05 🍬 Cerita Fatia Aruna
بسم الله الرحمن الرحيم
One Squell of Khitbah Kedua and the others
-- happy reading --
🍬🍬
Pantangan bagi seorang wanita yang akan memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya adalah tidak perlu membandingkan seseorang dengan seorang yang lain. Karena Allah menciptakan ketidaksempurnaan untuk bisa saling menyempurnakan.
Membaca, memperhatikan serta belajar dari pengalaman orang lain, kesemuanya itu akan bisa menyeimbangkan langkah bahwa apa yang telah menjadi pilihan adalah sesuatu yang paling baik untuk hidup ke depan bersama pasangan. Aku kembali mendesah bimbang, tak bisa menampik kesakitan hati atas perbuatan yang dilakukan oleh saudara kembarku. Jika ikhlas itu adalah rela, saat ini jujur aku belum memiliki kata itu. Namun saat kata bijak kembali berputar di kepalaku rasanya sangat tidak adil ketika aku memaksa bahwa orang lain harus mencintaiku sama seperti aku mencintainya. Itu hanyalah sikap egois yang merugikan orang lain.
Aku melihat jam dinding di kamarku, terdengar beberapa menit yang lalu suara bang Hafizh menggema berpamitan kepada kakak iparku. Mungkin inilah saatnya untukku mulai bicara. Mungkin kak Fatia bisa membantuku keluar dari masalah yang sebenarnya simple namun kubuat rumit dengan caraku, setidaknya demikianlah penilaian orang lain kepadaku.
"Kak, Kabsya sudah tidur?" Aku bertanya kepada kak Fatia yang masih menimang Kabsya di gendongannya.
"Baru saja merem, kenapa kak Al?"
"Ingin bicara sesuatu dengan kak Fatia. Bisa nggak?"
"Ya bisa dong, sebentar kakak turunkan Kabsya ke box dulu."
"Bang Hafizh hari ini ke Surabaya ya?"
"Iya, baru saja berangkat. Katanya nanti kalau kamu ada waktu disuruh datang ke gudang. Ada beberapa pengiriman yang sampai hari ini." Itu memang sudah menjadi tugasku sedari aku memutuskan untuk kuliah di ekonomi dan tinggal bersama abang dan kakak iparku.
"Ok, habis ini aku ke sana."
Mungkin aku pernah cerita kalau abangku ini pernah sakit hati karena kak Fatia. Tapi sekarang hubungan mereka justru semakin baik, harmonis dan tidak kalah romantis seperti daddy atau mas Hanif. Entah mereka belajar dari siapa. Yang jelas pemandangan 'sosor-menyosor' itu bukanlah hal yang tabu lagi di keluarga kami.
"Mau bicara apa, Kak Al?" Gelembung lamunanku terkoyak, suara kak Fatia bergetar dekat dengan tempatku berdiri menikmati suasana alam kota Malang yang masih segar di tempat tinggal kami.
"Kak, sebelum aku bicara kakak jangan marah ya, jangan merasa tersinggung. Ini tentang pak Aftab." Aku melihat kak Fatia lebih detail, tidak ada yang berubah. Dia hanya sedikit merasa kaget mendengar pernyataanku.
"Pak Aftab? Ada apa dengannya?"
"Kita semua tahu sebelum Kak Fatia menikah dengan bang Hafizh, kakak pernah menerima pinangan dari pak Aftab sebelum akhirnya dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri karena sesuatu hal yang memang belum jelas kebenarannya. Anggap ini takdir bahwa jodoh kak Fatia memang hidup bersama bang Hafizh. Aku hanya ingin tahu, secepat apa dulu kakak bisa move on dari pak Aftab kepada bang Hafizh?" Jika ini masuk ke ranah pertanyaan yang sangat pribadi maka ampunkanlah aku ya Rabb
Kulihat kak Fatia tersenyum, tubuhnya memberikan reaksi atas pertanyaanku. Seolah mengingat peristiwa beberapa tahun silam yang membuat cerita itu ada sebelum akhirnya dia berdiri membelakangiku dan mulai bercerita.
"Sebenarnya, sedari awal cerita hatiku telah dimiliki oleh abangmu." Aku memastikan sekali lagi bahwa apa yang aku dengar tidak keliru. Jika hatinya untuk bang Hafizh mengapa harus menerima lamaran pak Aftab?
