Bab 18 (REPOST)

Jana hanya melirik sederet pesan dari Prasa yang muncul di pop up ponselnya kemudian memasukkan kembali ke tas hitamnya. Ia tidak berniat untuk membuka atau bahkan membalas pesan itu. Di sampingnya, Darren sedang sibuk dengan notepad di tangannya. Sementara cuaca hari ini sepanjang perjalanan cukup terik. Jana melemparkan tatapannya, menikmati pemandangan sepanjang perjalanan.

"Na, nanti kalau misalnya sampai malam banget, kita cari hotel ya?"

"Oke. Ada yang bisa dibantu nggak?"

"Nggak. Udah cukup semua. Gue cuma cek ulang aja. Oya, Prasa tahu nggak lo ke Bandung sama gue?"

Ha? Jana nyaris tertawa dengan kening mengernyit. Ia menatap Darren tidak mengerti, mengapa seorang Prasa harus tahu?

"Ngapain dia harus tahu?"

"Jangan cuek-cuek, Jana. Kalau gue perhatiin lo tuh nggak jauh beda sama Nada. Kenapa sih cewek suka banget jaga gengsi?"

"Gengsi gimana maksudnya?"

Darren berdecak. Ia meletakkan notepadnya, mengistirahatkan notepad andalannya dan otaknya dari urusan pekerjaan untuk sejenak dengan menciptakan obrolan ringan bersama Jana. Apalagi kalau bukan tentang status single dari Jana dan seputar rumor itu. Jana sendiri terkesan enggan untuk mengambil lebih perhatian jika berhubungan dengan perasaan.

"Mau sampai kapan emangnya? One day, elo butuh seseorang buat menjalani hari-hari bersama. Dulu Nada juga begitu. Tapi seiring berjalan waktu, dia bisa open mind. Semua tergantung dari elo. Gue cuma bersifat ingetin aja. Come on, Na. Pelan-pelan belajar membuka hati."

Jana meringis tipis. Jarang sekali memang ada waktu bagi Darren untuk bicara dari hati ke hati seperti ini. Tidak bisa dipungkiri, kalimat Darren sedikit banyak sudah menyentil perasaannya. Namun Jana dengan sangat baik menutupi semua. Dia menciptakan sebuah alasan yang dirasa masuk akal untuk mempertahankan opininya. Itulah Jana yang sesungguhnya.

"Gue cuma nggak mau kege-er-an. Nggak semua perhatian dari orang yang ditujukan untuk kita itu berarti dia interest ke sebuah komitmen. Ren, hati orang nggak ada yang tahu. Sebuah relasi yang awalnya baik-baik saja, terus karena gue salah paham, anggep itu semacam dia naksir gue, then ketika yang terjadi nggak sesuai dengan pemikiran gue, mau gue, lo tahu kan gimana pada akhirnya? Berantakan. Gue kehilangan model gue. Which is itu aset mahal gue. Mati dong gue. Elo semua jadi nyalahin gue dan gue pun merasa bersalah banget karena apa yang gue perbuat malah membuat apa yang kita bangun mati-matian selama ini jadi hancur berantakan. Gue nggak mau sesuatu hal jadi berantakan. Bahkan kemungkinan terburuknya kita jadi berantem, musuhan. Kan nggak lucu."

Darren terdiam mendengar penjabaran dari Jana. Terdengar masuk akal dan mendewasa. Namun sebenarnya tidak. Jana hanya bersembunyi di dalam penjabarannya.

"Oke. Kita bicara pengecualian sekarang. Gimana kalau apa yang dia lakukan beneran wujud perjuangan dia dapetin lo?"

Untuk sesaat Jana terdiam. Sama sekali belum ada bayangan. Ia menghela napas, mengulas senyuman tipis.

"Ya mungkin emang udah waktunya ketemu jodohnya."

"Thats point! Saran gue, lo harus mengubah cara pandang lo. Tabrakin aja dulu. Kasih kesempatan. Lo nggak akan tahu dia beneran jodoh lo atau bukan kalau nggak dari diri lo yang buka hati. Perkara pada akhirnya dia pergi, jangan takut terluka. Jangan takut patah hati. Di titik itu lo harus bisa ambil sisi positif, oh, di depan sana nanti pasti Tuhan sudah menyiapkan seseorang yang jauh lebih baik. Dia mungkin bahagia sama yang lain. Dan elo pun bisa. Pasti lo juga akan bahagia sama yang baru."

"Lo kemarin patah hati kan. Emang gue nggak tahu gimana lo merana?"

Darren terbahak. "Itu karena masalahnya ada di gue. Bokap gue nggak setuju sama Nada. Bukan Nada yang nggak suka sama gue. Jangan samain dong!"

"Dih nggak mau kalah."

"Udah. Percaya sama gue. Kalaupun nanti elo patah hati, dateng ke gue. Anggap gue abang lo. Meskipun emang kita seumuran. Tapi tuaan gue  berapa bulan. Tetep aja gue ibarat abang lo."

"Udah ah. Jangan bahas dia mulu. Nggak akan ada habisnya kalau bahas perasaan," ucap Jana menolak membahas masalah hati lebih dalam lagi. Ia masih tidak ingin mengakui semua sikap Prasa yang mengarah pada hal yang berpotensi besar menyebabkan kekeliruan.

***

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Jana dan Darren baru saja selesai meeting membicarakan mengenai proyek pengembangan. Seharian penuh Jana nyaris tidak beristirahat. Di sini dia mengerti seberapa besar tanggung jawab yang dipikul sang kepala suku. Jana melemparkan senyum tipisnya ketika mendapati Darren sedang menggerakan patah-patah kepalanya untuk meredakan sakit kepala karena sudah bekerja keras seharian ini.  Sesekali menggerakkan bahunya, meregangkan otot tubuhnya.

