12 | THE TOWER
Harga Diri
"Al, kamu suka aku sejak kapan?"
Pertanyaan tanpa tedeng aling-aling itu bukan hanya mengejutkan, tapi juga terlalu tiba-tiba. Ekspresi Bonnie saat menanyakannya... wah, Ali tak habis pikir. Bisa-bisanya Bonnie menanyakan hal paling random sedunia dengan raut sepolos itu?
Ali meletakkan kedua tangannya di pinggang, mendadak kesal.
"Jangan nuduh sembarangan!" Ia menghambur susunan kartu yang diambilnya tadi. "Bikin bad mood aja!" gerutunya. Tak puas cuma menghambur kartu, menggerutu, dan menendang kerikil di bawah sepatu, Ali juga mengacak rambutnya hingga tampak seperti habis kena puting beliung.
Bonnie hanya menonton itu semua sambil menciut sedikit. Dia tak tahu Ali akan tantrum sebegitunya. Padahal Bonnie cuma membaca apa yang ada di sana. Kalau hasilnya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, memang itu salahnya?
"Kok marah?" cicit Bonnie seraya berjongkok untuk memungut kartu-kartunya yang berserakan di tanah. "Kalau nggak suka aku, ya udah. Mungkin aku yang salah baca. Ngapain marah-marah?"
"Cukup sekali ya kamu nyuruh aku narik kartu kayak tadi!" ancam Ali.
Bonnie mengangguk patuh, meski cemberut.
Sambil berdecak pelan, Ali melengos pergi begitu saja. Bonnie tergopoh menyusulnya. Maklum, kakinya tak sepanjang kaki Ali. Bonnie perlu 10 langkah agar bisa sejajar dengan 3 langkah yang diambil Ali.
"Kayaknya waktu sekolah dulu tinggimu cuma segini, ya?" Bonnie meletakkan telunjuk di bahunya sendiri. Kemudian dia menurunkannya lagi sampai lengan. "Sependek ini lebih tepatnya. Sekarang malah aku yang cuma sepundak kamu."
Ali mendadak berhenti berjalan. Ia mengernyit menatap Bonnie yang cengengesan.
"Kamu habis dari kamar mayat, Bon. Sekarang malah senyam-senyum kayak orang nggak punya dosa." Ia maju selangkah hingga keduanya berdiri berhadapan. "Aku serius ya, Bon, waktu nyuruh kamu buat mikir panjang sebelum melakukan sesuatu. Hal yang lagi kamu kejar ini, prosesnya bisa membahayakan nyawamu. Kecelakaan itu contohnya!"
Senyum Bonnie memudar.
"Jadi itu sebabnya kamu marah?" tanyanya hati-hati. "Kamu menahan diri sejak aku sadar dari pingsan dua hari." Bonnie menghela napas lelah. "Kecelakaan itu terjadi karena sopirnya Tante Arleen teledor. Nggak ada hubungannya dengan kasus yang lagi berusaha kupecahkan."
Rahang Ali mengeras. "Aku harap bisa mengulang waktu dan nyingkirin ide-ide gila itu dari kepalamu."
"What's the point?" Bonnie tersenyum hambar. "Apa pun keputusanku, takdir akan tetap mendorongku buat menyelidiki kasus Erika. Dan aku udah bertekad untuk menyelidikinya sampai tuntas. Hal yang nggak bisa diselesaikan oleh polisi. Cuma aku yang bisa." Ia mengangguk yakin.
"Penjahat nggak bisa diadili tanpa bukti. Kesaksianmu juga nggak akan berguna."
"Tapi keluarganya perlu kebenaran."
"Om Phillip ketakutan setengah mati waktu dapat kabar kamu kecelakaan."
Bonnie membuang muka. "Kenapa jadi bahas Ayah?"
Ali menghela napas berat sambil menengadah ke atas. Percuma berdebat dengan orang yang keras kepala seperti Bonnie.
"Arleen udah kuperingatkan buat nggak menghubungimu lagi."
Bonnie terkejut. "Apa? Kok diputusin sendiri, sih?"
"Penalti karena ngebatalin kontrak secara sepihak biar aku yang urus semuanya. Jadwal dengan klien udah kuundur sampai kamu benar-benar pulih. Pake waktu istirahatmu buat merenung."
"Ali!" seru Bonnie.
