01 | ACE OF CUPS

Spiritualitas dan Intuisi

5 Tahun Kemudian...

"Seperti mati lampu ya sayang, seperti mati lampuuu..." Bukan hanya pinggul yang bergerak mengikuti irama lagu, melainkan kepala Pak Phillip juga. "Cintaku tanpamu ya sayang, bagai malam tiada berlaluuu... ekhem!" Pak Phillip berdeham. "Cengkoknya kurang pas," gumam beliau seraya membetulkan simpul sarung di pinggang. Saking seringnya dipakai, motifnya sudah tak jelas lagi. Pak Phillip menarik napas dalam-dalam, mengambil ancang-ancang untuk berdendang. "Seperti mati lampu ya say-"

"Sore, Pak Rete!" sapa Pak Iskandar -tetangga depan, yang hendak memasukkan motornya ke garasi.

"Eh, Pak Is!" Pak Phillip melambaikan tangan dari teras, balik menyapa. "Dari mana, Pak?"

"Biasa, habis manasin motor aja keliling kompleks! Masa sayur terus yang dipanasin, motornya enggak?" seloroh si Tetangga. Pak Phillip -yang biasa dipanggil Pak Rete oleh warga sekitar sebagai sebutan akrab lain dari Pak RT, ikut tertawa.

"Ngomong-ngomong tentang sayur yang dipanasin, Pak Is mau lodeh, nggak? Baru saya panasin, nih. Makin sering dipanasin, makin enak!"

"Libur dulu, Pak Rete! Lagi ngurangin santan biar nggak kolesterol!"

Pak Phillip berdecak pelan, menyayangkan keputusan Pak Iskandar. "Waduh, padahal isiannya nangka muda. Sengaja saya banyakin karena mau bagi-bagi."

Pak Iskandar terdiam sebentar. Istrinya masih di kampung. Ujung-ujungnya dia akan ke warteg depan kompleks untuk beli makan malam. Lagipula, Nangka muda adalah sayur favoritnya.

"Ya, udah. Bentar, Pak! Saya ke situ abis masukkin si Bleki." Pak Iskandar berujar sambil menunjuk motor Astrea kesayangannya.

Pak Phillip dikenal tetangga sebagai pribadi yang ramah dan menyenangkan. Sosoknya cukup dihormati dari ujung kompleks ke ujung satunya. Tidak ada yang tidak kenal beliau. Selain menjadi ketua RT selama dua periode berturut-turut, beliau juga terkenal pandai memasak. Jika sedang tidak sibuk dengan jadwal mengisi kuliah, seminar, atau penelitian, biasanya beliau suka mengundang tetangga untuk makan di rumah. Sejak ditinggalkan oleh sang istri dua tahun lalu, beliau mencari kesibukan lain. Kursus memasak dilakoni demi menghibur diri dari kesepian.

"Wah, harum betul!" puji Pak Iskandar begitu tutup wadah dibuka. Uap tipis dari sayur lodeh yang baru dipanaskan membangkitkan selera.

"Pake sambal terasi dan tempe goreng, pasti tambah joss!" Pak Phillip meletakkan wadah lain berisi nasi hangat ke tengah-tengah meja. "Ayo, ayo, silakan!"

"Tumben sepi, Pak. Anak gadis ke mana?"

"Ada Bonnie, nggak ada Bonnie, ya begini-begini aja, Pak. Sama aja sepinya."

Pak Iskandar terkekeh. "Saya ingat dulu dia bawel sekali."

"Sejak ibunya meninggal, Bonnie sering puasa ngomong sama saya. Kadang saya colek bahunya dulu, biar muncul suara."

Tawa Pak Iskandar menggelegar memenuhi ruang makan.

"Oh, saya baru inget sesuatu, Pak. Tadi saya ketemu pemilik klinik hewan baru di ruko depan. Dia nanyain alamat Pak Rete, mau kenalan, katanya. Masih muda. Mungkin seumuran Bonnie."

