04 🍬 Titik Balik Syukur
بسم الله الرحمن الرحيم
One Squell of Khitbah Kedua and the others
-- happy reading --
🍬🍬
Masih dengan rasa yang sama, insekuritas yang telah mengambil perannya begitu jauh menggerogoti hati. Rasanya seperti jauh dari rasa kesyukuran bahwasanya Allah memberikan segala kenikmatan bagi setiap makhluk yang bernyawa untuk disyukuri. Menawarkan hamparan harap dengan jalan yang berbeda dengan keinginan hati bermuara.
Ada kata yang tak mampu terangkai menjadi kalimat, tercekat dalam kehampaan rongga mulut untuk dapat tersampai ke udara. Entah atas dasar perasaan apa yang jelas semua sedang bergumul dalam pergolakan hati maha dasyat. Mengkerdilkan logika serta membuat penyamaran tentang rasa yang kini sedang menggerogoti hati untuk bisa menerima.
Pada kenyataannya semesta seakan enggan bersahabat. Menampakkan taringnya mengunggah cerita yang seolah telah tersetting sedemikian rupa sehingga hanya pada segelintir manusia bisa tertawa menyaksikan drama apa yang kini sedang diputar di depan mata. Bukan, tentang takdir tidak ada hak atas diri manusia untuk memberikan protesnya kepada Allah.
Aku masih menimbang, merenung bahkan mencoba untuk menyelaraskan hati kembali. Apa yang aku dapatkan dengan menyakiti banyak hati hanya sekedar ingin membahagiakan diri. Apa cukup satu kata bahagia sementara banyak air mata mengalir walau tanpa sepengetahuanku. Atau alam telah mengutukku menjelma menjadi Mao Zedong atau bahkan Gengis Khan hingga hati tak lagi bisa menempatkan fungsinya dengan baik. Tidak, tidak, aku bukan manusia pohon pisang. Makhluk yang hanya memiliki jantung namun tidak memiliki hati.
Gawaiku bergetar, nama Aira menjadi alarm buatku untuk segera mengambil keputusan. Tawaran pengalihan issue itu sebenarnya sangat cocok untukku. Toh tidak melanggar apa pun. Aku hanya bersiap untuk memberikan komitmen.
"Ra, percaya padaku. Sebagai seorang sahabatmu aku tahu benar apa yang sekarang kamu butuhkan sebagai pelampiasan kecewa di hatimu. Jangan berpikir mereka akan kamu jadikan pelampiasan amarahmu, bukan. Aku hanya berpikir, dekat dengan mereka akan menambah kadar syukurmu, dekat mereka akan memberikan sedikit penyejuk untuk hatimu, sadar bahwa sesuatu yang ada di dunia ini tidak harus dengan mewujudkan apa yang kita inginkan. Coba kita merujuk kembali pada Al-Baqarah 216." Bagaimana mungkin aku bisa berkelit jika firman Allah telah diturunkan sebagai nasihat. Ya, jelas dikatakan bahwa bisa jadi kita membenci sesuatu padahal itu baik untuk kita atau sebaliknya mencintai sesuatu yang sesungguhnya buruk untuk kita, kita tidak pernah tahu namun Allah tahu segalanya.
Aira masih meracuniku dengan kalimat nasihat untuk membuat bibirku mengatakan iya pada akhirnya. Sepakat, aku menyetujui dan mencobanya. Mungkin Aira benar, perenungan atas hidup ini bukan hanya sekedar meminta untuk dipahami tetapi juga mencoba untuk bisa memahami dan menerima.
"Maaf ya Bund, kakak tidak bertanya dulu kepada daddy dan bunda untuk bisa mengizinkan kakak ambil kerjaan ini."
"Asal tidak memberatkanmu, Kak. Skripsi tentu sedang sibuk-sibuknya bukan? Jangan sampai semua terbengkelai hanya karena kamu ingin mencoba sesuatu yang bukan minatmu, tidak untuk saat ini."
"Kakak coba Bund, sembari kakak belajar nyantri juga sama ustadzah Farikha."
"Nanti bunda sampaikan kepada daddy. Kakak jaga diri baik-baik di Malang."
"Iya Bun, syukraan," aku berbicara dengan wanita yang telah membuatku bisa menghirup udara di dunia. Mengapa? Sejak peristiwa mbak Ayya di rumah aku masih terlalu naif bisa berbincang dengan daddy yang menurutku beliau berpihak kepada mbak Ayya, entahlah.
