Chapter 07. Janji
Rena berjalan ke ruang tamu dengan santai. Di tangannya ada mangkuk putih yang nyaris penuh terisi. Gadis itu langsung menemukan yang dicarinya, Ray dan Randy yang sejak tadi masih duduk di sofa.
"Kak Randy! Cobain manisan belimbing buatan aku, dong!" Rena bicara pada Randy yang sedang asyik membaca koran.
Randy menoleh pada sang adik yang tahu-tahu sudah duduk di sampingnya. "Kapan bikinnya?"
"Tadi pagi, sih," jawab Rena sambil mengangsurkan mangkuk ke dekat Randy. "Aku simpen di kulkas."
"Kok nggak bilang-bilang punya manisan?" Randy mencomot satu manisan belimbing dari dalam mangkuk dan langsung mencobanya.
"Biar nggak dihabisin sama Paman," Rena menyahut sekenanya sambil ikut memakan manisan itu.
Randy tertawa spontan. Untung saja, manisan tadi sudah ditelannya. Kalau tidak, pasti dia sudah tersedak.
"Enak, Dek," kata Randy kemudian, sembari mengambil satu lagi dari mangkuk.
"Siapa dulu dong, yang bikin." Rena tertawa senang, lalu beralih memandang Ray di sofa yang satu lagi. "Kak Ray mau?"
Ray terdiam di tempat duduknya. Tatapannya menerawang. Dia seperti tidak mendengar kata-kata Rena barusan.
"Kak Ray?"
Sekali lagi Rena memanggil, barulah Ray bereaksi.
"Eh ... Iya ... Sori ... Kenapa, Rena?"
Rena dan Randy berpandangan sejenak.
"Kak Ray yang kenapa?" Rena malah balik bertanya.
"Hah?"
"Aku juga memperhatikan dari tadi," sambung Randy. "Kamu ngelamun?"
"Kayak yang lagi mencemaskan sesuatu," tambah Rena.
Ray memandang kedua saudara angkatnya bergantian. Lalu, menghela napas.
"Sejak tadi perasaanku tidak enak," akhirnya Ray berkata.
"Kenapa memangnya?" Sebelum Ray sempat menjawab, Randy sudah bicara lagi, "Ah, aku tahu. Pasti kamu khawatir karena Dimas pergi sendirian, 'kan?"
"Mungkin." Ray mengangkat bahu. "Tapi ... aku merasa ada sesuatu yang lain ..."
Randy dan Rena kembali saling pandang satu-dua detik. Saat keduanya kembali menatap Ray, ternyata pemuda itu sudah membawa sesuatu di tangannya. Power Stone Merah yang menyala!
"Reza ...?!" Tiba-tiba Ray berkata sambil bangkit dari duduknya. Air muka pemuda itu terlihat sarat kecemasan. "Kak Randy, Rena, aku harus pergi!"
"Kak Ray!"
Rena ikut berdiri. Setelah menaruh mangkuk berisi manisan belimbing di atas meja. Namun, Ray sudah beranjak.
"Aku akan hati-hati!"
Seruan Ray masih terdengar, sementara sosoknya menghilang di balik pintu. Rena bermaksud mengejar, tetapi dihalangi oleh Randy.
"Kak Randy, apaan, sih? Kak Ray itu masih sakit!" protes Rena.
"Sudahlah, Rena. Percaya sama Ray," sahut Randy. "Dia pasti baik-baik saja, kok."
Power Stone Merah menuntun Ray ke perkampungan sepi itu. Tak butuh waktu lama, ia melihat mobil milik Dimas terparkir di tepi jalanan kecil. Pemuda itu pun memarkir motornya di dekat mobil tersebut. Setelah menaruh helm, ia bergegas berjalan menyusuri kampung itu, hanya dengan mengikuti petunjuk Power Stone Merah.
Benar-benar tidak ada orang.
Baru saja Ray berpikir begitu, matanya menangkap sosok seseorang yang duduk tersandar di bawah sebatang pohon besar. Ray cepat-cepat berlari mendekat. Betapa terkejutnya dia, karena ternyata sosok itu adalah seseorang yang dikenalnya.
"Ricca!" Ray berseru sambil berlutut di sisi Ricca. Diguncangkannya tubuh gadis itu perlahan, mencoba untuk menyadarkannya. "Ricca? Bangun, Ricca!"
