Bab 22 (REPOST)

Laki-laki itu menoleh padanya dengan senyumannya. Apa yang Jana lihat, serta merta membuat dirinya gelagapan. Eh, bener lho dia nengok pake senyum!

Prasa mengangkat alisnya sebelah. Ia bukan tidak tahu dengan pikiran rumit gadis. Dan itu malah semakin membuatnya semangat dua kali lipat untuk membuatnya bertekuk lutut. Apapun itu demi seorang Jana tetap berada di genggamannya.

"Oke, sampai nanti ya," ucap Jana memecah keheningan begitu sampai di basement gedung condominium itu.

"Besok pagi aku jemput."

"Oke," ucap Jana menahan diri untuk tidak memperlihatkan rasa gugupnya. Tangannya kini melepaskan seatbelt dan bersiap membuka pintu.

"Jana!"

Gadis itu menoleh. Belum sempat bertanya, tangan Prasa sudah meraih kepalanya, menarik mendekat hingga nyaris tanpa jarak. Deru napas hangat berbaur dengan aroma peppermint mulai memenuhi rongga dada Jana. Sepersekian detik otaknya serasa kosong. Prasa kembali membawanya dalam suasana seperti di Dago malam itu.

Bibir merah alami itu melesak lembut ke celah bibir gadis itu. Lidahnya bergerak perlahan menggoda Jana untuk membalasnya. Satu tangannya menahan kepala Jana. Cecapan lembutnya membuat Jana secara alami membalasnya dengan lembut. Deru napasnya kini sudah mulai pendek. Yang Jana rasakan saat ini kepalanya terlalu pusing untuk memikirkan yang lain. Prasa berhasil membakarnya di bawah ciuman lembutnya. Deru napas kini berganti dengan erangan rendah sebelum kemudian memutuskan untuk menyudahi sebelum membakarnya lebih jauh lagi.

Baik Jana maupun Prasa terdiam sesaat dengan napas tersengal-sengal. Dahinya saling bertumpu.

"I love you," bisik Prasa sambil membawa Jana dalam dekapannya.

"So I choose to love you too," balas Jana masih dengan napas tersengal-sengal di dada laki-laki itu. Harum musk yang menyatu dengan tubuh Prasa entah kenapa membuat Jana seperti ada kata nyaman.

Mendengar jawaban dari Jana, laki-laki itu melengkungkan senyumannya. Bibirnya lantas mengecup singkat puncak kepala gadis itu. Sesaat keduanya hanya melempar senyum sebelum Jana memutuskan untuk keluar dari mobil toyota sporty itu.

"Sayang!"

Panggilannya membuat Jana menoleh. Prasa menurunkan kaca mobil. Senyum manis merekah di bibirnya.

"Makasih. Aku belum pernah sebahagia ini. You make me complete!"

Jana membalas senyumannya, "Dan kamu yang membuat aku untuk berani ambil resiko."

Laki-laki itu terbahak lalu melambaikan tangannya, meminta Jana untuk segera masuk. Entah, dia bukan lagi masanya Abege sedang jatuh cinta. Tapi Jana tidak mampu menutupi rasa membuncah di dada begitu dia memutuskan untuk membuka hati. Bahkan seolah hal yang memberatkan lenyap begitu saja.

If you're not my mr. Right, Nope. Setidaknya nanti ada hal baik yang bisa aku ambil untuk kisah selanjutnya. Now, I dare!

***

Rok flanel model span asimetris sebatas lutut melengkapi atasan rajut lengan panjang turtle neck warna hitam. Jana sengaja mengikat ekor kuda rambut coklat kopinya. Terakhir, lipstick mate warna nude yang diombre sedikit dengan liptint warna merah menjadi penutup fashionnya hari ini. Ia sudah siap mengawali hari setelah cuti sia-sianya usai. Tidak lupa blazer dan hadbag ia tenteng sebelum melesakkan sepasang kakinya pada sepatu sneaker putihnya. Entah, hari ini Jana hanya ingin fashion casual saja. Tidak feminin seperti biasanya.

Ia baru akan membuka pintu ketika bel flatnya berdentang. Tangannya segera membuka pintu.  Untuk sesaat Jana melebarkan matanya. Seorang pria tampan dengan satu ikat bunga aster berdiri di depan flatnya dengan senyum terbaiknya.

"Selamat pagi, sayang? I love your outfit today, so much and more."

"Selamat pagi. Thank you. By the way, kamu ngapain pagi-pagi ke sini?"

"Jemput kamu. Buat kamu, biar semangat di hari pertama kembali kerja."

