Bab 3

"Jana kamu tahu nggak? DeGantium trending lho gara-gara ada Prasa. Kamu sempat ketemu sama Prasa nggak di sana? Ganteng banget ya aslinya?"

Jana yang sedang mencari key card apartemennya seketika menoleh. Tetangga apartemennya agen asuransi yang sudah memiliki posisi. Jangan ditanya incomenya berapa. Untuk seorang agen asuransi yang sudah memiliki banyak nasabah terlebih memegang beberapa sub agen, sudah pasti angka nol-nya tidak hanya enam buah. Mana masih cukup muda. Namun perlu Jana akui, gaya hidupnya mampu membuat Jana geleng-geleng kepala. Ibarat kata, dia hanya tidur pun, uang tetap mengalir ke rekeningnya jika sub agennya produktif. Berbeda dengan dirinya. Yang harus rela pulang larut demi usahanya tetap berdiri aman.

"Yaelah, Karen. Mau kamu lobi biar jadi nasabah kamu?"

Wanita berusia 27 tahun itu meringis lebar. Dia melangkah genit menghampiri Jana. Gesture tubuhnya membuat orang langsung tahu ada maksud tertentu. Bukan hanya sekedar ingin tahu.

"Pacarin kalau bisa. Berondong juga nggak apa-apa deh. Yang penting oke luar dalam."

"Yang kemarin? Katanya Agen juga. Di atas kamu. Nggak jadi emang?"

Bibirnya memberengut. Dia terus membuntuti langkah Jana memasuki apartemen. Hidup sendiri, sudah nyaman, Jana lebih memilih membeli apartemen ketimbang rumah cluster seperti yang lainnya.

"Nggak jadi. Belagu. Aku males kalau udah nanya-nanya income berapa. Udah punya apa aja. Udah jalan-jalan gratis ke luar negeri berapa kali, kemana aja. Males banget nggak sih?"

Jana tertawa. Kakinya melangkah menuju ke lemari pendingin, mengambil sebotol air mineral lalu menarik kursi, duduk di hadapan Karen. Dia mulai meneguk air mineral dingin di tangannya. Sementara itu Karen menunggu respon Jana dengan tidak sabar. 

"Jana,"

"Hm. Bukannya emang lifestyle di dunia asuransi itu begitu? Aku sampai hafal satu per satunya. Bisa ditarik kesimpulan, lifestyle kalian itu high. Kamu selalu cerita begitu. Kamu pernah berpikir ulang nggak kalau terus dijalani akan menjadi toxic? Kenapa kamu nggak coba keluar dari zona itu? Sayang tahu nggak?"

Jana bicara dengan sangat hati-hati. Dia tidak ingin Karen tersinggung dengan kata-katanya. Matanya menatap gadis itu. Bibirnya tersenyum  tipis, menunggu Karen memahami kalimatnya. 

"Kerja apa di umur aku yang sekarang?"

"Dua tahun lalu, aku mati-matian ajak kamu gabung untuk isi posisi manager marketing. Kamu nolak. Wajar sih, kami baru start up. Sekarang udah diisi Bu Indira. How much you will get in every month? More than yours."

"Iya, tahu. Aku nyesel, jujur. Tapi ya udahlah. Kenalin aku ke model dong. Karen open jodoh."

Bibir pink Jana berdecih. Sepertinya gadis itu sudah memutuskan urat malunya. Atau memang sepertinya perusahaan asuransi itu sudah mulai goyang. Beberapa bulan belakangan memang nilai saham sedang melandai di titik rendah sesekali cenderung turun. Jana mengerti sebesar apa pengaruhnya terhadap perusahaan asuransi yang berbasis unit link karena berdasarkan kurs saham dunia. 

"Jana, seriously, kamu nggak punya kontaknya Prasa?" tanya Karen kembali pada sosok ganteng si Prasa. 

Gadis itu hanya menggeleng singkat, merentangkan kedua tangannya untuk mengendurkan bahunya yang sedikit pegal. Hanya karena Prasa, Karen bersedia menunggu di depan pintu flatnya.

"Kalaupun aku punya, aku nggak akan kasih ke kamu. Sama kayak kamu yang nggak bisa kasih data pribadi nasabah kamu ke orang. Statusnya dia model di perusahaanku. Secara SOP dimanapun aku berada, aku harus menjaga privacy-nya kan?"

"Kaku amat. Kamu suka ya sama dia?"

Tebakan Karen membuat matanya nyaris loncat. Bisa-bisanya dia menuduh suka sama Prasa. Bahkan kalau saja bisa, kalau saja boleh meminta, jangan pernah pertemukan dirinya dengan model yang katanya sempurna itu. Jana merasa risih sejak pertama melihat. Dia bukan tipe wanita yang kecentilan dan suka diberi kode mata. Bahasa tubuhnya pun seperti sengaja ingin mendekatinya entah apa tujuannya. Logikanya bermain, tidak mungkin seorang Prasa tertarik dengannya, murni tertarik. Di luar sana masih banyak yang jauh lebih glowing bersedia secara sukarela atau malah berharap menjadi koleksinya. Meski memang tidak pernah ada berita kencan mengenai Prasa. Namun sekelas Prasa tidak mungkin tidak memiliki pacar. Jana sangat tahu dunia model itu seperti apa. 

"Kenapa kamu nggak coba stalking dia di media sosialnya? Daripada kamu nuduh nggak ada bukti? Lagian, hari ini aku first time ketemu dia. Tahu Tiran kan? Dia tuh yang sering ketemu."

"Tiran? Aduh, aku lupa. Ada polis yang mesti aku ubah data. Aku pulang dulu ya?"

