03 | ACE OF WANDS

Hasrat Yang Tampak

"Nggak mungkin!"

Bonnie terduduk di kursi meja rias, cukup terguncang. Potongan kenangan muncul di benaknya.

Lima tahun lalu, saat ia bertemu Erika di toilet untuk pertama dan terakhir kalinya, visi tentang masa depan Erika serta bayinya berkelebatan bagai kereta ekspres di depan mata Bonnie. Visi yang dilihatnya cukup mendetail. Di mana Erika sedang bertaruh nyawa di meja persalinan akibat bayinya lahir dalam posisi sungsang. Selain itu, Erika mengalami pendarahan hebat hingga wajahnya sepucat kertas dengan peluh mengalir deras.

Bonnie hampir yakin Erika dan bayinya meninggal saat persalinan.

Sepulangnya dari reuni akbar, Bonnie ingin memastikan kapan visi itu akan terjadi supaya dia bisa memperingatkan Edgar dan Erika agar bersiap untuk yang terburuk. Namun, dalam jarak waktu kurang dari dua jam, ramalannya berubah. Hasil interpretasi tarot tentang Edgar dan Erika menunjukkan kalau hidup mereka bahagia dengan seorang bayi hadir ke tengah-tengah mereka. Berapa kali pun Bonnie mengocok kartunya, berbagai metode interpretasi dicobanya, semuanya menunjukkan hasil yang sama.

Erika dan bayinya selamat. Bayi lain akan hadir empat tahun setelahnya. Edgar bahagia.

Sejak tahu keluarga itu baik-baik saja, Bonnie tak lagi berpikir untuk mengintip keadaan mereka lewat tarot. Dia juga tak mendapat visi lagi tentang Edgar. Atau tentang jodohnya kelak.

Tangan Bonnie bergerak untuk menggapai laci. Ia mengeluarkan kotak harta karunnya yang berisi sekilo Inaco Jelly. Sepuluh jeli rasa melon disusunnya sejajar selagi beradu pandang dengan dinosaurus hijau yang mengangkat jempol ke arahnya. Seolah bangga akhirnya Bonnie gagal mengantisipasi ramalannya sendiri. Bonnie buru-buru mengembalikan kotak harta karunnya ke laci supaya dinosaurus pada bungkus jeli tak lagi mengejeknya.

Gelombang rasa bersalah yang menerjang Bonnie perlahan ditenangkan oleh manisnya jeli di dalam mulut. Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Kegelisahan kembali menyelimuti Bonnie begitu semua jeli habis.

Bonnie bangkit berdiri lalu berjalan mondar-mandir di kamarnya.

"Leluhur mana yang udah mainin aku?"

Sepanjang karirnya menjadi tarologist, ini baru pertama kali. Sungguh fatal. Kecerobohan Bonnie gagal mencegah seseorang -oh, tidak! Dua orang kehilangan nyawa karena kecerobohannya!

Suara ketukan pintu mengejutkan Bonnie hingga dia terperanjat.

"Bonnie?"

"Ya?" Mulut Bonnie otomatis menjawab.

"Tamu-tamunya Ayah mau pamitan, Nak."

Bonnie melihat jam dinding. Sudah satu jam dia di dalam kamar.

"Kamu nggak pa-pa, Bon? Lagi ngapain di dalam?" Suara Pak Phillip kembali terdengar.

Bonnie segera membuka pintu agar ayahnya tak khawatir.

"Maaf, Yah. Bonnie ketiduran lagi..." Ia mengucek mata demi mendukung alasan.

Pak Phillip mengangguk maklum lalu membimbing putrinya menuju ruang tamu tempat semua tamunya menunggu. Edgar, Rudi, dan istrinya bangkit dari sofa begitu melihat keduanya muncul.

Mata Bonnie tak sanggup melihat Edgar. Ia terus menunduk agar wajahnya tak dikenali. Mereka pernah berjumpa saat reuni akbar SMA. Meski hanya sekilas, Bonnie tak ingin mengambil risiko.

"Mungkin kamu udah lupa sama Edgar dan Rudi, mereka mahasiswa Ayah dulu. Kamu pernah ketemu mereka waktu kecil pas nemenin Ayah kerja," ucap sang ayah. "Yang ini Om Rudi, dan itu istrinya, Tante Arleen. Kalau yang ini Om Edgar."

