Bab 20 (REPOST)

"Jana!"

Suara Karen disertai ketukan pintu membuat Jana yang baru bangun tidur mengerutkan dahi. Ia segera membukakan pintu sebelum kena komplain penghuni flat lain karena berisik. Ia mendapati Karen sudah rapi dengan setelan kemeja dan blazernya. Sudah siang berangkat kerja rupanya.

"Ngantor?" tanya Jana.

"Anterin gue, yuk. Gue mau ketemu calon nasabah."

"Prospek?"

"Enggak. Itu mah udah. Dia minta jelasin ilustrasi polis yang mau dia ambil nanti."

"Emang kenapa kalau sendiri?"

"Mati gaya gue. Adiknya bos besar."

"Gede dong?"

"Makanya itu. Tinggal dikit lagi kan sayang kalau lewat. Tapi pakai mobil lo ya? Punya gue mogok kemarin."

Jana membulatkan mata. Dia tidak sesiap itu untuk berkeliaran di kantor. Apalagi kalau sampai ketemu Prasa. Ah, sial. Mengapa dia harus jatuh ke dalam pesonanya?

"Jana!"

"Mobil gue di kantor."

"Ambil dulu, yuk. Keburu kok waktunya."

Dahi Jana mengernyit. Namun belum sempat bicara, terdengar dering ponsel dari ruang tengah. Jana bergegas masuk diikuti oleh Karen.
Ada nama Darren di layar ponselnya.

"Kenapa, Ren?" tanya Jana begitu menggeser tombol hijau di layar ponselnya.

"Na, bisa ketemu di luar nggak? Gue mau abis ketemu orang sih. Cuti lo gue ganggu lagi nggak apa-apa ya?"

"Tapi nggak ada data yang harus gue ambil di kantor kan?"

"Ada. Sekalian bahas evaluasi bulan ini deh. Sebelum gue cuti panjang, Na."

"Oke. Ya udah nanti gue ke kantor dulu. Nunggu sebentar nggak apa-apa ya? Gue nanti ngedrop temen gue dulu."

"Oke. Ditunggu ya, Nan. Abis ini gue share lokasi."

Jana meletakkan ponselnya. Ia mengusap wajahnya lalu meringis kaku pada Karen yang menatapnya iba. Iya, baru kali ini Jana mendapati tatapan itu dari Karen.

"Sama aja bohong dong cuti?"

"Resiko. Dia juga nggak ada liburnya masa gue enak-enakan liburan. Oke, tunggu bentar. Nanti gue anterin. Tolong telfonin Febi dong, bilangin berkas buat meeting sama Bapak. Nanti dia tahu."

"Siap, Bosku!'

Jana terbahak kemudian bergegas menuju ke kamar. Mengganti pakaian tidurnya dengan blouse tanpa lengan warna biru navy dan celana skinny fit warna beige. Sepatu sneaker menjadi pilihannya untuk menyempurnakan outfit casualnya.

"Nggak mandi?"

"Kalau lagi buru-buru gini, mana sempat. Lagian orang nggak akan bertanya udah mandi apa belum. Ayo, buru."

"Nanti masuk ke gedung atau..."

"Masuklah. Tenang aja nggak bakalan ketemu Tiran. Takut banget sama dia?"

"Bukan takut. Gue males. Ketemu dia itu kayak diajak narik urat."

"Ada gue. Tenang aja. Yuk ah!"

Jana tertawa kecil. Ia paham bagaimana Karen sangat enggan bertemu dengan Tiran. Bagi laki-laki itu tidak peduli dia laki-laki atau perempuan, kalau sudah merasa mengusik dirinya, ia akan membentaknya tanpa segan-segan. Sedangkan Karen adalah seseorang yang tidak bisa dibentak.

Beruntung siang ini tidak begitu macet. Wajar saja, jam tanggung. Jam berangkat kerja bukan dan jam makan siang juga bukan. Jadi bisa tidak terlalu lama untuk sampai di DeGantium. Sesaat Jana hanya berdiam menatap gedung tinggi itu. Sementara Karen menatapnya bingung. Jelas sekali di wajah Jana kalau ia ragu untuk memasuki gedung itu. Padahal ia salah satu pemiliknya.

"Na!"

"Aduh, lo ke lobi deh. Gue telepon Febi buat antar ke lobi."

"Udah gila kali. Kan lo juga yang punyanya. Kenapa jadi kayak mau masuk kandang macan?"

