Bab 24 (REPOST)

Apa rasanya jatuh cinta? Tidak semenakutkan yang dibayangkan. Satu bulan, dua bulan, laki-laki itu tetap saja manis. Dan satu yang tidak pernah absen, bunga aster. Yang kini turut menjadi bagian favorit bagi Jana. Everything about Prasa is sweet.

Jadi begini definisi kehidupan yang sempurna? Meski melelahkan karena pekerjaan yang menumpuk selama masa cuti nikah sang kepala suku, namun tidak terlalu membebani. Ia sibuk meeting sampai tengah malam, lalu pagi-pagi harus kembali ke kantor. Belum lagi ia harus membagi waktu bersama Prasa. Kalau dipikir ulang, waktunya untuk istirahat atau sekedar me time berkurang jauh. Itu yang bagi Jana tidak masuk di logika. Kok bisa? Semua bahkan berjalan dengan baik-baik saja.

"Jana, Can you help me?!"

Gadis yang tengah fokus pada sisa map yang sebentar lagi selesai, langsung mengangkat wajah mendengar seseorang menerobos masuk dengan suara lelahnya. Sosok yang penampilannya sudah tidak sekeren tadi pagi, menyeret kursi untuk duduk. Febi yang siap berdiri, kembali duduk begitu melihat kode tangan dari Jana, I can handle this!

"Apa? Kamu baru ditinggal Darren sehari aja udah pusing. Masih 13 hari lagi lho," jawab Jana dengan santai masih melanjutkan pekerjaannya.

"Aduh, banyak banget agenda. Asli, dia terlalu hebat buat handle ini sendirian selama ini."

Jana tertawa kecil. Tiran akan lebih disibukkan dalam dua minggu ke depan. Karena selain urusan beberapa brand yang sedang pembenahan, ia juga harus berurusan dengan dinas administrasi untuk project pengembangan di negeri tetangga. Memang tidak tahun ini juga. Namun, untuk proses administrasi dan kerja sama dengan developer tidak bisa membutuhkan waktu yang singkat. Semua harus ada perencanaan yang matang.

"Oke, saya bantu yang printilannya aja ya?"

"Sepakat. Berarti nanti malam kamu yang ketemu Chris ya?"

"Ngapain?"

"Ada rekanan dia. Kemarin kirim proposal brand Walter, tahu kan? Jam tangan pria."

"Aduh, Kalau itu kamu yang punya wewenang. Kan harus eskalasi presentase profitnya yang masuk ke kita berapa."

"Biasanya bukan kamu juga suka ikut nanganin?"

"Saya dilibatkan ketika kita bahas kualitas produk, estimasi peluang di pasaran. Untuk deal kerja sama itu Darren sendiri tanpa saya."

"Saya udah pakai standard-nya Darren. Tapi nggak bisa kayak dia yang cepat banget bikin orang taken kontrak."

"Come on, take the trust. You can do it. Darren ambil kamu sebagai wakil dia, secara otomatis dia liat kamu punya value dibanding kita. Kamu cuma perlu percaya diri. Kalau kamu ada masalah dengan rasa minder kamu, ayo, nanti malam saya temenin. Ingat, temenin ya?"

"You want?"

"My pleasure."

"Nemenin gue?"

Jana mengangguk dengan penuh keyakinan. Bahkan senyum tulusnya turut mengembang dari bibir merahnya. Kali ini Jana memoles bibirnya dengan warna merah untuk menyempurnakan blouse hitam tanpa lengan sebatas pusar dan celana kulot warna broken white. Beruntung hari ini Prasa libur dan sedang mengikuti turnamen kelas bebas.

"Ya. Gue supirin. Oke?"

"Pulang agak malam nggak apa-apa?"

"Nggak masalah. Nanti kalau mau jalan, kabarin aja."

Bibir Jana mengurai tawa di sela gelengan kepala ketika laki-laki itu meringis lebar dengan wajah berseri. Tidak sekusut saat masuk ke ruangannya. Ia baru akan memberikan map yang sudah selesai pada Febi untuk di simpan, sebelum ponselnya berdering.  Nama Prasa menari di layar ponselnya.

"Hai? Kenapa?"

"Doain aku ya? Biar menang. Selesai agak malam sih."

"Selalu. Yang terbaik buat kamu. Oya, Jam berapa kalau boleh tahu? Nanti aku ke sana. Mau nunggu?"

"Kamu lembur?"

"Ya, sedikit. Tiran udah mulai migrain kayaknya. Jadi aku harus bantu dia."

