Chapter 04. Reza Meets Tina
"Kenapa aku harus melakukan hal seperti ini?"
Kalimat itu diucapkan oleh Amestina Seraphine, dengan penekanan pada setiap kata. Dari nada suaranya, jelas, dia sangat kesal. Betapa tidak? Dia kini harus berada di hutan, dengan penampilan yang sama sekali tidak cantik. Ini semua gara-gara Ratih yang memberi informasi bahwa Reza Bramasakti ada di tempat ini. Dan Rexor langsung memintanya untuk 'melakukan sesuatu'.
Ya, ya, terserah!
Amestina sudah tidak peduli lagi. Dia bertekad, mulai saat ini akan terus maju. Setelah semua yang dialaminya, apapun yang terjadi, rencana ini harus berhasil!
"Lihat saja, Satria! Semua Power Stone pasti kurebut, dan kalian semua pasti kuhancurkan!"
Hutan yang sama, hanya beberapa ratus meter dari tempat Amestina berada. Beralas rerumputan, di bawah sebatang pohon besar, Reza duduk bersila dengan damai. Kedua matanya terpejam, sementara ia bernapas dengan tenang. Power Stone Hitam pada changer di tangan kanannya bercahaya, berkedip-kedip dalam tempo lambat.
Setiap tiga atau empat kali Power Stone Hitam menyala, sebuah cahaya lain ikut bereaksi. Cahaya merah muda yang menyelimuti tubuhnya, hanya sekejap, tetapi dalam pola yang terus berulang. Meski demikian, Reza tampak sudah tidak terlalu terganggu lagi dengan itu.
Reza membuka mata setelah bermenit-menit lewat. Ia menarik napas panjang, memenuhi paru-parunya dengan udara segar hutan, lalu mengembuskannya perlahan. Tempat ini membuatnya merasa tenang. Entah apakah ada hubungannya, tekanan kekuatan Ratih yang begitu besar itu, sudah tidak terlalu terasa lagi pada tubuhnya.
Tapi ... pengaruh itu masih ada!
Pemikiran ini muncul di benak Reza tanpa bisa dicegah, sontak membuatnya kembali resah. Pemuda itu menggelengkan kepala, mencoba mengusir kecemasan itu dari hati dan pikirannya.
"Tidak bisa," Reza berkata pada dirinya sendiri. "Tidak bisa terus seperti ini!"
Tepat pada saat itulah, tiba-tiba Power Stone Hitam menyala.
"VUDO?!" Reza berseru kaget. "Kenapa di tempat seperti ini ... ?"
Nyaris tanpa berpikir, Reza bangkit dan bergegas mencari sumber tanda bahaya dari Power Stone miliknya. Ia terus bergerak menembus hutan ke arah utara, semakin menjauh dari sungai. Sampai akhirnya, tibalah ia di bagian hutan yang agak lapang. Namun, yang ditemukannya di situ bukan VUDO, melainkan sekelompok orang yang membawa peralatan-peralatan seperti sekop, cangkul, dan palu besi.
"Power Stone-ku masih menyala," kata Reza yang masih mengamati rombongan itu dari balik pohon. "Apa maksudnya ini?"
Reza diam di tempatnya, sekali lagi memastikan tanda bahaya itu memang berasal dari arah rombongan ini.
"Apa mungkin ... ada VUDO di sekitar sini ... ?"
Tiba-tiba Reza terdiam. Ia memfokuskan pandang ke satu titik. Tepatnya ke arah satu-satunya wanita dalam rombongan misterius itu. Reza merasa seperti mengenalinya.
"Dia 'kan ... Amestina Seraphine?"
Sama seperti anggota rombongan yang lain, wanita itu juga mengenakan setelan berwarna dominan putih dan coklat muda, ala arkeolog yang sedang melakukan penggalian artefak seperti di film-film. Berbeda sekali dengan penampilan sehari-hari seorang Amestina Seraphine, tetapi Reza yakin, itu memang dia.
"Apa yang kaulakukan?!"
