10 Terungkap

Setibanya di Jakarta, Wonbin dan Karin keluar di arrival gate bandara, memutar kepala mencari penjemput mereka. Nampak di ujung sana dua orang dewasa yang berdiri berdekatan, sedang asyik mengobrol dan bercanda. Orang tua mereka masing-masing. Kedua orang itu melambaikan tangan kepada anak-anaknya. Karin berlari menghampiri bundanya dan memeluknya.

Namun, tiba-tiba Wonbin terhenti. Dua orang di depannya itu, papanya dan bunda Karin, mengingatkannya akan suatu hal penting yang dilewatkannya. Wonbin tertunduk penuh tanya. Matanya menjalar kemana-mana. Seketika, ingatannya membawanya kembali kepada pembatas buku papanya. Foto gadis itu.

Wonbin tersentak bukan main. Ia merinding. Foto gadis itu, yang ada di pembatas buku papanya, adalah wanita yang sedang berdiri di depannya. Yejin, Bunda Karin. Wonbin seketika membisu, berusaha mengingat-ingat kembali. Yejin tersenyum kepada Wonbin, membuat Wonbin berdebar hingga ia tersadar. Ia tidak salah ingat dengan sosok itu.

Ngga mungkin...

"Bin, katanya kamu mau ngenalin aku ke papa kamu?" bisik Karin ke telinga Wonbin.

Wonbin tersadar dari lamunannya. Dengan ekspresi setengah melongo, ia menatap Karin di sampingnya.

"Hah? Ahhh... Iya... Hmm... Pa, kenalin ini... Karin," jawab Wonbin terbata-bata.

Karin mengulurkan tangannya dengan malu-malu, disambut uluran hangat dari Hyunbin. Mata pria itu berbinar. Sosok gadis itu begitu mengingatkannya pada Yejin sewaktu masih muda dulu. Dia sangat mirip dengan bundanya.

Tatapan Wonbin berubah tajam melihat reaksi papanya, serta interaksi yang begitu akrab antara papanya dan bunda Karin. Keningnya berkerut.

"Papa udah kenal ama bundanya Karin?" tanya Wonbin blak-blakan.

Wonbin dapat melihat jelas kedua orang tua itu terdiam. Mereka saling melemparkan tatapan bingung. Yejin tertunduk hingga senyum di wajahnya sempat menghilang. Hyunbin mengangguk ragu, menjawab pertanyaan anaknya.

"Iya, papa mengenalnya. Kami bertemu di pertemuan orang tua kemarin," jawab Hyunbin.

Wonbin menunduk. Bukan itu jawaban yang ia harapkan. Kini Wonbin larut dalam pikirannya sendiri. Ia sampai tidak mendengarkan perbincangan mereka karena suara di dalam kepalanya memekik lebih keras. Mereka berdua seperti menyembunyikan sesuatu. Wonbin hanya bisa menggigit bibir bawahnya.

"Wonbin, terima kasih udah jagain Karin selama di sana!" ujar Yejin ramah. "Kami jalan duluan ya!"

Wonbin berusaha tersenyum. "Sama-sama tante. Hati-hati di jalan."

"Kami juga sekalian pamit," tambah Hyunbin.

Karin melirik Wonbin sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangannya. "See you at school!"

"Bye! Ntar malam aku vidcall ya!" balas Wonbin ikut melambaikan tangannya.

Mereka pun berpisah. Wonbin mengikuti papanya ke mobilnya. Setelah ia menaruh barang di bagasi, Wonbin duduk di samping papanya dan memasang sabuk pengaman.

"Bagaimana kabarmu Bin?" tanya Hyunbin.

Wonbin tersenyum tipis. "Baik, Pa. "Aku juga seneng banget akhirnya Karin bisa ikut."

Hyunbin melajukan mobilnya keluar bandara. Sesekali ia melirik anaknya di samping.

"Bagaimana hubungan kamu dengan Karin? Kamu tidak berbuat aneh-aneh kan selama di sana?"

Wonbin membelalak. Ia menengok papanya dengan salah tingkah. Ia sendiri tidak mengerti bagaimana bisa papanya selalu berhasil menebak apa pun yang dilakukannya. Ia memutar otak dengan cepat dan berusaha tidak panik. Toh memang benar ia tidak berbuat aneh-aneh selama di Jogja, meskipun kenyataannya ia nyaris mencium bibir gadis itu.

"Ngg... Ngga kok, Pa!" jawab Wonbin gagap.