Butuh waktu beberapa saat hingga akhirnya Ricca membuka mata. Ia mengerjap-ngerjap sejenak, tampak sedikit bingung.
"Ray?" gadis itu berkata ketika mengenali siapa yang berada di dekatnya.
"Ricca ... Syukurlah," Ray menyahut lega. "Apa yang terjadi? Kamu nggak apa-apa?"
Pertanyaan Ray memancing ingatan Ricca pada kejadian yang baru saja lewat sebelum dirinya pingsan. Gadis itu tersentak.
"Power Stone Master!" sambil berseru, Ricca lekas-lekas berdiri. Ray pun mengikutinya. "Ray! Reza merebut Power Stone Putih!"
Ucapan Ricca terlalu tak terduga, sampai-sampai Ray terdiam satu-dua detik. "Apa?"
"Aku melihat sinar merah muda menyelimuti tubuhnya," jelas Ricca. "Kurasa, dia sedang dikendalikan."
Kegelisahan segera menerpa Ray, tetapi coba untuk ditahannya. "Apakah Reza berbuat sejauh itu ... bahkan sampai membuatmu pingsan?"
"Oh, itu ... Sebenarnya ..." Ricca diam sejenak. Ray tahu, ini situasi yang serius. Akan tetapi, ia merasa ekspresi Ricca berubah jadi lucu. Seperti salah tingkah sendiri. "Reza merebut Power Stone Putih ketika aku lengah. Aku coba merebutnya lagi, tapi dia cuma menghindar. Lalu ... entah gimana, aku tersandung di dekat sini. Lalu jatuh ke arah pohon itu. Setelah itu aku tidak ingat lagi. Sepertinya kepalaku terbentur."
"O ... Ooh ... Ya sudah, yang penting kamu tidak apa-apa." Ray nyaris tersenyum sendiri, sembari berpikir cerita Ricca barusan juga cukup di luar dugaan. "Berarti, kamu nggak tahu Reza ke mana?"
Ricca menggeleng pelan.
"Dan Dimas?"
Ricca tersentak. "Oh, iya, aku ingat! Reza sempat bertanya, ke arah mana Master pergi. Mungkin dia ke sana!"
Ray mengikuti arah yang ditunjukkan Ricca. Hanya beberapa rumah jaraknya, sampailah ia ke tempat itu. Lapangan rumput yang disebut sebagai tempat munculnya monster di kampung ini. Dari jauh, Ray melihat dua sosok tengah bertarung sengit. Namun, tak satu pun di antara keduanya adalah monster.
Yang satu adalah Satria Harimau berkekuatan petir, Torga. Yang satu lagi adalah Satria Garuda yang memiliki kekuatan kegelapan, Azazel.
Ray merasakan dadanya berdesir tajam. Azazel atau Torga. Adik atau sahabat. Keduanya sama-sama orang yang penting baginya. Ia tidak ingin siapa pun di antara mereka terluka.
Berpikir demikian, Ray berlari mendekati pertempuran. Dilihatnya pertarungan masih cukup imbang, sebelum Azazel mulai terdesak. Ray sudah cukup dekat ketika Azazel terkena hantaman Thunder Crusher milik Torga. Azazel sempat roboh, tetapi bangkit kembali.
"Hentikan!" Ray berseru, sementara langkahnya hanya tinggal beberapa meter jaraknya dari pertempuran.
Baik Azazel maupun Torga tampaknya tidak mendengar seruan Ray, tidak pula menyadari kehadirannya. Keduanya fokus bertarung, yang kini telah beralih menjadi duel tangan kosong. Adalah Ray yang menyadari sesuatu yang lain. Sinar merah muda seperti yang dikatakan Ricca, samar-samar terlihat menyelimuti Azazel. Namun, yang lebih mengejutkan lagi, cahaya yang sama juga tampak menyelimuti tubuh Torga!
"Apa?" Ray tersentak.
Namun, tidak ada waktu untuk terkejut. Karena pada saat itulah, satu pukulan Torga berhasil menghentikan gerakan Azazel. Ray terkesiap ketika setelah itu Torga mengambil jarak, lalu mempersiapkan kuda-kuda serangan yang tidak asing baginya.
"Dimas, hentikan!"
Sadar seruan ini pun tidak berguna, Ray mempersiapkan changer dan Power Stone Merah secepat mungkin. Tidak ada pilihan lain, ia harus ikut masuk ke dalam pertempuran!
"Berubah!"
"FLAME!"
