Bab 6

"Jana!"

Suara nyaring milik Gummi menggema di lorong menuju lift. Jana menghentikan langkahnya yang sudah bersiap memasuki lift, sepulang dari makan siang. Bersama Prasa untuk lebih jelasnya. Gadis mungil rambut gaya bob layer itu segera bergegas menghampiri Jana.

"Serius lo abis makan siang sama Prasa?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Pasti Darren," decak Jana.

"Gue tadi nyari elo. Kata Febi lagi makan siang sama Mas Prasa. Ehem!"

"Astaga, Gummi. Cuma sekedar lunch. Nggak enak dong, kita tolak. Dia tamu lho di perusahaan kita."

"Bukan. Dia anggota keluarga. Kan baru tadi pagi tanda tangan kontrak. Hari ini resmi jadi first talent kita, permanen lagi."

"Oh ya?"

Jana mengerjabkan mata. Ada besar kemungkinan dia akan bersangkutan terus dengan laki-laki itu. Apalagi previlege yang Darren berikan padanya, bisa langsung menghubunginya kapan saja. Bahunya merosot mendapati Gummi mengangguk pasti. Oh, shit!

"Terus ada apa cari gue?"

"Mau makan siang bareng sekaligus ngobrol. Memperjelas kalau Prasa itu di bawah naungan siapa?"

"Ya sama dong kayak talent lainnya. Untuk saat ini masih Bu Indira yang pegang semua talent. Gue lagi mau ajuin buat hiring orang baru yang akan khusus pegang talent. Nah Bu Indira gue tarik, fokus ke data pemasaran."

"Katanya under lo langsung."

Jana menahan napas. Tapi inilah Gummi. Ia tidak bisa memaksa setiap orang untuk cepat paham hanya dengan satu kalimat.

"Nggak gitu, Gummi. Dia sama, under Bu Indira.  Tapi Bapak lo, ngasih previlege. Sebagai model pria permanen yang pertama, kalau ada kendala atau apapun bisa langsung hubungi gue. Mengingat, Bu Indira nggak selalu fast respon atau mungkin membutuhkan waktu lama."

"Ada apa?" tanya Darren keluar dari lift dengan ponsel di genggamannya.

"Prasa itu under Jana langsung atau tetap Bu Indira?" tanya Gummi lagi.

"Tetap Bu Indira. Tapi dia bisa langsung ke Jana.  Dengan catatan untuk hal mendesak ya. Tapi untuk di luar pekerjaan, tergantung dari Jana sendiri. Jelas ya?" tutur Darren melemparkan kerlingan mata untuk Jana.

"Di luar pekerjaan itu maksudnya di luar jam kerja tapi masih dalam kepentingan perusahaan atau apa?" tanya Gummi membuat Jana dan Darren terbungkam dalam sekejab.

Seorang Gummi dikenal mendetail. Pintar memang. Semua mengakui keenceran otaknya. Hanya saja, semua juga harus ekstra sabar ketika harus berhadapan dengannya. Untuk sesuatu hal sederhana pun, harus dijelaskan secara rinci.

"Menurutmu?" tanya Darren.

"Dalam kepentingan perusahaan. Tapi..., "

"Pokoknya begitu, Gummi. Jana, ikut saya. Ketemu Pak Ongko."

"Pak Ongko?"

"Emang whatsapp saya nggak kamu baca?"

Jana menggelengkan kepala. Tangannya segera mengambil ponselnya. Sebaris pesan dari Darren memang ada di sana, memintanya menermani bertemu dengan Ongko Wijaya. Desainer pakaian pria yang akan mengisi event valentine nanti.

"Di mana?" tanya Jana begitu membaca sebaris pesan itu.

"Dharmawangsa. Kita ke butiknya. Saya udah suruh Edwin kasih tau Prasa buat ke sana. Waktu tinggal 3 minggu lagi."

"Edwin apa Abimana?"

"Kan sama. Namanya emang Edwin Abimana. Kamu suka ngeledek kalau pas ribet gini," decak Darren lengkap dengan gelengan kepala.

"Oke. Tapi, saya ada janji sama Digtya lho. Dia mau ke sini."

"Nggak jadi hari ini. Besok pagi, kamu minta Febi ke hotelnya aja, jemput pakai mobil kantor ya. Dia baru bisa jalan sore ini."

