14 Masa Lalu
Wonbin sama sekali tidak sanggup menatap wajah papanya, apalagi mengajaknya mengobrol. Meskipun Wonbin tidak mengungkapkan kekesalannya, ia cenderung menghindar, tersenyum kecil, dan berbicara seadanya saja. Ia tidak pernah lagi menerima ajakan papanya untuk olahraga bersama.
Hyunbin menyadari perubahan signifikan pada anak lelakinya itu terhadapnya. Malam itu, di taman belakang rumah, ia menghampiri Wonbin yang sedang duduk melamun sambil memeluk kedua kakinya. Dengan perlahan, pria itu mencoba duduk di sisi anaknya.
"Kamu belum tidur? Sudah lewat tengah malam," tanya Hyunbin.
"Belum ngantuk. Papa duluan aja," jawab Wonbin tanpa menatap papanya.
"Ada yang kamu mau tanyakan ke papa?"
Sebesar apapun usaha Wonbin untuk menyembunyikan perasaannya, papanya selalu berhasil mengetahui isi hatinya. Melihat reaksi anak tunggalnya itu, Hyunbin menyandarkan tubuhnya di kursi taman sambil mendongak menatap langit, membuka kisah lamanya.
"Dulu papa dan Yejin, kami berdua pacaran. Sama seperti kamu dan Karin."
Wonbin tertegun. Ia seketika menengokkan kepalanya ke arah papanya. Jantung Wonbin perlahan berdebar mendengar papanya yang mengungkit masa lalu. Bagaimana papanya bisa sangat paham apa yang sedang ada dalam pikirannya? Di sisi lain, ia tidak ingin melukai perasaan papanya. Entah mengapa, Wonbin seketika dipenuhi perasaan bersalah.
"Jadi, papa saat itu sedang melakukan kerja sama bisnis dengan perusahaan nenekmu. Yejin kebetulan sedang bekerja di sana dan kami berdua bertemu. Tapi sayangnya, hubungan kami berakhir. Papa baru tahu kalau mamamu, yang juga bekerja di sana, sangat menyukai papa dan ingin menikahi papa. Pada saat itu, perusahaan papa sedang mengembangkan sebuah mega proyek. Nenekmu berencana akan berinvestasi dalam jumlah besar ke perusahaan papa. Oleh karena itu, papa membuat keputusan yang sampai saat ini terus membuat papa diselubungi rasa bersalah."
Hati Wonbin teriris melihat mata papanya yang mulai berair sambil terus menatap langit. Namun, ia tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.
"Sejak menikah dengan mamamu, kami berdua putus kontak. Papa sama sekali tidak pernah mengungkit Yejin di depan mamamu. Akan tetapi, sedalam apapun papa menyembunyikan perasaan papa, entah bagaimana caranya, mamamu menyadarinya... bahwa papa masih mencintai Yejin. Sampai ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Tidak heran jika nenekmu masih membenci papa sampai sekarang. Papa adalah orang jahat yang sudah menghancurkan hati orang-orang yang benar-benar tulus mencintai papa..."
Untuk pertama kalinya, Wonbin melihat papanya menitikkan air mata. Untuk pertama kalinya, ia melihat papanya berada di titik terendahnya dan begitu lapang mengutarakan masa lalunya kepadanya. Masa lalu yang mungkin tidak ingin diungkitnya. Wonbin turut meneteskan air matanya satu per satu. Dadanya sesak karena menahan tangis hingga lehernya sakit seperti tercekik. Wonbin mendekap erat tubuh papanya, membenamkan wajahnya di dada papanya.
"Maafin aku, Pa! Udah ngga usah dilanjutin lagi ceritanya! Papa udah menderita bertahun-tahun."
Hyunbin membelai lembut kepala anaknya. "Kamu harus jaga Karin baik-baik. Papa tidak ingin anak papa mengalami nasib seperti papa."
"Tapi gimana dengan papa? Papa masih cinta kan sama bundanya Karin?" tanya Wonbin hati-hati.
Hyunbin tidak langsung menjawab. "Itu semua sudah jadi bagian dari masa lalu. Tidak ada yang perlu kamu cemaskan."
Wonbin merasakan kehangatan terpancar dari tatapan papanya. Namun, melihat pancaran mata itu, Wonbin tahu bahwa papanya berbohong demi dirinya. Demi kebaikannya. Papanya masih mencintai wanita itu.
***
"Serius Bin?"
Sore itu sepulang sekolah, semua murid sudah meninggalkan ruang kelas, kecuali Wonbin dan Karin. Karin tertunduk dan terdiam, begitu syok mendengar cerita Wonbin mengenai orang tua mereka. Ia merinding. Wonbin hanya duduk termenung di sampingnya.
"Aku juga ngga nyangka Kar," jawab Wonbin lesu.
Tak lama kemudian, Karin tiba-tiba tersadarkan oleh sesuatu. Hatinya seketika diliputi rasa takut. Ia memegang lengan Wonbin.
"Bin, kamu sempat nanya ngga ke papa kamu?" tanya Karin panik. "Sejauh apa hubungan papa kamu sama bunda dulu? Terus terang aku... aku khawatir banget kalo kita... kita ternyata..."
"Blood related?" tebak Wonbin sambil tersenyum tipis. "Ngga kok. Aku udah pastiin ke papa. Kamu tenang aja."