"Sebagai managermu, aku punya hak buat mengambil alih karena saat ini kamu nggak dalam kondisi optimal atau rasional untuk membuat keputusan. Kalau kamu nggak suka dengan cara yang kupilih... pecat aja aku." Tanpa menunggu respons Bonnie, Ali pergi lebih dulu.
Bonnie menatap kepergiannya dengan sorot penuh jengkel. "Dasar dramatis! Hal sepele kayak gini aja sampe bikin kamu ngambil keputusan ekstrem!" Teriakannya menggema di lorong rumah sakit yang sepi.
Ali mengabaikannya.
***
Usai mengantar Pak Phillip dan Bonnie kembali ke rumah, Ali langsung pamit pulang. Dia tak memedulikan Bonnie yang merajuk dan ujung-ujungnya malah ngambek. Pak Phillip sempat menanyakan alasan mereka bertengkar kali ini, tapi Ali cuma garuk-garuk kepala.
"Bonnie lagi PMS, Om." Ali ngasal, tapi untungnya Pak Phillip percaya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam saat Ali memarkirkan VW di garasi. Ketika turun dari mobil, perhatiannya tak lepas dari sepasang sedan mewah Volvo yang parkir di depan bangunannya. Menghalangi jalan.
Saat ia hendak menegur pemilik kedua mobil itu, langkahnya jadi terhenti lantaran menyadari salah satu penghuni kosnya sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita tak jauh dari mobil diparkir.
"Wih, Bang Iko sama siapa, tuh?" Rasa penasaran Ali menggelitik, tapi dia putuskan untuk tidak lancang menguping. Meski begitu, dia berjalan lambat-lambat agar bisa mendengar pembicaraan mereka secara tak sengaja.
"Minggu depan ada waktu?" tanya wanita berkulit seputih porselen yang mengenakan skirt hitam sepanjang lutut yang secara sempurna memeluk lekuk tubuhnya. Rok itu dipadukan dengan kemeja putih yang dihias obi belt sekeliling perutnya yang langsing. Tampilan modisnya disempurnakan heeled boots setinggi betis.
Ali belum pernah bertemu seseorang dengan selera fashion sebagus itu. Ia mengangguk penuh apresiasi. Tapi, tunggu... untuk apa wanita secantik itu ada di sini malam-malam?
"Mau ngapain?" Suara parau Iko Oriaga yang khas seperti baru bangun tidur terdengar kemudian. Bukan hanya suaranya, penampilannya juga. Bisa-bisanya dia menerima tamu dengan kaus lusuh, jeans pudar yang jarang dicuci, serta sandal jepit! Mana rambutnya acak-acakan pula!
"Ke Santorini. Liburan." Cewek itu menjawab.
"Nggak ada cuti."
Salah. Yang betul nggak ada uang. Pikir Ali yakin.
Iko Oriaga baru pindah ke indekosnya setahun yang lalu. Tubuhnya tinggi, bermata sayu cenderung ngantuk, pakaiannya jarang diganti apalagi dicuci, pulang seminggu sekali, dan kalau pulang kerjaannya cuma tidur seharian seperti koala. Meski begitu, karirnya cukup serius. Dia jarang pulang karena menangani kasus kejahatan berat di Sat-Reskrim Polrestabes.
Ya, pemuda yang kelihatan seperti pengangguran anemia itu sudah biasa berurusan dengan kriminal. Karena pekerjaan itu pula, Iko sangat disegani oleh seluruh penghuni indekos Ali. Sayangnya, pekerjaan berbahaya Iko tak sebanding dengan gajinya. Bayar sewa sering nunggak, sehari-hari cuma makan mie instan karena gajinya dikirim untuk ibu dan adik perempuannya yang masih kuliah.
Tak ingin menguping lagi, Ali bergegas masuk ke rumah.
Seketika ia berjingkat kaget karena seluruh penghuni kos sedang berkumpul di dekat pintu rumah utama yang menjadi tempat tinggalnya sekaligus tempat menerima tamu. Jelas-jelas lagi menguping!
Ali buru-buru menutup pintu agar tak ketahuan Iko.
"Bubar, bubar!" bisik Ali kasar sambil mengibaskan tangan seperti sedang mengusir ayam tetangga.
"Bentar dulu, lah! Penasaran banget sama gebetannya Bang Iko," bantah Sonny.