Mendengar rentetan poin dari Darren, semua hal yang sudah tersusun rapi seirama di otaknya, mendadak seperti lagu kehilangan tempo. Rasanya sudah kusut sebelum terlaksana. Jana menahan napas. Bicarapun sama saja menambah kekusutan. Ia hanya memutuskan untuk menyusul langkah lebar Darren. Laki-laki itu sudah sibuk dengan notepad sambil memasuki sebuah mobil yang sudah siap melaju bersama sopir kantor.

"Jana!"

"Iya!" jawab Jana tak kalah keras mempercepat langkah kakinya memasuki Pajero warna hitam. Duduk sekenanya di samping Darren.

"Kamu tahu nggak kenapa saya bawa kamu? Saya butuh dua mata. Laki-laki itu saya. Dan perempuannya itu kamu. Kalau saya dan kamu sama-sama bilang oke, sesuai dengan konsep kita, kita tentukan hari ini juga biar nggak makan banyak waktu. Besok tinggal GR. Saya nggak mau gagal. Makanya kenapa saya mau repot-repot handle langsung."

"Sebenarnya kalau saya nggak turun,"

"Ini udah dekat tanggalnya lho. Kamu masih aja usaha buat mundur. I just believe in you! No debat."

Jana mencebikkan bibirnya. Sekilas terdengar tawa kecil berderai dari mulut Darren.

***

Pelataran parkir sebuah butik dengan gaya minimalis terlihat cukup lengang. Karena memang untuk tiga jam ke depan, Ongko Wijaya sang pemilik butik hanya menerima tamu dari DeGantium untuk event besar di depan mata. Jana menyempatkan diri menatap sekitar bangunan itu sebelum menyusul Darren masuk.

Seorang pria dengan gaya gemulai sebagai ciri khasnya, menyambut kedatangannya. Namanya sudah besar. Awalnya Jana mengira akan sulit untuk mendekatinya mengingat sudah wara-wiri ke luar negri. Tapi begitu bertemu di awal bulan lalu, Om Ongko sapaannya, tanpa ragu menawarkan diri.

"Halo, Darren, gimana? I udah siapin beberapa. Nanti tinggal you tentuin mau yang mana. Doi kan yang turun. Cocok sama yang I bikin," ucapnya mengarahkan pandangannya pada Jana.

"Tapi nanti Om lihat dulu. Model pria pertama kita. Kira-kira match nggak?"

"Yakin 100%. Kuncinya Doi. Mature gitu kan? Pria tinggal mengikuti aja."

Satu jam lebih mata Jana berputar-putar pada setelan kemeja dan Jas. Ia memasrahkan diri duduk di sofa. Sementara sang pemilik begitu antusias memperlihatkan karyanya yang selalu sempurna. Apalagi ketika sudah melekat di tubuh sempurna milik Prasa. Sisa keringat dari latihan Taekwondo malah membuat Om Ongko menatap puas apa yang ada di hadapannya.

"Om, saya tinggal ya. Tiga set tadi saya Ok. Selebihnya saya percaya pilihan Jana," ucap Darren mengemasi barangnya, "Jana, nanti kamu pulang bareng Prasa ya? Saya mau ke Sudirman."

"Gampang. Ada taksi juga kan?" sahut Jana. Di dalam hatinya, akan lebih baik nanti pulangnya naik taksi. Namun akan lebih baik lagi kalau Darren tidak meninggalkannya seperti ini. Bicara tentang Prasa terus terang, gadis dengan rambut coklat lurus yang kini panjangnya sepunggung itu agak tidak nyaman. Ia merasa kikuk tepat setelah Prasa merangkum pinggangnya saat menyeberang jalan tadi siang.

Mata Jana berkeliling mengamati ruangan itu. Jejeran Rak berisi gaun dan setelan jas karya-karyanya. Desainer ini memang hanya memasukkan produknya dalam acara-acara besar saja. Ini adalah event kedua yang dia ikuti di DeGantium. Event besar pertama End Up yang diadakan sepanjang Natal hingga tahun baru. Dia meraih angka penjualan tertinggi dalam kategori dresses. Untuk kali ini dia sangat antusias lebih dari sebelumnya untuk ikut di event valentine setelah mendapatkan kesuksesan di event pertama.

Suara ketukan di meja kaca membangun Jana dari lelapnya. Matanya mengerjab. Sama sekali ia tidak mengerti bagaimana bisa terlelap dalam waktu setengah jam. Di hadapannya, laki-laki itu berdecak. Dia sudah mengenakan kembali jaketnya. Sementara satu tangannya menenteng helm Arai putih susu.

"Ayo, pulang."

"Oh, sudah?" tanya Jana menunjuk ke ruang ganti. Sebuah kode apakah Prasa sudah selesai mencoba beberapa setelan jas yang akan dikenakan nanti.

