Bab 19 (REPOST)
Sepanjang perjalanan menuju ke Jakarta, Jana lebih banyak diam. Namun matanya lebih sering mengamati laki-laki yang tidak tahu kenapa malam ini memancarkan aura ketampanannya lebih dari biasanya. Secara tidak sadar bibir kali ini sudah melengkung ke atas.
"Aku boleh tanya?" ucap Jana pada akhirnya membuka suara.
"Tanya aja, sayang."
"Apa yang mendasari kamu berani mengambil keputusan untuk suka sama aku? Padahal banyak di luar sana yang setidaknya match sama kamu yang ngejar-ngejar kamu. Why? Sampai kamu bela-belain ke sini. Padahal kamu nggak perlu ambil pusing apa kata aku. Toh kamu bukan asistenku. Atau kamu anggap ini tantangan?"
Laki-laki menggeleng sambil tertawa kecil. Bisa-bisanya Jana punya pemikiran sejauh itu? Jana kembali diam, menunggu jawaban Prasa.
"Kamu nggak bisa nentuin perasaan itu ada untuk siapa. Ya aku ke sini karena kamu. Bukan anggap tantangan juga. I'll do everything for you as long as you never go away from me."
"So what will you do if I choose to go away?"
"Keeping you harder, tighly."
Jawaban Prasa mengunci semua pertanyaan Jana. Gadis itu kembali diam. Sulit rasanya untuk berhenti atau menjauhkan diri agar tidak berinteraksi lagi dengan Prasa. Rasanya semua logika yang ia bangun atas nama pikiran positif tidak lagi bisa menjadi tempatnya bersembunyi.
"Then try keeping me harder!"
"As your wish, Babe!"
Jana mencebikkan bibirnya. Ia melihat dengan jelas senyum kemenangan melengkung sempurna dari laki-laki itu. Belum sempat menormalkan kembali keadaan dirinya, ia sudah di dera degub kencang tanpa aba-aba. Bagaimana tidak? Di tengah menunggu lampu hijau, Prasa melepas jaket hodienya kemudian seperti biasa ia labuhkan di pangkuan Jana.
"Nanti kamu pasti kedinginan."
"Makasih."
"Sayangnya mana?"
Jana tidak tak berkutik. Untuk bilang sayang rasanya mendadak ada tulang di lidahnya. Ia hanya diam melemparkan lirikan pada Prasa. Laki-laki itu tertawa ringan tanpa mempermasalahkan lagi. Dijawab atau tidak itu bukan sebuah persoalan ketika sebuah kalimat 'then keeping me harder!' sudah keluar dari mulut Jana. Officially got you, babe! Kemudian ini hanya masalah waktu, seorang Janarie Lukito, ia pastikan akan bertekuk lutut.
"Prasa."
Jana memanggil nama itu dengan sedikit ragu. Bibirnya tersenyum tipis begitu mendapati wajah Prasa ketika ia menoleh. Sesaat ia menarik napas panjang, berharap semoga tidak salah langkah.
"Kenapa?" tanya Prasa ketika Jana tak kunjung bicara.
"Kamu mau... Jalan-jalan sebentar sama aku? I mean, mencari sesuatu yang bisa dimakan di sini?" tanya Jana penuh hati-hati sambil melemparkan tatapan ke luar sepanjang jalan Dago yang masih terbilang cukup ramai meskipun bukan malam akhir pekan.
"Aku yang traktir deh," ucap Jana cepat sebelum Prasa sempat menjawab ajakannya.
"Aku belum jawab."
Jana meringis kaku. Namun laki-laki itu malah terbahak melihat sikap kaku dari Jana yang memang baru kali ini ia dapati. Lucu. Menggemaskan. Itu menurutnya.
"Kalau kamu nggak mau ya udah nggak apa-apa."
"Jangan selalu mengambil kesimpulan sendiri. Nggak bagus. Kita cari tempat parkir dulu."
Sedikit tidak percaya dengan dirinya sendiri, Jana berani mengajak Prasa untuk sekedar jalan-jalan. Di dalam dirinya meringis malu. Ada rasa panas mulai menjalar di tubuhnya dan rasa membuncah yang sulit ia ungkapkan bahkan tidak bisa dijelaskan. Dalam diam kakinya melangkah menikmati suasana malam jalan Dago.