Energi meluap dari Power Stone Merah, mengubah wujud Ray menjadi Satria Garuda Bima X. Tanpa buang waktu, ia melompat ke depan Azazel yang nyaris roboh.
"Harimau Thunder Breath!"
Sesuai dugaan Bima X, memang jurus inilah yang dikeluarkan oleh Torga. Akan tetapi, dia sudah siap menghadapinya.
"Garuda Shield!"
Perisai energi berbentuk garuda, membentengi Bima X dengan kokoh. Sekaligus juga Azazel yang berdiri di belakangnya. Dua bentuk energi beradu beberapa saat, sebelum keduanya sama-sama lenyap. Pada saat itulah, Torga dan Azazel baru menyadari kehadiran orang lain bersama mereka.
"Aku bilang, hentikan!" Bima X berkata dengan tegas.
"Bima?!" Torga berseru. Dari nada suaranya, jelas ia masih dikuasai amarah. "Kenapa kamu melindunginya?!"
"Karena Reza adikku!" Bima X menjawab tanpa ragu. "Dan karena kamu temanku!"
Kalimat terakhir Bima X, sedikit banyak telah mengembalikan akal sehat Torga. "Apa katamu?"
"Kalau dilanjutkan, nanti kamu juga pasti akan menyesal." Bima X melihat Torga sudah lebih tenang, dan itu membuatnya lega. "Torga, apa kamu tidak sadar? Ada cahaya jahat yang sedang mencengkeram dirimu."
Torga tersentak. Ia memperhatikan dirinya sendiri, dan melihat kebenaran kata-kata rekannya. Ada cahaya tipis berwarna merah muda yang menyelimutinya. Ketika Torga menyadari ini, Power Stone Oranye tiba-tiba bereaksi. Benda itu bersinar dalam satu sentakan, kemudian energinya mengalir ke seluruh tubuh Torga. Melenyapkan cahaya merah muda itu dalam sekejap.
"Jangan-jangan ... ini perbuatan Kama Ratih," kata Torga setelah pikirannya kembali jernih. "Aku sama sekali tidak menyadarinya."
"Kamu bertemu dia?" Bima X bertanya.
"Ya ... waktu pertama kali aku sampai di sini ..."
Tiba-tiba Torga tersentak. Lalu memfokuskan pandang ke belakang Bima X. Sang Satria Garuda Merah pun segera berbalik. Azazel masih berdiri di sana, hanya berjarak dua-tiga langkah darinya.
Tanpa disadari oleh kedua Satria itu sebelumnya, ternyata kata-kata Bima X juga berpengaruh pada Azazel. Ia punya kesempatan untuk menyerang Bima X dari belakang, atau paling tidak meloloskan diri dari tempat itu, tetapi tidak dilakukannya. Ia hanya berdiri terpaku, setengahnya juga karena masih merasakan dampak serangan-serangan Torga.
Ketika Bima X berbalik ke arahnya, menatapnya, Azazel tersentak. Berdirinya yang sudah goyah, jadi semakin goyah. Ia mundur selangkah, lalu mengangkat dan memandangi kedua telapak tangannya sendiri.
"Power Stone ... Putih ...." Azazel menggeleng pelan. "Tidak ... Apa ... Apa yang sudah kulakukan ...?"
"Reza ..."
Bima X melihat sinar merah muda yang menyelimuti Azazel semakin pudar. Azazel mundur selangkah lagi. Pada saat itu juga, cahaya merah muda di tubuhnya kembali menguat. Kali ini, Power Stone Hitam ikut memancarkan cahayanya, bersaing dengan cahaya merah muda itu. Intensitas kedua cahaya itu semakin hebat. Hingga pada puncaknya, Azazel berteriak kesakitan. Lalu cahaya merah muda lenyap. Sedetik berselang, cahaya Power Stone Hitam pun padam. Sementara, Azazel kembali ke wujud manusianya.
"Reza!"
Melihat Azazel berubah balik ke wujud semula, Bima X dan Torga juga kembali ke sosok manusia. Saat itu, tubuh Reza limbung, seperti hampir kehilangan kesadarannya. Dimas berlari mendekat. Sedangkan Ray yang berdiri lebih dekat, masih sempat menangkap tubuh adiknya sebelum roboh ke bumi.
"Reza! Reza, sadarlah!" Ray berseru cemas, sementara Reza terbaring di pelukannya. Tidak sadarkan diri. "Bangun, Reza!"