Bonnie terus mengangguk tanpa mendongak. Dia ingat wajah Edgar, tapi tak yakin dengan perubahannya setelah bertahun-tahun tak berjumpa. Jantungnya terus berdegup kencang sejak melihat Edgar muncul di rumahnya.

Sebuah tangan berjemari lentik dengan kuku yang diwarnai kuteks nude terulur ke arah Bonnie. Bersamaan dengan suara lembut seorang wanita.

"Halo, Bonnie. Panggil saya Kak Arleen, ya?"

Pak Phillip tertawa. Mengira itu candaan semata. Usia Arleen dan Bonnie terpaut 10 tahun, sedangkan dengan Rudi dan Edgar jaraknya lebih jauh lagi. Ketika menyadari dua mantan mahasiswanya tak ikut tertawa, senyum Pak Phillip perlahan memudar. Dia berdeham kecil agar tak canggung.

Ragu-ragu Bonnie menyambut uluran tangan itu. Kulitnya begitu halus. Genggamannya pun lembut. Saat Bonnie mengangkat kepala, dilihatnya wajah jelita yang tak sempat ia amati sebelumnya. Arleen tersenyum lebar, menunjukkan giginya yang baru diveneer.

Mata Bonnie otomatis bergerak ke arah Edgar. Napasnya hampir tercekat. Edgar tak berubah. Sosok Edgar yang kini memiliki uban tipis di masing-masing sisi kepala, mengingatkan Bonnie pada sosok Edward Lewis dalam film legendaris Pretty Woman. Di usia sematang itu, Edgar tetap terlihat menarik di mata Bonnie. Kerut senyuman menghiasi wajah lelaki itu. Matanya yang sayu dan teduh membuat Bonnie sulit berpaling. Seketika... pipinya bersemu.

"Anak saya memang pemalu," seloroh Pak Phillip disambut tawa yang lain, termasuk Edgar.

Bonnie kembali menundukkan kepala. Edgar tak kelihatan mengenalinya. Syukurlah!

Setelah basa-basi singkat, akhirnya para tamu itu berpamitan dan pulang dengan mobil terpisah. Begitu pintu depan ditutup, Bonnie mengekori ayahnya bagai induk ayam. Hanya ke toilet saja Bonnie tidak diizinkan ikut.

"Ada yang mau kamu sampaikan, Bon?" tanya Pak Phillip setelah ia mengistirahatkan badan di sofa sambil menyalakan TV. Bonnie duduk di sebelahnya, agak menjaga jarak.

"Mereka tadi main ke sini karena Ayah undang atau datang sendiri?"

"Silaturahmi aja. Udah lama sejak kami ketemu terakhir kali. Memangnya kenapa?"

"Om Edgar sama Om Rudi kuliah di tempat Ayah ngajar? Kok Bonnie nggak ingat?"

Pak Phillip mengernyit. "Memangnya kamu harus tahu semua mahasiswa Ayah di kampus dulu? Ada ribuan, Bon. Ayah aja belum tentu ingat semua."

Bonnie menggeser tubuhnya mendekat. "Ceritain tentang mereka dong, Yah?"

Mendengar itu, Pak Phillip perlahan tersenyum. Sudah lama mereka tidak mengobrol. Dan Bonnie tidak pernah berinisiatif duluan kecuali ada perlu. Volume TV langsung dikecilkan oleh Pak Phillip agar bisa fokus dengan momen ini.

"Rudi itu mahasiswa yang paling Ayah ingat. Rudi Mario, namanya. Ayah dengar bapaknya wakil ketua DPR di zaman itu. Sewaktu mahasiswa lain cuma naik sepeda atau bemo buat ke mana-mana, Rudi udah punya BMW. Ayah pernah dianterin pulang naik itu."

Bonnie mengangguk tak sabar. "Kalau yang satunya?"

"Edgar?" tanya Pak Phillip memastikan, pandangannya lalu menerawang. "Ayah nggak banyak ingat tentang dia di masa lalu selain anaknya rajin dan pernah jadi asisten dosen lain. Waktu nikahannya, Ayah datang sama ibumu. Istrinya cantik sekali."