Sesekali ia menengadahkan wajahnya pada langit malam yang kebetulan malam ini sangat bersih. Kedua tangannya di belakang saling mengaitkan jari. Sementara Prasa tidak lama kemudian menyusulnya. Jana nyaris tersedak napasnya sendiri ketika tanpa banyak bicara tangan Prasa menarik satu tangannya ke dalam genggamannya.
Untuk kali ini, semua tidak bisa Jana kendalikan seperti biasanya. Apalagi ketika mata Jana berada di bawah tatapan mata milik Prasa. Ia tidak bisa menolong dirinya sendiri yang mulai jatuh di dalam tatapan itu. Tatapan yang hanya berjarak satu jengkal itu diperparah dengan ada senyum tipis namun tetap saja menawan. Sial! Jana gelagapan ketika dirasa dadanya kehabisan stok oksigen. Ia segera memalingkan wajah, menghirup udara banyak-banyak. Tangan bebasnya menyentuh dadanya, berusaha mengendalikan dirinya yang sempat hilang kontrol untuk beberapa saat.
"Makan apa minum?" tanya Prasa.
"Bebas."
"Serius?"
Jana mengangguk, "Iya. Terserah. Aku ikut aja."
"Kamu lapar nggak?"
"Nggak terlalu."
"Oke, kita minum aja sambil nikmatin waktu kita."
Gadis itu tertawa lirih sambil memasuki sebuah kedai minum. Tidak menunggu lama, dua cangkir kopi panas sudah tersaji di hadapannya. Tangannya terulur untuk mendekap cangkir miliknya dengan telapak tangan.
"Prasa. Kamu kan sebentar lagi mau dua bulan kan ya di DeGantium. Kamu ada rencana apa ke depannya atau mungkin punya kisah apa selama kamu di sana?" tanya Jana mencoba untuk membuka kalimat.
"Rencana ke depan? Serius sama kamu."
"Hah?"
Prasa tertawa. Tangannya secara reflek menyentuh puncak kepala Jana, memberikan usapan acak di sana. Sejenak, Jana masih saja merasa terkejut namun dengan cepat ia bisa mengatasinya.
"Biar nggak ada yang bisa bawa kamu."
Jana tertawa. Ia perlahan menyesap kopinya. Bukan tidak tahu kalau Prasa terus menatap intens padanya. Sial, atau mungkin laki-laki itu sengaja membuatnya salah tingkah?
"Aku belum kepikiran buat serius."
"Kenapa?" tanya Prasa sambil meletakkan cangkirnya.
"Aku pikir belum waktunya. Untuk sebuah kata serius, bukan cuma perlu pertimbangan matang-matang. Tapi juga kesiapan dari masing-masing kita. Siap mental juga. Kenapa kamu udah kepikiran ke arah sana? Usia seumur kamu kan orientasinya masa depan dulu kan?"
"Memang semua nggak bisa berjalan beriringan. Tapi ketika kita sudah merasa menemukan ya nunggu apa lagi? Itung-itung bahagiain mamaku. Jadi, mama itu kan sekarang sendiri. Papaku udah nggak ada. Then kakak aku juga udah sibuk sama keluarga juga pekerjaannya. Nah tinggal aku nih..."
"Oh, I know. Pasti mama kamu bilang, suruh cepat-cepat nikah atau minimal bawa calon dulu selagi mama kamu masih ada umur. Gitu?"
"Tepat sekali!" jawab Prasa terbahak dan entah, Jana pun turut tertawa.
Berawal dari sana, obrolan hangat mengalir. Sampai-sampai Jana membuka kisah masa kecilnya hingga perjuangannya selama beberapa tahun belakangan setelah Prasa menceritakan bagaimana perjuangannya kuliah di Amerika hingga menjadi model.
"Jadi tuh, dulu, aku ikut turnamen gitu kan. Ikut seleksi dan loloslah aku terus dipanggil ke pelatnas. Karena dulu seleksinya kategori pelajar, nah pas menang tuh hadiahnya beasiswa kuliah di luar negri. Di sana aku masih ikut-ikut turnamen bebas. Nah pas semester akhir kalau nggak salah, ketemu sama orang yang lagi cari bakat. Then karena aku orangnya penasaran, ya udahlah coba. Nah, namanya udah rejeki. Jalanin aja terus, lumayan kan duitnya. Kelar kuliah, aku masih lanjut jadi model. Tapi awal tahun lalu aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan nggak kembali ke sana."
"Kenapa? Sayang lho. Ibarat kata, karier kamu di sana udah terbentuk pondasinya. Tinggal lanjutin lagi kan?"
