Bab 21 (REPOST)

"Jadi belum ada feedback dari Pak Duncan soal desain bajunya yang monoton?" tanya Darren sembari meneliti berkas satu per satu.

"Feedback soal desain yang baru sih belum. Tapi pekan lalu, beliau udah email saya kalau saat ini sedang ada pembenahan di perusahaannya dan mungkin di musim selanjutnya baru siap mengeluarkan desain baru. And then alternative kita mau ambil brand lokal dengan tema aestetic atau kompetitornya Pak Duncan. Kemarin juga mereka sempat mengirim email proposal.

Kita bicara bisnis aja. Nggak mungkin kita mengandalkan di satu titik aja. Harus ada plan A, plan B. Kalau saya, lebih prefer ke brand lokal yang sedang diminati. Kelemahannya, customer harus mengira-kira sizenya. Nggak kayak yang size euro. Pilihannya mereka harus up dari size yang biasa digunakan."

"Jadwalin saya ketemu sama orangnya secepatnya. Bulan depan menyambut easter. Saya oke sama plan kamu mengenai promo akhir bulan. Saya juga perlu ketemu Pak Duncan. Ada nggak rekomendasi dari beliau untuk sementara sampai Pak Duncan bisa supply kita lagi? Saya harap dengan desain yang fresh sesuai ekspektasi saya."

Jana mengambil gelas kopinya, meneguk sekali untuk membasahi tenggorokannya. Sementara telinga dan otaknya masih fokus pada rentetan kalimat dari Darren. Dan waktu sudah menunjukkan pada angka 5 sore. Jana dan Darren masih sibuk membicarakan evaluasi bulan ini dan rencana bulan depan.

"Secepatnya saya kabari. Mengenai live fashion pria. Saya ada plan untuk mulai memasukkan produk parfum."

"Untuk mensejajarkan, untuk sementara saya rasa samakan dulu saja materinya dengan live fashion wanita. Bisa nggak kamu minta ke Bu Indira untuk fokusin Prasa ke Parfum sama atasan? Dia punya nilai jual lebih di bidang itu."

"Saya sudah ambil empat model. Kalau dua bidang itu difokuskan ke dia, saya nggak yakin bisa maksimal."

"Kamu prefer kemana? Kalau bisa push dua-duanya. Kapan akan dimulai bagian parfum-nya?"

"Nanti saya mau ajak bapak untuk ketemu orangnya."

"Kalau gitu, nunggu saya selesai cuti nikah, Na."

"Bisa aja. Sambil mematangnya yang lain dulu. Saya juga perlu pembenahan di bagian lapangan."

"Saya percaya kamu bisa mengatasi semuanya."

Jana meringis. Sementara Darren tertawa. Sesaat Jana terdiam kala ponselnya berdering. Ia baru mengingat kalau waktu sudah menuju petang.

"Prasa ya?" tebak Darren mengerlingkan mata.

"Bukan! Karen. Dia masih sama nasabahnya. Mau makan malam bersama katanya. Jadi katanya nggak apa-apa kalau aku pulang dulu."

"Kirain. Ya udah, ayo, Na. Kita pulang. Dikit lagi magrib. Kamu balik ke kantor apa langsung pulang."

"Kalau ke kantor?"

"Saya ngikut. Saya suruh Pak Marno pulang deh. Kasihan. Overtime mulu. Tadi subuh udah anter saya ke Alam sutera."

"Bilang aja minta anterin!"

"Kan gengsi."

Jana terbahak. Ia hafal benar basa-basi seorang Darren. Untung saja sudah mengenal sejak lama. Tangannya segera memberesi berkasnya dan bersiap untuk kembali ke kantor.

Namun tidak semudah itu bagi Jana memberi tumpangan CEO itu. Dengan santainya Jana melempar kunci mobilnya pada laki-laki itu.

"Gue yang bawa?"

Jana mengangguk dengan senyum merekah. Yang bisa Darren lakukan hanya mendesah singkat. Pasrah.

"Dari Alam sutera ke Pondok Indah terus kembali ke SCBD. Mantap sekali Bapak ini?" ledek Jana sembari memasang seatbelt.

"Demi. Demi lo semua gue lakuin. Bilang apa?"

"Semangat, Bosku!"

Darren mendecih sambil melajukan mobilnya di antara jalanan yang padat merayap. Akan semakin padat nanti di jalan Trunojoyo. Ini mengapa Jana terlalu enggan untuk meeting di luar.

