Chapter 03. Luka Yang Tak Terlihat
"Reza?!"
Pemuda itu melangkah masuk ke dalam rumah, tidak mempedulikan namanya yang diserukan dengan nada terkejut. Ia berjalan lurus ke ruang tamu, tempat keluarga dan teman-temannya berada sekarang. Mereka tampak bingung. Wajar saja, setelah semua yang terjadi.
"Kak Reza!" akhirnya Rena yang memecah keheningan dan berinisiatif mendekati Reza.
"Berhenti, Rena!" tiba-tiba Dimas berseru, sukses menahan langkah Rena. "Kita tidak tahu, sekarang ini Reza sedang berada dalam pengaruh VUDO atau tidak."
Dimas bangkit dari sofa, lalu menghampiri Reza yang masih berjalan perlahan ke ruang tamu. Sampai di satu titik, mereka sama-sama berhenti. Berdiri berhadapan dalam jarak sekitar satu meter. Dimas tampak waspada, dengan sorot mata tajam terarah kepada Reza yang balas menatapnya nyaris tanpa ekspresi.
"Kalau kamu mencari pertarungan, akan kulayani!" sambil berkata begitu, Dimas mempersiapkan changer dan Power Stone Oranye miliknya. Namun, Reza tidak bereaksi.
"Tunggu, Dimas―Akh!"
Barusan Ray yang berseru, tetapi terputus karena ia tiba-tiba merintih. Tadinya pemuda itu bermaksud bangkit dari duduknya, tetapi urung. Alih-alih, ia menekan dadanya dengan airmuka seperti menahan sakit.
"Ray!"
"Kak Ray!"
Semua orang―kecuali Reza―berseru cemas. Rena kembali mendekat ke sisi Randy.
"Tolong ...," Ray berkata lagi, sementara Dimas masih ragu-ragu hendak menghampiri Ray atau tetap di dekat Reza, "jangan gegabah ..."
"Udahlah, Ray," Randy berkata di dekat Ray. "Kamu balik aja ke kamar, istirahat!"
"Iya, luka Kak Ray itu lumayan parah, lho," sambung Rena. "Jadi sakit lagi, 'kan? Kak Ray bandel, sih!"
Ray tidak menyahut, tampak masih berusaha menenangkan diri. Sementara, Reza akhirnya bereaksi, menggeretakkan rahang dengan tangan terkepal. Hanya Rena yang sempat melihat itu, sebelum akhirnya Reza berkelebat pergi ke bagian rumah yang lebih dalam.
"Kak Reza!" Rena berseru, sembari mengikuti pemuda itu tanpa pikir panjang.
"Rena!" kali ini Randy yang berseru. Iapun beranjak, tetapi sempat mengedarkan pandang sejenak kepada Ray, Ricca, dan Dimas. "Kalian tunggu di sini."
Tempat yang dituju oleh Reza ternyata adalah kamarnya sendiri. Begitu masuk, ia langsung mengambil tas ransel yang biasa dibawanya bila bepergian jauh. Ia lalu membuka lemari, dan mulai memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas.
"Kak Reza!"
Reza menoleh sebentar. Dilihatnya Rena sudah berdiri di ambang pintu. Iapun meneruskan apa yang sedang dilakukannya, sementara Rena ikut masuk ke dalam kamar.
"Kakak ngapain?" tanya Rena.
"Berkemas," Reza menyahut datar.
"Aku juga lihat Kakak lagi berkemas, tapi ... Kak Reza mau ke mana?"
Reza tidak menjawab. Dengan cekatan, ia memasukkan benda-benda lain penunjang kehidupan sehari-hari ke dalam tasnya.
"Kak Reza udah sadar, 'kan?"
"Sementara ini, iya," sambil menjawab pertanyaan Rena, Reza menutup tas, lalu menyandangnya di bahu kanan.
Reza beranjak, bermaksud untuk keluar dari kamar. Namun, tiba-tiba Randy muncul menghadang jalannya, dengan cara berdiri di depan pintu.
"Kak Randy, aku harus pergi," kata Reza.
"Reza ... ," Randy tampaknya ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya menghela napas. Ia lalu menepuk bahu Reza dan berkata, "Jangan pergi tanpa bilang apa-apa sama Ray."
"Iya."
Randy memberi jalan pada Reza yang langsung melangkah keluar kamar. Sedangkan Rena cepat-cepat mendekati kakaknya.
"Kak Randy kok gitu, sih?!" protesnya. "Harusnya Kakak cegah Kak Reza, dong! Iiih!"