"Kalau dateng selalu bawa oleh-oleh dari luar negeri." Mahesa, cowok rantauan dari Lampung itu menunjuk setumpuk belanjaan di lantai ruang tamu.
"Ke mana-mana ditemenin bodyguard. Semuanya di dalem mobil, badannya gede-gede. Pasti dari keluarga tajir. Tadi aja dia nawarin buat renovasi bangunan kost-an Mas Ali. Mau nambah lantai khusus buat kamar Bang Iko sendiri," timpal Rian, mahasiswa jurusan arsitektur yang berkuliah tak jauh dari indekos mereka.
Mata Ali membulat. "Hah? Kok berani-beraninya—"
"Tenang, Bang Iko bilang cewek itu cuma bercanda. Humornya orang kaya."
Tak lama kemudian, Iko masuk dan langsung dikerubungi oleh semua orang, termasuk Ali yang ikut penasaran.
Iko memandang mereka bergantian dengan ekspresinya yang datar.
"Bang, kapan nikahnya?" tanya Sonny.
"Jadi bulan madu ke Santorini, Bang?" sambung Ali.
"Ngundang artis nggak ke resepsi, Bang?" timpal Mahesa.
Iko mendengkus. "Minggir!"
Mereka otomatis menyingkir, memberi Iko jalan untuk mengambil air minum di dapur, kemudian dengan teratur duduk mengelilingi meja makan sambil menunggu Iko buka suara.
"Oleh-olehnya dibagi rata buat kalian aja." Setelah Iko berkata begitu, semua penghuni bubar untuk pindah ke ruang tamu. Rapat dadakan untuk memutuskan siapa dapat apa terdengar riuh. Hanya tinggal Ali dan Iko yang duduk di meja makan.
Ali menoleh ketika mendengar Iko mengumpat kecil sambil memandangi satu pak Esse yang remuk di tangan. Jika disuruh memilih, lebih baik Iko tidak makan seharian daripada tidak bisa beli rokok merek itu. Pemilihan prioritas yang buruk.
"Kenapa remuk, Bang?"
"Diinjek Jennie," gerutu Iko seraya mengeluarkan sebatang rokok bengkok dan menyelipkannya ke bibir. "Cewek yang tadi. Namanya Jennifer. Suka seenaknya sendiri." Ia menyalakan pemantik, tapi ragu-ragu menyalakan rokok.
"Pacarnya Abang?"
"Bukan."
"Kok ngajak liburan ke Santorini? Dalam rangka apa?"
"Nggak tahu."
"Kenal di mana, Bang?"
"Temen sekolah. Pernah sebangku."
Kedua alis Ali terangkat tinggi. Sudah lama ia ingin menanyakan sesuatu pada Iko, tapi takut menyinggung. Mungkin ini kesempatan yang bagus.
"Keluarga Bang Iko pernah bangkrut, ya?"
Iko memandangnya sekilas, lalu menggeleng.
"Terus dulu sekolah di mana? Kok bisa kenal si Jennie?" tanya Ali lagi.
"Cavalrie."
Ali tersedak ludahnya sendiri.
Gila! Iko pernah mengenyam pendidikan di sekolah swasta elit Indonesia?
"Dapat beasiswa," lanjut Iko tanpa ditanya. "Keluargaku miskin struktural."
"Kalau sekarang?"
"Ya, masih miskin." Iko mengangkat bahu acuh tak acuh. "Jennie bukan cewekku. Kebetulan aja kami terlibat karena penyelidikan kasus."
"Hah? Kasus pembunuhan lagi, Bang? Siapanya?"
Iko batal menyalakan rokok. Ia menutup pemantik, lalu menyimpannya ke saku celana. "Nanya mulu," gerutunya. Mana mungkin Iko bercerita tentang kasus yang dikerjakannya. Dia tidak semurah hati itu. "Yuk, ikut sebentar ke atas!"
"Ke kamar Abang?"
Iko tak menyahut. Dia langsung beranjak dari kursi dan memberi isyarat agar Ali mengikutinya ke kamar.
Kamar Iko terletak di lantai 2 paling ujung dekat gudang. Kamar yang cenderung dihindari untuk dipilih calon penghuni karena dianggap angker. Bukan berarti indekos Ali angker. Perspektif dari para penghuni biasanya begitu.
