🍹 3. Mencarimu 🍹

Sore, temans. Masih puasa, kan, ya?Siapa yang menunggu Raphael tayang? Kuyy dibaca 🥰🥰

Raphael kesal karena tidak berhasil menolong salah satu korban kecelakaan. Dari delapan orang, dua di antaranya meninggal. Meskipun dia sadar hidup dan mati itu mutlak milik Tuhan, kejadian kali ini terasa begitu tragis. Selain korban meninggal, ada dua balita yang keadaannya masih kritis.

Berniat untuk meredakan emosinya, Raphael pergi ke kantin. Di sana dia bisa memesan kopi supaya matanya tetap terbuka. Ada kuliah pagi yang harus diikutinya. Raphael tidak mengeluh, hanya saja jadwal hari ini padat. Benar-benar tidak ada waktu untuk bersantai. Semua harus dilakukan dengan baik jika tidak ingin kegiatannya berantakan. Jadwal jaga rumah sakit, praktik pribadi, dan spesialisasi yang diambilnya.

Lebih dari tiga tahun jadwalnya tidak tersentuh oleh masalah ketika tiba-tiba dia mengingat sesuatu. Rasanya ada yang kurang dan terasa mengganjal di hati. Namun, Raphael tidak tahu itu apa. Alisnya bekerut untuk menemukan penyebab yang tak mengenakkan itu, lalu pikirannya menangkap suatu kejadian.

Athena. Gadis itulah yang terlewat dari harinya. Berapa lama gadis itu tidak pernah datang? Sejujurnya itu bagus, tidak periksa kepadanya berarti dia sehat. Raphael juga tahu, Athena akan selalu merasa tidak enak badan karena pekerjaannya yang luar biasa sibuk. Penasaran membuatnya bertanya-tanya. Bagaimana Athena menyukai pekerjaan yang mengharuskannya bepergian begitu. Kesadaran menghampiri Raphael, bahwa pekerjaan itu sama seperti jatuh cinta.

Raphael baru saja menyeruput kopi hitam tanpa gula pesanannya saat Satrio muncul dan merebut gelasnya. Teman baiknya itu duduk tanpa merasa berdosa setelah meneguk kopi hampir setengahnya.

"Kenapa melihatku begitu? Nggak rela kopimu kuminum?" Seperti biasa, kalimat Satrio pasti memancing emosi jika orang tidak mengenalnya.

"Sudah merampas, nantang lagi," omel Raphael.

"Masuk malam juga?"

"Menurutmu?

Satrio tertawa dan kembali menyeruput kopi Raphael. Tak lama datang pelayan kantin mengantarkan kopi panas yang langsung diberikan pada Raphael.

"Menurutku, minum kopimu, dan buang tampang jelekmu. Nggak pantes."

"Masalah?"

Satrio berdecak. "Raph, dalam kondisi biasa saja mukamu itu sudah nggak enak dilihat. Jadi, jangan pasang tampang nyebelin gitu lah!"

"Cerewet kau kayak emak-emak kurang uang belanja."

"Harus," sahut Satrio. "Punya teman model kau itu wajib ngomel. Kalau enggak, kelar pertemanan kita.

Raphael mengangkat bahu. Menghadapi Satrio memang perlu kesabaran ekstra. Selain suka berbicara tanpa berpikir, temannya yang satu itu jenis orang yang gampang berkomentar. Pertemanan yang dimulai sejak sekolah menengah, membuat mereka saling memahami.

"Pasienmu kritis?"

"Lebih dari itu."

Raphael lega saat Satrio tidak bertanya lebih lanjut. Di saat-saat tertentu temannya itu juga bisa peka. Ada batasan yang memang dipahami meskipun tidak dikatakan. Raphael tidak terkejut saat pelayan kembali datang dan membawa dua mangkuk soto panas untuk mereka. Dalam diam, mereka menikmati sarapan lebih awal sebelum melanjutkan aktivitas.

***

Raphael menarik napas lega begitu kesibukan di IGD berakhir. Semua pasien yang datang sudah selesai ditangani. Keadaan yang kembali lengang membuatnya bisa duduk dengan sedikit santai. Memeriksa status pasiennya lalu mengembalikannya kembali ke meja perawat. Raphael melirik pergelangan tangannya dan pergi ke ruang kerjanya.

