01 🍬 Egosentrisme
بسم الله الرحمن الرحيم
One Squell of Khitbah Kedua and the others
-- happy reading --
🍬🍬
Sebanyak apa kita meminta kepada Allah, sebanyak itu pula yang Allah berikan kepada kita. Bahkan bisa jadi jauh lebih banyak.
Bagiku memanjatkan doa terasa seperti bagian dari aktivitas yang sunyi. Meski sedang berusaha berbicara dengan Allah, hanya akan terdengar suara sendiri dalam hati. Tak ada jawaban dari langit yang tiba-tiba mengkonfirmasi akan terkabul atau tidaknya apa yang aku minta. Selesai melafalkan kalimat permohonan pun, aku hanya akan menarik nafas, menghembuskannya perlahan, sambil berharap keajaiban. Bergelung dengan kata amin semoga apa yang sedianya harus disegerakan bisa tersegerakan dengan izinNya.
Hatiku masih terluka, saat kilatan petir tanpa komando itu mengarah dan menghujam hatiku. Kenyataan seolah begitu kejam kepadaku, bukan orang lain tapi saudaraku sendiri. Orang yang pernah berbagi tempat di rahim bunda denganku selama 9 bulan. Orang yang selama ini aku percayai. Orang yang selama ini selalu ingin aku lindungi.
Meski aku tahu tidak ada paksaan atas hati saat cinta mulai mengusung dirinya untuk diperkenalkan kepada dunia. Siapa yang tidak sakit, aku yang dengan lugunya bercerita namun dia yang menyembunyikan semuanya lalu tiba-tiba hari ini datang dan berkata bahwa dialah wanita yang selama ini aku cari, wanita yang selama ini ingin aku robek wajahnya, wanita yang selama ini telah membuat hatiku patah tak berbentuk lagi. Dialah Ayyana Hafizha, saudara kembar yang nyatanya membuat sakit hatiku berlipat-lipat.
Jika kini aku bisa berada di pangkuan bunda yang tengah menenangkanku setelah konfrontasi yang aku buat untuk menyudutkannya. Katakanlah aku gila, biar, biar dunia juga tahu bahwa hatiku sakit saat ini. Siapa yang peduli denganku kini, semua mata memandangku dengan tatapan jahat padahal hatiku tidak akan sesakit ini jika sedari awal mbak Ayya mengatakan kebenarannya.
"Kak, masih mendengar suara bunda kan?" tanya bunda kepadaku saat air mataku tak bisa berhenti di pangkuannya.
"Bunda__"
"Bagi bunda kalian berdua itu sama, tidak ada yang bisa disalahkan namun bukan berarti harus dibenarkan dengan tindakan kalian. Bunda sayang kakak sebagaimana bunda juga menyayangi mbak Ayya. Kalian berdua itu adalah permata kami, bunda dan daddy." Bunda kembali memberikan pelukan hangatnya untukku. Masih tetap sama dengan sebelumnya, bunda selalu seperti ini kepada semua putra-putrinya.
Bahkan aku tahu saat kesakitan yang diterima oleh bang Hafizh sebelum menikahi kak Fatia dulu. Bunda bahkan memilih untuk tidur dan mendekap abangku dengan penuh cinta seorang ibu. Padahal kami semua tahu, bunda bukanlah wanita yang melahirkan bang Hafizh ke dunia.
"Tapi bukan dengan menjodohkan kak Al dan kak Kama, Bunda." Bunda diam, jemarinya menyisir helaian rambutku lalu mengusap kepalaku dengan lembut.
Detik berlalu hingga menit berganti tidak ada kalimat yang keluar dari bibir bundaku. Wanita yang selama ini telah menjadikan dunia daddy kami lebih berwarna.
"Mengapa Allah tidak adil kepada kak Al, Bunda. Mengapa?" kataku dengan air mata yang kembali deras mengalir.
"Astaghfirullah Kak, siapa yang mengajari kamu untuk berkata seperti itu?" tanya bunda yang seketika menghentikan tangannya untuk mengusap kepalaku.
Benar bukan, hari ini Allah seolah menunjukkan kekuasaannya untuk sebuah ketidakadilan untukku. Aku membencinya dan aku tidak ingin seperti ini terjadi. Aku mencintai pak Aftab tapi jangankan untuk mencintai, melihat aku sebagai wanita dewasa pun dia tidak pernah melakukannya. Tapi mengapa justru memilih saudara kembarku yang nyatanya wajah kami begitu mirip, style fashion kami juga sama. Apakah itu tidak seperti mencelaku.