Barusan Amestina yang berseru. Dari jauh, Reza melihat seperti ada keributan. Salah seorang pria anggota rombongan sepertinya tersandung dan jatuh menimpa kereta dorong berisi 'peralatan menggali'. Kereta dorong itu ikut terguling, sehingga semua isinya jatuh berserakan di tanah. Namun kejadian setelah itu jauh lebih mengejutkan. Sebab, pria yang tersandung tadi, tiba-tiba berubah wujud menjadi Kranion!
Reza tersentak kaget. Di kejauhan, dilihatnya Amestina mengambil sebuah sekop yang kebetulan jatuh di dekat kakinya, kemudian berusaha memukuli Kranion tadi dengan sekop itu!
"Bahaya!" seru Reza sambil mempersiapkan Azazel changer.
Reza sudah hendak berubah wujud, tetapi kemudian segala gerakannya terhenti. Tiba-tiba ia teringat saat dirinya sebagai Azazel sempat menyerang Bima X. Lalu, terakhir, menyerang Torga juga.
"Bagaimana kalau aku sampai kehilangan kendali lagi?" Reza menyuarakan kekhawatirannya. "Di sini tidak ada yang bisa menghentikanku. Aku hanya akan melukai orang lain lagi ... !"
Pemikiran ini membuat Reza tidak bisa bergerak. Namun, di tempat Amestina terjadi sesuatu yang lebih gawat. Seluruh anggota rombongan yang tersisa―kecuali Amestina tentunya―mendadak berubah wujud menjadi sepasukan Kranion!
Terdengar jeritan Amestina. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat Reza bertindak.
"Taranis!"
Pemuda itu tidak berubah wujud. Alih-alih, ia langsung berlari ke arah Amestina, sembari memanggil partner-nya. Pedang garuda hitam, Taranis, muncul membelah langit, kemudian langsung terbang berputar-putar sambil menyerang para Kranion satu-persatu.
Sementara itu, Reza hanya sempat bertarung sebentar dengan salah satu Kranion yang berada paling dekat dengan Amestina. Setelah menjauhkan monster itu dari Amestina, iapun langsung menggamit tangan kanan wanita muda itu.
"Ayo, lari!" sambil berseru begitu, Reza menarik Amestina ikut berlari meninggalkan tempat itu bersamanya.
"Belum ketemu juga ... Mana? Katanya di sekitar sini?" Amestina menggerutu sambil menyandarkan punggungnya ke sebatang pohon. "Kenapa si Ratih itu tidak sekalian saja memberi tahu lokasi tepatnya!"
Amestina mendengus kesal. Sudah hampir satu jam ia berkeliling hutan bersama para pegawainya, untuk mencari lokasi penggalian batu alam. Tentu saja, itu cuma alasan. Tujuan sebenarnya adalah melacak jejak Reza Bramasakti, yang belum juga berhasil ditemukan sampai sekarang. Yang paling mengesalkan adalah Amestina harus tetap berada dalam wujud manusianya, selama ia berjalan kaki menyusuri hutan ini. Dan itu sangat melelahkan.
BRAK!!
Tiba-tiba terdengar suara keras, mengejutkan Amestina yang setengah melamun. Dilihatnya, salah seorang pegawainya tersandung, lalu menabrak kereta dorong kecil berisi peralatan menggali, hingga terguling. Beberapa cangkul, sekop, martil, semuanya jatuh berserakan di tanah.
"Apa yang kaulakukan?!" Amestina meradang.
Tepat pada saat itu juga, pegawai yang jatuh tadi malah berubah menjadi Kranion. Amestina yang sudah kesal sejak tadi, spontan mengambil sebuah sekop yang terjatuh di dekat kakinya. Maksudnya ingin memukul Kranion tadi, tetapi dia malah refleks menghindar. Amestina makin kesal dan kembali memukulkan sekop ke arah Kranion itu beberapa kali lagi.
"Satria Azazel sedang melihat ke sini, lho," tiba-tiba sebuah suara imut terdengar.
Amestina spontan menoleh ke pohon yang disandarinya, dari mana suara itu berasal. Entah sejak kapan, sudah ada Ratih di sana, setengah menyembunyikan diri di antara lebatnya pepohonan.