Duduk di kursi seraya melepas penatnya, Raphael memeriksa pesan yang masuk ke ponselnya. Tiba-tiba matanya melihat nama Athena ada di daftar kontak. Dia ingat satu masalah yang membuat Athena datang ke rumah sakit di tengah malam atas permintaannya. Muntah hebat karena segelas kopi. Raphael memberikan pertolongan dan membuat Athena menjadi pasien pribadinya.

Alis Raphael bertaut, foto profil Athena menghilang dan pesannya tidak terkirim. Tak hilang akal, Raphael mencoba menelepon. Hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomor itu sedang di luar jangkauan. Mungkin sibuk, begitu pikir Raphael mengingat pekerjaan Athena yang luar biasa menguras energi. Namun, ini sudah sangat lama sejak terakhir kali gadis itu mengunjunginya. Apakah setahun? Atau dua tahun? Raphael mengernyit, lupa berapa lama tepatnya tidak bertemu Athena. Tidak bertemu artinya gadis itu sehat, tetapi frekuensi mengunjunginya tidak pernah lebih lama dari ini.

Raphael betah duduk sambil mencoba mencari akun media sosial Athena. Tidak mendapatkan hasil pencarian, dia memutuskan mengerjakan tugas kuliahnya. Tak lama kemudian, pintunya terbuka. Satrio muncul dan duduk di depannya. Raphael tidak peduli dengan kedatangan temannya, jarinya lincah menekan huruf-huruf sementara netra berbingkai kacamata anti radiasi itu tidak berkedip menatap layar.

"Apa enaknya pacaran dengan laptop begitu?" Satrio mulai mengusik Raphael.

Raphael mendongak dan menemukan wajah Satrio dengan cengiran yang selalu tampak menyebalkan. "Aku berniat lulus tepat waktu. Kuliah ini sudah panjang, kalau molor ...."

"Kalau molor kapan nikahnya." Satrio menyela.

"Itu tahu. Sana pergi!" Raphael mengusir Satrio, tetapi bukan Satrio jika menuruti perkataan orang dengan mudah."

"Aku baru saja mengantar Aegea ke bandara. Kau tahu, aku benar-benar ingin menghajar Alfredo."

Aegea? Raphael seperti pernah mendengar nama itu, tetapi di mana? "Aegea siapa? Kenapa mau hajar Alfredo? Salah apa dia padamu?"

Satrio berdecak. "Itulah kalau pacaran dengan laptop. Sampai temannya dalam masalah kau tidak tahu."

"Kau mau katakan atau tidak?"

"Sudah menyebalkan, masih bisa galak."

"Katakan atau pergilah, Sat. Aku tidak ada waktu menanggapi ocehanmu yang tidak penting." Raphael mengusir Satrio untuk kedua kalinya.

"Alfredo menikahi Harini karena wanita itu hamil. Di waktu yang sama, Aegea pacar Alfredo juga sedang hamil."

Jari Raphael yang sedang menari di atas tombol laptop terhenti. Seketika matanya menoleh dan menatap Satrio.

"Ya begitu itu kalau sok cakep. Pacar nggak cuma satu. Apa Aegea gadis yang datang bersamamu di pernikahan Alfredo?"

"Tepat."

"Astaga. Gadis cantik itu. Dan kau, kenapa tidak kau hentikan pernikahan itu?"

"Aku bisa apa, Raph. Lagipula Aegea sudah memintaku berjanji untuk tutup mulut."

"Dan kau mengatakannya padaku sekarang."

"Karena aku butuh cerita dan kau orang yang tepat. Biar aku nggak bisulan sendiri."

"Aku nggak akan bisulan."

Raphael bukan tipe teman yang suka mencampuri urusan orang lain. Jika tidak diberitahu, maka dia tidak akan bertanya. Baginya, setiap orang punya hal yang tidak harus diceritakan kepada orang lain. Raphael menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Tak lama lagi dia akan menyelesaikan spesialisasinya. Tepat waktu seperti keinginan ibunya, sebelum wanita tersayang itu berpulang untuk selamanya.