Kepala Pak Phillip mengangguk-angguk. "Ya, ya... kemarin sempat komunikasi sama saya lewat telepon. Namanya unik, dr. Sabrang. Dari suaranya memang kedengaran masih muda."

"Kelihatannya juga masih single. Saya ajak ikut badminton-an besok Minggu. Sekalian biar akrab sama warga lain. Nggak pa-pa, toh, Pak?"

"Malah bagus, Pak Is! Biar makin rame. Saya juga mau ajak si Bonnie, biar bergaul sama yang muda-muda. Tahu, nggak, Pak?" Pak Phillip mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Pak Iskandar melakukan hal yang sama. "Kemarin dapat undangan nikah dari Ratih, putrinya Pak Parjo. Dia malah nanya ke saya, Ratih itu yang mana. Padahal mereka temen ngaji waktu kecil."

"Pak Rete ini bagaimana, toh?" Pak Iskandar berdecak masam. "Pantesan Bonnie pura-pura lupa. Mereka 'kan nggak akur. Pak Rete nggak inget kejadian dulu waktu mereka masih kecil?"

"Kejadian yang mana, Pak?"

"Waktu pulang ngaji, Bonnie nangis di sepanjang jalan. Kerudungnya hilang. Dia diusir sama teman-temannya dari musholla karena dia kristen. Ratih ikut-ikutan jadi provokator. Wah, itu saya inget betul. Suaranya Bonnie kedengeran sampai rumah saya semalaman. Ikut sedih hati saya dengernya."

Semakin mendengar cerita Pak Iskandar, maka semakin merasa bersalah pula Pak Phillip dibuatnya. Beliau sering menasehati Bonnie agar lebih sering bergaul dengan teman-teman perempuan di kompleks tanpa memikirkan kemungkinan kalau Bonnie tak menyukai mereka.

"Anak-anak belum mengerti konsep toleransi," ucap Pak Phillip setelah sekian lama terdiam. "Bonnie hanya ingin diterima oleh mereka, makanya dia mengikuti apa yang mereka lakukan. Termasuk pergi ngaji." Beliau tertawa kecil mengingat kepolosan putrinya. "Padahal dia anak yang menyenangkan, kenapa nggak pernah ngajak temen ke rumah, ya?" tanya beliau setengah bergumam.

"Yang biasanya dateng ke rumah, siapa, Pak? Pacarnya Bonnie?"

Cuma satu orang yang memenuhi kriteria itu.

"Ali? Yang biasa naik Supra?" Pak Phillip berdecak pelan setelah Pak Iskandar mengangguk mengiakan. "Itu teman semasa SMA-nya dulu. Baru akrab setelah kuliah, sampai sekarang."

Bagi seorang ayah, melihat anak gadisnya bergaul dengan sesama perempuan jauh lebih baik ketimbang laki-laki, apalagi punya pacar. Walau usia Bonnie sudah dewasa, di mata Pak Phillip, sosok Bonnie tetap jadi anak kecil yang butuh perlindungan. Ide tentang pacar mulai membuat Pak Phillip kepikiran sehingga beliau tampak sedikit gelisah.

"Permisi!"

Seseorang mengetuk pintu depan. Suaranya feminin. Ketukan berikutnya datang lagi. Pak Iskandar dan Pak Phillip kompak menoleh.

"Biar saya buka dulu, Pak. Silakan dilanjut makannya!"

Begitu membuka pintu depan, Pak Phillip sontak memegangi dadanya. Jantung beliau hampir copot ketika melihat penampakan tamu yang datang. Jelas-jelas dia seorang perempuan. Namun ada yang ganjil... tapi apa, ya?

"Astaghfirullah! Ali?" tanya Pak Phillip memastikan.

"Lho, Om udah pindah server?" Ali dalam wujud perempuan jadi-jadian lebih bingung karena respons Pak Phillip barusan sehingga suara femininnya berganti dengan suara yang biasa.

Pak Phillip buru-buru menggeleng.

