Bab 4
Layar Proyektor menampilkan grafik angka penjualan dalam satu bulan. Di depan Darren sedang menjelaskan titik-titik yang harus digenjot ekstra untuk mencapai target yang sudah ditetapkan. Setiap divisi diminta untuk mempersiapkan diri dengan strategi yang sudah dimiliki oleh masing-masing.
"Next project, saya tahu Jana akan bekerja lebih keras karena dia harus turun menjadi model di event besar kita. Untuk itu, saya meminta Geiz untuk membantu mengkoordinir dan bekerja sama meringankan sedikit tugas Jana. Special valentine nanti saya berpikir untuk menerima kerja sama dari buletin. Tujuannya supaya memberikan panggung untuk para desainer lokal, memberikan jalan untuk berkarya. Nah untuk selanjutnya, alokasi dana yang dibutuhkan, saya minta laporan yang sudah direvisi kemarin. Gummi, tolong datanya."
Suara Darren seperti angin segar bagi Jana. Sudut bibirnya tersenyum miring ketika mendapati tatapan kesal dari Geiz. Geiz paling enggan berhubungan dengan tim kreator. Berisik. Padahal Darren tahu, Geiz tidak bisa berada di tempat berisik. Tapi anehnya dia bisa datang ke klub malam. Kalau ditanya, selalu beralasan, kan mabuk.
"Sementara demikian meeting akhir bulan ini. Poin-poin penting harap menjadi perhatian. Nggak ada alasan ya, kurs saham lagi anjlok. Penting, bagaimana caranya meningkatkan daya beli masyarakat."
Darren segera bergegas diikuti oleh sang asisten pribadi Edwin Abimana, meninggalkan ruang meeting. Di dalam ruangan menyisakan dirinya, Geiz, Gumi dan Tiran. Wajahnya menoleh pada laki-laki yang sedang berkemas. Seketika teringat oleh telepon Prasa tadi malam.
"Tiran."
Laki-laki itu menoleh sekilas lalu kembali sibuk merapikan lembar berkasnya. Lebih tepatnya menyibukkan diri. Jana menyipitkan mata, seperti mencium sebuah kesengajaan dari Tiran.
"Ikrar Tirani Dewareksi!"
"Apa sih, Janarie? Kenapa?" tanya Tiran pada akhirnya. Semua tahu kalau Jana sudah menyebut nama lengkap, sudah dipastikan ini hal serius.
"Kamu semalam telepon Febi minta nomorku pakai telepon kantor kan? Bukannya kamu juga punya nomorku? Aneh tahu nggak."
"Nggak. Ngapain aku telepon Febi."
"Tiran!" seru Jana ketika Tiran melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Sekilas terlihat Tiran mengatupkan rahang, mencoba untuk bersikap seolah tidak tahu.
"Timbang nomor telepon doang. Udah kenapa sih, Jana," lerai Geiz mulai menggelengkan kepala. Terusik dengan suara lantang Jana. Sementara Gummi terkekeh. Dia tahu benar, Jana tidak akan mengeluarkan taringnya kalau tidak ada hal yang menyinggung dirinya.
"Bukan gitu, Geiz. Dia alasan ke Febi ada hal penting. Tapi malah dikasih ke Prasa. Apa alasan dia ngasih nomorku ke model itu?"
"Prasa?" tanya Geiz menoleh seketika.
Jana mengangguk sembari menumpuk map-mapnya. Seketika suasana hening. Kening Jana mengkerut mendapati dua teman tersisa di ruangannya menutup mulut membentuk sebuah garis lurus.
"Kok diam?"
"Nggak gitu, Jana. Mungkin maksud Tiran baik. Biar kamu sama dia akrab. Bangun chemistry. Kan mau inframe."
"Kan ada GR."
"Ambil positifnya aja, Jana. Dia first time sama kita. Ayolah," ucap Geiz membantu menguatkan argumen Gummi untuk berpikir positif.
Jana terdiam. Bisa masuk di akal memang. Tapi masih ada yang mengganjal di hati.
"Yaudahlah. Let we'll see," putus Jana kemudian beranjak meninggalkan ruangan itu.
Langkah Jana keluar dari ruangan, menghadirkan napas lega bagi Gummi dan Geiz. Sedemikian keras Jana berusaha menetralkan dirinya. Harap maklum, sudah berapa lama hidup sendiri tanpa ada yang mengusik meski terus terang kesepian tidak berhenti menggerogoti hatinya. Namun sejauh ini semua baik-baik saja. Dan kali ini Prasa hadir seperti sebuah kerikil dalam perjalanan hidup. Yang awalnya tenang tiba-tiba beriak kecil menyebabkan sedikit kaget.