"Itu dia. Ada macannya."

"Nggak usah becanda!"

"Aduh gimana ya?"

"Buruan. Nanti gue gagal ketemu orang. Lagian kenapa sih?"

Jana meringis kaku. Satu-satunya yang membuatnya enggan memasuki DeGantium adalah karena ia belum sesiap itu kalau-kalau ketemu Prasa. Bayangan bibir basah nan kenyal di dalam mobil malam itu membuatnya bergidik. Hanya teringat saja, rongga pernapasannya seperti menyempit. Sial! Padahal Jana sudah berusaha keras untuk melupakannya.

"Na! Malah bengong."

"Nggak. Its ok, ayo masuk," putus Jana setelah menarik napas dalam-dalam.

Ia segera menggamit tangan Karen untuk masuk bersamanya. Sesekali ia melempar senyum membalas sapaan dari para karyawan yang berpapasan dengannya. Tanpa ia sadari langkahnya semakin cepat dan lebar hingga membuat Karen pontang-panting mengimbangi langkahnya. Postur tubuh Karen tidak setinggi Jana. Jadi wajar saja kalau perempuan nyaris kepala tiga itu kesusahan mengikuti ritme langkah Jana. Begitu sampai di ruangannya Jana mengembuskan napas lega. Begitupun Karen. Hanya bedanya Karen karena terbebas dari langkah Jana. Sementara Jana tidak bertemu dengan seorang Rajendra Prasa.

"Feb, tolong telepon ke pantry deh, ambilin minum buat temen saya," ucap Jana masih terengah-engah.

"Baik, Bu. Ibu minum apa?"

"Air putih aja. Berkas yang saya pinta sudah siap?"

"Sudah, Bu. Oiya, Bu Ind minta ganti orang, Bu."

"Buat?" tanya Jana mengernyit sambil menerima map dari asistennya.

"Bu Olivia."

"Ada masalah apa?"

"Bu Indira merasa kalau Bu Olivia kurang kompeten. Beberapa kali Bu Indira mendapati Bu Olivia lebih sering di studio live laki-laki. Jadi untuk yang studio perempuan kurang diperhatikan. Jadi pada intinya kurang mampu mengkoordinir lapangan."

Jana terdiam. Tangan memijit pangkal hidungnya. Bisa disimpulkan bukan sebuah masalah serius kalau berkaitan dengan asmara. Jana menegakkan wajah setelah beberapa kali menggeleng tak mengerti. Ini apa sih? Hal seperti ini mengapa harus menjadi besar hingga dirinya harus turun tangan?

"Kamu ke Gummi deh. Nanti biar dari divisi dia yang menangani kalau teguran lisan tidak mampu mengubah cara kerjanya. Berkas rancangan promosi bulan depan sudah?"

"Baik, Bu. Berkasnya sudah di file map warna biru."

"Oke. Makasih, Feb."

Tidak berapa lama seorang office boy masuk dengan dua botol air minum kemasan di nampan. Melihat air minum seperti melihat oase di tengah gurun. Dengan cepat Karen membuka kemasan itu dan menenggaknya hingga habis membuat office boy dan Febi terperangah.

"Maaf ya kami agak bar-bar. Kita buru waktu soalnya," ucap Jana meringis kaku, "Karen, come on. Katanya udah ditunggu orang."

"Oke!"

Febi dan seorang office boy itu terdiam paham sekarang, mengapa seorang wanita itu menenggak bar-bar sebotol air minum. Keduanya melihat bagaimana wanita itu nyaris berlari demi mengimbangi langkah kaki Jana.

"Lo nyiksa gue, asli."

"Sorry. Sedikit. Gue cuma lagi menghindar dari seseorang," bisik Jana sambil menekan tombol Lift.

"Siapa? Lo punya kuasa juga. Masa iya lo takut?"

"Ngledek! Asal lo tahu, kuasa gue nggak ada artinya di matanya."

Karen nyaris terbahak kalau saja tangan Jana tidak segera membungkam mulutnya. Tidak berapa lama, pintu Lift terbuka. Aman, kosong. Bahkan di lantai Lower Ground tempat studio live berada pun tidak berhenti. Sekali lagi Jana mengembuskan napas lega. Kekhawatirannya perlahan memudar ketika sampai di lantai basemant.

Ia melangkah ringan keluar dari Lift. Namun yang paling bernapas lega di sini adalah Karen. Ia tidak perlu merasakan napas satu dua lagi dan juga kakinya tidak menahan sakit akibat berjalan cepat dengan heels yang membalut kakinya.