Rena menghentakkan kakinya ke lantai, lalu ikut keluar menyusul Reza.
Sejujurnya, Reza tidak tahu bagaimana harus menghadapi Ray setelah kejadian di taman kota. Hatinya begitu pedih, setiap kali mengingat rasa yang tertinggal di tangannya. Tangan yang telah menebas Bima X, menebas kakaknya sendiri. Begitu pun sekarang, ketika ia perlahan menghampiri Ray yang masih duduk di sofa ruang tamu. Pemuda itu bahkan tidak berani menatap wajah sang kakak.
Kegelisahan Reza tertangkap jelas oleh Ray. Namun ia membisu. Dibiarkannya Reza berjalan mendekat tanpa menegakkan kepala. Hingga Reza sampai di depannya, dan langsung meletakkan tas ransel begitu saja di lantai. Ray baru bereaksi ketika Reza tiba-tiba menjatuhkan diri, berlutut di hadapannya.
"Reza, apa yang kamu lakukan?" Ray yang kaget, langsung meraih bahu Reza, bermaksud membimbingnya supaya kembali bangit. Namun Reza bergeming. "Bangunlah, jangan seperti ini―!"
"Kak Ray," Reza memotong kata-kata Ray, masih sambil menunduk, "terlalu berbahaya kalau aku tetap bersama kalian."
Tepat pada saat itu, Randy dan Rena sudah berkumpul lagi bersama mereka. Rena sudah siap untuk memprotes keputusan Reza sekali lagi, tetapi dihentikan oleh Randy. Sementara, Ray terdiam sambil menatap Reza. Melihat Reza yang membawa ransel, dan setelah mendengar kata-kata tadi, ia langsung mengerti apa yang dipikirkan oleh adik semata wayangnya itu.
"Nggak!" kata Ray kemudian dengan nada tegas. "Nggak akan kubiarkan kamu pergi dalam keadaan seperti ini!"
Reza mengepalkan tangannya.
"Hari ini aku sudah melukai Kak Ray ... sama seperti waktu dulu," suara Reza agak bergetar ketika mengucapkan kalimat ini. "Maafkan aku."
"Itu semua bukan salahmu―"
"Tolong jangan bilang kalau itu bukan salahku!" lagi-lagi Reza memotong, sambil menepis tangan Ray dari bahunya. Kali ini Reza mengangkat wajah, bahkan menentang pandangan sang kakak. "Aku ... sudah menyakiti banyak orang. Itu kenyataannya. Dan itu adalah dosa yang akan kutanggung sampai kapanpun."
"Reza ..."
"Jangan khawatir, Kak. Aku sudah biasa pergi mengembara sendirian. Aku akan baik-baik saja."
Setelah mengatakan itu, dari saku jaketnya, Reza mengeluarkan changer dengan Power Stone Hitam tertanam di tengahnya. Diserahkannya benda itu ke tangan Ray.
"Aku titip ini," kata Reza, mengejutkan Ray dan semua yang ada di tempat itu.
"Reza, apa maksudmu?" Ray berkata, lalu mengangsurkan kembali changer itu kepada pemiliknya. "Nggak, nggak. Ambil kembali!"
Reza menggeleng, lalu berkata, "Bahaya kalau aku berubah menjadi Azazel selagi dikendalikan VUDO!"
"Ya, kamu memang benar," Dimas ikut bicara. "Tapi Ray juga benar. Terlalu berbahaya bagimu pergi sendirian tanpa membawa changer dan Power Stone."
"Aku tetap nggak setuju Kak Reza pergi," Rena masih menyuarakan keberatannya. "Tapi kalau memang itu keputusan Kakak ... ya udah, nggak apa-apa. Seenggaknya, tolong jangan bikin kami cemas, Kak!"
"Kamu dengar mereka, Reza," sambung Randy.
Karena terus didesak, Reza akhirnya mengalah. Iapun menyimpan kembali changer dan Power Stone miliknya, kemudian bangkit. Diambilnya tas ransel dari lantai, lalu disandangnya di punggung. Ray dan yang lain pun ikut berdiri.
"Baiklah, kalau begitu aku pergi," kata Reza. "Kak Ray, aku ingin minta tolong. Kalau ... Kalau aku melakukan sesuatu yang buruk di luar keinginanku, tolong hentikan aku."
"Reza, aku ..."