"Tapi... "

Jana langsung bungkam. Laki-laki itu mengecup pipinya tanpa aba-aba. Sedikit banyak, ia jadi salah tingkah. Ia yakin, wajahnya sudah memerah. Aduh! Dulu Abege nggak gini amat! Jana merutuki dirinya sendiri yang dirasa semakin sulit mengendalikan diri. Bisa nggak reaksinya yang biasa aja? Iya tahu, dia gantengnya kualitas premium!

"Ayo, jalan. Keburu macet."

"Nanti aku turun di depan aja ya? Biar nggak ada yang tahu kalau aku bareng sama kamu."

"Apaan sih?" Prasa tertawa mendengar ide konyol dari Jana, "Nggak lah. Emang kenapa kalau bareng? Oh, kamu maunya orang-orang lihat kamu turun bareng sama klien kamu yang bule itu?"

Jana mendelik. Bisa banget Prasa menyambungkan ide konyol Jana pada orang lain. Mau tidak mau Jana menghentikan ide konyolnya. Sesaat Ia melirik tajam pada tangan Prasa yang iseng mengulir-ulir rambut ekor kudanya.

"Iseng. Rambut kamu lembut banget," ucap Prasa sambil menghentikan gerakan tangannya, berganti mengusap-usap lengan Jana.

Beruntung, pagi ini tidak sepadat biasanya. Untuk sampai ke DeGantium tidak membutuhkan waktu terlalu lama. Karyawan yang datang pun belum begitu ramai. Melihat keadaan sekitar yang sepi ada kelegaan tersendiri bagi Jana. Ia bahkan melemparkan senyum lebarnya pada laki-laki yang sedang mematikan mesin mobil.

"Come on!"

"Oke," ucap Jana sambil keluar dari mobil Prasa.

Ia bermaksud melangkah lebih dulu namun langkah lebar laki-laki itu dengan mudah menyamai langkah Jana. Bahkan tangannya meraih tangan Jana untuk digenggam. Mau protes? Tatapan matanya saja sudah meledek seolah bermakna, coba aja kalau bisa!

"Kamu ada jadwal live pagi?" tanya Jana membuka pembicaraan di dalam Lift.

"Iya. Sampai dua jam ke depan. Break sebentar. Terus live pas menjelang makan siang. Terus aku ke Dojang dulu. Sore live lagi satu jam."

"Oke, good luck!"

"Itu aja?"

"Jangan macam-macam!"

"Nggak lah. Kan isi modelnya cowok semua. Sama oya, bisa nggak Olivia diganti? Bu Indira lagi yang pegang. Dia meresahkan buat para lelaki."

"Meresahkan gimana?"

"Ya meresahkan. Udah gitu aja. Happy working, sayang," ucap Prasa sebelum keluar dari lift di lantai Lower Ground.

Ucapan Prasa membuat Jana menarik kembali ingatan apa yang kemarin Febi pernah ungkapkan padanya. Bahwa Bu Indira minta hiring orang untuk menggantikan Olivia dengan alasan tidak kompeten. Padahal di mata Jana, gadis itu cukup baik dan sopan kepadanya. Cara berpakaiannya pun masih dalam standard menurut orang itu sopan. Tidak seperti dirinya yang suka sedikit kesan seksi atau suka ikutin mode.

Keluar dari Lift, Jana bergegas menuju ke ruangan Gummi. Bagian HRD personalia dan keuangan. Gadis mungil itu rupanya juga baru saja tiba.

"Gummi, kemarin Febi udah sempat info belum mengenasi case Olivia?"

"Hai, Jan. Olivia? Udah. Febi udah bilang dan anak gue udah tanganin. Coaching kemarin kan. Coba lihat ada perubahan nggak? Kalau nggak, gimana menurut lo? Mau cut atau coba pindah divisi? Mungkin di bagian logistik? Nanti dia yang akan bantu Pak Gian kontrol data. Karena asistennya gue dengar mau resign setelah nikah nanti."

"Okay. Let we'll see. Hanya ada dua opsi ya? Gue belum jelas case nya apa. Mungkin nanti sesekali gue pantau sendiri. Makasih ya, Gummi."

Se-meresahkan apa memangnya? Pertanyaan itu menjadi sebuah rasa penasaran bagi Jana. Bahkan ketika ia sampai di ruangannya. Untuk sesaat ia hanya duduk memikirkan satu pertanyaan itu. Selanjutnya Jana kembali fokus pada pekerjaannya, mematangkan rancangan promo di bulan depan.

"Bu Jana."

"Ya?" Jana mengangkat wajah dari layar komputernya demi menatap Febi yang memanggilnya. Tidak terasa nyaris empat jam sudah. Sebentar lagi akan tiba jam makan siang.