Semakin ayahnya bercerita tentang Edgar, semakin dekat pula posisi duduk Bonnie dengan sang ayah. Bonnie mendengarkan dengan penuh minat.

Pak Phillip menghela napas berat. "Akhir-akhir ini dia lagi kena musibah, Bon. Istrinya meninggal dua tahun yang lalu. Bunuh diri. Ironisnya, dia juga membawa putra mereka yang masih balita."

Pupil Bonnie membulat. Mulutnya sulit digerakkan. Bunuh diri terngiang di kepalanya sejak sang ayah menyebut kata itu.

"Edgar perlu waktu lama untuk pulih dari duka. Bisnisnya hampir hancur kalau bukan Rudi yang menyelamatkan. Ayah bersimpati dengan nasibnya, sekaligus terharu mendengar kuatnya persahabatan mereka," lanjut Pak Phillip. Mengamati ekspresi putrinya yang agak aneh, Pak Phillip mencolek bahunya. "Kok bengong?"

Bonnie menyandarkan punggungnya ke sofa. Benar-benar lesu.

"Kamu nggak kepo sama tamu yang satu lagi? Kak Arleen?"

Tidak, Bonnie tidak penasaran sama sekali. Dunia di sekelilingnya terlanjur memudar begitu mendengar musibah yang dialami keluarga Edgar. Akhirnya Bonnie bangkit dari sofa.

"Bonnie mau mandi dulu. Tadi kan nggak jadi gara-gara ketiduran."

***

Bilik tersembunyi yang berada di balik rak tinggi berisi odner berbagai merk itu sengaja dipilih Bonnie sebagai tempat konsultasinya. Klinik divinationnya beroperasi di ruangan yang penuh nuansa magis dari berbagai benda-benda nyentrik yang ada di sana. Mulai dari dupa, kerangka tangan manusia, lampion biru, hingga buku-buku bersampul kulit yang diyakini para pengunjung sebagai kitab terlarang. Padahal seluruh halamannya kosong.

Di belakang Bonnie terdapat cermin besar dengan pinggiran berukir sebagai ornamen agar para kliennya dapat melakukan refleksi diri selagi nasib mereka dibaca oleh Madame Majo.

Ali membuka tirai tebal yang menjadi penghalang pemandangan di dalam bilik dengan toko alat tulis yang dijadikan kedok usaha. Semua lilin di atas meja konsultasi sudah padam. Klien mereka juga sudah pergi sejak tadi. Namun Bonnie masih duduk menyilangkan kaki di tempat yang sama sambil menggulir layar tablet. Rautnya amat serius. Melihat Bonnie masih bertelanjang kaki, Ali geleng-geleng kepala. Bonnie selalu melepas alas kakinya saat berkonsentrasi penuh, terutama setiap bertemu klien. Kesan gadis hippie makin tak terelakkan.

"Ngelihatin apa sih dari tadi?" Ali memungut sepasang sandal Buffalo di rak sepatu untuk diletakkan di sebelah kaki Bonnie. "Bon?" panggilnya lagi setelah Bonnie sama sekali tak bereaksi.

"Al, selama kamu jadi managerku, berapa kali interpretasi tarotku salah?"

Ali mengernyit sambil menggaruk pelipis.

Kali ini Bonnie mendongak. "Berapa kali visiku meleset?"

"Tumben. Ada klien yang komplain?" Ali malah balik bertanya.

Usai mengamati raut Bonnie yang kelihatan lebih gelisah dari biasanya, Ali segera menarik satu-satunya kursi yang tersedia di dekat Bonnie.

"Ada apa?"

Alih-alih langsung menjawab, Bonnie menunjukkan layar tabletnya yang menampilkan belasan tab. Salah satunya berisi artikel berita penemuan jenazah wanita di dalam mobil yang terbawa arus sungai saat terjadi banjir.

"Kamu inget reuni akbar waktu kita ketemu dulu?" Bonnie menunggu Ali mengangguk sebelum melanjutkan. "Aku pernah bilang kalau cowok yang jadi pembicara di podium adalah jodoh masa depanku. Itu istrinya."

Jika awalnya Ali tak terlalu berminat pada artikel itu, kini ia menaruh perhatian penuh untuk membaca setiap paragraf yang ada di sana.