"Aku tahu, ini sulit untuk Kak Ray," Reza berkata lagi sambil menatap kakaknya. "Kalau memang terlalu berat, Kak Ray tidak usah memaksakan diri melawanku. Menjauhlah dariku, Kak. Dan sebagai gantinya ..."
Reza ganti memandang Dimas, lalu berkata, "Dimas, aku mengandalkanmu."
Dimas mengangguk. "Aku mengerti."
Dengan itu, Reza akhirnya benar-benar beranjak pergi. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba ia berbalik lagi.
"Oh, ya," pemuda itu berkata. "Masih ada satu hal yang belum kukatakan ..."
"Dunia ini memang membosankan. Manusia itu membosankan."
Kama Ratih bergumam sendirian, sambil mengaduk-aduk es krim yang sudah setengah cair di gelasnya. Ia sedang berada di sebuah kafe kecil. Dan baru saja mengisengi pasangan muda-mudi di meja sebelah sampai si perempuan minta putus. Padahal Ratih hanya sedikit mempermainkan emosi si pemuda, hingga mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakan.
Rapuh sekali. Begitu pikir Ratih.
"Sudah berapa orang yang kamu buat bertengkar hari ini?" tiba-tiba seseorang bertanya sambil duduk semeja dengan Ratih tanpa permisi.
Tepatnya, seorang wanita muda, yang juga membawa segelas jus jeruk bersamanya. Tanpa melihat pun, dari suaranya Ratih sudah bisa mengenali wanita modis berambut panjang yang di-highlight merah dan ungu itu, sebagai Amestina Seraphine.
"Pasangan kekasih, suami-istri, sahabat, bahkan saudara," kata Ratih. "Bermacam-macam ikatan di antara sesama manusia, semuanya gampang sekali diputuskan. Hanya dengan sedikit kesalahpahaman, kemarahan, kepentingan sepihak. Manusia itu lemah, tapi egois."
Tina tertawa kecil.
"Lucu sekali mendengar itu dari seorang gadis manusia," komentarnya. Sedikit mengharapkan tanggapan emosional dari Ratih, tetapi ternyata yang bersangkutan acuh saja. "Lalu, bagaimana dengan Satria Garuda bersaudara? Apa kaupikir, ikatan mereka bisa dihancurkan?"
Ratih tersenyum spontan, samar.
"Mereka orang-orang terpilih. Mereka kuat. Lebih menarik daripada orang-orang kebanyakan," ujar gadis yang gemar berpakaian warna merah muda itu.
"Ya, benar," Tina menyahut sinis. "Bahkan sampai sekarang kamu belum berhasil mengendalikan Satria Azazel sepenuhnya!"
"Dia masih melawan," kata Ratih, tetap kalem. "Tapi itu tidak akan bertahan lama. Dia akan segera menjadi milikmu."
"Ck! Jangan mengatakan hal yang menjijikkan begitu!" Tina bergidik.
"Kenapa?" Ratih masih menyahut santai. "Satria Azazel itu 'kan keren, tampan ... Perempuan mana yang tidak menyukainya?"
"Aah, sudahlah! Pembicaraan tidak berguna macam apa ini!" Tina tidak ingin menanggapi kata-kata Ratih lagi. "Aku menemuimu karena ada yang ingin kutanyakan. Apa kau mengikuti pergerakan Satria Azazel?"
"Ng? Memangnya kenapa?"
"Dia selalu berpindah-pindah tempat, sehingga keberadaannya sulit dilacak. Terakhir kali, kau yang ada bersamanya, 'kan?"
"Aku meninggalkannya di sebuah gudang tua. Ah, tapi ... kurasa dia sudah tidak ada di sana lagi sekarang."
"Ck! Kenapa kau tidak mengawasinya? Merepotkan saja!" Tina mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja dengan tidak sabar. "Lalu, bagaimana aku bisa melaksanakan rencana kita?"
"Kenapa bingung?" sahut Ratih. "Kalau mau memancing Satria keluar, itu soal gampang, 'kan?"
Dimas dan Ricca sudah berada di dalam mobil yang disopiri oleh Sugi. Ketiganya membisu, seperti terhanyut di alam pikiran masing-masing. Mungkin kecuali Sugi, yang sedang fokus menyetir.
"Ricca!"
"Master!"
Tiba-tiba Dimas dan Ricca bicara berbarengan.
"Kamu duluan saja," kata Dimas.
"Ah nggak, Master ... cuma ..." Ricca tampak ragu-ragu. "Master serius, akan bertempur melawan Azazel?"