"Gitu? Oke, aku selesai jam sembilanan kayaknya. Karena kita one day aja."

"Oke. See you. Jangan lupa, share lokasi biar aku gampang nyari tempatnya."

"Oke, abis ini ya, Sayang."

Gadis yang hari ini menggerai rambut coklat sebahunya, melempar balas senyum pada Febi yang tersenyum maklum. Kini, bos-nya bisa selembut itu pada laki-laki terutama terhadap laki-laki yang bernama Prasa, meskipun masih ada kesan tegas dan kaku. Tidak apa, itu tidak terlalu mencolok belakangan ini.

"Ibu besok sore kan harus ke Bali. Ibu nggak istirahat aja?" tanya Febi mengingatkan.

"O iya. Saya ke sana sama siapa?"

Febi meringis, menjawab pelan, "Ibu sama Mas Edwin satu pesawat. Pak Tiran lusa sama Pak Geiz. Bu Gummi besok pagi sama pacarnya. Ibu mau saya pesanin pagi biar satu pesawat sama Bu Gummi, kata Ibu, sore aja."

"Oke, saya lupa. Oya, saya antar Tiran dulu. Dia udah ngajak jalan sekarang. Nanti saya langsung pulang, nggak balik ke kantor. Kalau kamu ada waktu, sidak ke bawah ya?"

"Baik, Bu."

Jana beranjak sambil membawa tas hitam mungil, melupakan coat cream-nya begitu saja. Heels strap tali spaghetti warna hitam kini mengeluarkan bunyi dengan ritme cepat demi Tiran yang tidak lagi migrain.

***

Nyaris jam delapan, Jana masih menemani Tiran yang sedang bertahan pada titiknya di hadapan orang penting dari perusahaan jam tangan yang sedang negosiasi. Di sebelah pria bermata sipit itu ada Chris yang sedang duduk santai, sama seperti Jana. Menemani mereka untuk mencapai kesepakatan.

"Jadi bagaimana, Pak?"

"Saya sarankan untuk sepakat. Jana yang akan menangani jalannya produk ini. Saya berawal dari fashion wanita, sekarang untuk celana formal pria pun akhirnya dipercayakan kepada saya tanpa harus nego. DeGantium memiliki after sale yang bagus. Ke depannya, saya dengar mereka akan ada pengembangan ke Malay. Just okay, Jana memiliki anak-anak yang bagus," ucap Chris pada akhirnya menyarankan pada rekanan bisnisnya.

"Jana?"

"Ya, saya, Pak. Janarie Lukito. Orang-orang memanggil saya Jana."

Laki-laki berkaca mata itu menatap Jana begitu teliti. Jana melemparkan senyum ramahnya dengan percaya diri. Ia tahu, tidak mudah menaruh kepercayaan pada sebuah perusahaan start up seperti DeGantium. Dan sekali lagi Chris turut berperan meyakinkan rekannya untuk menandatangani kerja sama. Tepat di angka delapan, pada akhirnya laki-laki itu tunduk pada kesepakatan yang ditekankan Tiran jika ingin produknya masuk dalam jajaran etalase website DeGantium.

"Terima kasih, optimis akan menjadi awal yang baik," ucap Tiran dengan perasaan lega luar biasa.

"Oya, saya ada undangan dari Pak Darren. Ada yang berangkat ke sana?" tanya Chris sambil berjalan keluar dari restaurant menuju ke halaman parkir.

"Saya lusa sama Geiz. Gummi besok pagi. Jana besok sore karena masih ada yang harus dikerjakan."

"Oh? Jana, pesawat apa?"

"Garuda sepertinya."

"Saya rasa kita berada di satu pesawat yang sama. Would you like to join with me?"

"Sound nice. Just wait me in airport."

"Of course. I'll waiting on you."

Tiran segera menyenggol lengan Jana diam-diam. Namun gadis itu hanya mengernyit.  Ia tidak mengerti dengan kode yang Tiran berikan. Menyadari kodenya tidak sampai dengan baik, Tiran memilih diam sambil menghela napas singkat lalu mengajak Jana untuk berpamit.

"Ran, gue drop lo di depan pintu masuk mobil ya? Nggak sampai lobi apartemen lo, apalagi depan kamar lo," ucap Jana sambil mulai melajukan mobilnya.

"Atur aja, Na. Gue lelah asli. Tapi udah tenang dikit."

"Btw, lo ngapain tadi nyenggol gue?"

"Jangan terlalu welcome. Nanti lo dipake sama dia."