"Dada kamu diisi apa?" tunjuk beliau pada dada Ali yang tampak montok di balik gaun terusan ungu yang ia kenakan, cocok dengan warna kulit.

Ali memasukkan satu tangan ke balik baju lalu mengeluarkan segumpal kaus kaki. Kini dadanya rata sebelah. Ali pikir dirinya cantik. Demi menegaskannya, dia mengibaskan wig yang terurai di atas bahu. Tidak rugi dia membayar MUA. Pak Phillip sampai terbengong-bengong begitu.

"Bonnie udah pulang, Om?"

Pak Phillip menggeleng. "Kamu mau ngisi acara di mana?"

Yang ditanya cuma cengengesan sambil garuk-garuk kepala sampai wignya bergeser.

"Hari ini Bonnie 'kan ulang tahun, Om. Mau saya kasih surprise."

"Ini surprisemu?" tunjuk Pak Phillip.

Ali mengangguk. "Kayaknya Bonnie nggak pernah pergi hang-out sama temen cewek." Dia menunjuk dirinya sendiri. "Hadiah saya, Om. Ngajak dia main. Supaya dia tahu rasanya punya temen cewek. Mau ke salon dulu nanti."

Pak Phillip kehabisan kata-kata sampai beliau tampak linglung sesaat.

"Kamu nggak malu dandan begini?"

"Enggak, Om. Saya 'kan cantik." Ali cengengesan lagi.

Pak Phillip geleng-geleng kepala. "Bonnie belum pulang. Kamu tunggu aja di kamarnya."

Ali sontak terkejut. "Eh, boleh, Om?" Bukannya apa, selama bertahun-tahun kenal Bonnie, Ali tak pernah diizinkan masuk kamar. Dia hanya diperbolehkan bertamu di ruang tamu atau ruang tengah.

"Sekalian totalitas. Kamu perempuan hari ini." Dahi Pak Phillip berkerut dalam, bingung apakah harus lega atau miris ketika menyaksikan tingkah Ali.

Di lain pihak, Ali justru mengepalkan tangannya, tampak puas.

***

Pekikan senang dari meja sebelah tak luput dari pengamatan Bonnie.

Sejak tadi dia memperhatikan para pelanggan yang datang dan keluar. Ekspresi mereka rata-rata sama. Terutama setelah mereka membaca isi ramalan dari secarik kertas fortune cookies yang mereka dapat dari meja kasir.

"Jika kamu menemukan seseorang yang kamu cintai dalam hidupmu, maka pertahankanlah cinta itu. Kutipan dari Princess Diana."

Teman-teman semejanya berseru heboh, tak memedulikan pelanggan lain di sekitar mereka.

"Ini sih karakter Libra banget!"

"Bucin-bucin tolol, gitu, ya?" Seisi meja tertawa.

Bonnie masih mendengarkan.

"Cocok banget sama kondisiku sekarang. Kemarin baru dilamar. Memang nggak sia-sia perjuanganku selama ini buat mertahanin dia!"

Teman-temannya ber-awww dan so-sweet!

Cukup sudah.

Bonnie tidak bisa lagi mendengar kebohongan ini. Buru-buru dia mengemasi barangnya, lalu pergi ke kasir untuk membayar segelas mojito yang menjadi pelepas dahaganya tadi.

"Mau bayar, Kak?" tanya si Kasir ramah.

Bonnie menyerahkan uang pembayaran. "Fortune cookies ini, siapa yang buat?" Ia menunjuk sekeranjang kue keberuntungan yang dibungkus rapi dengan plastik dan pita. "Saya mau ketemu orangnya."

Seorang laki-laki datang menghampiri kasir sambil mengelap tangan dengan serbet. Bonnie mengenalinya sebagai barista di kafe ini. Orangnya cukup menawan. Sebagian besar pelanggan yang datang demi bisa bertemu dengannya atau mencicipi kopi olahannya plus diberi kesempatan mengobrol dengannya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya barista itu ramah.