Hanya dalam beberapa detik, Reza membuka mata perlahan. Dimas pun telah ikut berlutut di dekat kakak beradik Bramasakti.
"Kak Ray ... Dimas ..."
Hanya tiga patah kata, dan Reza tersentak sendiri. Tubuhnya masih lemas, tetapi dipaksakannya untuk bangkit. Ditolaknya pula Ray yang bermaksud membantu.
"Jangan mendekat!" Reza terhuyung mundur.
"Reza, tenanglah," berkata Ray yang kini telah berdiri bersama Dimas di hadapan Reza.
"Aku harus pergi ..."
Baru selangkah, Reza hampir saja terjatuh lagi. Untung saja, ada Ray yang cepat-cepat mendekat dan menahan tubuhnya. Lagi-lagi Reza menolak bantuan sang kakak.
"Kak Ray," kata Reza. "Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri ..."
"Reza," Ray menyahut, "jangan bicara seperti itu."
"Dimas, maafkan aku," seolah tak mempedulikan ucapan Ray, Reza bicara lagi. "Power Stone milikmu ..."
Dimas menghela napas pelan. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Kita bisa merebutnya lagi. Ya, 'kan?"
Reza tersenyum pahit.
"Aku suka sifat optimismu itu," katanya. "Aku pasti akan merebutnya lagi, meskipun nyawaku taruhannya!"
"Kita akan melakukannya bersama-sama!" Ray menatap langsung mata adiknya. "Karena itu ... pulanglah, Reza."
"Ray benar," Dimas ikut berpendapat. "Menghindar bukan jalan keluarnya."
Reza memandang Ray dan Dimas bergantian. Rupanya, butuh waktu beberapa detik baginya untuk mengambil keputusan.
"Baiklah."
Satu kata dari Reza ini membuat Ray merasa lega. Ia dan Dimas saling pandang dalam senyum. Namun, pada saat itulah, Ray tidak menyadari bahaya yang mengancamnya. Tahu-tahu ia merasakan hantaman keras di ulu hati. Pandangannya pun sontak menggelap.
"Ray!"
Dimas masih sempat menahan tubuh sahabatnya sebelum benar-benar jatuh. Seruan Dimas juga telah menyentak kesadaran Ray kembali. Keduanya memandang ke depan, ke arah orang yang telah melepasnya serangan mendadak tadi, yang berupa sebuah pukulan.
"Reza ... Kenapa ...?"
Ray merasakan pandangannya masih berkunang-kunang, tetapi ia bisa melihat adiknya telah menjauh beberapa langkah. Tatapan mata dan ekspresi Reza begitu dingin, ketika ia membuka tangannya yang tergenggam, menunjukkan apa yang ada di dalamnya.
"Power Stone ...?!"
Merah, biru, hijau, ungu. Keempatnya ada di tangan Reza. Ray menguatkan dirinya, lalu melepaskan pegangan Dimas. Ia pun maju beberapa langkah, sampai berdiri tepat di depan Reza.
"Reza," berkatalah Ray, "kamu tidak ingin melakukan ini."
"Sudah kubilang, aku akan merebutnya lagi," Reza menyahut dingin. "Semua Power Stone kalian!"
Berkaca-kaca mata Ray saat menatap adiknya. Pemuda itu mengepalkan tangan sejenak. Tatapan matanya pun kembali tegas dan tajam.
"Kalau begitu, aku akan menghentikanmu!" kata Ray. "Seperti yang kamu minta waktu itu padaku dan Dimas!"
Cepat sekali, Ray melancarkan pukulan-pukulan tangan kosong. Yang diincar adalah keempat Power Stone di tangan Reza. Yang diserang pun menghindar, lalu membalas, sembari tetap mempertahankan keempat Power Stone. Untuk beberapa saat, kedua bersaudara itu terlibat pertarungan tangan kosong yang cukup sengit. Sampai beberapa jurus, akhirnya Ray dan Reza sama-sama berhasil memasukkan serangan ke tubuh lawan. Keduanya sama-sama terdorong mundur beberapa langkah, setelah terhantam di bagian dada.
"Ray!"
Dimas mendekat ke sisi Ray. Pemuda pemilik kekuatan Bima X itu masih sanggup berdiri tegak. Dibukanya kepalan tangan kanan yang tergenggam. Terkejutlah dia—begitu pula Dimas—ketika melihat di sana ternyata hanya ada tiga Power Stone: Merah, Hijau, dan Ungu.
