02 Papa Datang
Wonbin dan Karin sejak tadi mengerjakan homework di sebuah kafe sekalian makan siang. Sudah dua jam berlalu sejak kedatangan mereka. Meja kafe penuh dengan makanan, laptop, buku, dan kertas-kertas yang berserakan.
"Soal terakhir ini jawaban kamu apa?" tanya Karin memastikan.
Wonbin mengecek laptopnya. "A."
"Hah? Bukannya C ya?" jawab Karin bingung.
Wonbin mendekatkan wajahnya ke Karin dengan penuh keyakinan. "A!"
"C!" balas Karin sambil tertawa. "Ehh masa sih A?"
"Kamu kok ngga pede gitu? Mau taruhan ngga?" tantang Wonbin tersenyum lebar. "Yang kalah harus nyium pipi pacarnya."
"Dasar! Otak kamu tuh ya!" tawa Karin. "Itu sih untungnya tetap di kamu! Menang atau kalah!"
"Coba aku lihat perhitungan kamu," ucap Wonbin seraya mengambil kertas coret-coretan Karin. "Ehh ini salah nih. Kamu salahnya di sini. Ini emang agak tricky jadi harus lebih teliti."
Karin mengeryit dan mencoba memahami maksud Wonbin sambil melihat kertas coretannya. Begitu gadis itu menyadari kesalahannya, ia dengan lesu membenamkan wajahnya di meja seraya Wonbin bersorak-sorak atas kemenangannya.
"Ayo buruan!" ucap Wonbin seketika menunjuk-nunjuk sebelah pipinya kepada Karin, meminta kecupan.
"Ngga bakalan!!!" balas Karin sambil mencubit pipi Wonbin.
Wonbin meringis pelan sambil tertawa. Matanya kemudian tak sengaja menangkap layar ponselnya. Ia lalu mengecek chat masuk. Ada satu pesan dari neneknya.
Cepat pulang ya Bin. Ada papamu tiba-tiba datang.
***
Setelah mengantar Karin pulang, Wonbin mempercepat laju mobilnya memasuki jalan tol. Pikirannya campur aduk. Entah ia harus senang atau kecewa karena papanya jarang menemuinya, bahkan di saat-saat terberatnya. Begitu ia menerima kabar dari neneknya bahwa papanya sekarang ada di rumah, Wonbin masih tidak mengerti. Mengapa ia tidak dikabari sebelumnya? Hal tersebut cukup membuatnya sedikit kesal. Namun, yang pasti adalah ia sangat merindukan sosok panutannya itu.
Begitu tiba di rumah, Wonbin memarkirkan mobilnya di basement. Ia kemudian bergegas berlari ke lantai atas. Sesampainya di ruang keluarga, ia melihat papanya sedang duduk membelakanginya.
"Papa!"
Hyunbin Park. Sosok pria itu menoleh dan seketika bangkit dari sofa. Ia berjalan cepat ke arah Wonbin lalu mendekap erat putra semata wayangnya itu. Wonbin bisa merasakan rangkulan papanya yang tegas. Aroma vetiver terpancar dari tubuhnya, wangi khas papanya yang begitu ia rindukan.
"Wonbin, bagaimana kabar kamu? Perut kamu masih sakit? Luka tikamannya sudah sembuh?" tanya Hyunbin bertubi-tubi.
Belum sempat Wonbin menjawab, Hyunbin kemudian mengangkat sedikit baju Wonbin ke atas untuk mengecek bekas luka operasi di perut anaknya.
"Udah kering kok, Pa," jawab Wonbin. "Udah sembuh."
Hyunbin kembali memeluk anak lelakinya itu dengan penuh penyesalan.
"Maafkan papa ya! Papa kemarin belum bisa temani kamu sampai kamu keluar ICU. Kamu bahkan belum siuman, papa sudah harus kembali ke Seoul."
"Udahlah, Pa!" jawab Wonbin tersenyum kecil. "Udah lewat juga. Aku ngga papa kok sekarang. Kok ngga bilang mau datang? Kan aku bisa jemput di bandara."
"Papa terlalu malu untuk minta jemput. Setidaknya papa dimaafkan dulu sama anak papa."
Wonbin sungguh tidak menyangka papanya mengatakan hal tersebut, membuatnya malah merasa bersalah. "Pa...."
Hyunbin tersenyum dan mengeluarkan kotak mewah kecil dari dalam saku outer-nya.
"Papa punya hadiah buat kamu," kata Hyunbin tulus.
Wonbin dengan penuh tanya mengambil bingkisan kecil itu. Begitu ia membuka isinya, matanya berseri-seri. Jam tangan impiannya sekarang ada dalam genggamannya. Wonbin mendongak memandang papanya.
"Pa, ini kan mahal banget," ujar Wonbin tidak enak hati. "Aku ngga bisa pake ini ke sekolah."
"Pakai ke acara tertentu saja. Ini hadiah atas kesembuhan kamu."
Wonbin tak kuasa menahan senyum dan kegembiraannya. Ia kembali memeluk papanya kuat-kuat.
"Makasih banget, Pa!" ucap Wonbin menggebu.
"Anything for you, son!" jawab Hyunbin. "Papa di Jakarta selama enam bulan sekalian monitoring proyek papa di sini. Papa bakal punya banyak waktu buat kamu. Ada yang mau kamu lakukan bareng papa?"
"Catur dulu yuk sambil ngobrol! Udah lama nih!" ajak Wonbin berapi-api.
