05 | THE HANGED MAN

Kontemplasi

Di balik sosoknya yang dikenal sebagai sosialita baru, sebenarnya Arleen adalah orang yang percaya takhayul. Dia percaya musibah selalu membawa pertanda. Belakangan ini tidurnya tak lelap karena mencurigai suaminya punya wanita simpanan. Rudi selalu pulang larut, cuek, dan dingin. Arleen khawatir hati suaminya dimiliki perempuan lain.

Berbekal kecurigaan itu, Arleen ingin membuktikan kalau suaminya berselingkuh lewat tarot Madame Majo. Ramalannya terkenal lebih jitu dari dukun mana pun. Kenalan yang pernah ia rekomendasikan untuk berkonsultasi dengan Madame Majo sudah memberinya testimoni memuaskan.

Siapa sangka kalau dukun tarot yang dulu bukan siapa-siapa, kini jadi kebanjiran order gara-gara rekomendasi isengnya setelah membaca iklan mereka di media sosial?

Merasa dirinya berjasa bagi sang dukun tarot, Arleen menghubungi -kalau bukan meneror, Ali, manager Madame Majo. Ucapannya pada para istri pejabat dan pengusaha kenalannya akan berdampak bagi karir dukun itu. Jika masih ingin langgeng di industri ini secara eksklusif, sebaiknya Madame Majo menganggap Arleen sebagai klien khusus.

Sekarang di sinilah dia. Berhadapan dengan Madame Majo yang misterius dengan hanya dipisahkan sebuah tirai tipis yang menjadi penyekat di atas meja bundar. Dari tempat Arleen duduk, ia dapat melihat siluet Madame Majo. Seorang gadis muda, dia yakin. Perawakannya biasa-biasa saja. Jemarinya tampak lentik saat mengocok kartu tarot, dan kuku-kukunya dipotong pendek rapi. Gelangnya bergemerincing saat tangannya bergerak.

Arleen tersenyum tipis. Madame Majo telah menandatangani kontrak kerjasama untuk menjadi guru spiritual pribadinya. Mengapa repot-repot ingin tampak misterius padahal tak ada klausul tentang itu di dalam kontrak?

Ah, masa bodoh! Lebih baik fokus dengan masalahku sendiri, pikirnya.

Arleen menghirup napas dalam-dalam agar lebih rileks sebelum memulai sesinya. Dia tak menemukan bau kemenyan atau dupa. Yang ada justru bau daun teh yang baru diseduh, serta musik meditasi dari instrumen handpan.

"Sebelum kita mulai, ada beberapa hal yang harus saya sampaikan dan tanyakan."

"Oke," sahut Arleen seraya membetulkan posisi duduknya. Suara Madame Majo terdengar familier, tapi Arleen tak yakin pernah mendengarnya di mana.

"Perkenalkan, saya Madame Majo. Anda menyewa jasa saya untuk menginterpretasikan kartu tarot yang Anda pilih, bukan meramal masa depan secara akurat atau mendetail."

Arleen sedikit kecewa mendengarnya. Ternyata yang Madame Majo janjikan tidak semuluk dukun-dukun yang pernah ditemuinya.

"Tarot adalah sarana yang membantu Anda mendapat wawasan lebih luas tentang situasi yang sedang Anda alami saat ini lewat intuisi dan perkiraan hasil yang potensial. Saya hanya akan menginterpretasikan kartu-kartu yang Anda tarik sesuai filosofi yang saya pahami. Menginterpretasikan tarot berbeda dengan ramalan. Jadi, Anda boleh mempercayai interpretasi saya jika memang sesuai dengan yang Anda alami saat ini." Madame Majo menjelaskan secara lugas.

"Baik, saya mengerti."

"Kita mulai sekarang?"

Arleen mengangguk. Sebenarnya dia gugup dan gelisah. Dia takut menarik kartu yang menjadi pertanda sial baginya. Namun, pesan Madame Majo menyingkirkan keraguan Arleen.

"Zodiak dan shio Anda?" Madame Majo menunjukkan semua tarot secara terbalik dengan menyeberangi tirai penyekat dari bawah.

"Zodiak saya Leo. Saya lahir di tahun ular."

Dari balik tirai, Arleen dapat melihat kepala Madame Majo bergerak naik turun mendengar jawabannya.