Di antara ketukan langkah heels hijau mint, Jana berkali-kali menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Perlahan gelegak di dalam dirinya mulai menipis hingga nyaris tidak tersisa kalau saja penyebabnya tidak tiba-tiba muncul di hadapannya, tepat di depan ruangan kerjanya. Dilihatnya, Febi berdiri memegang erat map dengan kepala tertunduk. Lengkap dengan bibir bawah yang digigit ke dalam. Jana menyipitkan mata. Sikap Febi membuatnya tahu tanpa harus bertanya. Sudah bisa dipastikan kalau Febi sudah berusaha keras membuat laki-laki itu beranjak dari depan pintu ruangan kerjanya.
"Bu,"
Jana mengangkat tangannya ketika Febi bicara takut-takut. Dia takut kena marah. Meskipun Jana tidak pernah memarahi, namun tegurannya selalu membekas di hati. Pelan namun tegas.
"Masuk, Feb. Nanti tolong siapin file buat meeting selanjutnya ya?" perintah Jana dengan mata tajam tertuju pada laki-laki yang berdiri santai dengan tangan di depan dada.
"Baik, Bu. Terima kasih."
Kepalanya mengangguk. Kaki melangkah mendekati laki-laki itu. Setelah semalam dengan lancang meneleponnya, di pagi ini dengan berani berdiri di depan ruang kerja seorang direktur marketing. Two claps!
"Jadi, apa yang bisa saya bantu? Ada kendala atau mungkin keluhan apa di hari pertama jadi model kami? " tanya Jana bersikap formal.
Prasa melengkungkan senyuman berisi sedikit tawa. Matanya penuh binar. Berbeda dengan Jana yang bersikap formal.
"Rambut cepol kamu akan lebih cantik kalau kamu sisakan sedikit di depan. Make it curly then you'll be perfect. More perfect," tuturnya lalu beranjak pergi dengan langkah santai. Jana tidak melewatkan kedipan mata dari laki-laki itu yang seketika membuat dirinya mengatupkan rahang.
Jana memejamkan matanya sesaat. Menahan diri untuk tidak tergoyahkan ketenangannya. Beberapa langkah, Prasa berhenti dan membalikkan badan.
"Aku mau makan siang sama kamu. Aku tunggu di Lobi nanti sebelum aku ke Dojang. Biarpun hanya sebatas partner inframe, tetap harus bangun chemistry kan? Pilihannya cuma ada dua. Ketemu di Lobi atau aku ke sini lagi," ujarnya benar-benar membuat Jana ingin menarik urat kalau saja dia tidak mengingat hal yang akan dia dapat dari emosi sesaatnya, adalah masalah baru.
Sekian detik, Jana membuang napas kasar menatap punggung yang kini menghilang tertutup pintu lift. Tiga tahun bersama DeGantium, Jana berhasil fokus pada karirnya. Namun baru kali ini godaan sedikit crazy menghampiri hidupnya.
"Oke. Baiklah. Semoga setelah event Valentine semua akan kembali baik-baik saja."
"Tapi dari data statistik yang saya kirim ke Bu Jana, sepertinya tidak ada yang mengkhawatirkan, Bu. Secara global, pemasaran kita naik 3% dari target," tutur seorang wanita membuat Jana menoleh seketika.
Seorang wanita berambut cepak menatap sungguh-sungguh kepadanya. Jana meringis lebar. Wanita yang seharusnya memiliki partner sebagai koordinasi pemasaran mengira Jana mengkhawatirkan soal target pemasaran yang akan dibicarakan sebentar lagi.
"Bu Indira, selamat pagi. Semangat sekali. Iya, memang naik dan melebihi target. Mari kita ke ruang meeting. Febi sudah di sana. Nah, saya mengerti tugas Bu Indira banyak sekali ya," ucap Jana sembari mempersilakan wanita yang usianya jauh diatasnya untuk melangkah bersama menuju ke ruang meeting.
"Begitulah, Bu Jana. Tapi saya senang bekerja di sini."
"Mungkin nanti saya mengajukan untuk hiring pengganti Bu Indira biar Ibu fokus ke bagian data pemasaran. Untuk bagian lapangan nanti orang lain. Mudah-mudahan disetujui. Jadi nanti Ibu bisa fokus sama saya. Ibu nanti bisa belajar lagi ya soal perencanaan pemasaran. Simulasi target pemasarannya dan strateginya."
"Ibu percaya sama saya?"
Jana tersenyum. Dia mengerti kemana arah pembicaraan wanita itu. Angkatan 45 memangnya bisa apa? Begitu makna pertanyaannya. Bu Indira memang kini usianya berada di angkat 44 hampir 45.
"Yakin aja, Bu Ind. Semangat terus ya. Usia boleh sudah banyak. Tapi semangat belajar harus tetap tinggi. Saya salut lho sama Ibu. Selama ini sudah banyak membantu pekerjaan saya."