Sore itu hujan deras di sertai angin kencang. Ibu yang biasanya tidak banyak bicara mendadak mendatanginya. Kesan serius begitu kentara di wajah cantiknya yang sedikit pucat. Ada kekhawatiran yang dia rasakan, tetapi diam adalah pilihan terbaik. Sedikit saja Raphael membicarakan masalah kesehatan maka ibunya akan masuk kamar dan menutup diri selama berhari-hari.

Raphael meraih air mineral dan meneguknya hingga tandas. Sekilas dia melirik Diana, ibunya, lalu kembali menekuri bukunya. Pura-pura tidak peduli, itulah cara Raphael untuk membuat Diana betah di dekatnya. Ada yang tidak beres dengan kesehatan beliau, tetapi Raphael belum menemukan cara untuk mencari tahu.

"Ael. Ibu senang melihatmu rajin belajar. Rasanya tidak sia-sia semua yang sudah ibu berikan demi cita-citamu itu. Kamu sudah jadi dokter sekarang dan Ibu bangga. Kamu mengambil spesialisasi dan Ibu lebih bangga lagi."

Raphael tersenyum oleh pujian itu, lalu bangkit, dan duduk di samping ibunya. "Ael lebih bangga sama Ibu. Tanpa Ibu, apa yang bisa Ael lakukan?"

"Dengarkan Ibu, ya. Ael sudah jadi dokter, tetapi Ael sekarang sekolah lagi. Jadi tetep namanya belum lulus, 'kan? Kalau Ael suka perempuan, Ibu ingin Ael lulus dulu. Karena menyukai perempuan itu harus menghargainya. Penghargaan itu adalah menikahi segera. Jangan hanya dibawa-bawa tanpa kejelasan. Ael paham?"

"Iya, Bu."

"Ingat, ya, Ael. Jangan mendekati perempuan kalau kamu tidak bisa membahagiakan dia. Jangan menyakiti perempuan karena itu artinya Ael juga menyakiti Ibu."

"Iya, Bu. Ael akan ingat."

Itu janji Raphael pada ibunya. Janji terakhir karena sang ibu meninggal mendadak dua hari berikutnya. Alasan itulah yang membuat Raphael belajar lebih giat dan tidak bisa santai. Ditambah seorang kakak perempuan yang suaminya bekerja jauh dan pulang setiap tiga bulan. Raphael memiliki tanggung jawab untuk menjaga kakaknya, juga keponakan yang berumur satu tahun.

Suara telepon memutus lamunan Raphael. Panggilan dari IGD yang mengatakan ada kasus darurat. Raphael keluar, disusul Satrio. IGD kedatangan banyak pasien yang muntah karena keracunan makanan. Beberapa orang bahkan sudah kehilangan kesadaran sementara dokter jaga tidak semuanya ada. Melupakan lelahnya, Raphael melakukan pertolongan pertama dengan cekatan. Pasien yang sudah kehilangan kesadaran mendapatkan prioritas terlebih dulu sedangkan yang masih sadar ditangani oleh perawat.

Dua jam kemudian semua berhasil ditangani. Ada pasien yang rawat jalan, ada juga yang rawat inap. Raphael memberi tahu salah satu keluarga pasien ketika seorang wartawan datang diikuti oleh beberapa wartawan lain di belakangnya. Raphael tidak memberikan jawaban panjang, hanya singkat dan membenarkan dugaan bahwa penyebab keracunan itu berasal dari makanan.

Menjelang tengah malam, Raphael berjalan cepat menuju bangsal perawatan kelas dua saat nama Athena disebut-sebut. Harapan kecil muncul perlahan. Tidak masalah baginya jika Athena tidak lagi menjadi pasiennya. Yang terpenting adalah menemui gadis itu dan memastikan kesehatannya.

Raphael menanyakan di mana pasien bernama Athena. Salah satu perawat menunjuk brankar kedua sebelah kanan. Tak sabar, Raphael mendekat dan membuka kelambu. Yang dia lihat adalah seorang ibu muda berusia sekitar akhir tiga puluhan. Itu bukan Athenanya. Wanita itu adalah orang lain yang kebetulan bernama Athena.

Kasih tau saia kalo ada typo, ya. Jangan sungkan². Aku padamu lah pokoknya, temans🥰

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top