Kamar seluas 7x4 meter itu disewakan lengkap dengan perabot. Lantaran jarang pulang, kamar yang dihuni Iko selalu tampak rapi kecuali ranjangnya yang habis ditiduri. Bekas sampah makanan pun tak ada. Hanya meja kerja saja yang selalu penuh dengan tumpukan kertas dan laptop.
Iko mengambil tas kerja yang tergeletak di kursi, mengeluarkan sesuatu.
"Kasus yang minggu lalu kamu tanyain." Ia menyerahkan lima lembar kertas hasil fotokopi pada Ali. "Aku ingat kasus itu pernah rame. Penemuan jenazah ibu dan anak dalam mobil di bekas bendungan. Kenapa penasaran sama kasus itu?"
Ali duduk di tepi ranjang untuk membaca laporan kasus yang baru diserahkan Iko.
"Ada hubungan apa sama korban?" Iko melipat tangan di dada.
"Nggak ada hubungan apa-apa, Bang. Temenku lagi nulis tesis. Dari jurusan kriminologi. Perlu studi kasus pembunuhan dari tahun itu."
Mata Iko menyipit sekilas. "Itu kasus bunuh diri."
Ali otomatis menepuk bibirnya yang keceplosan. "Maksudnya bunuh diri. Mulut typo."
"Tapi kelihatannya memang pembunuhan."
"Memang pembunuhan," timpal Ali yang kemudian langsung disesalinya. Ketika mendongak, dirinya harus bertemu dengan tatapan tajam Iko. Cowok yang tujuh tahun lebih tua darinya itu kini tampak mengintimidasi. Mungkin itu ekspresinya ketika sedang menginterogasi pelaku pembunuhan di ruang penyidikan.
"Tahu dari mana itu pembunuhan?"
Rupanya Iko sejak tadi memancing Ali untuk menjelaskan alasan membutuhkan laporan kasus bunuh diri yang terjadi bertahun-tahun silam. Iko menyalinnya dari ruang arsip, mengikuti permintaan Ali. Selain karena iming-iming bebas biaya sewa indekos tiga bulan berturut-turut, sebenarnya Iko ikut penasaran setelah membaca laporan itu. Dia selalu tertarik mengikuti kasus yang bukan yurisdiksinya.
Ali menyerah. Iko tak akan membiarkannya lolos sebelum mendapat penjelasan.
"Temenku kenalan korban, Bang. Dia curiga kasus ini dibuat seperti bunuh diri. Mungkin pelakunya masih berkeliaran."
Iko mengerutkan hidung sekilas, menutupi senyum tipis.
"Mau menyelidiki sendiri?"
Ali mengangguk.
"Well..." Iko menegakkan punggung, kelihatan lebih rileks. "Kalau begitu, semoga beruntung."
Lho?
Ali sukses melongo.
"Jangan kasih tahu siapa pun kalau kamu dapat salinan itu dariku!" ancam Iko. "Kita nggak pernah bahas kasus ini. Paham?"
"Abang nggak akan dapat masalah karena ngasih ini?"
Iko memberi isyarat untuk menyuruh Ali tutup mulut, lalu menunjuk pintu. Ali paham maksudnya, jadi ia bangkit dan keluar.
"Matiin lampunya, jangan lupa pintunya ditutup!"
"Baik, Bang." Ali mengangguk sopan, kemudian melakukan yang disuruh selagi Iko menjatuhkan dirinya ke ranjang, lanjut tidur.
***
.
.
.
Out of topic, sebenarnya Iko Oriaga ini adalah tokoh utama di cerita yang lain. Sampe sekarang belum ada judulnya. Kupikir... kalau dikenalin di sini, why not? Toh, peran dia nggak kecil.
Dia kugambarin sebagai Pak Polisi yang keliatan klemar-klemer tapi otaknya encer pol. Tipikal detektif gitu. Ditaksir sama cewek yang konstan ngebully dia sejak SMA. Ceweknya mayan gila si. Ngasih love bombing ke Iko, tapi Iko-nya tidak mengerti. Detektif bodo emang.
Oh iya seperti yang udah kujelaskan di awal, tokoh-tokoh di sini menyesuaikan plot ceritanya ya. Yang nyari Edgar sabar dulu. Yang serba abu-abu di awal akan mulai dibuka di bab-bab selanjutnya. Berkat Ali yang sat set demi agar Bonnie tidak kumat nekatnya T_T.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top