"Kamu mungkin bisa menolak semua yang nggak sesuai kemauan kamu. Tapi ketika itu mama kamu yang minta, kamu tanpa pikir panjang pasti langsung berangkat."
"Oh, so beautiful. Sebesar itu sayang kamu ke mama kamu. Jarang lho, hari gini ada laki-laki yang segitu cintanya sama orang tua."
"Kalau kamu?"
"Aku?" Jana tertawa lirih, "Ada banyak pelajaran yang mendidik aku hingga jadi kayak gini. Kelar SMA, semuanya yang baik-baik saja mendadak berubah. Papa sama mama cerai tanpa sebab yang aku tahu pasti. Dan sejak itu Papa menghilang gitu aja. Otomatis aku harus bekerja keras. Istilahnya kalau kamu pengen pendidikan bagus ya kamu harus kerja. Masuk kuliah aku langsung sambil kerja. Pas akhir semester ketemu lagi secara kebetulan sama alumni SMA. Kita yang sama-sama lagi jatuh. Enggak sih, mungkin mereka sedang jatuh tapi aku udah lama kan nyungsepnya. Kita akhirnya nekat tuh bikin awalnya jualan online gitu dari modal kecil. Seiring waktu, kok menjanjikan untuk diseriusin?
Dulu, kita sering nahan lapar, kerja keras sampai bela-belain tidur di kerjaan. Gitulah. Sampai kemudian kami pindah ke tempat yang bagus. Nah di mau akhir tahun pertama, kita modal nekat lagi beli gedung. Bangun rangka sistem jadi lebih besar lagi. Kan awalnya kita nyewa gedungnya."
"You guys, working hard all along day?"
"Iya. Pressure kita itu kebanyakan ya kita sendiri yang ciptakan. Demi orang-orang yang sudah bergabung bersama kami."
"Sampai nggak kepikiran pacar?"
Jana tertawa lepas kali ini. Teringat betapa gilanya mereka dulu demi sebuah nama DeGantium mengibarkan besar-besar benderanya.
"Seperti yang kamu bilang, ada harga yang harus dibayar. Tapi sekarang-sekarang ini, kita mulai bisa menikmati atau setidaknya ada waktu untuk menikmati hidup. Mereka yang mulai menemukan pasangannya. Dan aku, aku yang masih menyibukkan diri sama pekerjaan."
"Makanya percaya diri, you deserve it."
"I just dont wanna take a risk. Terlebih selama ini sendiri baik-baik saja. Karena kan memang saat ini aku sendiri di sini. Mamaku dua tahun lalu memutuskan untuk ikut kakak perempuanku ke Hongkong. Dia dulunya TKI. Then ketemu jodohnya orang sana. Kebetulan nggak lama menikah, diberi momongan. Ya sudah, tinggal aku sendiri sekarang. Jadi satu-satunya cara menghindari kesepian ya dengan bekerja."
"Tapi saran aku, mulai sekarang kurangi sibuknya."
"Kenapa?"
"Kan sekarang nggak sendiri lagi. Ada aku yang harus kamu bagi waktumu."
Jana tertawa. Tidak tahu harus menjawab apa. Namun beberapa saat kemudian kepalanya mengangguk dengan ringan.
Mungkin Darren benar. Suatu hari kita akan membutuhkan seseorang untuk menemani kita menjalani hari-hari. Akan lebih baik lagi kalau bisa sharing, membagi beban untuk menemukan solusi.
"Oya, pulang, yuk. Udah malam. Besok kamu harus live kan?"
"Live siang. Masih ada waktu banyak buat istirahat."
"Prasa, thank you for your time to night."
"As long as you will never and ever get away from me."
Jana tersenyum samar sebagai jawabannya atas kalimat laki-laki itu. Namun ia tidak memprotes lagi ketika Prasa menggandeng tangannya meninggalkan kedai kopi itu menuju ke mobilnya untuk kembali ke Jakarta. Laki-laki itu lantas membukakan pintu mobil untuknya sebelum dirinya juga masuk ke mobil. Sesaat keduanya hanya melempar senyum. Baik Jana maupun Prasa kemudian tertawa lirih sebelum kemudian ia hanya diam ketika Prasa mendekatkan wajahnya. Harum tubuh itu dirasa semakin memenuhi rongga dadanya. You're not gonna kiss me, right?
***
Tbc
Selamat hari ragu eh rabu...
19 January 2022
Salam
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top