"Kamu ... ?!" Amestina berseru.
"Suruh semua anak buahmu berubah kembali jadi Kranion," kata Ratih.
"Apa?"
"Cepat, jangan sampai Satria Azazel curiga! Percayalah padaku!" kata Ratih lagi.
Apa boleh buat, Amestina memberi isyarat singkat dengan satu anggukan ke arah lima orang pegawainya yang lain. Seketika itu juga, mereka berubah wujud menjadi Kranion.
"Sekarang, berteriaklah. Dia pasti langsung datang ke sini."
Seolah tak memberi kesempatan kepada Amestina untuk berpikir, Ratih langsung berteleportasi pergi. Sudah kepalang tanggung, Amestina melakukan semua yang dikatakan Ratih. Benar saja, Reza Bramasakti muncul dari balik lebatnya pepohonan dan langsung berlari ke arahnya. Amestina hanya heran, mengapa pemuda itu datang dalam wujud manusia, tidak berubah wujud dulu menjadi Satria?
Ah, masa bodoh! Yang penting pemuda itu sudah terpancing keluar! Rupanya, dia juga memanggil pedang garuda hitam miliknya. Makhluk itu terbang berputar-putar dan langsung menyerang para Kranion. Sementara, Reza sendiri langsung mendekatinya sambil menendang Kranion yang terdekat dengannya hingga menjauh.
"Ayo, lari!"
Eh―apa?
Amestina kaget saat tiba-tiba pergelangan tangan kanannya digenggam dan dirinya ditarik pergi. Selanjutnya, ia hanya mengikuti saja, berlari meninggalkan tempat itu bersama Reza. Menjauh dari para Kranion. Setengah dari pikirannya masih buntu. Selama ini, belum pernah ada orang yang menyentuhnya seperti ini. Apalagi lawan jenis ...
Ah, bukan! Bukan itu! Reza Bramasakti itu manusia bumi! Dan lagi, dia adalah Satria! Musuh!
Amestina merutuki dirinya sendiri.
Ck! Ini pasti pengaruh mantra sialan itu! Begitu pikirnya.
Wanita muda itu memandang punggung Reza yang masih berlari di depan sambil menarik tangannya. Mereka terus bergerak menembus hutan, mencari tempat yang lebih aman. Mengapa dia mau bersusah-payah begini untuk orang yang tidak dikenalnya? Lagipula, bukankah sebenarnya lebih mudah kalau tadi dia berubah wujud saja? Toh lawannya cuma Kranion. Harusnya seorang Satria Azazel bisa menghancurkan mereka semua dengan mudah.
Atau karena ada dirinya? Mungkin pemuda itu khawatir sehingga lebih memprioritaskan keselamatan orang yang ditolongnya? Huh! Buat apa juga memusingkan itu? Memang sudah biasa kalau para Satria selalu bertindak konyol kalau sudah menyangkut keselamatan orang lain.
"Kurasa di sini sudah aman."
Amestina tersentak ketika Reza tiba-tiba berhenti dan bicara padanya. Ia pun ikut berhenti, tetapi masih terdiam selama beberapa detik.
"Ah, maaf!" tiba-tiba Reza berkata sambil cepat-cepat melepaskan genggamannya. Amestina sendiri juga baru sadar sejak tadi Reza masih memegangi pergelangan tangannya, sehingga keduanya sempat salah tingkah sejenak.
"Ti-Tidak apa-apa," Amestina menyahut. "Terima kasih sudah menolongku."
"Sama-sama," balas Reza. "Waktu itu kamu juga sudah membantu kami waktu Ricca sakit."
"Eh?" Amestina agak terkejut.
"Aku sudah mendengar ceritanya dari Kak Ray, " kata Reza lagi. "Kamu ... Amestina Seraphine, 'kan?"
Amestina tersenyum. Katanya, "Panggil saja Tina. Kamu ... jangan-jangan adiknya Ray ... Reza Bramasakti?"