Apakah aku sedang terlupa dengan rumusan cinta, bahwa hati tidak akan pernah bisa dipaksa kepada siapa cinta itu akan menentukan takdirnya untuk bersatu?
Tidak, aku tidak akan mengingat itu. Hatiku terlampau sakit untuk sekedar mengetahui bahwa cintaku yang bertepuk sebelah tangan harus dilengkapkan oleh saudara kembarku. Semesta seakan sepakat dengan kesakitan yang Allah timpakan untuk kunikmati dalam jalan hidupku kedepan.
"Kamu tahu mengapa daddy memintamu untuk datang? Mengapa Kama yang justru dipilihkan untukmu bukan Aftab?" kata bunda namun telingaku sedang tidak ingin menerima penjelasan apa pun. "Karena Kama datang dengan baik kepada daddy untuk memilihmu, memintamu meski dia tahu kamu belum mengetahui niat baiknya. dia tahu hatimu sedang terluka. Dia tahu kamu sedang patah hati karena orang yang kamu cintai tidak bisa menerima kehadiranmu, di tahu namun dia tetap maju untuk berjanji kepada kami membantu menyembuhkan lukamu. Coba pikirkan bagaimana perasaan daddy waktu tahu hal itu?"
Bunda masih berkata dengan nada bijaknya. Namun hatiku seolah tertutup, aku masih tidak ingin mendengar apa pun tentang kebaikan kak Kama dan kejelekan pak Aftab. Terlebih tentang kisah yang akhirnya ada diantara pak Aftab dan mbak Ayya.
"Daddy bahkan menyalahkan dirinya sendiri yang tidak bisa mendidik dan membimbing kalian dengan baik. Bayangkan saat air mata daddy menetes untuk kalian berdua. Apa itu tidak akan menyentuh hatimu?" tanya bunda yang berhasil membungkam keegoisan hatiku. Jadi daddy bahkan sampai meneteskan air matanya karena beliau begitu mencintai kami, aku bahkan baru mengetahui akan hal ini. Menurutku daddy selalu tangguh, tidak mungkin menangis hanya karena cerita seperti ini. Apakah bunda berbohong kepadaku, tapi untuk apa dilakukannya.
"Bunda bohong__!" kataku.
"Untuk apa bunda berbohong kepadamu? Kak, ini harusnya tidak pernah bunda ceritakan karena daddy yang memintanya. Namun sepertinya saat ini kamu harus tahu akan satu hal. Daddy kalian itu bukan tidak pernah meneteskan air mata. Jika tentang kalian berlima justru daddy yang sering menangis, kala kangen dengan kalian, kala tidak rela kalian harus pergi menjauh dari kami, kala khawatir kalian sudah makan atau belum, aman atau tidak di tempat yang baru. Daddy tidak pernah menunjukkan itu di depan kalian tapi bunda adalah saksi hidup betapa laki-laki yang mungkin kalian anggap sebagai super hero iru sering meneteskan air matanya untuk kalian, kebahagiaan kalian bahkan saat kalian sedang dalam masalah seperti ini."
"Bunda__"
"Kami tidak akan memaksa Kak, kamu boleh mencintai siapa pun karena fitrahnya hati tidak akan bisa dipaksa atau dicegah untuk mencintai atau pun membenci orang lain. Satu hal yang ingin bunda sampaikan, ketika kamu ingin lalu orang yang kamu inginkan tidak menginginkanmu namun justru menginginkan orang lain, apa itu tidak akan menambah daftar panjang orang akhirnya tersakiti?"
"Bukankah itu juga yang kak Kama lakukan kepadaku?" aku melihat bunda tersenyum dan mengangguk. "Jika menurut Bunda kak Kama bisa memperjuangkanku, mengapa tidak denganku untuk bisa memperjuangkannya?"
"Dengan apa kamu memperjuangkannya Kak? Menemui om Arfan dan tante Kania kemudian mengatakan isi hatimu kepada Aftab. Apa itu tidak sama artinya merendahkan harga dirimu sebagai seorang wanita dan lebih daripada itu, mencorengkan arang di muka kami berdua sebagai orang tuamu?" jleb, kalimat bunda seperti langsung menikam hatiku terdalam.
"Kamu tidak akan bisa memutuskan sekarang, bunda tahu ini sulit dan kamu pasti butuh waktu. Bukan karena bunda ingin membela mbak Ayya atau yang lain, tapi karena bunda sayang kepadamu, Kak. Jangan pernah berkata bahwa Allah tidak pernah adil kepadamu. Adil kepada kita bukan berarti semua apa yang kita inginkan bisa dipenuhi olehNya sesuai apa yang kita minta. Kita meminta belas kasihNya bukan untuk mendikteNya. Percayalah, kebaikan yang Dia berikan kepada kita jauh lebih baik dari kebaikan apa yang kita minta kepadaNya." Setelah berkata seperti itu kedua jari jempol bunda menghapus air mataku yang masih jatuh bercucuran. Mencium keningku lalu meninggalkanku sendiri.