"Makanya jangan kebanyakan kerja. Kurang istirahat kan? Buru!"

"Maaf. Oya, kamu bisa langsung pulang aja. Saya pulang sebentar lagi."

"Nunggu apa lagi?" Dia berdecak sebal.

Jana mengulas senyum tipis. Tangannya mengambil ponsel dan menunjukkan sebuah aplikasi.

"Taksi online. Kamu pulang duluan aja. Saya masih harus pesan taksi online buat balik ke kantor."

"Naik motor biar cepet," sahutnya sambil melepaskan jaketnya begitu melihat apa yang Jana pakai hari ini. Atasan blouse tanpa lengan warna broken white dan celana kulot warna hijau nude.

"Nggak apa-apa,"

Jana terbungkam pasrah ketika Prasa tanpa banyak bicara melabuhkan jaketnya di pundak polos itu. Laki-laki itu memaksa Jana untuk mengenakan jaketnya. Seseorang di dalam dirinya dibuat menegang kaku tanpa aba-aba. Apalagi dengan harum parfum yang menyelimuti jaket hitam itu. Tidak berhenti di sana saja. Laki-laki itu kini mengenakan helm yang dibawanya tadi ke kepala Jana. Setelahnya baru menyeret tangan putih itu meninggalkan butik Ongko Wijaya.

"Bosmu tadi bilang kalau aku harus fitting baju dan ada kamu di sana. Makanya aku bawa helm dua. Pinjam temen latihan tadi," katanya menunjuk pada helm hitam di tangannya yang akan segera dikenakan.

"Kan kamu nggak tahu kalau aku naik taksi online?"

"Feeling aja. Dan nggak salah kan?"

"Ya, nggak sih. Cuma,"

"Jangan kebanyakan mikir. Ayo, naik."

Jana menelan ludah mendapati laki-laki itu menghampiri motor hitam legam. Xabre. Bibir pink nude-nya mengeja nama motor itu. Agak ragu untuk naik di boncengannya. Tanpa perlu diperjelas lagi, sudah pasti dudukannya tanpa menyisakan jarak.

"Come on!"

"Kamu bisa majuan dikit nggak? Biar nggak mepet banget?"

"Kamu nggak kepikiran gimana nasib masa depanku kalau majuan?"

"Oh! Oke!" sahut Jana menahan rasa panas efek dari kalimat Prasa. Jujur saja, ia sama sekali tidak berpikir ke arah sana.

Sesaat Jana mengerjabkan mata, membuang napas beberapa kali. Sebelum kemudian dia berhasil mengendalikan diri dan naik di belakang Prasa dengan tangan mengepal.

"Pegangan. Jangan sampai jadi tontonan hanya karena kamu kejengkang pas aku narik gas."

"Ini, udah."

"Lama!"

Jana nyaris menjerit kecil ketika Prasa menarik paksa tangannya untuk melingkari perutnya. Gadis itu hanya bisa mengatupkan rahang. Berharap Prasa tidak merasakan debaran keras dada yang hinggap di punggung lebar itu. Rasanya luar biasa kebat-kebit. Entah apa yang dirasakan Prasa. Laki-laki itu hanya diam, melajukan motornya membelah Jakarta menuju ke kawasan SCBD dimana DeGantium berdiri megah.

"Makasih ya," ucap Jana begitu sampai di depan  DeGantium. Laki-laki itu mengangguk singkat, menerima helm dari jemari lentik itu.

"Prasa!" panggil Jana berbalik arah ketika mendengar motor itu meninggalkan halaman depan lobi DeGantium.

Namun sia-sia. Motor itu sudah melesat cepat. Ia hanya menatap pasrah pada jaket yang masih melekat di tubuh, kemudian melangkah masuk. Beberapa orang yang berpapasan dengannya hanya mengerutkan kening. Namun tidak berani untuk menyinggungnya. Pasalnya, ini pertama kalinya Jana berkeliaran di kantor mengenakan jaket pria. Apa yang Jana kenakan,  semakin menguatkan rumor bahwa Bossnya tidak lagi single. Dan menariknya rumor itu mengarah juga pada model pria pertama di DeGantium. Rajendra Prasa. Model tampan yang kini namanya menggaung renyah di seantero jagad.

***
Tbc

Makasih ya yang udah kasih bonus vote dan komen. Aku baca kok. Tapi bingung mau bales gimana 🤣🤣🤣 aku cuma bisa say thanks aja.

Selamat hari kamis, jangan pesimis meski harapan tipis.

06 January 2022
Salam,

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top