Melihat wajah Wonbin yang merona dan gelagatnya yang tidak biasa, Hyunbin tersenyum lebar.

"Yang benar?" godanya.

Wonbin tersenyum lebar sambil menutup matanya. Ia membuang dirinya ke sandaran kursi. "Beneran, Pa! Aku ngga ngapa-ngapain! Pokoknya kita habis deep talk dari hati ke hati satu sama lain. Oh iya, pernah ngga papa ngerasa... Pas suka sama seseorang... Ada moment dimana rasa suka itu berubah ke level yang lebih tinggi?"

Hyunbin terdiam sejenak. "Maksud kamu cinta?"

Wonbin mengedip pelan meresapi kata-kata papanya. Ia memalingkan muka ke arah jendela dan menopangkan dagunya di sana. Pandangannya sayu, menatap langit Jakarta yang diselubungi kabut tebal.

"I don't know... Probably... Itu yang aku rasain sekarang. Gimana menurut papa? Ngga tau deh, Pa! Aku masih bocil."

Sama sekali tak disangka, Wonbin akan mencurahkan isi hatinya kepadanya sampai sejauh ini. Di dalam hatinya, Hyunbin begitu mengagumi anak lelakinya itu, yang begitu berani mengungkapkan apa pun yang dirasakannya. Tidak seperti dirinya, yang hanya memilih memendam perasaannya.

"Papa mengerti yang kamu rasakan. Hanya saja... Sudah lama sekali... Terakhir papa merasakan hal itu. Papa sudah agak lupa."

Hati Wonbin terenyuh mendengar ucapan papanya.

***

Setelah mengantar Wonbin pulang ke rumah, Hyunbin langsung berangkat ke tempat proyeknya. Wonbin menyapa neneknya dan memberikannya oleh-oleh dari Jogja. Setelah sang nenek kembali ke kamarnya, tanpa pikir panjang, Wonbin memasuki ruang kerja papanya. Meskipun papanya sedang pergi, ia tetap saja was-was hingga mengendap-endap masuk sambil celingukan, memastikan tidak ada yang melihatnya. Ia berjalan menghampiri meja kerja. Tangannya kemudian sibuk memilah-milah buku yang ada di sana. Namun, ia tidak menemukan buku yang waktu itu dimana pun.

"Duh, buku itu dimana ya? Apa dibawa papa?"

Setelah mencari ke rak buku dan seluruh sudut ruangan, Wonbin tetap tidak menemukannya. Ia melemparkan badannya ke sofa di ruang kerja itu. Otaknya berpikir untuk mencari cara lain. Ia kemudian memperbaiki posisi duduknya dan berusaha mengingat kembali judul buku tersebut. Ia berpikir sambil memegang dagunya.

Salah satu kelebihan Wonbin adalah kemampuan mengingatnya yang cukup dapat diandalkan. Begitu ia berhasil mengingat judul buku tersebut, ia mengeluarkan ponselnya dan berselancar ke internet. Ia mencari info tahun cetakan pertama pembuatan buku tersebut. Wonbin menggigit bibir dengan kening berkerut.

Buku itu keluaran baru dan bukan cetakan lama. Artinya foto usang itu ngga mungkin bisa tiba-tiba ada di sana. Mungkin papa memang ada niat buat ketemu lagi sama bundanya Karin. Tapi, hubungan mereka dulu apa? Siapa tau cuma temenan. Tapi ngga mungkin kan temenan sampe dijadiin pembatas buku? Apa mantan pacar papa? Terus papa masih sayang dan ngga bisa lupain dia sampe sekarang? Terus ada niat pengen ngajak balikan? Tapi kok papa diam aja ke gue? Apa karena gue pacaran ama Karin?

Wonbin mengacak rambutnya. Pikiran-pikiran terburuknya bermunculan. Tangannya sampai dingin hingga ia meremasnya. Ia sampai ingat ketika meminta papanya untuk menikah kembali jika ada wanita yang disukainya. Wonbin kian mengusap frustrasi wajahnya.

Masa sih? Kemungkinan terburuknya, kalo mereka balikan terus nikah, gue ama Karin bisa jadi saudara tiri. Emang boleh pacaran ama saudara tiri? Aib ngga sih? Tapi, gue ama Karin kan ngga ada hubungan darah. Harusnya sih ngga masalah. Kenapa gue harus khawatir? Tapi, gue ngga tau sejauh apa hubungan mereka dulu.