Waktu sudah memasuki isya ketika Jana dan Darren memasuki area menuju basement DeGantium. Ia melambaikan tangannya ketika Darren yang sudah berpindah ke mobilnya sendiri, berpamit pada Jana untuk pulang. Gadis itu menatapi audi hitam yang mulai menghilang di tikungan.

Sesaat Jana menghela napas sebelum berbalik untuk membuka pintu mobilnya. Namun urung, ketika ia mengingat sesuatu. Janjinya, menjemput Prasa sehabis magrib.

"Jemput nggak ya?" gumam Jana menimbang-nimbang.

Ngapain jemput dia?! Jana mengedikkan bahunya lalu berbalik, membuka pintu mobil. Lagipula kemungkinan besar sudah pulang. Jana baru akan memasang seatbelt ketika mengingat berkas yang harus ia letakkan di ruangannya.

"Pakai segala lupa!" decaknya.

Ia bergegas mengambil berkas di jok belakang, kemudian memasuki gedung DeGantium yang tidak seramai siang hari. Sebagian karyawan sudah ada yang pulang, sementara yang lainnya ada yang masih bersantai dan ada pula yang memang overtime.

Sama halnya dengan Febi. Gadis itu sedang bersiap untuk pulang ketika Jana memasuki ruangannya. Jana menahan senyum dalam diam begitu mendapati Febi terkejut kemudian wajahnya berubah masam. Ia mengerti ketika Bos masuk di waktu mendekati jam pulang, alamat akan lembur dadakan.

"Selamat malam, Ibu," sapa Febi dengan sisa tenaganya.

"Selamat malam juga, Feb. Udah mau pulang?"

"Belum kok, Bu. Ada yang bisa Febi bantu?"

"Nggak ada. Saya cuma mau naruh berkas aja. Kamu pulang naik apa?"

"Naik TJ, Bu. Tapi nanti naik ojol dulu baru ke Halte Polda."

"Bareng saya aja. Hemat ongkos. Udah beres semua?"

"Sudah, Bu. Tapi nggak apa-apa, saya naik ojol aja. Ngrepotin Ibu, saya nggak enak."

"Tinggal duduk manis. Come!"

Ini pertama kalinya Jana mengajak pulang bareng seorang Febiana di malam yang terhitung masih sore. Biasanya ia akan mengantarnya sekalian jalan kalau pulang lembur dan tidak dijemput kekasihnya.

"Makasih ya, Bu."

"Sama-sama, Febi. Tolong, mukanya nggak usah sok manis!"

Febi hanya bisa tertawa sambil beranjak mengekori langkah Jana. Ia bergegas mengunci pintu kemudian berjalan beriringan menuju ke Lift. Jana terdiam waspada ketika Lift berhenti di lantai Lower Ground. Jangan-jangan laki-laki itu benar-benar menunggu dirinya. Ah! Jana membuang napas singkat mendapat sosok itu berdiri di depan Lift dengan satu kedipan mata untuknya. Ia segera masuk, mengambil tempat tepat di sisi Jana.

"Makasih," bisik Prasa dengan mencuri kecupan kilat di puncak kepala Jana.

Rasanya wajah Jana kini mendadak merah padam. Apalagi ketika Febi yang berada di sisi kirinya langsung menundukkan kepala. Tidak hanya itu, tangannya kini diam-diam menggenggam tangan Jana, begitu kuat hingga gadis itu menyerah untuk melepaskan diri. Sepertinya rumor yang berhembus, sebentar lagi akan menjadi fakta yang menyebar.

"Antar Febi sebentar," ucap Jana ketika mendapati tatapan penuh tanya dari Prasa begitu melihat Jana menuju mobilnya bersama Febi.

"Mobilku di sana," ucap Prasa menunjuk pada sebuah mobil yang berjarak sekitar lima meter dari mobil Jana.

"Ya terus?"

"Pakai mobilku aja. Besok pagi aku jemput. Udah mulai masuk kantor kan?"

"Oke. Ayo, Feb."

Jana mendadak terdiam, menyadari sikapnya barusan. Ya! Dengan mudahnya sekarang dirinya lebur, melupakan sisi jaimnya. Ia lantas meringis kaku pada Febi yang menatapnya bingung. Lebih tepatnya mencari sesuatu hal yang meyakinkan dari rumor yang sedang beredar sejak model itu masuk ke DeGantium karena mengapa hanya dia satu-satunya yang diberi akses khusus langsung ke Jana oleh Darren sementara model lain tidak.