Wonbin berlari kencang ke ruang kerja papanya untuk mengambil perlengkapan catur dan kembali ke ruang tengah dengan penuh semangat. Sembari Wonbin mengatur buah catur di atas papan, ia mengirimkan chat kepada Karin. Setelah membaca respon Karin, senyum lebar tersungging di bibirnya.
"Dari tadi senyum-senyum sendiri. Kamu punya pacar sekarang?" tebak Hyunbin.
Wonbin tersentak. Ia menatap layar ponselnya sambil mengedip kikuk. Bagaimana bisa papanya asal menebak isi kepalanya? Wonbin hanya menelan ludah dan tidak menghiraukan pertanyaan papanya. Ia meletakkan ponselnya di meja dan fokus untuk mulai bermain.
"Yuk mulai!" ujar Wonbin menggaruk belakang kepalanya asal-asalan.
Hyunbin berkesempatan maju duluan. Ia memajukan pion putih dan menekan jam catur. Wonbin turut memajukan pion hitamnya lalu menekan jam. Semua berlangsung sangat cepat hingga beberapa anak buah catur Wonbin tersingkirkan dari papan hitam putih itu.
"Nama pacar kamu siapa?" tanya Hyunbin penasaran. "Boleh kan papa tahu? Kenalnya bagaimana?"
Wonbin merona secara perlahan. "Namanya Karin. Ketemunya pas kejadian penikaman waktu itu. Dia kecopetan. Aku lari ngejar pencopetnya. Pencopetnya nikam perut aku. Terus Karin yang bawa aku ke rumah sakit sambil nangis-nangis dan ikut nyumbangin darahnya buat aku. Sejak itu, aku udah mulai nyari-nyari sosmed dia buat kenalan. Tahu-tahu dia ternyata pindah ke Riize High dan kita sekelas. Awalnya sih aku cuma pengen berterima kasih. Tapi, lama-lama ya... gitu deh, Pa."
"Lama-lama kamu suka sama dia?" goda Hyunbin sambil tersenyum.
Wonbin tersenyum malu, tidak sanggup menatap wajah papanya.
"Terus terang aku udah baper dari awal dia nolongin aku," ungkap Wonbin jujur. "Aku ngga bisa berhenti mikirin dia. Makanya aku seneng banget pas tahu kita satu sekolah dan sekelas."
"Dia orangnya bagaimana?" tambah Hyunbin berusaha lebih menggali informasi.
Wonbin menyapukan rambut gondrongnya ke belakang kepala. "Dia anaknya cerdas, seru, perhatian, nyambung banget deh ama aku. Hmmm... rambutnya panjang... cantik... cantik banget deh pokoknya."
Hyunbin tersenyum hangat melihat reaksi anak lelakinya yang sedang dimabuk asmara. Baru kali ini ia melihat sisi lain dari anak tunggalnya itu. Satu hal yang ia sadari bahwa Wonbin sangat ekspresif jika menyangkut soal percintaan. Anak itu sangat blak-blakan mengungkapkan isi hatinya. Sangat berbeda dengannya dulu.
"Checkmate," ucap Hyunbin tersenyum.
Melihat strategi catur papanya, Wonbin terkesiap. Ia tidak menyangka bisa hilang fokus.
"Sepertinya Karin memang benar-benar mengalihkan perhatian kamu. Papa jadi penasaran mau ketemu pacar anak papa, gadis yang sudah buat kamu jadi seperti ini."
Wajah Wonbin kian memerah. Ia mengangguk malu. "Kalau ada waktu aku kenalin deh."
Di tengah pembicaraan santai itu, nenek Wonbin tiba-tiba muncul ke ruang tengah. Dengan perlahan papa Wonbin bangkit berdiri dan membungkuk. Raut wajah nenek Wonbin begitu dingin. Tidak nampak sedikit pun senyum di wajahnya.
"Ibu tidak istirahat?" sapa Hyunbin ke ibu mertuanya itu.
"Geunyang ja! Pigonhagejji! (Tidurlah! Kamu pasti lelah!) Wonbin, biarkan papamu istirahat!"
Wonbin lagi-lagi menyaksikan perlakuan dingin neneknya kepada papanya. Namun, tidak ada yang bisa dilakukan olehnya. Anak itu melirik papanya dengan raut miris. Papa Wonbin hanya bisa tersenyum kepadanya.
"Besok mau apa lagi?" tanya Hyunbin kepada anaknya sebelum masuk kamar.
"Main tenis yuk, Pa! Habis aku pulang sekolah ya!"
***
Karinnn, papa barusan ngasih hadiah jam tangan ke aku! 😊😊😊
Keren bgt Bin
Kyknya mehong tuh wkwk
Kamu pasti seneng bgt! Have fun ya bareng papa kamu selagi bisa.
Bsk aku mau tenis lapangan bareng papa. Maaf ya Kar mgkn bsk ngga bisa belajar bareng.
Santai Bin! Ntar aku bareng yg lain.
"Cieee... WA dari Wonbin ya?"
Yejin, bunda Karin, berdiri di depan pintu kamar anak gadisnya. Karin hanya bisa tersenyum salah tingkah.
"Iya, Bun. Katanya papanya datang dari Seoul hari ini."
"Baguslah. Kayaknya kamu pernah bilang kalo Wonbin selama ini cuma tinggal berdua sama neneknya kan di Jakarta?"
Karin mengangguk. "Aku penasaran deh sama papanya. Pasti mirip Wonbin ya?"
"Biasanya anak cowok mirip papanya. Apalagi anak tunggal. Kenapa Kar? Kamu penasaran ama camer kamu?" goda Yejin.
Karin tertawa dan memasang wajah cemberut. "Ihhhh... Apaan sih, Bunda!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top