"Benar, panggil saja Reza," sahut pemuda itu. "Tapi ... kenapa kamu bisa bersama para Kranion itu?"
"Kranion? Maksudmu, monster-monster itu?" Tina menampilkan raut wajah cemas sekarang. "Aku ... Aku tidak tahu ... Mereka itu pegawai-pegawaiku! Kenapa bisa berubah menjadi seperti itu?"
Reza berpikir sebentar. "Ada dua kemungkinan. Pertama, mereka sejak awal memang monster VUDO dan sengaja menyamar untuk mendekatimu. Entah untuk tujuan apa. Kedua, mereka menyamar menjadi para pegawaimu―"
"Apa?!" Tina menyela kata-kata Reza. "Kalau begitu, berarti pegawaiku yang asli berada dalam bahaya!"
"Iya, tapi ... kita belum tahu―"
"Tidak! Aku yakin pegawaiku bukan monster!" Tina menyela lagi. "Kamu pikir sudah berapa lama mereka bekerja untukku! Aku tahu siapa mereka!"
Reza terdiam sejenak, sementara Tina menatapnya berapi-api.
"Baiklah ... Maaf," kata Reza akhirnya. "Aku mengerti. Yang penting sekarang kita harus keluar dari hutan ini. Di sini tidak aman―"
"Kujara!"
Kata-kata Reza terpotong oleh seruan khas Kranion. Salah satu dari mereka tampaknya berhasil mengejar jejak Reza dan Tina, lalu memanggil teman-temannya. Jumlah mereka sekarang bahkan lebih banyak daripada para Kranion yang ada bersama Tina tadi.
Lho? Mereka bukan anak buahku. Kening Tina berkerut. Pasti Rexor!
Sementara itu, Reza menempatkan diri di depan Tina dengan sikap melindungi. Sekali lagi, ia diterpa dilema, harus berubah wujud atau tidak? Kondisi sekarang lebih berbahaya daripada sebelumnya. Jumlah Kranion lebih banyak, sedangkan di belakangnya dan Tina ada jurang yang dalam.
Pada saat itulah, Taranis datang dengan suara pekikan khas burung garuda. Ia langsung terbang ke arah Reza, sembari membabat beberapa Kranion yang menghalangi lintasan terbangnya. Pedang garuda hitam itu melayang di depan Reza dan Tina, menghadapi musuh. Sementara, Reza menoleh sejenak ke belakang. Di bawah jurang masih ada bagian hutan yang lain, dan tampaknya di situ ada sungai kecil.
"Kita lompat!" tiba-tiba Reza berkata sambil menatap Tina.
Tina tentu saja sangat kaget. "A-Apa?!"
"Maaf!"
Tindakan yang diambil Reza setelah itu terlalu tidak terduga. Bahkan Tina pun kelabakan dibuatnya, ketika Reza tiba-tiba beringsut mendekat dan langsung membopongnya!
"Taranis!" Reza berseru.
Partner setia Azazel itupun bergerak memenuhi panggilan Reza, menempatkan diri tepat di depan mulut jurang yang menganga. Detik berikutnya, Reza melompat ke atas Taranis. Sungguh luar biasa pemuda itu masih bisa mempertahankan keseimbangan, dengan membawa Tina!
Yang terdengar setelah itu hanyalah jeritan Tina. Sementara, Taranis membawa kedua penumpangnya turun ke bagian bawah jurang.
Tina duduk di sebuah batu besar di tepi sungai. Masih berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Tentu saja, bukan karena takut tiba-tiba dibawa terbang. Tadi pun, ia berteriak hanya karena masih sempat berpikir bahwa seperti itulah seharusnya reaksi 'perempuan normal'.
Perempuan normal, ya ...
Tina tertegun sendiri. Sekarang ini pun, debaran di dalam dadanya masih belum mereda. Bukan cuma itu. Ada secercah kehangatan yang belum pernah dirasakan oleh Tina sebelumnya. Seperti nyala lilin kecil yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Perasaan yang benar-benar asing. Aneh, tetapi terasa nyaman. Jujur saja, ia menyukainya.