Menjadi bagian dari sebuah pondok pesantren, sebenarnya bukan hal yang baru untukku meski aku belum pernah sekalipun masuk menjadi santri yang sesungguhnya santri. Namun kami, anak-anak daddy dan bunda sering mengikuti asrama kilat ketika libur sekolah tiba.
Berbincang dari hati ke hati dengan ustadzah Farika. Menimba ilmu agama terutama tentang fikh wanita, subhanallah rasanya. Tiga hari berada di lingkungan pesantren semakin membuat hatiku tentram. Ketulusan hati, sebenarnya senyuman, sikap takzim dan pembelajaran tentang akhirat terpampang jelas di depan mataku.
Hidup bukan hanya berkutat tentang masalah duniawi saja. Menyeimbangkan langkah dengan tujuan akhirat tentunya meski juga tidak melupakan urusan dunia.
"Bagaimana Mbak Almira? Pesantren kami ya seperti ini keadaannya."
"Masyaallah Ustadzah, adem rasanya hati berada di lingkungan ini. Kudu sabar memang ya berhadapan dengan adik-adik santri."
"Benar, apalagi mereka berada di usia rawan. Kita harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengawasi dan mengarahkan mereka supaya tidak salah jalan nantinya." Ustadzah Farikha menimpali pernyataanku.
"Usia rawan, Us?"
"Benar Mbak Almira, usia pubertas seperti mereka kami kategorikan masuk pada usia rawan. Dimana banyak diantara mereka yang ingin mencoba hal-hal baru, mulai menyukai lawan jenis, meminta diberikan legitimasi, intinya mereka sedang mencoba untuk mencari jati diri, ingin menunjukkan bahwa mereka bisa melakukan tanpa berpikir panjang konsekuensi apa yang nanti akan diterima apabila mereka salah melangkah."
Kalimat panjang sederhana. Tidak ada ambiguitas yang terucap namun seolah hatiku merasakan sengatan luar biasa. Tidak berpikir atas segala konsekuensi atas apa yang menjadi kehendak hati. Apakah aku termasuk di dalamnya hingga hatiku selalu menyalahkan orang lain yang tidak sependapat dengan keinginanku sendiri. Bahkan orang tua, saudara terdekat dan orang yang pernah berbagi tempat di rahim bunda denganku.
Allah, betapa berdosanya diriku. Seolah mengkufur atas semua nikmat yang telah Engkau berikan. Keluarga yang hangat, saudara yang begitu peduli, cinta dan sayang mereka yang tidak pernah terputus, lalu apa lagi yang aku inginkan? Ingat, jelas masih teringat, hingga titik dan komanya pun aku masih mengingat dengan pasti. Darah itu lebih kental daripada air, itu sebabnya mengapa hubungan darah jauh lebih utama jika harus dibandingkan dengan sesuatu yang bahkan kita belum tahu ujung dan pangkalnya seperti apa.
Air mataku menggenang dan meluruh tanpa bisa kutahan lagi. "Mbak Almira, kok menangis. Maaf kalau saya salah ucap."
Aku menggeleng, bukan, ustadzah Farikha tidak salah berucap, beliau benar. Dan mungkin lewat kalimat beliau aku tersadar sepenuhnya. Apa yang sesungguhnya aku cari dalam hidup ini, astaghfirullah. Bahkan aku telah mendzolimi saudara kembarku sendiri. "Maaf Us, Ustadzah Farikha tidak salah, hanya saya saja yang sedang baper dengan kalimat Ustadzah yang bagi saya merupakan nasihat."
Aku menjelaskan beberapa point penting tanpa berniat untuk membuka aib siapa pun. Bahkan kini aku mulai tergugu di pelukan ustadzah Farikha. "Bagaimana caranya saya harus meminta ampun kepada Allah dan meminta maaf kepada mereka Us?"
Dengan sangat pelan dan penuh kasih, ustadzah Farikha menepuk punggungku seolah mentransfer kekuatan kemudian melonggarkan pelukannya dan menghapus air mataku dengan lembut lalu berkata, "Mbak, ridhollah fi ridhol walidain wa sukhtullah fi shukhtil walidain. Ridho Allah terletak pada ridho kedua orangtua dan kemurkaan Allah terletak pada kemarahan keduanya. Meminta maaflah kepada beliau, lalu memohon ampun kepada Allah dengan taubatan nasuha."
