20 Seoul, 10 Tahun Kemudian (END)
Seoul, 10 tahun kemudian
Siang itu, Karin menuruni tangga rumahnya dengan begitu kegirangan. Ia berlari menyeruak keluar rumah dan menyambut keluarganya yang kembali ke Seoul setelah enam bulan meninggalkannya ke Jakarta. Gadis itu tersenyum sumringah dan melompat memeluk mereka satu per satu.
"Bunda!" seru Karin berlari ke pelukan bundanya.
"Karin sayang!!! Bunda kangen!!!" balas bunda memeluknya begitu erat.
Papanya kemudian menghampirinya dan ikut merangkulnya sambil tersenyum. "Bagaimana kabar kamu?"
Karin beralih memeluk papanya. "Baik banget, Pa!" Gadis itu melirik neneknya yang masih berdiri di sana. Dengan kegirangan ia membungkukkan sedikit badannya untuk memeluk wanita tua itu.
"Karin!" sapa neneknya senang. "Baru enam bulan ditinggal udah tambah cantik gini."
Karin hanya cekikikan mendengarnya. Tidak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaannya selain berkumpul kembali bersama keluarganya. Namun, ada satu yang kurang. Kepalanya celingukan mencari-cari sosok yang ingin dilihatnya. Saudara tirinya.
"Umm... Wonbin mana?" tanya Karin dengan suara lebih pelan.
"Wonbin langsung pulang ke apartemennya," sela bunda Karin.
Sekilas senyum yang terlukis di bibir Karin menghilang. Sejujurnya ia merasa agak sedikit kecewa karena Wonbin lebih memilih langsung ke apartemennya daripada pulang ke rumah untuk menemuinya. Yah, sebenarnya tidak apa-apa, tidak masalah. Namun, perpisahan selama enam bulan bukan waktu yang singkat. Terus terang saja, ia sangat merindukan pria itu. Sepertinya ia harus menahannya sedikit lagi.
Perubahan suasana hati Karin justru membuat bunda dan papanya saling bertatapan dan tersenyum.
"Wonbin nanti malam ke sini. Katanya mau mengajak makan malam di luar," sahut papanya menghibur.
"Ohh..." Karin mengangguk. "Kita mau makan malam dimana?"
"Bukan kita, tapi kamu," sela bundanya. "Katanya Wonbin pengen ngajak kamu makan di luar."
Papanya mengangguk sambil tersenyum lebar penuh keyakinan. "Wonbin sudah cerita ke papa dan bunda. Katanya ada hal penting yang dia ingin ungkapkan ke kamu."
Deg! Perlahan jantung Karin berpacu lebih cepat. Melihat ekspresi kedua orang tuanya yang tertawa geli, entah mengapa Karin merasa bahwa ia mengerti arah pembicaraan ini. Namun, ia tidak ingin terlalu percaya diri dan cepat-cepat mengambil kesimpulan yang salah. Bagaimana jika itu hanya khayalannya semata? Bagaimana jika ini menyangkut hal lain? Ia bisa malu setengah mati. Sekalian mati saja!
"Wonbin... Mau ngomong soal apa?" tanya Karin agak takut namun berusaha memastikan.
Papanya mengangkat bahu sambil tersenyum. "Well... Sebaiknya kamu dengar sendiri dari Wonbin."
Bunda mengedipkan sebelah matanya. "Jangan lupa dandan yang cantik ya malam ini!"
Setelah mereka bertiga masuk ke rumah dan meninggalkan Karin seorang diri yang masih melongo di sana, tiba-tiba ponsel gadis itu bergetar. Ada pesan masuk. Dari Wonbin.
Karin, kamu nungguin aku ya? Maaf ya ngga bisa langsung ke rumah. Ntar deh jam 7 malam aku jemput kamu. Aku pengen ngajak kamu makan di steak house yang udah aku reservasi.
Karin, sekalian ntar... Ada hal penting yang pengen aku omongin... Please luangin waktu buat aku ya.
Wajah Karin memerah tanpa alasan yang jelas. Steak house, hal penting, dandan yang cantik, dan ekspresi orang tuanya. Hal ini sungguh mengarah ke... Karin menggeleng. Degup jantungnya begitu terasa tidak normal. Jangan geer, Karin. Ntar kamu sakit hati... batinnya.
***
Tepat pukul 7 malam, Karin keluar dari pintu rumah menuju area drop off. Di ujung sana, ia melihat seorang pria sedang bersandar di pintu mobilnya dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celananya. Sinar lampu taman perlahan menerangi wajah pria itu seraya Karin berjalan mendekat. Karin seolah menahan napas saat melihat pria itu kini begitu tampan dengan setelan jas formalnya. Wangi parfumnya sudah tercium dalam radius beberapa meter. Senyuman Karin merekah dan dibalas senyuman hangat oleh pria itu.