Jana terbahak. Tiran yang selalu over thinking, yang lebih memilih bebas di usia mendekati 30 tahun. Sementara yang lain mulai ingin serius. Jana kenal sangat dengan Tiran.

"Nggak lah. Gue tahu lo, Ran. Mau sampai kapan emang hidup lo penuh ketakutan?"

Tiran hanya berdecih, enggan menjawab. Ia lebih memilih menutup mata. Reaksi Tiran membuat Jana menelan ludah. Sebelumnya ia berada di titik yang sama dengan Tiran. Tapi Darren terus menerus mengingatkannya, mau sampai kapan kayak gini terus, Na?

Sepanjang perjalanan menuju Karet, dimana apartemen Tiran berada, Jana tenggelam dalam kenangannya sendiri. Sesaat ia menatapi tubuh tinggi tegap itu berjalan memasuki gedung apartemennya sebelum Jana melajukan kembali mobilnya menuju ke Pusat, tempat Prasa mengikuti turnamen persahabatan.

Jalanan malam ini tidak seramai biasanya. Terlebih ini bukan akhir pekan. Jana menambah kecepatan mobilnya agar segera sampai.

Perhitungannya meleset. Ia sampai lebih cepat dari perkiraan. Begitu sampai, ia tidak langsung turun. Namun lebih memilih menunggu di dalam mobil sampai tidak terlalu ramai. Lebih dari 15 menit, sosok Prasa belum juga terlihat. Jarum jam di tangannya sudah menunjuk pada angkat setengah sepuluh malam. Jana menghela napas sebelum memutuskan untuk keluar, memasuki gedung aula itu. Kepalanya celingak-celinguk mencari sosok tinggi tegap tanpa mempedulikan tatapan orang-orang yang memperhatikan dirinya. Senyum tipisnya tercipta begitu mendapati sosok itu sedang berbicara dengan orang yang mengenakan pakaian yang sama. Lalu sebuah medali di tangan kanannya.

"Terima kasih. Saya nggak sehebat itu. Ya, saya baru bergabung kembali di sana."

"Sebelumnya?"

"Saya vakum cukup lama."

Jana mengamatinya dari jarak yang tidak begitu jauh. Sampai beberapa saat kemudian Prasa menoleh, mungkin merasa ada yang memperhatikan. Laki-laki itu bergegas, berpamit dari orang-orang itu.

"Hai, sayang," sapa Jana membuka kedua tangannya.

Laki-laki itu segera menyambutnya dengan tubuh basahnya. Tangannya meremas pinggang Jana yang terbebas dari kain.

"Kamu gitu ya kalau aku libur," ucap Prasa tak senang.

"Aku tadi pakai coat."

"Terus di mana sekarang?"

"Lupa. Buru-buru. Masih di kantor tadi. Nanti kamu nunggu kelamaan. Oya besok sore aku flight ke Bali."

"Iya. Kamu udah ngomong kemarin kan. Aku antar?"

"Nggak usah. Sama Edwin. Nanti kamu jemput aja. Gimana? Who is the winner?"

"Of course, Me."

"Wow, selamat."

"Jangan diulangi lagi."

"Apanya?"

Jana menjerit kecil ketika Prasa menjawab pertanyaan Jana dengan remasan di pinggangnya itu.

"Berapa lama di Bali?" tanya Prasa sambil membukakan pintu untuk Jana. Sebelumnya ia merebut kunci mobil dari tangan gadis itu.

"Tiga hari. Acara Darren selesai aku pulang."

"Exited banget kamu mau ke sana?" ujar Prasa dengan tubuh sedikit membungkuk, guna memasangkan seatbelt pada Jana. Kemudian ia sendiri masuk ke mobil, mulai menyalakan mesin mobil.

"I just very happy. Pada akhirnya mereka bersatu."

"Kamu ada rencana kayak mereka?"

Jana terdiam. Sebenarnya belum terpikirkan olehnya. Namun pertanyaan Prasa membuatnya sedikit tertarik untuk memikirkan.

"Mungkin. Kalau kamu?"

Prasa tersenyum simpul. Ia melabuhkan tangannya, memberikan usapan di puncak kepala Jana.

"Serius. Kalau dalam waktu dekat kamu berani?"

"Berani gimana?"

"Soon. I promise, we'll getting married. Lihat aja."

Laki-laki itu terbahak mendapati Jana terbungkam, menelan ludah susah payah. Dont be shit! Are you kidding me, huh?

***

Tbc

Nungguin nggak? 😂😂
Ini jalannya ke arah sana. Tau kan kemana?

24 January 2022
Salam,
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top