"Ya, bang Hafizh telah membawa hatiku serta sedari awal. Dari kecil kami memang sudah saling mengenal, Kak. Dari awal abang sangat membenciku karena menurutnya aku selalu mengambil perhatian bunda darinya." Cerita ini memang sudah bukan lagi menjadi rahasia, abang cemburu dengan kak Fatia atas perhatian bunda.
"Kebersamaan kami, usaha bunda untuk membuat acara mendekatkan kami berdua berhasil tanpa drama. Skenario bunda begitu rapi, bang Hafizh mengerti dan akhirnya kami menjadi satu tim yang solid untuk melebarkan usaha bunda di Malang. Perhatian abang, sikap hangatnya memperlakukan kakak pada waktu itu membuat hati kakak meleleh. Namun pada saat tanpa sengaja kakak melihat abang bertemu dengan Aira dan abinya rasanya semuanya seolah semu. Aira yang jelas-jelas pernah mengungkapkan perasaannya kepada abang membuat kakak cemburu waktu itu. Namun, kakak tidak bisa berbuat lebih karena bang Hafizh selalu berkata dia ingin sukses berkarier baru berpikir tentang pernikahan. Di saat yang sama dengan peristiwa itu, datanglah pak Aftab melamar kakak."
"Tanpa pendekatan ataupun pacaran, Kak?"
"Tanpa keduanya. Kami bertemu sebelumnya di butik bunda. Saat pak Aftab dan seluruh keluarga ingin membuat seragam acara di kantor om Arfan. Dan secara tidak sengaja pak Aftab merupakan dosen di kampus tempat kakak kuliah. Tidak ada pembicaraan pribadi sebelumnya sampai akhirnya dia datang dan melamar."
"Dan kakak langsung menerimanya?" Aku tidak pernah tahu cerita ini. Bang Hafizh tidak pernah cerita, bunda apalagi, dan kak Fatia juga tidak pernah berusaha untuk bicara. Bahkan saat mengetahui pertengkaranku dengan mbak Ayya, dia memilih untuk diam tanpa berusaha untuk menjelaskan.
"Tidak."
"Lalu?" Kan, kekepoanku semakin menjadi.
"Awalnya kakak ingin menolak, kakak ingin menanti sampai abang mengungkapan isi hatinya. Karena kakak yakin bang Hafizh juga memiliki rasa yang sama kepada kakak. Tapi setelah melihat dia bertemu dengan Aira dan abinya dimana mereka bertiga bercengkerama dengan begitu hangat rasanya anggapan itu salah. Kakak berpikir bahwa kakak hanya Ge eR dan kebanyakan menghalu saja. Dengan mencoba mengerti siapa dan darimana kakak berasal, rasanya keluarga bunda tidak akan bersedia menerima kakak yang tidak jelas asal usulnya. Apalagi daddy pada waktu itu seringkali memberikan nasihat pada abang untuk segera menikah dengan empat syarat, karena nasab, agama, cantik dan hartanya. Kakak semakin insecure dan__"
"Akhirnya pak Abtab menjadi pilihan karena dia bersedia menerima keadaan kak Fatia dengan masa lalu kakak, bahkan sebelum bang Hafizh mengungkapkan perasaannya kepada kakak?"
"Benar."
"Dengan kata lain, pak Aftab merupakan tempat pelarian rasa kecewa kak Fatia karena menurut kakak abang menaruh rasa pada wanita lain yang sebenarnya bukan seperti itu ceritanya?"
"Usia kakak sudah seharusnya untuk menikah pada waktu itu, Kak. Kakak tidak tahu selain pak Aftab adakah laki-laki yang bisa menerima keadaan kakak. Kakak hanya berpikir simpel, pak Aftab baik, dari keluarga baik, tidak pernah terdengar berita miring di kampus dan terlebih tante Nia menerima kakak dengan baik. Seperti bunda."
Aku mencoba menghubungkan cerita kak Fatia dengan puzzle cerita yang mbak Ayya berikan. Tidak banyak, hingga membuat pertanyaan lain muncul di benakku.
"Kakak tidak banyak ambil posisi untuk masalahmu dengan mbak Ayya, Kak. Maaf, karena kakak tidak ingin membuat abang semakin terbakar hatinya karena emosi."