"Ibu..."

"We just friend," jawab Jana membuat Febi mengangguk pelan.

"No. We're in a relationship!" tegas Prasa berbuah pelototan dari Jana.

Mulut lancang Prasa berhasil membuat Febi terperangah. Apalagi ketika Jana mendadak panik sementara Prasa sangat santai.

"Prasa!"

"Kenapa? Dia asisten kamu. Orang-orang terdekat yang masuk dalam circle kamu. Dia berhak tahu."

"Tapi, astaga..."

"Just enjoy. Kamu berhak punya kehidupan pribadi dengan siapapun."

Kalimat Prasa membuat Jana tak berkutik. Sebenarnya bisa saja ia menyanggahnya. Namun enggan. Ia hanya pasrah ketika Prasa merangkul bahunya menuju ke mobilnya. Seperti biasa, terus terang, Prasa selalu bersikap manis. Membukakan pintu, melindungi kepalanya dengan telapak tangan dan memasangkan seatbelt.

Ibu, maaf kalau lancang. Tapi malam ini sangat bahagia. Akhirnya ibu menemukan seorang yang tepat. Idaman!

Sederet pesan dari Febi membuat Jana seketika menoleh ke belakang. Tatapan tajamnya malah bersambut dengan senyum lebar, meringis dari Febi.

"Congrats!" ucap Febi tanpa suara disertai dengan dua jarinya bertaut membentuk simbol cinta, "Janji, keep silent!"

Lagi-lagi, Jana dibuat diam tak berkutik. Sepanjang perjalanan ia tidak tahu harus ngomong apa. Suasana mendadak aneh. Saling diam. Sementara dari sudut matanya, Jana melihat di belakang Febi diam menahan senyum susah-payah. Jana tahu, ini akan segera menyebar apalagi kalau Febi kelepasan di WAG khusus para asisten. Membayangkan saja membuat Jana bergidik. Jangan sampai!!! Tapi mau berapa lama akan terus bersembunyi?

"Bu, Mas Prasa, Makasih ya?" ucap Febi sambil turun dari mobil tidak jauh dari tangga menuju halte transjakarta.

"Kok kamu ngomong sih? Kamu tahu nggak rumor yang akan menyebar nanti?" semprot Jana ketika kini hanya tinggal berdua.

"Just enjoy, sayang. Kamu bukan seseorang yang harus selalu tampil sempurna. Kamu juga berhak punya kehidupan kayak orang-orang lainnya," tutur Prasa sambil menggenggam tangan Jana, meyakinkan gadis itu.

Jana membuang napas singkat. Entahlah, kehadiran Prasa dalam hidupnya menghadirkan riak-riak kecil di tengah tenangnya kehidupan.

"Fokus, nyetir," ucap Jana mengalihkan pembicaraan.

Laki-laki itu terkekeh, melepaskan genggamannya. Namun tidak semudah itu melepaskan. Ia menarik tangan Jana hingga tubuh Jana condong kepadanya. Kecupan singkat mendarat di pipi gadis itu. Demi? Jana hanya terbengong menatap Prasa tidak percaya dengan apa yang Prasa lakukan barusan. Hah! Dia melupakan sosok Prasa yang sering melakukan sesuatu hal di luar prediksi.

"Mau lagi?" ledek Prasa sambil melajukan kembali mobilnya di tengah ramainya kendaran.

"Nggak!"

"Nggak salah?"

Prasa tertawa. Satu tangannya kini terulur mengusap puncak kepala Jana. Usapan lembutnya kali ini membuat Jana menoleh pada laki-laki itu. Ia terdiam mendapati garis wajah sempurna itu melengkungkan senyum terbaiknya. Rambut sedikit basah dan sisa make up malah membuat kadar ketampanannya naik sedikit.

Tabrakin aja, Jana. Sakit atau tidak kamu nggak akan tahu kalau nggak menjalani dulu. Kata-kata Darren terus menggoda pertahanannya. Sekali lagi dia menatap laki-laki itu. After this, kalau kamu nengok dan senyum, oke, I'll take a risk to open my heart.

***

Tbc

21 Januari 2022
Salam,
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top