"Power Stone Biru ...?!" Ray segera memandang ke depan.
"Dia merebutnya?!" Dimas ikut menatap Reza di kejauhan.
Sementara, Reza pun membuka genggaman tangan kanannya. Hanya tinggal Power Stone Biru yang ada padanya. Cepat-cepat disimpannya benda itu ke dalam saku. Sebelum Ray dan Dimas sempat berbuat apa-apa, seseorang muncul tiba-tiba di sisi Reza dalam selimut cahaya merah muda. Dialah Kama Ratih. Tanpa bicara apa pun, gadis itu menyentuh lengan Reza. Detik berikutnya, sosok mereka telah lenyap dari pandangan.
"Tunggu!" sia-sia Ray berteriak.
Dimas juga merasa gusar.
"Dua Power Stone direbut," kata pemuda berkacamata itu, sebelum tersentak sendiri. Seperti baru mengingat sesuatu. "Ricca! Bagaimana dengan Ricca!"
"Ricca baik-baik saja." Ray menenangkan sahabatnya. "Tenang saja, Reza tidak melukainya. Tadi aku juga sudah meminta Ricca untuk menunggu di mobil."
"Syukurlah." Dimas merasa beban berat terangkat dari pundaknya. Ia pun menepuk bahu Ray perlahan. "Jangan khawatir, Ray. Kita pasti akan merebutnya kembali. Power Stone, dan juga Reza!"
Reza memasuki gudang tua itu, langsung berjalan lurus ke tengah-tengahnya. Lady Mossa sudah menunggu di sana, dalam wujud Great Monster. Tanpa bicara, Reza mengambil Power Stone Biru dari saku jaket, lalu diserahkannya kepada Lady Mossa.
"Hmm ... Hanya satu Power Stone," ucap Lady Mossa. "Tapi tidak apa-apa. Kita akan segera merebut sisanya. Ha ha ha ha ha ..."
Gema tawa Lady Mossa mengiringi kepergiannya dengan teleportasi. Reza masih berdiri terpaku sampai beberapa detik kemudian. Tangannya terkepal gemetar. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Sejurus kemudian, barulah ia beranjak pergi. Sampai di dekat pintu gudang, pemuda itu menghentikan langkah. Didorong emosi yang tak terbendung lagi, dihantamkannya kepalan tangan kanan ke pintu gudang yang terbuat dari kayu.
Dalam beberapa detik, Reza menarik napas panjang. Berusaha menenangkan diri. Pada saat itulah, Reza merasakan kehadiran seseorang.
"Kamu ... Tina?!" Reza melihat sosok Amestina berjalan mendekat dari arah jalan, lalu langsung mendekatinya. "Kenapa ada di sini?"
"Aku mencarimu." Tina menatap Reza sembari menampakkan raut khawatir. "Kamu baik-baik saja?"
Reza menghirup udara yang terasa berat baginya.
"Entahlah. Aku tidak tahu, apa yang harusnya kurasakan setelah mengkhianati teman-temanku ... dan kakakku sendiri."
Tina menunduk. "Maaf. Ini semua karena aku."
Reza menggeleng. "Sudah kubilang, 'kan? Aku akan melindungimu. Janji itu pasti kutepati!"
Reza beranjak pergi. Dengan demikian, dia tidak sempat melihat betapa wajah Amestina merona. Namun, kemudian wanita cantik itu menggeleng-gelengkan kepala. Ia pun akhirnya ikut beranjak.
Bersambung ...
Fanfic: Heidy S.C. 2016-2017©
Fandom: Satria Garuda Bima X; RCTI, Ishinomori Pro 2014-2015©
====================================================
********************** Author's Corner **********************
Halooo~! \(^o^)
Sudah sampai chapter ketujuh, nih. Rencana awal, cuma tujuh chapter, tapi ternyata meleset. Dengan perkembangan cerita sampai saat ini, kayaknya kisah Reza & Amestina ini akan berakhir di Chapter 9 atau 10. :3
Ho hoo ... Power Stone Biru sudah direbut. Kisah selanjutnya ... kayak gimana ya kira-kira? Apakah akan lebih banyak lagi Power Stone jatuh ke tangan VUDO? Atau ... ?
Nantikan chapter selanjutnya~! >__<
Solo, 4 Maret 2017
Heidy S.C.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top