Wanita itu mengangguk sopan. Pertimbangan karier yang Jana jalani, selain teman-teman yang terus menyemangatinya, dirinya juga melihat team yang berada di dalam naungannya. Pak Gian dan Bu Indira yang selalu berusaha keras bekerja dengan sangat baik di usianya yang sudah lumayan banyak. Di DeGantium mereka paling dewasa dibanding yang lain.
***
Jana masih serius dengan meetingnya. Beberapa poin gagasan yang langsung menjadi bahasan dan evaluasi beberapa produk yang kurang diminati. Sementara Febi juga sibuk merangkumnya untuk bahan meeting dengan Darren Kevan awal pekan depan.
"Nah untuk satu brand khusus remaja, Pak Darren dan saya melihat grafik penjualannya stagnant. Mungkin Bu Indira ada penilaian dan alasannya?" ucap Jana sambil memperlihatkan grafik penjualan pakaian anak remaja pada layar proyektor.
"Untuk Brand tersebut model musim ini memang kurang oke. Relatif monoton. Memungkinkan tidak jika kita sale dalam event harbolnas nanti? Solusi untuk cepat running."
"Bagaimana dengan bundling? Atau mungkin masuk ke flazz sale. Sebelumnya kita harus melihat plus minusnya. Untuk model yang kebetulan di musim ini, bisa dibilang monoton, mungkin nanti akan kita kirim hasil survey kita supaya jadi bahan koreksi Pak Duncan. Selanjutnya, Pak Oktora, saya mau tahu kesiapan tim kreatif sudah berapa persen?"
"Sejauh ini, 90%, Bu. Kendala kemarin Bapak sidak minta ganti desain. Jadi kita bikin ulang maka dari itu kesiapannya baru 90%."
"Kenapa katanya kalau saya boleh tahu? Bukannya dua hari sebelumnya, Pak Darren sudah approve?"
"Begini, Bu. Menurut Bapak, konsepnya kurang elegan. Event valentine nanti, Bapak mau yang elegan. Lebih dewasa. Karena Digtya juga desain pakaiannya lebih ke elegan. Satu lagi, tapi ibu jangan marah ya? Kata Bapak, barangkali nanti photoshoot sekalian prewedding."
Mendengar jawaban Pak Oktora, kepala team kreatif dan konten, Jana nyaris tersedak nafasnya sendiri. Tiga kepala tim nya menunduk, tersenyum kaku. Jana juga tidak melewatkan wajah Febi yang seketika tegak menatap dirinya. Antara Darren dan Tiran yang menjadi biang kerok. Jana mencium ada hal persekongkolan.
"Pak Darren atau Pak Tiran?" tanya Jana pelan namun terdengar mengerikan.
"Bapak. Tapi sebelumnya memang Bapak ketemu Pak Tiran sama Mas Prasa di studio."
"Oke, saya paham. Saya jadi menyesal pernah menempatkan gagasan model pria di poin meeting bulan lalu," lenguh Jana. Padahal gagasannya bertujuan untuk melebarkan sayap. Namun malah berujung terciptanya kerikil-kerikil kecil dalam hidup Jana kini.
"Bu Jana?" panggil Febi pelan.
"Saya nggak marah kok, Feb."
"Bukan. Sepertinya ada yang menunggu di luar. Soalnya beberapa kali saya melihat sepasang kaki bolak-balik di bawah pintu," ucap Febi. Dan memang pintu ruangan meeting menyisakan kaca bening di bagian bawah.
"Oya? Coba tolong kamu lihat. Jangan sampai kejadian orang luar cheating terulang lagi."
Febi bergegas ke arah pintu. Kejadian dua tahun lalu menjadi peringatan yang tidak akan terlupakan bagi Jana dan kawan-kawan. Bisa-bisanya orang luar bisa menyusup dengan sangat baik.
"Bu Jana," panggil Febi terdengar seperti mengeja.
Apa yang ada di hadapannya membuat yang lain menahan senyum dan juga tanda tanya. Laki-laki itu bersandar di dinding, menatap dirinya dengan senyum menawan. Tapi bagi Jana, itu mengerikan.
"Udah jamnya makan siang," katanya mengingatkan pada ajakan makan siang bersama beberapa jam yang lalu. Jarinya mengetuk permukaan jam tangannya. Seketika pasokan udara di rongga dada Jana seperti merosot drastis. Poin penting, laki-laki itu serius pada ajakan makan siangnya!
***
Tbc
Detik-detik penghabisan, belum ngetik stok part lagi. Mudah mudahan pada sabar menunggu ya 😂😂
Selamat hari selasa, semangat berbahagia
04 January 2022
Salam,
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top