"Hai... Bin..." sapa Karin dengan mata berbinar.
"Hai..." balas Wonbin tersenyum lebar setelah terdiam sejenak. Pria itu menaikkan sebelah alisnya setelah menatap Karin dari atas sampai bawah. "Ditinggal enam bulan kok makin cantik sih? Oplas ya?"
Karin membuang muka. "Emang susah kalo udah cantik dari lahir sih."
Wonbin tertawa sejenak. Ia membentangkan kedua tangannya dengan lebar, seolah memberi kode kepada Karin untuk mendekat ke arahnya. Gadis itu tertawa kecil dan berlari ke pelukan Wonbin, membuat kaki pria itu mundur selangkah untuk menahan badannya. Wonbin kini mendekapnya begitu erat.
"Bin..." bisik Karin melepaskan kerinduannya. "Kamu apa kabar?"
"Sehat. Aku kangen banget sama kamu."
***
Mereka berdua kini tiba di parkiran mobil steak house. Setelah turun dari mobil, Karin dengan cepat mencegat Wonbin untuk masuk ke restoran. Ia menahan lengan Wonbin, membuat pria itu kebingungan.
"Napa, Kar?" tanyanya.
Karin menatap kedua mata Wonbin dalam-dalam dan penuh harap. Namun, untuk yang kesekian kalinya, ia sungguh berharap apa yang ingin diungkapkan Wonbin kepadanya sesuai dengan ekspektasinya. Jika tidak, mungkin ia hanya ingin langsung mengubur diri karena malu. Ia menjadi sangat tidak sabaran.
"Katanya ada yang pengen kamu omongin ke aku," tanya Karin seraya detak jantungnya bergemuruh. "Soal apa sih?"
Wonbin tertegun. Ia terlihat berkedip dengan cepat lalu menelan ludah. "Ntar ya, habis makan."
"Soal pekerjaan ya? Soal proyek kamu?" tanya Karin bertubi-tubi. "Kata papa penting."
Wonbin tersenyum kecil. "Makanya karena ini penting, masa dikasih tahu di parkiran sih?"
"Buruan!" desak Karin tidak sabar.
Wonbin mendesah pelan. "Karin..."
"Ada kendala di proyek kamu ya? Kamu butuh bantuan aku?"
Mendengar desakan dari Karin, Wonbin menghela napas dan berusaha mengatur detak jantungnya jika bisa. Ia tidak habis pikir akan secepat ini. Padahal tadinya, ia masih berniat mengumpulkan keberaniannya setelah makan malam selesai. Wonbin kini dengan serius menatap gadis itu.
"Ini terkait hubungan kita, Kar. Aku pengen ngomong serius soal kita."
Mata Karin membelalak. Sepertinya tebakannya benar. Ya, sepertinya.
Wonbin tertunduk begitu lama, menutup matanya sebelum akhirnya angkat bicara. "Sepuluh tahun yang lalu, kita sempat pacaran sebelum papa dan bunda mutusin untuk nikah. Setelah kita jadi saudara... Terus terang aja, selama sepuluh tahun kita jadi saudara, itu benar-benar nyiksa buat aku, Kar. Aku terus-terusan nahan perasaan aku yang sebenarnya buat kamu. Sampai numpuk. Sampai pengen meledak. Aku ngga tahan lagi. Jadi, aku mutusin untuk ngomong ke papa dan bunda. Mereka setuju sama aku..."
Karin tidak sanggup berkedip hingga matanya mengering. Wonbin tersenyum samar dan memegang kedua lengan Karin yang membatu.
"Karin, perasaan aku ke kamu ngga berubah dari sepuluh tahun yang lalu. Yang ada malah makin menjadi-jadi. Aku benci kenyataan kamu ada di dekat aku tapi aku ngga bisa gapai kamu. Aku benci lihat kamu bareng cowok lain. Siapa sih itu senior di tim kamu? Jeno? Aku ngga rela, Kar! Aku... Aku cinta banget sama kamu, Karin. Aku cinta kamu bukan sebagai saudara aku. Tapi lebih dari itu. Ini soal keinginan untuk memiliki... Romansa... Naluri... Hasrat..."
Karin benar-benar dibuat mematung oleh perkataan Wonbin. Setelah hampir sepuluh tahun mereka sama sekali tidak pernah mengungkit lagi soal perasaan masing-masing. Gadis itu seakan ingin gila. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia kelu.
"Karin, kamu mau kan balik jadi pacar aku?"
Dagu Karin seolah jatuh saking terkejutnya. Mulutnya terbuka lebar. Oke, ini benar-benar sesuai prediksinya. Wonbin mengajaknya balik pacaran. Tapi...