Kasir segera membisikkan sesuatu padanya, mengulangi permintaan Bonnie.

"Saya mengerti kalau pihak kafe ingin semua pelanggan merasa senang, tapi kutipan-kutipan di dalam sana terlalu indah untuk jadi kenyataan. Tolong jangan beri mereka harapan!" ujar Bonnie. "Karena kue-kue ini, sudah ada dua orang yang jadi korban. Sebentar lagi akan ada yang ke tiga dan seterusnya."

"Tunggu, tunggu..." Si Barista mengajak Bonnie ke pinggir counter agar tidak mengganggu pelanggan yang ingin memesan dan mengambil kue keberuntungan. Namun, Bonnie tak mau beranjak dari tempatnya. "Mbak..."

"Bonnie."

"Mbak Bonnie, saya nggak ngerti ada masalah apa antara Mbak dengan kue-kue kami."

"Bukan kuenya yang jadi masalah, tapi isinya! Jangan sembarangan menaruh ramalan kosong di dalam kue itu!" Bonnie mencengkeram erat tali sling bagnya demi menahan emosi. "Sama aja kalian menipu orang!"

Barista itu melihat sekeliling, memastikan ucapan Bonnie barusan tidak didengar pelanggan yang lain.

"Tuduhan penipuan itu lumayan berani. Apa dasar Mbak Bonnie bicara begitu?"

"Saya seorang tarologist. Pekerjaan saya membantu orang lain untuk menghindari nasib buruk yang akan merugikan mereka. Kue-kue yang kalian buat mengganggu pekerjaan saya." Bonnie merogoh tas rajutnya untuk mengeluarkan dua carik kertas isian kue keberuntungan. "Gara-gara ini, klien saya mengajukan kompensasi atas kerugian moril yang dia rasakan setelah menerima pembacaan tarot dari saya."

Ia menunjuk secarik kertas yang berbunyi:

Cintai semuanya. Maka semuanya akan mencintaimu juga.

Barista itu mengernyit heran. "Apa yang salah dari ini?"

"Klien saya seorang publik figur. Dia banyak mendapat ujaran kebencian. Gara-gara kertas ini, dia berusaha menjadi orang yang diinginkan oleh para pembencinya, berbanding terbalik dengan interpretasi tarot yang saya bacakan untuk dia."

"Memangnya apa hal buruk yang bisa terjadi gara-gara ini?"

Bonnie maju selangkah. "Dia mendapat perawatan intensif di bangsal rumah sakit jiwa. Nggak kuat sama tekanan dari para pembenci yang terus menghujat apa pun yang dia lakukan." Kali ini dia menunjuk kertas yang lain. "Yang satunya bahkan lebih buruk!"

Kertas lain berbunyi:

Ikuti kata hatimu, dan lihat apa yang terjadi.

"Klien saya kehilangan putri tunggalnya karena mendiang lebih memilih traveling keliling benua daripada mendapat kemoterapi. Fatal, 'kan?"

Barista itu hanya bisa mengerjap.

"Pelanggan yang di sana mendapat isi ramalan yang kurang lebih sama." Bonnie menunjuk meja tempat tadi dia duduk. "Jika kamu menemukan seseorang yang kamu cintai dalam hidupmu, maka pertahankanlah cinta itu." Bonnie mengulang ucapan yang tadi dia dengar. "Padahal dia punya pasangan toxic, gara-gara ramalan bodoh kalian, dia percaya kalau cowok yang sekarang jadi tunangannya adalah cinta sejatinya. Jika mereka menikah, dia yang akan dirugikan selamanya. Sekarang saya tanya, siapa yang mengisi kue-kue itu dengan ramalan?"

Bonnie diusir keluar.

Pengusiran itu mengakibatkan ribut-ribut kecil. Mereka semua menganggapnya cewek gila dan mengancam hendak memanggil polisi. Gaya berbusananya yang mirip gadis hippie makin menunjang penampilan sebagai orang sinting yang suka cari perhatian. Bonnie kesal setengah mati. Bukan karena dikatai gila, melainkan karena kekeras-kepalaan pihak kafe untuk tetap memberi para pelanggan mereka fortune cookies.