"Yah ... kalau memang tidak ada pilihan lain," sahut Dimas. "Tidak akan kubiarkan dia melukai siapapun! Lagipula ... kamu juga sudah lihat 'kan, Ricca? Yang paling terluka ... sebenarnya adalah Reza sendiri."
Ricca terdiam sejenak. "Master benar ... Oh ya, tadi Master mau bilang apa?"
"Oh, itu ... Soal yang dibilang Reza," Dimas berkata. "Coba kamu cari tahu soal gadis yang bernama Kama Ratih itu."
"Baik, Master!"
Pada saat itulah, tiba-tiba Dimas mendapati Power Stone Oranye miliknya menyala.
"VUDO?!"
"Akhir-akhir ini aku merasa konyol sendiri," Tina berkata sembari menghela napas. Di arah pandangnya, ada sepasukan Kranion tengah mengacau di depan area kafe, yang juga tak jauh dari lokasi toko perhiasan miliknya. "Membuat kekacauan kecil, hanya dengan pasukan Kranion seperti ini. Harusnya aku bawa saja monster barang satu ekor!"
"Harimau Roaring Thunder!"
Tina menaikkan sebelah alisnya, ketika tiba-tiba sosok Satria Harimau Torga muncul dari arah pertigaan, tepat di samping kafe. Dilihatnya, Torga langsung menghabisi beberapa Kranion dengan tembakan dari meriam tangannya. Namun kemudian, Torga memilih untuk melepaskan Atlas, sehingga harimau keemasan itu bisa ikut menyerang bersamanya.
"Satria Torga," ujar Tina yang masih berdiri tanpa menarik perhatian di depan kafe, di tengah orang-orang yang berlarian panik akibat serangan Kranion. "Jadi hanya dia yang datang? Hmph! Bagus juga. Akan langsung kurebut Power Stone miliknya!"
Berkat kepanikan yang masih berlangsung di tempat itu, tak seorang pun memperhatikan ketika Tina lenyap dengan teleportasi. Untuk kemudian muncul lagi di tengah-tengah pertempuran, sudah dalam sosoknya yang lain, Great Monster Mossa! Ia langsung melepaskan bola energi biru berelemen air, yang telak menghantam Torga dari depan!
"Ha ha ha ha ha ... Kenapa sendirian, Satria Torga?" tanya Lady Mossa dengan nada mencemooh kepada Torga yang baru saja jatuh berlutut. "Di mana Satria Bima? Apa dia sudah mati?"
"Jangan bicara sembarangan!" sentak Torga sembari bangkit berdiri dan langsung pasang kuda-kuda. "Aku sendiri sudah cukup untuk mengalahkanmu!"
Torga berlari maju, memulai serangan lagi. Namun Lady Mossa bergeming dalam posisinya yang berdiri dengan angkuh.
"Huh! Sombong sekali!" katanya, masih diam di tempat. Sementara, jalan Torga kepadanya dihadang oleh para Kranion yang masih tersisa.
Lady Mossa mengawasi prajurit-prajuritnya yang dihancurkan satu-persatu oleh Torga dengan tendangan, sapuan, atau pukulan tangan kosong. Apa boleh buat. Memang hanya sebatas itu kemampuan Kranion, begitu pikirnya sambil mendengus pendek.
Tak perlu waktu lama, sudah tak ada lagi musuh yang tersisa bagi Torga, selain Lady Mossa. Sang Satria Harimau memberi jeda sejenak. Mengatur napas, sembari mempersiapkan diri untuk menghadapi pertarungan yang pastinya akan jauh lebih sulit!
Tanpa diketahui oleh Lady Mossa dan Torga, seseorang tengah mengamati pertarungan mereka dari jauh. Tepatnya Ratih, yang sosoknya tersembunyi di antara pohon-pohon peneduh jalan. Ia berdiri dengan bersandar pada sebatang pohon besar, sambil menautkan kedua tangan di belakang tubuhnya. Dengan cermat memilih posisi di sudut mati, sehingga nyaris tak seorang pun menyadari ia ada di situ.
"Tidak mengikuti pergerakan Satria Azazel, ya? Itu jelas-jelas kebohongan besar."
Ratih tidak terlalu terkejut ketika Rexor dalam sosok berjubah hitam, tiba-tiba muncul di sampingnya dan langsung menyapa.
"Aku tidak pernah bilang 'tidak mengikuti pergerakan Satria Azazel'," Ratih menyahut. "Tapi ... seperti ini lebih menarik, 'kan?"