"Dari tujuh puluh delapan kartu yang ada di hadapan Anda, pilih sepuluh kartu. Sebelum memilih, pikirkan pertanyaan yang paling ingin Anda ketahui jawabannya. Tarik napas dalam-dalam dulu, lalu tenangkan pikiran agar bisa fokus."

Arleen melakukan yang disuruh. Sepuluh kartu dipilihnya dengan hati-hati dan penuh perhitungan. Setelah kartu dipilih, Madame Majo menyingkirkan kartu yang lain.

"Selagi Anda memikirkan situasi Anda saat ini, pilih tiga kartu yang mewakili masa lalu, masa depan, dan keinginan terpendam Anda."

Arleen memilih tiga dari sepuluh kartu yang ada. Madame Majo menyimpannya di sebelah kanan. Tidak ditumpuk, melainkan secara sejajar.

"Pilih satu kartu yang Anda harapkan akan terjadi dalam waktu dekat."

Arleen memilih satu, lalu Madame Majo menyimpan kartunya lagi.

"Sekarang ada enam kartu yang tersisa. Di antara kartu-kartu ini, masing-masing mewakili kesulitan, kesempatan, dan harapan. Gunakan intuisi Anda untuk memilih tiga yang akan berguna bagi Anda."

Kali ini, Arleen kelihatan cukup sulit memilih. Tangannya sampai gemetar ketika menarik masing-masing kartu yang dia inginkan.

"Tiga kartu terakhir mewakili rintangan. Anda harus memilih salah satu agar kartu tersebut tidak masuk dalam interpretasi nantinya."

Arleen mengeluarkan satu kartu yang tidak dia inginkan. Kini Madame Majo menyejajarkan sembilan kartu yang telah dipilih Arleen, lalu membukanya satu persatu. Tiga di antaranya adalah the Five of Swords, Seven of Swords, dan the Devil. Madame Majo membutuhkan waktu sangat lama untuk mempelajari seluruh kombinasi kartu-kartu itu. Setidaknya bagi Arleen.

"Madame?" panggil Arleen.

"Dunia berputar di sekeliling Anda." Madame Majo tiba-tiba berujar. "Itulah yang Anda pikirkan selama ini. Nyatanya, tidak. Anda terbawa arus deras dengan berpikir kalau Anda lah arus itu. Terjadi sesuatu pada rumah tangga Anda belakangan ini?"

Arleen langsung tersenyum. "Iya, Madame."

"Arus kuat dalam rumah tangga Anda gagal membawa Anda ke tempat yang Anda inginkan. Apa yang membuat Anda tidak puas?"

"Suami saya... udah nggak perhatian lagi. Saya ingin tahu apakah dia berselingkuh di belakang saya? Kalau iya, siapa orangnya?"

"Tarot saya tidak bisa memberitahu hal sedetail itu."

Raut Arleen berubah tak sabar. "Lalu, apa yang bisa Anda beritahu?"

"Lima pedang, tujuh pedang, dan sang iblis umumnya mengindikasikan perasaan obsesi dan kecemburuan." Madame Majo menyentuh masing-masing kartu yang dimaksud. "Obsesi dan kecemburuan itu mendorong Anda untuk merebut kebahagiaan orang lain. Kebahagiaan yang bukan milik Anda."

Arleen membisu. Rahangnya mengeras dalam sekejap.

"Kombinasi kartu yang Anda tarik dalam keadaan sadar memberitahu dosa yang telah Anda perbuat demi memperoleh kebahagiaan itu. Anda melakukan apa pun demi masuk ke dalam sebuah arus, tempat yang seharusnya bukan untuk Anda. Arusnya begitu kuat sampai Anda tak menyadari kalau sebenarnya saat ini diri Anda terlempar ke sana kemari menuju kehancuran."

"Omong kosong!"

Arleen bangkit berdiri sambil menggebrak meja.

"Omongan ngawur! Aku bayar kamu puluhan juta untuk ngasih tahu siapa selingkuhan suamiku! Bukannya bullshit seperti yang barusan kamu bilang! Dasar dukun gila!" Arleen mengambil tasnya lalu menghambur keluar dari bilik konsultasi sambil mengumpat.

Suara Arleen yang mencak-mencak, serta Ali yang coba menenangkannya terdengar sampai ke dalam bilik. Madame Majo tak bergerak. Begitu pun saat pintu depan dibanting kasar, diikuti deru mobil Arleen yang menjauh.

Sesaat kemudian, Ali datang dan membuka tirai penyekat.