"Maaf, Taranis. Berat, ya?" tiba-tiba terdengar suara Reza.
Tina spontan menoleh, dan mendapati pemuda itu berdiri tak jauh darinya. Ditatapnya pemuda yang kalau diperhatikan baik-baik memang menawan hati. Bukan soal ketampanan, itu terlalu relatif. Apalagi mereka berbeda planet asal. Andai mengesampingkan status mereka yang merupakan musuh, bisa saja Tina tertarik dengan keberaniannya, kekuatannya, bahkan sifatnya.
"Maksudnya, aku berat?" Tina menanggapi ucapan Reza tadi, hanya untuk mengusir pemikiran yang dirasanya melantur. Sayang sekali, Tina malah mendapatkan efek yang sebaliknya, karena Reza tertawa kecil.
"Bukan begitu," kata Reza kemudian. "Berat, karena membawa dua orang sekaligus."
Tina terdiam. Barusan tatapannya bertemu dengan Reza, dan ia tak sanggup melepaskan diri. Nyala lilin itu masih tetap kecil, tetapi kehangatannya terus menyebar hingga ke seluruh tubuh. Hingga ke relung hati. Adalah Reza yang pertama kali mengalihkan pandang, bahkan kemudian berbalik memunggungi Tina. Dengan begitu, Tina juga bisa menarik napas lega. Cukup lega untuk menyadari bahwa tubuhnya kini diselimuti cahaya tipis merah muda. Entah sejak kapan.
Spontan saja, Tina memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Sampai beberapa saat, gemuruh di dadanya semakin menjadi. Cengkeraman kekuatan Ratih terasa semakin kuat, mengalir di setiap sel tubuhnya. Ia hanya bisa berharap, setidaknya cahaya merah muda itu akan padam. Jangan sampai Reza melihatnya!
"Tina ... ada apa?"
Tina nyaris terlonjak kaget ketika mendadak Reza bicara lagi padanya. Saat membuka mata, ternyata cahaya merah muda di tubuhnya sudah hilang. Setidaknya itu membuatnya lebih lega. Iapun memandang ke depan dan mendapati Reza tengah menatapnya dengan sorot mata cemas.
"Eh? Mm ... Tidak ada apa-apa, kok. Aku ... Aku cuma berpikir ... lebih baik aku pulang sekarang," Tina menjawab sekenanya. "Lagipula, aku masih khawatir. Aku ingin mengecek para pegawaiku secepatnya."
"Baiklah," sahut Reza. "Kalau begitu, biar kuantar."
Hangat, tenang, tenteram. Seperti itulah yang dirasakan Tina selagi ia berjalan bersama Reza meninggalkan area hutan. Terlalu nyaman untuk ditolak. Meskipun begitu, setengah kesadarannya terus menyangkal hal itu.
Bodoh! Konyol! Aku ini Lady Mossa! Dan dia Satria Azazel!
Namun, kehangatan itu terus mengalir di setiap inchi dirinya. Melebur dalam aliran darah. Yang paling menyadari hal itu adalah Tina sendiri.
Mantra sialan! Mantra sialan! Mantra sialan!
Mungkin satu-satunya yang tidak disadari oleh Tina saat ini, adalah rona merah yang menambah kecantikan wajahnya.
Bersambung ...
Fanfic: LOVE OVER DARKNESS ~Reza & Amestina's Story~; Heidy S.C. 2016©
Fandom: Satria Garuda Bima X; RCTI, Ishimori Pro. 2014-2015©
======================================================
*Author's Note*
Dengan segala perkembangan cerita yang terjadi, akhirnya kedua tokoh utama, Reza & Amestina, baru bisa 'bertemu' di chapter ini. Dan aku baru sadar kalau di serialnya, mereka belum pernah ketemu sama sekali! Maksudku, tentunya dalam wujud manusia. OwO
Apa yang akan terjadi setelah ini? Tunggu cerita selanjutnya. Beware of more fight scenes, as well as more & more feels~! >__<
Solo, 15 Oktober 2016
Heidy S.C.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top