"Ibu nggak sidak?"

"Oya. Kamu aja deh yang sidak."

"Anak-anak suka nanya kenapa Ibu jarang sidak sekarang."

"Oya? Sebentar deh. Saya juga ada hal yang pengen saya lihat sendiri, sebenarnya case di floor-nya apa?"

"Itu dia, Bu, kenapa anak-anak pengin Ibu sidak lagi."

"Wait ya? Saya save data dulu. Kamu ikut saya ya?"

Tidak membutuhkan waktu lama. Jana segera beranjak bersama Febi menuju ke studio live untuk inspeksi dadakan demi melihat jelas case apa yang sedang terjadi. Seperti biasa, kakinya melangkah cepat, tegas namun kali ini tanpa suara karena Jana tidak mengenakan heels seperti biasanya. Namun tidak menyurutkan decak kagum dari orang yang melihatnya.

Studio live pertama merupakan studio live untuk wanita. Semua sedang sibuk pada pekerjaannya masing-masing. Kehadiran Jana membuat seisi studio terkejut namun juga menghadirkan senyuman lebar dan napas lega. Setidaknya Bosnya yang satu ini masih ingat kalau masih memiliki anak-anak yang juga perlu diperhatikan. Sesaat Jana mengamati jalannya live. Semua normal dan berjalan sesuai standard yang telah ditetapkan. Lalu beralih pada ruang monitor. Data statistik yang terus merangkak naik menggambarkan penambahan viewers. Satu sudut sana, beberapa orang sedang memantau monitor untuk melihat data pesanan yang masuk.

"Sejauh ini kira-kira bagaimana presentasenya?" tanya Jana pada salah seorang yang sedang memantau data pesanan masuk.

"Angkanya naik tipis-tipis, Bu. Karena ini baru menit awal live di sesi kedua."

"Sesi pertama?"

"Lebih banyak dua persen dibanding hari kemarin."

"Oke, tetap semangat! Saya harap bulan depan akan naik banyak ya karena kita masuk di musim baru."

Jana tersenyum sembari memberi tepukan semangat di bahu karyawannya itu. Kemudian ia beranjak keluar dari ruang monitor bersama Febi yang setia mendampinginya.

"Ibu mau kemana?" tanya Febi ketika melihat Jana malah menuju ke koridor Lift.

"Kenapa memangnya?"

"Studio laki-lakinya kan belum, Bu," tutur Febi mengingatkan.

Jana berdecak. Padahal ia sengaja melewatinya.

"Kamu aja deh. Nanti apa yang kamu lihat, syukur-syukur soal casenya Olivia, kasih tahu saya."

"Ibu takut ketemu Mas Prasa ya?"

"Nggak gitu, Feb," sanggah Jana sedikit gelagapan.

"Kalau Ibu nggak lihat sendiri, Ibu nanti akan membuat keputusan yang bisa jadi keliru."

Jana terdiam. Kedua tangannya berkacak pinggang sambil menimbang bagaimana sebaiknya.

"Oke, kita masuk."

Senyum Febi melebar sempurna dalam hitungan detik. Ia hanya merasa suka melihat Bosnya diam tak berkutik di hadapan kekasihnya. Baginya itu lucu dan menggemaskan. Tidak ada lagi Janarie Lukito yang terkesan tegas, lempeng seperti jalan tol.

Tanpa mengetuk, Febi membuka lebar pintu lapis baja itu. Sontak, semua mata tertuju ke arahnya termasuk yang sedang melakukan sesi Live. Sebagian karyawan memberikan senyum kepadanya. Sedang para model pria terpaku menatap Jana. Masalahnya, sejak fashion pria running, ini baru pertama kalinya Jana melakukan sidak.

"Whatta perfect girl!"

"Keep away your eyes, man!"

"Idaman, Btw. Dia direktur kita?"

"Pastinya. Tapi lo nggak ada kesempatan. Udah taken!"

"Sok tahu lo!"

"Kan gue deket sama dia," ucap Prasa sambil memberikan alat pada laki-laki itu untuk bersiap live.

"Gosip kan?"

Prasa menggeleng yakin. Namun model bernama Melvin itu pun menggeleng, menolak untuk percaya. Nggak salah sekelas model dekat sama direktur? Koleganya banyak, kenapa harus model?

***

Tbc

Aduh, sekian dulu ya. Yang nulisnya ikutan megap-megap. Nggak tau nih feel nya nyampe ke kalian atau nggak. Semoga aja iya, ya? 😂😂😆😆

22 January 2022
Salam,
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top