"Setahuku, abang tidak akan semurka itu. Terlebih kak Fatia juga telah menjadi miliknya. Apakah ada cerita lain yang membuat bang Hafizh sedemikian marahnya, Kak. Hingga memiliki sifat mendendam seperti itu? Sungguh, itu bukan sesuatu yang pernah diajarkan oleh daddy dan bunda. Dan aku tahu abang bukan tipe pendendam, tapi melihat pak Aftab sepertinya ada amarah yang membara lagi. Kak Fatia telah menjadi milik abang sepenuhnya, lalu mengapa harus seperti itu kepada pak Aftab?"
Tidak terdengar jawaban, jika asumsiku benar. Pasti telah terjadi sesuatu diantara mereka selain masalah itu yang sifatnya lebih membahayakan. Kak Fatia hanya terdiam sampai aku bertanya lagi.
"Pak Aftab berulah lagi setelah kalian menikah?"
"Kakak tidak bisa cerita, Kak Al. Itu adalah aib yang harus kakak tutup. Kakak bisa memahami abang, dia tidak salah karena melindungi kami sebagai keluarganya tetapi juga belum sepenuhnya benar karena setiap orang wajib diberikan kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Hanya saja kakak memilih untuk tidak bicara, demi menjaga perasaan abang dan menghormati dia sebagai suami kakak. Kamu paham kan apa yang kakak maksudkan?"
Aku mengangguk, berarti benar. Ada sesuatu setelah mereka menikah yang membuat bang Hafizh begitu membenci pak Aftab.
"Lalu, kalau aku boleh tahu, Kak. Alasan kakak menerima lamaran pak Aftab dulu apa selain karena beliau baik, keluarga juga sangat mendukung. Padahal kakak tidak mencintainya?" Aku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya hal yang sangat jauh. Semoga saja kak Fatia bersedia untuk menjawab.
"Karena cinta itu tidak jatuh, kak. Cinta itu tumbuh, dan waktu menjadi sarana untuk bisa memupuk supaya cinta itu tumbuh. Kakak tidak ingin terlalu jauh sakit karena menganggap perasaan kakak kepada abang hanya bertepuk sebelah tangan. Kakak beranggapan, Allah memberikan jalan dan menitipkan obat kepada pak Aftab untuk menyembuhkannya. Jika Kak Al mempertanyakan tentang arti kesetiaan, kakak punya pemikiran bahwa setia itu adalah hal mutlak setelah pernikahan. Bagaimana bisa dikatakan setia jika kakak tidak tahu perasaan abang? Abang juga tidak mengerti bagaimana hati kakak, terlebih karena kami tidak memiliki hubungan dan tidak pernah mengikrarkan janji apa pun."
"Kak__" jawaban kak Fatia ini meski pelan tapi tepat sasaran. Hatiku yang seharusnya bisa menerima seperti dia, bukan malah memaksakan.
Apa kurangnya kak Kama?
Bahkan aku melihatnya seperti manusia sempurna tanpa celah walau sesungguhnya aku tahu tidak ada kesempurnaan dalam hidup. Yang ada adalah saling melengkapi untuk menjadi sempurna.
Hati itu bukan bola tenis yang bisa dioper dengan begitu mudah. Namun otak bisa menjadi partner yang sangat baik untuk berpikir. Meski terkadang logika tak selaras dengan perasaan tetapi rasa bisa ditumbuhkan jika ada kemauan dan usaha.
Jika dulu pak Aftab langsung maju untuk kak Fatia, namun mengapa dengan mbak Ayya dia memilih untuk menyembunyikannya? Untuk memastikan perasaan mbak Ayya karena mungkin akhirnya pak Aftab menyadari kalau sebenarnya kak Fatia telah mencintai bang Hafizh sedari awal. Dia tidak ingin menjadi tempat pelarian, atau untuk membalas dendam kepada abang?
Tapi mengapa harus memilih mbak Ayya? Jika hanya untuk membalas dendam kepada abang bukankah lebih mudah jika itu lewat aku? Berpura-pura mencintaiku lalu mencampakkanku saat aku benar-benar bergantung kepadanya? Tapi pak Aftab tidak melakukan sama sekali. Dia tetap menghormatiku sebagai wanita, sahabat adiknya, anak dari sahabat orang tuanya dan adik dari laki-laki yang pernah menjadi rivalnya meski tak kasat mata.
"Menurut Kak Fatia, mungkinkah pak Aftab mengejar mbak Ayya untuk membalas dendam kepada bang Hafizh karena cintanya dulu dipatahkan oleh abang?" Bukannya menjawab kak Fatia malah tertawa lirih.