Dengan hati dongkol, Bonnie jalan kaki pulang ke rumah. Padahal jaraknya lumayan jauh. Hal itu dia lakukan agar Ayah tidak melihat jejak kemarahan pada dirinya, lalu berakhir ditanya macam-macam. Dia tidak memperhitungkan kemungkinan ayahnya sedang menunggu dengan khawatir di rumah ketika memutuskan untuk marah-marah di kafe.

"Malam betul pulangnya, Bon?"

Pak Phillip melipat korannya begitu Bonnie melewati ruang tamu. Ketika melihat Bonnie pulang, beliau menahan diri untuk tidak merongrongnya dengan banyak pertanyaan. Hubungan mereka mengalami pergolakan sejak ibu Bonnie meninggal dunia. Pak Phillip selalu merasa ada jarak yang membentang di antara mereka. Sampai saat ini, Pak Phillip belum tahu alasannya.

"Maaf, Bonnie lupa ngabarin. Tadi abis jalan-jalan, lupa waktu."

Pak Phillip hanya mengangguk.

"Selamat ulang tahun, Nak."

Bonnie ikut mengangguk. "Makasih, Yah."

"Itu... Ayah bikin kue. Di kulkas. Buat kamu."

Lagi, Bonnie mengangguk. "Nanti Bonnie makan. Mau ganti baju dulu."

Bonnie pergi ke kamarnya. Tak lama berselang, dia kembali ke ruang tamu sambil membawa selimut dan bantal. Pakaiannya sudah berganti piyama. Wajahnya bersih dari riasan.

"Mau tidur di sofa?" tanya Pak Phillip heran.

"Di kamar ada Ali."

Pak Phillip sontak menepuk jidat. "Ayah lupa kalau tadi sore dia ke sini, nyari kamu. Ayah suruh tunggu di kamar. Katanya mau ngajak kamu jalan-jalan. Totalitas banget sampai dandan dan pake baju perempuan."

"Bedak sama lipstick dia nempel semua di seprai Bonnie." Ia geleng-geleng kepala mengingat penampilan Ali di ranjangnya. Makeup berantakan, bahkan bulu mata palsunya hilang satu.

"Ini sudah malam. Sebaiknya dia pulang. Nggak baik ada laki-laki menginap di rumah perempuan. Biar Ayah bangunkan dulu!" Pak Phillip hendak bangkit ketika Bonnie menahan lengannya.

"Ali cuma tidur. Lagipula, 'kan ada Ayah." Usai meletakkan peralatan tidur di sofa, Bonnie bangkit menuju dapur. "Kalau udah tidur, dia susah bangun. Tadi udah Bonnie coba buat bangunin. Biar aja tidur sampai pagi, kalau bangun nanti pasti pulang sendiri." Dia kembali ke ruang tengah dengan membawa sepiring kue tart dengan hiasan mirip bola salju.

Pak Phillip menggaruk pelipis yang tak gatal. Setelah melalui pertimbangan singkat, akhirnya beliau mengalah. Beliau adalah Ketua RT di sini. Ali tak akan berani melakukan hal-hal yang membuatnya marah.

"Ada harapan apa tahun ini?" tanya Pak Phillip seraya duduk di sebelah Bonnie, ingin ikut mencicipi hasil karya sendiri. Putrinya itu berpikir cukup lama.

"Doakan Bonnie tetap sehat terus, supaya bisa nemenin Ayah sampai tua."

"Cuma itu?"

Putrinya mengangguk. "Supaya kuenya tetep bagus, nggak usah pake lilin, ya?"

Pak Phillip mengiakan.

Setelah Bonnie mengambil beberapa gambar kue dari berbagai angle, Pak Phillip mengiris kuenya dengan hati-hati. Mereka makan dalam keheningan, seperti tahun-tahun sebelumnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top