"Wonbin?" sapa Hyunbin yang baru memasuki ruang kerja.

Wonbin kaget sejadi-jadinya. Jantungnya hampir copot dan matanya hampir melompat keluar.

"Lho? Bukannya papa ke proyek?" tanya Wonbin panik.

"Papa sudah minta tolong karyawan papa. Biar papa bisa punya banyak waktu buat kamu. Mau main biliar sama papa?"

Wonbin tidak menjawab pertanyaan papanya. Ia nampak terpaku begitu melihat papanya membawa sebuah buku di tangannya. Buku yang waktu itu! Wonbin membelalak. Papa Wonbin menaruh buku tersebut di dalam rak buku. Mata Wonbin tidak terlepas dari pergerakan tangan papanya, mengingat lokasi penyimpanan buku tersebut.

"Anyway... Itu buku apa?" tanya Wonbin tanpa bertele-tele. "Papa lagi baca buku itu?"

"Tentang hubungan ayah dan anak laki-lakinya. Kalau mau baca saja."

Dengan santai dan tanpa beban, Hyunbin mengambil buku yang dimaksud dari rak dan menyerahkannya begitu saja kepada Wonbin, membuat anak itu keheranan. Father, Son, and The World. Judul bukunya sudah sesuai dengan apa yang ada di ingatannya. Namun, begitu ia membukanya, ia berdecak kesal. Foto itu sudah tidak ada di sana.

***

Seusai bermain biliar bersama ayahnya, Wonbin mengunci dirinya di kamarnya. Ia berjalan berputar-putar mengitari kamar sambil berpikir keras. Ia benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk melihat foto itu lagi. Wonbin menutup mata sambil mendongakkan kepalanya. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Video call dari Karin. Wonbin tertegun.

"Karin... lagi ngapain?" sapa Wonbin dengan suara lesu.

Katanya tadi mau vidcall?

Wonbin tersenyum sambil menutup matanya. "Aduh sorry... aku tadi umm..."

Kenapa Bin?

"Ngga kok," jawab Wonbin serasa mendapatkan kembali energinya. "Aku senang banget lihat kamu senyum gitu. Manis banget!"

Mulai lagi kan? Gombal deh! Aku tutup nih!

"Serius manis banget! Aku paling ngga kuat kalo lihat kamu lagi senyum!" goda Wonbin.

Ohhh gitu... makanya waktu di Jogja itu main nyosor aja...

Wonbin berkedip salah tingkah. Mulutnya terbuka lebar. Wajahnya otomatis memerah. Seketika ia membisu, namun sangat ingin membela diri. Tadinya ia mengira Karin tidak akan mau membahas soal ini.

"Hah? Ngg... Maksud kamu apa?" tanya Wonbin pura-pura polos.

Karin terlihat memutar bola matanya dengan kesal.

Gue tau lo mau nyium gue pas di Jogja!!!

Wonbin tidak dapat mengelak sama sekali. Ia memelas manja bak anak kucing. "Kok ngomongnya lo-gue lagi sih?"

Udah deh lo ngaku aja! Lo mau nyium gue kan?

Suara Karin kian melengking. Dengan hembusan napas berat, Wonbin mengambil sikap duduk.

"Oke, gue akuin gue pengen nyium lo!" sembur Wonbin menahan beribu malunya. "Makanya lo kalo lagi depan gue, jangan mancing gue! Gue juga cowok, Kar! Ya gue turutin naluri gue lah!"

Karin tertawa puas di seberang sana melihat reaksi imut pacarnya.

Siapa yang mancing? Hhh... Dasar cowok nafsuan amat!

Wonbin tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia tertawa dengan berlebihan, memijat dahinya sambil menutup mata.

"Gue nafsuan?" tanya Wonbin sambil menunjuk dirinya. "Ehhh, jelas-jelas gue liat lo juga ikut nutup mata waktu itu dan ngga ngehindar. Terus terang aja Kar! Lo juga nunggu ciuman dari gue kan?"

Mata Karin membulat tidak percaya. Ia melemparkan pandangannya ke arah lain dengan kesal.

Hahhh? Kapan gue nutup mata? Lo salah liat anjirrr!!!

Wonbin menjatuhkan rahang mulutnya dan tertawa terjungkir. "Hehhh!!! Cewek gue ngga boleh ngumpat anjirlah!!!"

Malam itu, diselingi canda tawa dari Karin, Wonbin sejenak dapat melupakan beban pikirannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top