Gadis itu segera menoleh mendengar seseorang memanggil namanya dari arah Lift yang terbuka kala ingin membuka pintu mobil yang terparkir tidak jauh dari lobi lift basemant. Karen pun turut berbalik menatap ke sumber suara. Jana menyipitkan mata, memperjelas sosok yang dia lihat. Ah, sial! Mata Jana mendelik.

"Buruan masuk!" ucap Jana menyuruh Karen untuk segera membuka pintu begitu menyadari  pemilik suara itu adalah Prasa.

Ia sudah berusaha menghindari laki-laki itu. Namun sayang, jalan cerita tidak berpihak padanya.

"Sayang!"

Jana memejamkan mata, menahan geram. Apalagi ketika mendapati tatapan terkejut dari Karen dan kali ini seperti menuntut meminta penjelasan. Kok bisa dia manggil sayang? Ada apa?

"Buruan masuk, kan gue kata."

"Iya!" dengus Karen segera membuka pintu mobil.

Jana pun segera membuka pintu, namun sayang. Sebuah tangan lebih dulu menahannya. Apes! Lenguh Jana dalam hati. Ia bahkan tidak berani untuk sekedar menoleh apalagi membalikkan badan. Yang ia tahu, laki-laki itu sudah mengurung tubuhnya.

"Prasa."

"Kamu bilang apa?"

"Pra... Sa. Bisa nanti aja? Aku buru-buru mau ketemu orang."

"Bule itu lagi?"

"Bukan. Darren Kevan! Senang nggak?"

"Oke. Aku pulang abis magrib."

"Terus?"

"Pick me up!"

Apa? Mata Jana membulat sempurna. Seenaknya saja laki-laki itu. Jana memutar tubuhnya hingga menghadap pada Prasa. Hal yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan karena melihat sosoknya malah semakin memperjelas ingatannya mengenai malam yang cukup membuatnya merasa gerah. Benar saja kan?!

Jana menahan napas, mempertahankan dirinya kala mendapati jarak wajahnya hanya sejengkal dari wajah laki-laki itu. Bibir merah bebas nikotin itu? Astaga!

"No!"

"Harus," katanya menaikkan sudut bibirnya.

Senyum tipisnya malah membuat Jana gelagapan. Selanjutnya kecupan kilat mendarat di bibirnya sebelum laki-laki itu bergegas meninggalkannya. Jana seperti terhempas. Tubuhnya hanya bisa bersandar di badan mobil. Demi apa?! Tangan Jana kini berlabuh di dadanya sambil berusaha mengambil napas banyak-banyak. Bagaimana bisa laki-laki itu tahu kalau dia berada di sini. Sedang sepanjang perjalanan tadi, Jana tidak bertemu dengan siapapun di bagian live.

"Na!"

"Ya!" sahut Jana cepat menjawab panggilan Karen.

"Sorry, bentar ya. Gila lo. Lama-lama gue struk dini."

"Kenapa emangnya? Lo pacaran kan sama si ganteng itu?"

"Nggak, Karen."

"Nggak ngaku lagi. Udah, buru. Nanti gue malah ditungguin nasabah gue. Bisa nyetir nggak?"

"Ngeledek banget lo?" decak Jana berbuah derai tawa dari Karen.

"Tapi kalau gue lihat, emang cocok. Nggak apa-apa kali, Na. Seperfect dia mah jangan sampai lolos."

Jana hanya mendengus sambil membuka pintu mobil. Ia membiarkan Karen terus meledeknya.  Mau bilang apa lagi? Toh Karen sudah menangkap basah semuanya.

"Lo tahu gue lah," ucap Jana dengan senyum tipisnya.

"Justru karena gue tahu. Lo tuh juga suka. Cuma nggak ngakuin aja."

"Tahu dari mana?"

"Gemeteran nggak?"

"Ya, lo pikir?"

"Orang kalau nggak ada rasa pasti akan menolak mentah-mentah. Bukan gemeteran panas dingin."

Jana terbungkam. Mungkin ada benarnya. Sedikit banyak ia sudah terbiasa dengan sesuatu yang berhubungan dengan laki-laki itu.  Antara terbiasa dan memang ada rasa itu beda tipis rasanya.

***
Tbc
Nggak nungguin kiss nya kan? 🤣🤣🤣

20 January 2022
Salam,
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top