Wonbin tertunduk dan tersenyum pahit. "Kamu kok dari tadi diam aja sih?" lirih Wonbin. "Aku kan jadi takut. At least kamu ngomong apa gitu..."
Karin masih tidak menjawab apapun. Ia panik. Siapa yang tidak panik coba? Wonbin tidak memberinya waktu berpikir.
"Kamu butuh waktu buat mikir?" sela Wonbin pesimis. "Aku sebenarnya bingung sih ama hubungan kita selama sepuluh tahun ini. Mau dibilang saudara juga ngga. Pacaran juga ngga. Dibilang saudara tapi mesra. Dibilang pacaran tapi banyak batasan. Intinya... kamu udah ngerti banget tentang aku, tentang kelebihan dan kekurangan aku. Apa sepuluh tahun masih kurang cukup? Atau... sebenarnya perasaan aku ngga berbalas? Perasaan kamu ke aku udah hilang?"
Karin begitu syok. Siapa yang tidak syok coba? Sebenarnya gadis itu tahu betul isi hatinya. Ia seakan ingin berteriak. Namun, otaknya sedang tidak bekerja dengan baik.
Wonbin berjalan selangkah, dua langkah, mendekati Karin. Gadis itu membelalak dan melangkah mundur hingga langkahnya terhenti karena terhalang mobil di belakangnya. Wonbin kini menggenggam kuat-kuat sebelah tangan Karin. Tangan yang satunya meraih sebelah wajah gadis itu.
"Apa kamu takut sama pandangan orang lain kalau jadian sama saudara tiri kamu? Apa perlu aku bantu buat ambil keputusan?" lirih Wonbin dengan tatapannya yang begitu dalam.
Wonbin perlahan mencium bibir Karin. Sekali. Wonbin awalnya tidak yakin. Namun, gadis itu hanya diam dan tidak menolak. Tidak ada perlawanan. Sepertinya tidak keberatan. Merasa mendapat lampu hijau, Wonbin kembali menyentuhkan bibirnya ke bibir gadis itu dengan lembut. Dua kali. Tiga kali. Terakhir, ia menyandarkan dahinya ke dahi gadis itu sambil terus menutup mata.
"Karena aku udah berani nyium saudara aku, kira-kira, apa jawaban dia soal ini?" bisik Wonbin.
"Iya."
Wonbin seketika menarik kepalanya agak menjauh. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"What? Coba ulang?" seru Wonbin penuh harap.
Karin tersenyum lebar dan mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya begitu keras. "Iya. Katanya... Dia juga cinta sama kamu. Dia mau balik jadi pacar kamu."
Dalam sekejap, kelegaan menyelubungi Wonbin. Beban di pundaknya selama bertahun-tahun menguap. Kebahagiaan seketika berdatangan. Senyumnya merekah begitu lebar. Matanya berseri-seri. Setelah itu, Wonbin berjalan mundur beberapa langkah sambil menghembuskan napas berat dengan begitu berlebihan. Pria itu menyapukan rambutnya ke belakang sambil berdecak kesal lalu membelakangi Karin.
"Kenapa Bin?" tanya Karin sambil tertawa kecil.
"Aku ngga percaya nembak kamu di parkiran..."
Karin kali ini tertawa tergelak. Ia melingkarkan lengannya tanpa ragu ke lengan Wonbin, mengajak pria itu untuk masuk ke restoran.
"Yuk, kalo gitu reka ulang lagi aja di dalam," tawa Karin riang.
Wonbin tertawa kesal, memutar bola matanya, pura-pura merajuk sambil berusaha melepaskan tangan Karin dari lengannya. "Ck! Kesel deh... Kamu ngga sabaran banget sih!"
"Kamu juga ngapain spill semua di sini?" tambah Karin sambil terbahak.
"Udah ah! Laper!" Wonbin berjalan cepat menuju steak house dengan wajah merah dan panas, meninggalkan gadis itu di belakangnya. "Tau gini ngapain aku reservasi mahal-mahal jauh-jauh hari."
"Ihh, ngambek nih!" goda Karin.
Wonbin sungguh tidak sanggup melihat wajah Karin sekarang saking malunya. Ia benar-benar meninggalkan gadis itu.
Karin melongo. "Bin!!! Tunggu!!!
-END-
Notes:
Hi~ Ini Morgiana! Makasih banget buat kalian yang udah baca dan yang mau bertahan sampai akhir ini hehee... Makasih juga udah add to reading list, vote dan komen. Semoga suka ya sama ceritanya. Sebenarnya aku lagi bikin cerita ringan dan pendek-pendek karena terus terang aja aku suka banget sama cerita ini dan ngga pengen berakhir dulu. Tapi aku posting nanti aja setelah rampung.
Sekali lagi makasih banyak ya. Love you all <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top