"Saya boleh tinggal di sini untuk beberapa hari ke depan ya Us. Setidaknya__"
"Masyaallah, dengan senang hati Mbak Almira. Bukan hanya beberapa hari kedepan bahkan untuk selamanya juga diperbolehkan." Aku tersenyum melihat ketulusan dari tatapan ustadzah Farikha. Seperti halnya sikap kakak kepada adiknya, beliau memperlakukanku dengan begitu istimewa. "Sebelumnya saya juga minta maaf, ini tadi saya menemui Mbak Al untuk menyampaikan pesan dari abah."
"Pak Kiai?"
"Iya," aku melihat senyuman itu tidak pernah lepas dari wajah teduhnya. "Mbak Almira tahu ustad Zulhan Khalil Alkatiri kan?" sekali lagi aku mengangguk. Ustad idola anak-anak karena cara penyampaiannya yang mudah diterima. Ustad bergelar Lc si belakang namanya ini memang cukup menarik mata untuk melihat sekilas. Sikap ramah, humble dan berbatasnya pandangan serta tidak luput parasnya yang menawan seolah meresahkan para santri yang beranjak baligh itu.
"Kemarin beliau menghadap kepada abah, meminta abah untuk bisa mencarikan pendamping hidup. Meski tidak terucap dengan jelas abah paham siapa akhwat yang kini sedang menarik hatinya. Karena sebelum-sebelumnya beliau selalu menolak ketika abah menawarkan beberapa calon yang dirasa pantas untuk beliau dengan alasan masih belum cukup mampu untuk menjadi seorang imam yang baik. Tapi setelah Mbak Almira bergabung di pesantren ini, sepertinya beliau menaruh hati kepada Mbak Al. Untuk itu, sebagai kepanjangan lidah abah saya bermaksud untuk menyampaikan pesan abah. Kira-kira Mbak Almira bagaimana?" aku terhenyak sesaat, mengukur bagaimana cinta menyapa. Aku bahkan belum seminggu berada di pesantren ini dan salah seorang murabbi terbaik melalui kiai pengasuh ponpes menyampaikan ingin hatinya padaku. Secepat itukah cinta menyapa, bukankah beliau belum mengenalku dengan baik lalu mengapa bisa memutuskan untuk menambatkan hati seumur hidup dengan begitu cepat?
"Mbak Al?" sapaan ustadzah Farikha mengoyak lamunanku. "Apakah masih memungkinkan beliau untuk berta'aruf dengan mbak Al? Apabila mbak Almira bersedia, abah tentu akan menemui orang tua mbak Al sesegera mungkin."
"Saya__?" masih belum mempercayainya, aku mengulang pertanyaan yang sudah dipastikan jawabannya adalah iya. Ingatanku kembali pada bebera minggu lalu saat keluarga kak Kama datang dan memintaku untuk menjadi istrinya.
Kunaikkan kembali tatapan mataku hingga berserobok pandang dengan ustadzah Farikha. Melihatnya menunggu jawabanku setelah anggukan kepalanya, jujur adalah satu kebaikan meski mungkin terdengar menyakitkan. "Maaf Ustadzah, sebelumnya syukraan atas perhatian pak Kiai, bu Nyai, ustad Adam, ustadzah Farikha dan tentunya pada ustad Zulhan Khalil. Namun sebelumnya saya ingin menyampaikan bahwa saat ini saya memang sedang dalam kondisi bagaimana ya?" mencoba untuk menceritakan apa yang tengah terjadi antara aku dan kak Kama. Aku yang masih memintanya untuk memberikan waktu berpikir dan meminta petunjuk.
"Masyaallah, dari awal saya sudah yakin jika wanita secantik mbak Almira ini tentu banyak sekali yang mencoba untuk masuk menawarkan hati. Oleh karena itu, kemarin saya matur ke abah kalau saya akan menanyakan terlebih dulu dan ternyata seperti dugaan saya di awal mbak Almira sedang berproses dengan seseorang."
"Saya masih ragu, Ust."
"Loh mengapa? Kalau ikhwan yang dimaksud jujur, amanah dan menjaga segalanya lalu apa lagi yang mbak Almira ragukan?"
"Saya belum bisa mencintainya." Sekali lagi kejujuranku menciptakan lengkung senyuman di bibir ustadzah Farikha.
"Saya boleh bercerita?" ustadzah Farikha meminta persetujuanku. "Dulu saya dengan gus Adam hanya satu kali bertemu lalu kami dipertemukan kembali di majelis akad nikah."