Rexor terkekeh. "Tentu. Kalau Lady Mossa merasa harus bersusah-payah, maka dia akan mempertaruhkan segalanya supaya rencana kita berhasil."
Ratih tidak menanggapi, tetapi bibirnya menyunggingkan seulas senyum samar. Sejurus kemudian, mendadak gadis itu tersentak pelan.
"Ah! Dia datang."
Reza baru saja memasukkan barang belanjaannya ke dalam tas ransel, ketika terdengar suara keributan dari jauh. Ia memang membeli beberapa bahan makanan di toserba. Setelah itu, rencananya ia akan pergi ke daerah pinggiran kota yang lebih jarang penduduknya. Kalau perlu ke area hutan sekalian.
SET.
Tiba-tiba Reza merasakan firasat buruk dan refleks mengeluarkan changer miliknya. Benar saja, Power Stone Hitam tampak bercahaya, berkedip-kedip. Pemuda itu memfokuskan perhatian kepada suara keributan tadi. Samar-samar didengarnya seperti ada suara-suara meminta tolong.
"Jangan-jangan VUDO?!" katanya sambil mengepalkan tangan.
Saat ini, bisa dibilang Reza tidak mempercayai dirinya sendiri. Dilema. Di satu sisi, ia merasa bisa kehilangan kendali kapan saja, termasuk ketika sedang menjadi Azazel. Di sisi lain, sebagai seorang Satria, bagaimana mungkin ia akan mengabaikan orang-orang yang butuh pertolongan?
Akhirnya Reza pergi juga, berkendara ke arah sumber suara. Ternyata tidak jauh dari toserba, dilihatnya orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Mengikuti arah datang mereka, sampailah ia di depan sebuah kafe. Kelihatannya sudah tidak ada lagi warga di sana. Hanya tampak sosok Great Monster Mossa yang sedang bertarung melawan ...
"Torga!" Reza berseru sambil turun dari motor.
Dilihatnya Torga baru saja terkena serangan bertubi-tubi, sebelum akhirnya roboh. Ia terdesak!
"Berubah!"
"DARK!"
Tak ada waktu lagi untuk ragu-ragu. Dengan energi dari Power Stone Hitam pada changer yang terpasang di tangan kanannya, Reza segera berubah wujud menjadi Satria Garuda Azazel!
"Dark Shoot!"
Sambil berlari mendekat, Azazel menembakkan bola energi, tepat sebelum Lady Mossa mengeluarkan serangan jarak jauhnya lagi.
"Azazel!"
Torga menyambut Azazel yang mengulurkan tangan kepadanya, kemudian cepat-cepat bangkit kembali. Merekapun berdiri berdampingan, siap menghadapi Lady Mossa.
"Torga, ayo cepat kita selesaikan ini!" kata Azazel.
"Baiklah!" Torga hanya menyahut singkat. Sungguhpun, ia bisa menangkap nada cemas yang samar dari ucapan Azazel. Dan ia tahu persis apa penyebabnya.
"Taranis!"
"Atlas! Combine!"
Azazel dan Torga sama-sama memanggil partner mereka. Begitu Taranis sudah ada dalam genggamannya, Azazel langsung melepaskan sebuah serangan.
"Taranis Black Thunder!"
Petir hitam yang dilepaskan dari Taranis ke arah lawan ini, hanya ditepis begitu saja oleh Lady Mossa dengan tangan kosong. Torga menyambung serangan dengan tembakan meriam Atlas. Sama-sama elemen petir. Namun Lady Mossa masih tenang-tenang saja, membalasnya dengan tembakan bola air, sehingga serangan mereka sama-sama lenyap.
Sementara, Azazel bergerak mendekati Lady Mossa, bermaksud menyerang dari jarak dekat dengan pedangnya. Namun, sebelum Taranis menebas sasarannya, tiba-tiba gerakan sang Satria Garuda hitam itu terhenti!
"Azazel!"
Seruan Torga membuat Azazel tersentak. Namun, saat itu Lady Mossa sudah menciptakan bola energi biru, lalu menembakkannya dari jarak yang sangat dekat! Azazel terpental jauh akibat serangan ini, dan akhirnya jatuh di dekat Torga. Serangan yang fatal, tetapi Azazel segera bangkit kembali, meskipun tubuhnya sakit dan berat.
"Kamu tidak apa-apa?" Torga bertanya cemas. "Tadi ... apa yang terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba berhenti?"
Azazel menggeleng. "Aku tidak tahu, tapi ... ini tidak bagus. Kita harus cepat―!"