"Kamu butuh waktu untuk berpikir, kamu pasti bisa melalui semua ini dengan membahagiakan dirimu sendiri, menerima apa yang Allah takdirkan kepada kita, dan tidak menyakiti siapa pun." Bunda kemudian menutup pintu kamarku rapat-rapat.
Aku bangkit, lalu mengambil ransel milikku. Rumah ini sepertinya sudah tidak lagi memberikan kenyamanan untuk hatiku. Orang-orang sepertinya memandang sebelah mata kepadaku. Allah, ini siapa yang patut untuk disalahkan. Aku? Ya, lagi-lagi pasti aku.
Setelah memastikan semuanya aku berniat untuk kembali secepatnya ke Malang. Benar kata bunda, aku butuh waktu untuk sendiri dan itu jelas tidak di rumah ini. Aku berencana kembali ke Malang karena memang tidak ingin melihat saudara kembarku walaupun ketika aku sedang berhadapan dengan cermin di Malang akan tetap teringat akan dirinya. Jangan bercanda, kami memang terlahir identik yang seharusnya bisa saling melengkapi bukan harus saling membenci seperti ini.
"Hei Bung, tidak ada gunanya penyesalanmu itu! Semua tidak akan pernah menggantikan luka yang telah kau torehkan." Aku mendengar suara bang Hafizh kencang ketika sedang menuruni tangga.
"Bunuh saja mas Aftab, Bang. Biar semuanya selesai sesuai dengan inginmu." Kini suara mbak Ayya yang mengisi indera perunguku. Sepertinya memang ada perdebatan di ruang tamu. Atau jangan-jangan pak Aftab telah datang diantara mereka semuanya. Kakiku seketika menghentikan langkahnya.
"Itu karenanya, bunuh saja Mas Aftab sekarang!" Aku kembali mendengar suara mbak Ayya yang sepertinya berdebat dengan bang Hafizh sementara daddy sedang menengahi mereka.
"Ayya, sudah." Suara itu, ya Allah. Benar dugaanku bahwa pak Aftab telah ada diantara mereka. Aku masih setia berdiri di balik dinding dan mereka juga masih adu mulut seolah berkata bahwa 'aku'lah yang paling benar diantara semuanya.
"Tidak Dad, selamanya abang tidak ikhlas jika adik-adik abang menikah dengan laki-laki yang meminta wanita yang diketahuinya telah memiliki suami menjadi istrinya." Fakta apalagi yang ingin bang Hafizh beritahukan kepada kami. Bahkan aku sempat menutup mulutku yang tiba-tiba terbuka mendengarnya. Pak Aftab meminta kak Fatia kembali setelah menjadi istrinya bang Hafizh? Hal lucu seperti apalagi itu, apa dia sudah gila, ucapku dalam hati.
Abang berusaha untuk membongkar, pak Aftab juga berusaha untuk menjelaskan, mbak Ayya berusaha untuk membela. Drama yang sungguh memuakkan bagiku. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyianku. Aku memang harus kembali ke Malang, dengan atau tanpa izin dari daddy.
"Kak, mau kemana?" tanya daddy saat melihat aku akan melewati semuanya.
"Ke Malang," jawabku.
"Kak, bukannya kamu akan balik ke Malang bareng abang besok?" kini suara abang yang menegurku, dalam pesan yang disampaikan abang tadi pagi memang aku mengatakan bahwa aku akan ikut bersama dengannya besok pagi.
Aku memutar bola mataku, itu memang janji yang aku buat dengan abang sebelum aku tahu ada drama mbak Ayya yang menyakiti hatiku. "Buat apa aku di sini? Untuk melihat drama kalian?" masih sempat aku melirik ke arah Ayya dengan memperlihatkan wajah ketidaksukaanku.
"Almira ini tidak seperti yang kamu pikirkan, mengapa seolah-olah kamu menyalahkan Ayya?" mengapa pak Aftab justru membela mbak Ayya, harusnya dia tahu hatiku sakit karena perbuatan siapa.
"Darl ❤? Nggak sangka kalau itu kamu Mbak." Bibirku akhirnya mengatakan kalimat sarkas itu kepada saudara kembarku.
"Sebentar-sebentar, ini masalahnya apa?" abang memang belum mengetahuinya, mungkin dia sedang bingung kini.