Jana membuang muka, menahan senyum kemenangannya sudah berhasil membuat Karen mundur dengan sendirinya. Mundur untuk saat ini, tidak tahu kalau nanti. Mendengar nama Tiran sudah menciutkan nyali Karen. Jana ingat benar, dulu, gadis itu dibuat mati kutu ketika berhadapan dengan Tiran, ingin mempresentasikan produk asuransinya. Sebenarnya Tiran tidak segalak itu. Hanya saja, waktunya tidak tepat dan Karen seperti agent pada umumnya, terlalu bersemangat demi memperoleh nasabah baru, yang tidak mau tahu kondisi seseorang. 

"Karen, mau aku teleponin Tiran nggak?"

"Nggak!!!"

Tawa Jana meledak mendengar teriakan Karen kemudian disusul dengan suara pintu tertutup. Sesaat dia menghela napas sebelum beranjak menuju ke kamarnya. Sunyi. Jana hanya mengedarkan tatapannya ke setiap sudut apartemennya yang begitu luas. Tidak tahu sudah berapa lama dia bertahan dengan kesunyian ini. Ibunya lebih memilih membantu kakaknya mengurus bayi. Cucu pertama di keluarga Lukito. Kakak perempuannya menikah beberapa tahun lalu dan memilih menetap di Taipei bersama suaminya yang memang bekerja di sana. Karenanya semakin jarang pula ibunya bersama dirinya. Dulu sebelum kakaknya menikah, ibunya masih sering berpindah-pindah. Satu bulan bersama dirinya, beberapa bulan di tempat kakaknya. Setidaknya masih ada hari untuknya bersama. Kini, tidak lagi. 

Jana menghela napas kemudian mengganti pakaian kerjanya. Dia baru akan mencuci muka ketika ponselnya berdering. Sebuah nomor tak dikenal menghubunginya. Apa Geiz berulah lagi? Terakhir dia ditelepon nomor asing, yang ternyata dari sebuah klub malam. Geiz hangover dan sedikit berulah. 

"Ya, selamat malam?" sapa Jana menjawab panggilan masuk itu. 

"Hai, Janarie Lukito. Sorry, aku dapet nomor kamu dari asistenmu. Biar lebih akrab aja. Edisi valentine kita photoshoot bareng kan?"

Suara lelaki itu membuat Jana menegang kaku. Bercandaannya pada Karen dijawab instan. Selama ini tidak pernah ada model yang lancang meminta nomor ponselnya. Klien, model atau desainer pun tidak pernah ada. Semua lewat asistennya, Febi. Astaga. Hatinya melenguh. Bagaimana bisa seorang Febi yang bekerja untuknya bertahun-tahun bisa meloloskan laki-laki ini. Rasanya tidak mungkin Febi bisa seceroboh itu. Belum sempat menjawab, laki-laki itu sudah mengakhiri panggilannya tanpa salam.

"Prasa."

Mulutnya mengeja nama laki-laki itu sementara otaknya terus berputar mencari jawaban pertanyaan, mengapa Prasa begitu gencar mencari tahu nomor ponselnya? Seberani itu dia? Bukan apa-apa. Tidak sekali dua kali Jana bertemu dengan laki-laki yang katakanlah sempurna. Pengusaha? Vendor? Designer? Fotographer atau Bos IT? Semua pernah Jana temui namun tidak ada yang berani mengusik dirinya hingga mencari tahu kontak pribadinya. Kehidupan membuatnya menjadi sangat berhati-hati terlebih setelah Boss besarnya, Darren Kevan selalu mewanti-wanti dirinya untuk jangan sekali-kali mengumbar data pribadi karena kita tidak tahu niat orang asing terhadap kita. Terlebih untuk saat ini banyak sekali yang ingin mencari tahu segala apa yang ada di DeGantium.

Jarinya mulai menggulirkan layar ponsel, mencari nama Febi di daftar kontak. Seharusnya Febi sama seperti yang dia pikirkan. Tidak sembarangan memberikan nomor ponselnya. 

"Feb? Ada waktu sebentar?" sapa Jana ketika Febi menjawab panggilannya.

"Ada apa, Bu?"

"Barusan ada yang nelpon aku. Prasa. Benar dia dapat nomorku dari kamu?"

"Bukan, Bu. Tapi tadi sempat Pak Tiran telepon saya. Katanya mau ada hal penting yang mau dibicarakan ke Ibu. Saya sempat berpikir agak aneh juga kenapa Pak Tiran nanya nomor Ibu."

"By Ponsel atau telepon kantor?"

"Telepon kantor, Bu."

Jana memijat pangkal hidungnya. Terjawab sudah. Memang kemungkinan besar, laki-laki itu menggunakan telepon di ruangan Tiran. Sedekat itu mereka? 

"Oke, makasih, Febi. Anyway, lain kali, agak lebih detail lagi ya? Ini bukan Tiran yang telepon tapi Prasa."

"Mas Prasa? Astaga, maaf Ibu, saya nggak tahu kalau itu Mas Prasa."

Jana tertawa, "Mesra amat kamu manggilnya, Feb? Ya sudah. Ingat, lain kali kalau ada yang minta nomorku, tanya lebih detail ya?"

"Baik, Bu."

Jana meletakkan ponselnya. Tuhan sedang tidak bercanda malam ini. Menyebut nama Prasa, dijawab dengan telepon sungguhan dari laki-laki itu. Seharusnya ini hanya tentang kebetulan. Tapi Jana tidak bisa membohongi diri atau menekan diri agar tidak mempercayai ilmu cocoklogi.

***

Tbc
Haii,, update rutin selama masih ada tabungan. Nanti kalau belum update lagi berarti stok nya abis dan belum dapet wahyu lagi. 😂

Selamat hari senin, selamat beraktivitas. Jakarta senin pagi ini semrawut ya? Gimana dengan kalian?

Senin, 3 January 2022
Salam,
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top