Ucapan Azazel mendadak terputus. Pada saat itu, ia merasakan sentakan yang sangat tiba-tiba di dadanya. Begitu menyakitkan, sampai ia kembali jatuh berlutut dengan bertumpu pada tangan kanannya.
"Azazel!" Torga yang melihat itu, segera bergerak mendekat. "Reza, kenapa―?"
Baru saja Torga hendak mengulurkan tangan, tiba-tiba Azazel bangkit sambil menebaskan Taranis. Beruntung, Torga cukup gesit untuk menghindar.
"Reza, hentikan!" seru Torga sambil menghindari tebasan-tebasan berikutnya. "Kamu dengar suaraku?! Reza!"
Torga mempertahankan pertarungan jarak dekat, sambil berusaha menghentikan gerakan Azazel. Sampai akhirnya ia berhasil mengunci tangan kiri Azazel di belakang punggung. Bahkan tanpa sengaja mendapatkan kesempatan untuk membidik Azazel dari belakang.
Point blank!
Namun, Torga didera sedetik keraguan. Akibatnya, Azazel berhasil melepaskan diri dan langsung menebaskan pedangnya ke arah Torga. Sang Satria Harimau menghindar dengan melompat ke belakang, membuat jarak. Ia lalu membidikkan meriam di tangannya. Tepat mengincar Azazel, tetapi sampai detik berganti, Torga belum juga menembak.
Sementara itu, Azazel sudah bersiap menyerang lagi.
"Taranis Slug―!"
Hanya sampai di situ, gerakan Azazel tiba-tiba terhenti. Ia lalu jatuh berlutut sambil merintih tertahan, dengan kedua tangan menumpu ke jalanan beraspal. Melihat itu, Torga menurunkan meriam tangannya. Saat itulah, ia baru menyadari cahaya tipis berwarna merah muda yang menyelimuti tubuh Azazel. Cahaya itu seperti bersaing dengan cahaya keemasan yang kini terus dipancarkan oleh Power Stone Hitam.
"Reza!" Torga melepaskan Atlas, kemudian bermaksud menghampiri Azazel.
"Jangan mendekat!" Azazel berseru, menghentikan langkah Torga. Iapun mengangkat tangan kanannya yang menggenggam pedang, kemudian melepaskannya. Taranis terbang berputar sekali, lalu kembali lagi ke dekat Azazel, melayang tenang di hadapannya.
"Taranis, pergilah ...," ucap Azazel, yang dibalas Taranis dengan pekikan nyaris khasnya. "Pergilah!"
Azazel berubah kembali ke wujud manusianya, begitu Taranis terbang menghilang ke angkasa. Butuh waktu semenit penuh, sampai akhirnya ia bisa menenangkan diri. Cahaya merah muda itupun lenyap, begitu pula cahaya dari Power Stone Hitam.
Sementara itu, Torga baru menyadari bahwa Lady Mossa sudah tidak ada lagi di tempat itu. Meskipun heran, ia bernapas lega, kemudian berubah kembali ke sosok manusianya.
"Reza, kamu tidak apa-apa?"
Reza sedikit tersentak ketika tiba-tiba Dimas sudah berdiri di hadapannya. Iapun bangkit perlahan, lalu memandang Dimas dengan tatapan menyesal.
"Dimas, maafkan aku," katanya.
"Sudahlah, lupakan," sahut Dimas. "Aku baik-baik saja, kok."
"Kalau begitu ... aku pergi dulu."
Reza benar-benar melangkah pergi. Dan sampai pemuda itu meluncur menjauh dengan motornya, Dimas sama sekali tidak menghentikannya.
"Reza ..."
Bersambung ...
Fanfic: LOVE OVER DARKNESS ~Reza & Amestina's Story~; Heidy S.C. 2016©
Fandom: Satria Garuda Bima X; RCTI, Ishimori Pro 2014-2015©
======================================================
*Author's Note*
Halo, Teman-Teman~! \(^o^)
Maaf bangeeeeeeet ... jadwal update terpaksa mundur sehari, soalnya kemarin seharian aku enggak bisa connect ke internet. Jadi, baru bisa update hari ini deh. TT^TT
Anyway, cerita sudah memasuki pertengahannya, nih. Chapter ini banyak drama. I know. Ini Reza lagi dapet bagian baper, hahaha ... Berikutnya, mulai menuju klimaks~! Stay tune, yah~! >__<
Solo, 2 Oktober 2016
Heidy S.C.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top