"Kamu ini kok terlalu jauh berpikir, Kak. Ngapain harus ke mbak Ayya yang jauh di Jogja sana. Kalian itu kembar, melihat mbak Ayya itu ya sama melihat kak Al. Dari kecil sampai dewasa susah orang membedakan kalian saking identiknya. Selera berpakaian kalian juga sama, jika hanya untuk balas dendam mengapa tidak menggodamu yang jelas-jelas mahasiswanya, sahabat adiknya, lebih mudah ditemui, lebih enak digombali. Apa selama ini pak Aftab melakukan itu kepadamu?" Aku menggeleng cepat.
"Kode etik dari kampus mungkin, Kak." Aku mengangkat kedua bahu.
"Mana ada aturan dosen tidak boleh mendekati mahasiswanya. Selama mereka masih sama-sama melajang ya tidak ada peraturan yang mengikat."
Benar juga pendapat kak Fatia. Intinya tidak mungkin pak Aftab melakukan semua itu karena ingin membalas dendam kepada abang. Lalu untuk apa semua ini aku tanyakan kepada kak Fatia? Mengapa aku masih ingin tahu lebih banyak tentang pak Aftab? Sementara hatinya sudah jelas tidak pernah mengarah kepadaku.
"Tidak perlu dibandingkan, Kak. Kamajaya itu serius loh. Kakak seringkali memergoki dia menelpon abang untuk memastikan keadaanmu baik-baik saja. Berinisiatif langsung menemui daddy dan memintamu dengan cara yang baik. Lihatlah kakak, selama kakak mengerti arti hidup, kakak tidak pernah menemukan hangatnya dicintai seorang saudara."
Aku menatap kakak iparku itu dengan pandangan nanar. Tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh namun hari ini aku mendengar kakakku ini seolah menumpahkan isi hatinya.
"Terkadang kakak iri kepada kamu dan mbak Ayya. Kalian itu dua yang menjadi satu atau satu yang menjadi dua. Kakak yakin, sekarang mbak Ayya juga tidak kalah terlukanya darimu, Kak. Dia bersedia untuk menjauh padahal sebenarnya hatinya sangat mencintai pak Aftab dan itu semua dilakukan untuk kalian. Menjaga perasaan abang, perasaanmu, perintah daddy. Selama ini bagaimana, Kak. Apa mbak Ayya pernah memaksakan sesuatu kepadamu?"
Air mataku meleleh, kak Fatia berhasil menyentuh sisi hatiku yang paling sensitif. Dari dulu mbak Ayya selalu mengalah untukku. Dia bahkan selalu mengutamakan aku dibandingkan dengan keinginannya sendiri. Mbak Ayya yang selalu aku cintai sebagai saudara kembarku. Lalu bagaimana mungkin kini aku menuduhnya ingin menusukku dari belakang?
Saudara seperti apa aku ini?
"Mintalah terus petunjuk Allah, Kak. Terkadang apa yang terlihat baik di mata kita belum tentu baik di mata Allah. Seperti kakak dulu. Bersyukurlah, kak Al memiliki saudara yang sangat mencintai kak Al. Mas Hanif, abang, mbak Ayya, dik Hawwaiz. Tidak akan kurang dengan cinta mereka, inshaallah." Kak Fatia meraihku ke dalam pelukannya. Mengusap punggungku dengan lembut.
"Percayalah, tidak akan sulit menumbuhkan rasa cinta untuk seorang Kamajaya. Tatap matanya dengan hatimu, cintanya yang akan menarikmu hingga kamu sendiri tidak akan mampu berpaling dari pandangannya."
Jika sampai sekarang aku belum melangkah maju, itu artinya aku masuk dalam golongan orang yang sangat merugi atau bahkan terlaknati. Tidak, aku tidak ingin menjadi manusia yang masuk dalam dua golongan itu. Esokku harus lebih baik dari hari ini.
Allah, aku datang kepada-Mu hari ini. Memintamu untuk memantapkan hatiku menerima. Laki-laki yang telah datang kepada kedua orang tuaku untuk memintaku menjadi pendamping hidupnya.
"Kak Kama, beri aku sedikit waktu lagi untuk bisa mengatakan, iya aku bersedia. Tidak ada alasan lagi untuk menolakmu."
Berterimakasihlah kepada alam, semesta yang membuatku ada di antara lingkup orang-orang baik yang memberiku contoh kehidupan mereka mencintai ciptaan-Nya karena cintanya kepada Allah.
✔✔
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Blitar, 05 Januari 2022
*sorry for typo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top