Aku menganga tak percaya, bertemu yang kedua kali langsung dalam akad nikah. Bukankah itu seolah membeli kucing dalam karung? "Ustadzah bisa seyakin itu?"
"Allah yang memberikan petunjuk dalam setiap doa-doa yang selalu saya panjatkan. Umi yang dulu meminta pada ibu, meski dulu saya nyantri di pesantren ini namun belum sekalipun saya bertemu dengan gus Adam karena beliau sedang tugas belajar di Yaman. Saat beliau pulang saya sudah tidak lagi berada di pondok, walau dulunya saya seorang khadimah untuk bu Nyai yang akhirnya sekarang menjadi umi mertua saya, Mbak Al, bu Nyai sangat jarang bahkan hampir tidak pernah bercerita bagaimana putra ndalem, gus Adam. Jadi saya hanya tahu lewat foto yang dipajang di ruang keluarga, selebihnya bahkan saya tidak tahu bagaimana sosok gus Adam kala itu."
"Lalu ustadzah Farikha langsung mengiyakannya?"
"Setelah meminta pentunjuk melalui sholat istikharah. Saya menyampaikannya kepada ibu untuk bersiap menjadi istri gus Adam."
"Sesederhana itu?"
"Insyaallah, apabila kita yakin Allah sebagai satu-satunya petunjuk maka sebaiknya memang seperti itu. Dan setelah hampir lima tahun kami membina rumah tangga saya selalu mengatakan kepada beliau setiap bangun tidur, berterima kasih telah membuat saya jatuh cinta berkali-kali karena sikap lembut dan menghormati wanita. Semoga mbak Almira bisa mengambil sesuatu dari cerita saya. Bukan cerita yang istimewa namun bagi kami demikianlah cara istimewa Allah untuk memilihkan pendamping hidup, menyempurnakan ibadah dan selalu belajar untuk saling melengkapi."
"Masyaallah, ini bukan hanya cerita sederhana Ustadzah namun cerita yang sangat berarti bagi saya. Syukraan, saya sudah melakukan beberapa kali sholat istikharah untuk meminta petunjuk namun sepertinya cara meminta saya yang masih keliru. Hati saya masih belum kosong untuk bisa menerima seseorang. Insyaallah, pasti banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari cerita Ustadzah Farikha, syukraan alaika."
"Na'am, Mbak Almira. Kita sama-sama belajar untuk menjadi lebih baik ya?"
Percakapan yang lumayan panjang dengan ustadzah Farika berhasil membuka mataku. Jelas aku tidak berniat membuka hati untuk laki-laki lain. Bahkan sekelas ustad Zulhan Khalil yang jelas sudah bagaimana telatah beliau, hatiku masih beku karena disisi lain ada nama Kamajaya yang menghias di sana. Sebentar, Kamajaya? Benar kan aku tidak salah mengingat seorang Kamajaya Bayuaji yang akhir-akhir ini seolah menjadi bagian dalam lamunanku. Bukankah dulu aku mengatakan di hatiku hanya ada seseorang dan sekarang?
Masih ingat dengan jelas bagaimana ustadzah Farikha berkata sebelum akhirnya kami berpisah tadi sore. 'Jangan pernah memaksakan putih berubah menjadi biru atau jingga menjelma menjadi abu-abu. Mereka adalah keindahan dengan tupoksinya masing-masing, bahkan pelangi pun dikagumi karena warnanya yang berbeda. Bak tali raksasa yang menguntai langit menjadi buket harapan dalam indah di ujung pandangan.'
Allah maha kasih, senyumku, rasa terima kasihku, Aira sahabat terbaikku. Akhirnya aku mengerti kini apa yang dia maksudkan kemarin. Aku tidak mengalami amnesia yang tidak ingat lagi siapa diriku saat ini. Hanya butuh tempat dan teman yang selalu mengingatkanku tanpa tekanan.
Mungkin itu semua sudah dilakukan oleh keluargaku, hanya saja mata dan mata hatiku tertutup karena egosentrisme yang kubangun ketika berada didekat mereka.
Ustadzah Farikha, jelas aku sangat berhutang budi kepadamu. Sebagai seorang kakak, guru dan juga tempat berbagi atas banyak hal, syukraan katsiran.
✔✔
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Blitar, 16 November 2021
*sorry for typo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top