"Apa-apaan, Bon?" Nada Ali lebih terdengar khawatir daripada kesal karena klien mereka pergi sambil marah-marah.

Bonnie yang sejak tadi menunduk perlahan mengangkat kepalanya. Wajah Bonnie pias seolah baru mengalami syok. Ali seketika berlutut di depan Bonnie dan memasangkan sepatu yang tergeletak di samping kakinya. Dengan begitu, Ali berharap Bonnie kembali dari mode divination.

"Bon, sadar!"

Selesai memasangkan sepatu, Ali coba mengguncang pundak Bonnie.

Mulut Bonnie bergerak-gerak. Pandangannya mulai fokus. Begitu tatapannya bersirobok dengan Ali, Bonnie terisak.

"Kenapa aku bisa lihat masa lalu? Apa aku dipermainkan lagi?" gumamnya.

Ali tak mengerti, jadi dia kembali mengguncang tubuh Bonnie lebih keras daripada tadi. "Kamu ngomong apaan, sih? Masa lalu apa? Siapa yang mainin kamu?"

Bonnie menurunkan tangan Ali selagi menenangkan diri dengan mengatur pernapasan.

"Selama ini aku cuma sanggup mengintip masa depan, kemampuan yang kudapat secara turun temurun dari leluhur di sisi ibuku. Waktu aku membaca Arleen, secara nggak sengaja, aku justru melihat ingatannya. Tepatnya kapan, aku nggak yakin. Masa depannya malah buram, Al."

"Apa tepatnya yang kamu lihat?"

Bonnie menelan ludah. Bibirnya tiba-tiba terasa kering.

"Erika." Jawaban yang keluar dari mulut Bonnie terdengar seperti bisikan. Dia takut menyebut nama itu keras-keras. "Aku melihat mereka bertengkar -enggak, maksudku... aku melihat Erika di depanku, seolah bertengkar denganku. Aku nggak tahu apa yang dia katakan. Suaranya nggak kedengaran. Dia menyumpahiku. Dan bajunya... kurasa itu baju yang sama dengan yang dia pakai sewaktu ditemukan tewas."

"Maksudmu..." Kalimat Ali menggantung.

Bonnie buru-buru mengangguk. "Erika nggak bunuh diri. Dia pasti dibunuh. Arleen yang membunuhnya! Aku yakin, Al! Kita harus ngasih tahu polisi!"

Ali jatuh terduduk. Bukan karena syok, melainkan tak habis pikir. Bonnie tampak histeris sekarang. Jelas bukan logikanya yang sedang bicara. Mau menyuruh istighfar, tapi Bonnie beda server dengannya.

"Bonnie, dengar dulu!" Setelah Bonnie jauh lebih tenang dan tampak bisa diajak bicara, Ali meneruskan. "Apa yang kamu lihat nggak bisa dibuktikan di pengadilan. Kamu bukan saksi mata." Ia menghela napas panjang. "Kalau pun baju yang kamu lihat sama, lalu kenapa? Bisa aja kan kalau Arleen memang ketemu mendiang Erika di hari yang sama dengan saat dia menghilang. Belum tentu Arleen yang mencelakainya. Polisi bilang Erika bunuh diri. Kasus itu udah ditutup bertahun-tahun lalu. Lagian... memangnya kamu yakin kalau yang kamu lihat tadi itu betulan terjadi di masa lalu?"

Ekspresi Bonnie tampak terluka. "Kamu nggak percaya aku?"

Ali membuang muka sekilas. "Kamu bilang ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ditambah, belakangan ini kamu kelihatan sedikit terobsesi dengan kematian Erika. Kayak bukan kamu yang biasanya, Bon."

Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa waktu.

"Kalau gitu, aku harus mastiin apa yang kulihat." Bonnie memandang Ali yang masih terduduk di lantai. "Aku harus ketemu Arleen lagi supaya bisa melihat lebih banyak. Aku mau menyelidiki kematian Erika demi kewarasanku sendiri."

Ali geleng-geleng kepala. "Untung udah tanda tangan MoU sama Arleen. Mungkin kita masih punya kesempatan buat minta maaf."

"Kok minta maaf?" Bonnie langsung defensif.

"Ambil hatinya dulu, baru pikirin langkahmu selanjutnya. Kalau mau menyelidiki, ya mulai dari yang paling dasar, Bon!" balas Ali tak mau kalah.

***

.
.
.
.
.

Apa kabar kalian?

Liburan panjang pada mudik ke mana nihhhh?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top