"Sejak semalam aku ngubek-ngubek internet buat nyari berita spesifik tentang kematiannya. Mereka bilang itu bunuh diri akibat depresi paska melahirkan." Bonnie melanjutkan.

"Lalu apa hubunganmu dengan ini?" Ali tampak tak mengerti.

"Aku ketemu wanita ini di reuni akbar waktu itu. Visi tentang dia kontras dengan interpretasi tarotku. Itu pertama kalinya masa depan yang kulihat bertentangan. Kuputuskan buat percaya sama hasil interpretasi karena udah berkali-kali nunjukkin kalau hidup keluarga kecil itu bahagia. Tapi kenapa dia justru bunuh diri?"

Cukup lama Ali menatap Bonnie dengan ekspresi menilai.

"Bonnie," Ali meletakkan tablet ke meja. "Kamu pernah dengar kalau bunuh diri itu menentang takdir yang ditetapkan Tuhan?"

Bonnie mengangguk.

"Artinya, keputusan untuk melakukan itu sepenuhnya berada di tangan manusia. Sedangkan visi dan hasil interpretasimu menunjukkan skenario alami yang sudah ditentukan sejak awal. Wajar kalau kamu nggak melihatnya."

Bahu Bonnie merosot. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, tampak frustrasi.

"Kemarin suaminya ke rumahku. Ternyata dia pernah jadi mahasiswa ayah. Aku merasa bersalah banget sampai-sampai aku nggak berani lihat mukanya. Aku takut dia tahu kalau aku tahu sesuatu. Aku merasa seolah-olah aku terlibat dalam musibah itu."

Mendengar itu, Ali sontak mengambil tablet itu lagi lalu menutup semua tab yang berhubungan dengan kematian Erika. Ia berharap Bonnie tidak terlalu overthinking--

"Kalau dipikir-pikir, kematiannya nggak masuk akal." Bonnie bergumam.

Lirikan mata Ali bergerak amat lambat ke arah Bonnie. Khawatir kalau Bonnie tak akan melupakan ini dengan mudah. Entah karena ego Bonnie yang terluka karena ternyata kemampuan mengintip masa depannya tak sebaik itu, atau akibat rasa bersalah karena gagal mencegah kematian seseorang.

"Jenazah bayinya ditemukan di bagasi, bukannya di dalam mobil bersama ibunya."

Ali ikut-ikut menyandarkan punggung ke kursi sambil mengamati Bonnie. "Depresi paska melahirkan mampu membuat seorang ibu ingin menghabisi nyawa anaknya. Mungkin saat itu dia benci banget sama anaknya sampe nggak mau lihat dia. Terdengar kejam, memang. Tapi realita semacam itu memang ada."

"Jenazah mereka langsung dikremasi. Edgar nggak menyutujui otopsi." Bonnie seakan tak mendengar asumsi Ali. "Kenapa?"

"Jenazah istri dan anaknya ditemukan seminggu setelah mereka hilang. Terbawa arus sungai yang lagi banjir. Bayangin aja gimana rusaknya—maksudku, aku paham alasan suaminya nggak ingin jenazah mereka diotopsi. Toh, polisi juga sepakat menganggap itu bunuh diri." Ali menghela napas berat. "Bon, udahlah... hal-hal seperti ini hanya akan bikin mentalmu terganggu. Musibah yang dialami keluarga Edgar bukan kesalahanmu. Kamu hanya pengamat. Seorang pengamat memang nggak sepatutnya buat ikut campur."

Bonnie mungkin mengangguk seolah mengerti, tapi Ali tahu kalau sebenarnya Bonnie sedang mendebatnya dalam hati.

***

.

.

.

For your information... Love+Prophecy versi yang sekarang bukan lagi cerita romance age gap manis antara Bonnie dan Edgar. Kali ini ceritanya lebih kompleks. Beberapa tokoh sengaja kuhilangkan, personality karakter sengaja kuubah, tokoh-tokoh baru muncul, semua itu berhubungan dengan ke mana cerita ini akan dibawa. Genre ini belum pernah kutulis sebelumnya. Jadi aku merasa tertantang buat lihat gimana hasilnya nanti.

Semoga kalian juga sama excitednya ❣❤❣

Vote kalau suka, yaaa...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top