Ada setitik kelegaan menghampiri Karin, meskipun saat ini ia masih tidak dapat menerima kenyataan terkait hubungan orang tua mereka.
"Tapi, kamu beneran yakin papa kamu masih cinta sama bunda?" tanya Karin memastikan ulang.
"Aku yakin Kar. Buktinya ada pembatas buku itu. Kalo bener papa udah ngga punya perasaan apapun, ngapain foto jadul tuh tiba-tiba nyelip di buku terbarunya papa?"
Karin tertegun lama. "Terus... Kita gimana Bin?"
Wonbin menatap tegas kedua bola mata Karin dan memegang kedua lengan gadis itu.
"Kamu harus mastiin ke bunda kamu soal perasaan dia ke papa. Cuma ini yang bisa kita lakuin. Kita emang ngga sedarah tapi... Ya kali, Kar! Hubungan kayak gini tuh tetap ngga wajar di mata orang lain! Tetap ada yang harus ngalah. Bayangin coba kalo mereka beneran jadian terus nikah. Kita bakalan jadi saudara, Kar!"
"Aku takut nanya ke bunda. Kalo dia juga masih cinta gimana?"
"Karin, kamu ingat ngga pas aku nembak kamu? Aku nyatain, gue sayang banget sama lo, itu beneran dari hati aku Kar. Mungkin orang-orang bakal remehin perasaan aku. Mungkin perasaan aku ngga sebanding kayak mereka berdua. Tapi, aku beneran tulus, Kar. Kamu udah nyelamatin aku pas penikaman itu. Kalo ngga ada kamu, aku udah ngga ada! Cuma kamu cewek yang bisa bikin aku sentimental kayak gini..."
Seketika, mata Karin basah mendengar pernyataan Wonbin. Hatinya seolah remuk. Wonbin menutup mata dan menunduk dalam-dalam, menyembunyikan kekhawatirannya.
"So please, Kar... Pertahanin hubungan kita..."
***
Karin membuka pintu rumahnya dengan perasaan penuh beban. Terlebih saat bunda menyambutnya dari arah dapur, memeluk tubuhnya, dan melepaskan ransel dan barang lainnya dari tubuhnya. Gadis itu bimbang. Bagaimana ia harus memulainya?
"Tumben Kamis udah balik pulang Kar. Biasanya kan kamu nginap di dorm sekolah sampai Jumat," ujar Yejin kembali ke dapurnya.
Dengan berat hati, Karin ikut melangkah menuju dapur dan duduk di kursi island. Ia tertunduk sambil melipat tangannya di atas meja. Ia tidak menjawab pertanyaan bundanya yang sebelumnya.
"Bun... Ada yang pengen aku omongin. Ini soal papanya Wonbin," ujar Karin begitu hati-hati. "Wonbin udah nyeritain semuanya ke aku, soal hubungan bunda sama papanya dulu."
Aktivitas Yejin terhenti. Ia begitu terkejut anak gadisnya menyinggung soal pria itu di depannya. Dalam sekejap, Yejin diliputi rasa takut. Bagaimana jika anaknya itu membencinya karena dianggap telah merusak hubungannya dengan Wonbin? Dengan cepat ia merangkul Karin.
"Karin... Itu udah lama banget. Udah 20 tahun yang lalu. Bunda juga ngga punya hubungan apa-apa lagi sama papanya Wonbin."
"Itu gimana ceritanya, Bun?" tanya Karin takut-takut.
"Dulu waktu masih di Seoul, bunda kerja di perusahaan neneknya Wonbin jadi sekretaris. Bunda ketemu papanya Wonbin di sana. Tapi, teman bunda, mamanya Wonbin, ternyata juga suka sama papanya Wonbin dan ngajak nikah. Awalnya, papanya Wonbin nolak dia. Tapi bunda bersikeras supaya mereka nikah biar investasi ke perusahaan papanya Wonbin ngga bermasalah. Bunda yang mutusin hubungan dengan papanya Wonbin waktu itu."
Karin melihat bundanya begitu berusaha untuk memberikan penjelasan. Tak butuh waktu lama, air mata anak itu berjatuhan. Pengakuan bundanya membuatnya cukup terkejut. Selama ini, ternyata bundanya merelakan orang yang dicintainya untuk orang lain dan malah menikah dengan pria yang salah. Karin masih berusaha berbicara.
"Wonbin bilang... Papanya masih cinta sama bunda. Kalau bunda sendiri?" isak Karin tak terbendung.
Melihat air mata anaknya tumpah ruah, Yejin memeluk erat anak gadisnya sambil ikut menangis. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menyaksikan Karin sesedih ini. Wanita itu berusaha menenangkan anak gadisnya.
"Sayang, kamu jangan nangis lagi. Bunda minta maaf ya, sayang. Kamu pasti khawatir."
Karin mempererat pelukannya di tubuh bundanya, semakin membenamkan wajahnya di bahu wanita itu.
"Kok bunda minta maaf? Bunda ngga salah apa-apa. Dan bunda belum jawab pertanyaan aku tadi... Apa bunda masih cinta sama papanya Wonbin?"
Yejin terisak kencang. Ia sangat tidak ingin menjawab pertanyaan anaknya. Ia hanya mampu menangis sambil terus memeluk anak gadisnya. Melihat reaksi bundanya, Karin dapat menyimpulkan bahwa bundanya juga masih menyimpan perasaan yang sama dengan papa Wonbin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top