Kamu sudah kelas satu ya sekarang?" Athena menciumi pipi Ale bertubi tubi.

"Iya, Tante. Aku sudah besar." Ale menyombongkan diri sementara Athena hanya tertawa. "Papa." Bocah itu berteriak girang.

Athena hanya bisa menggelengkan kepala dan meninggalkan keponakan yang tengah bermanja dengan papanya. Memasuki dapur, Athena melihat Aegea yang sedang menyiapkan makan malam. Hamil besar dan berjalan hilir mudik dari dapur ke meja makan tak membuat Aegea terlihat lelah. Sungguh pemandangan yang cantik. Diam-diam Athena menginkan hal yang sama.

Nah, sudah. Makasih lo yaa, yang udah baca ini lagi🤭

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top