"Kak, duduk!" perintah daddy. Kalau sudah begini tidak lagi ada bantahan, aku bahkan melihat kilat kemarahan itu dari sorot mata daddy. Alhasil, aku menuruti perintahnya sesaat.
"Kamu pasti yang bilang ke daddy." Tuduhku kepada mbak Ayya.
Mbak Ayya justru menggelengkan kepala, "Demi Allah, bukan aku yang bilang. Kakak tanyakan saja kepada daddy, siapa yang memberitahukannya."
"Apa-apaan ini?" kembali bang Hafizh meminta penjelasan.
Lalu bunda melangkah kemudian mengusap bahu abang dan menjelaskannya. "Bang, kedua adik kembarmu sama-sama menyukai Aftab."
"Apa__?" bang Hafizh tidak mempercayainya.
"Mbak Ayya, Kak Almira, kalian__?" bang Hafizh bergantian memandang kami, mengusap wajahnya dengan kasar lalu menggelengkan kepala.
"Kakak harus ke Malang, Dad." Aku tidak akan menundanya lagi, sangat muak aku melihat bagaimana pak Aftab memandang saudaraku dengan tatapan penuh kekaguman dan rasa cinta.
"Tidak, duduk dulu." Bang Hafizh sepertinya ingin meminta penjelasan yang lebih kepada kami.
"Mengapa aku, yang diinginkan pak Aftab Mbak Ayya kan? Bang Hafizh tanya saja kepada dia." Kataku yang membuat mbak Ayya menggeleng lemah, dia yang seharusnya banyak ditanya bukan aku.
"Setidaknya mas Aftab yang mendekatiku Kak, bukan aku yang mengatakan perasaanku terlebih dulu kepadanya. Sepertimu." Aku membulatkan mataku mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh saudara kembarku. Dia gila, mengatakan semua ini di depan keluarga kami.
"Ayyana__" ucapan lembut pak Aftab yang hanya bersarang di ujung bibirnya dengan tetap memandang mbak Ayya dengan tatapan penuh cinta. Aku benci akan hal itu.
"Apa__?!" Bukan hanya bang Hafizh yang terkejut tapi juga daddy dan bunda.
"Diam semuanya." Suara tegas daddy membuat seluruh orang yang ada menunduk seketika. "Tidak ada yang boleh meninggalkan tempat, sekarang ceritakan kepada daddy bagaimana cerita yang sesungguhnya."
Tidak lagi bisa dibantah, kemudian mengalirlah semua cerita. Mbak Ayya yang akhirnya memilih untuk jujur dengan hatinya. Aku juga tidak akan mengabaikan hakku untuk mengakui karena semuanya juga sudah terbongkar. Percuma untuk membohongi daddy kembali.
Dibalik semua itu, setelah kepulangan pak Aftab. Daddy memelukku dengan mbak Ayya secara bersama. Tidak ada yang diucapkan, dan saat ini aku membuktikan ucapan bunda bahwa daddy kami menangis, meneteskan air matanya karena rasa sayangnya kepada kami yang tiada pernah ada duanya.
"Daddy tidak meminta banyak kepada kalian. Cukup kalian bisa bahagia dengan tidak melukai perasaan saudara. Dan hal lain yang lebih penting adalah, jaga harfiah kalian berdua sebagai seorang wanita yang menjunjung tinggi rasa malu sebagai mahkota yang akan melindungi kalian berdua nanti di akhirat. Kalian ini wanita, mutiara daddy, permata daddy, daddy hanya tidak ingin kalian berdua salah langkah." Daddy berdiri kemudian meninggalkan kami semua dengan tatapan yang sulit kuartikan.
Wajahnya mendung dan kedua matanya yang merah jelas karena daddy menahan semua sesak yang ada di dalam dada. Sejahat itukah aku hingga membuat daddy menitikkan air mata. Hatiku mencelos, namun egoku masih terlalu tinggi untuk mengakui sebuah kekalahan. Kekalahan atas dasar apa? Bukankah ini bukan ajang perlombaan yang bisa diketahui siapa pemenangnya.
Bunda kemudian memelukku kembali. Sementara kulihat abangku memeluk mbak Ayya yang jelas menangis dalam diamnya. Kami semua memang orang-orang yang saling mencintai, namun mengapa kejadian ini justru membuat kami menjadi saling menyakiti.
Allah, bawa langkahku kembali lurus mengenal diriMu lebih dekat. Sedekat nadi dalam jiwa yang tanpa kusadari denyutannya sepanjang masa.
✔✔
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Blitar, 13 April 2021
*sorry for typo
*) kalian Roaming? baca dulu PURNAMA di UJUNG MEGA supaya tidak salah persepsi 😘😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top