"Better stay semalam di sini. Besok pagi kita baru pulang deh," ucap Jana sambil merapikan berkas data ke dalam map.

"Nggak apa-apa. Masih sore kan? Kita lanjut pulang aja. Oya, gue lupa. Lo kan cuti. Kalau lo mau stay di sini, nggak apa-apa."

"Nggak sih. Gue worried aja. Kalau emang mau langsung pulang ya ayo. Makan dulu nggak?"

Darren terdiam, seperti sedang menimbang sesuatu. Ia lantas keluar dari gedung resort itu, diikuti oleh Jana. Di depan sana sudah siap sang sopir kantor dengan mobilnya.

"Cari yang anget-anget yuk, Na. Abis itu kita pulang. Duh, capek banget. Emang bener ya ada harga yang harus dibayar untuk sesuatu yang besar."

"Tumben ngeluh capek," ledek Jana.

"Sama elo doang. Kalau gue bilang gitu sama Tiran nanti dia kepikiran, makin pusing."

Jana terkekeh. Sesaat dia menyadari sudah berapa jam tidak menyentuh ponselnya di dalam tas. Ia segera mengambil ponselnya. Pikirannya tidak jauh dari Febi. Mana tahu Febi menghubunginya karena sebelum berangkat ia sempat berpesan kalau ada kendala agar segera menghubunginya.

"Ya Tuhan!" pekik Jana tanpa sadar, secara reflek tangannya menutup mulutnya yang terbuka, begitu membuka ponselnya membuat Darren turut terkejut. Laki-laki itu bahkan sampai urung menaiki mobil yang sudah terbuka pintunya, siap untuk jalan.

"Kenapa?" tanya Darren.

Jana tidak segera menjawab. Ia tidak bisa berkata-kata, hanya menelan ludahnya susah payah menatapi layar ponselnya. Puluhan panggilan tak terjawab dan ratusan pesan dari seorang Prasa. Tangannya kini gemetar, memperlihatkan apa yang membuatnya terkejut pada Darren.

"Prasa? Astaga. Udah nggak waras kali ya? Lo telpon gih, tanya aja kenapa."

Dimana?

Jawab.

Sesibuk itu?

Share lokasi!

Jana! Sekarang!

Pesan bernada demikian memenuhi chat whatsapp miliknya. Beruntungnya tidak ada panggilan atau sejenis sapaan sayang. Bisa-bisa jadi panjang urusannya kalau Darren menemukan sapaan itu. Ya, Jana enggan mengakui dan lebih memilih sembunyi.

"Maaf, baru selesai meeting. Kenapa Prasa?" tanya Jana begitu panggilannya dijawab.

"Di mana? Aku udah di kawasan Dago. Dago kan luas."

"Hah? Gila kamu ya?"

"Setiap apa yang keluar dari mulut seorang laki-laki adalah serius."

"Prasa,"

"Dimana, Janarie?"

"Resort Dago. Halo, Prasa!"

Woh?! Jana menatap tidak percaya pada ponselnya ketika Prasa menutup panggilannya begitu saja.

"Ada apaan?"

"Prasa. Gila lho, dia beneran ke sini," jawab Jana masih tidak percaya dengan apa yang Prasa lakukan. Terlalu nekat!

"Wajarlah jiwa laki-laki. Merasa ditantang. Inget, gue tadi pagi ngomong apa. Kasih diri lo kesempatan untuk membuka hati. One day lo menyesal kalau nggak sekarang lo lakuin."

"Iya, one day gue pasti akan buka hati. But only when i feel i click with it."

"Na. Gue tahu banget perempuan mandiri kayak lo. Dan gue tahu banget jiwanya laki-laki macam Prasa. You guys, similar with us. Believe it or not."

Perkataan Darren membuatnya tidak berkutik. Mau menyangkal apa lagi? Sedikit banyak dia mengakui bahwa Darren sangat benar. Sekilas Jana hanya tersenyum. Ia baru akan masuk mobil ketika sebuah mobil sporty keluaran toyota masuk ke pelataran parkir resort itu dan berhenti tepat di samping mobil kantor. Tidak berapa lama, seorang Prasa turun dengan hodie abu-abu menghampiri Jana. Entah dia benar-benar serius atau hanya merasa tertantang. Jana masih meraba mencari kejelasan versinya sendiri.

"Prasa? Hai," sapa Darren yang sudah duduk di dalam mobil.

"Hai, Pak. Oya, saya boleh bawa Jana pulang bareng saya?"

"Oh, gitu? Ya udah, silakan. Tapi hati-hati ya, udah malam soalnya," ucap Darren dengan sengaja menghindari tatapan Jana yang sudah pasti di dalam hatinya merutuk kesal karena mengijinkan Prasa membawa Jana.

Darren hanya terkekeh ketika Jana melemparkan tatapan sengitnya sambil berjalan menuju ke mobil Prasa. Tentu saja dengan tangan di genggaman Prasa. Laki-laki itu  mengingatkan masa tengilnya saat mendekati Nada Pertiwi, seorang karyawan kantor saat Darren di usia 22 tahun. Dan Nada 27 tahun. Bicara soal cinta, memangnya siapa yang berani mempersoalnya masalah rentang usia? Hanya bedanya kali ini Jana dan Prasa seumuran, tidak seperti dirinya dengan calon istrinya.

"Ayo, pulang, Pak. Jana nanti pulang sama Prasa. Biar yang single kencan dulu," ujar Darren pada sang sopir.

Di dalam mobil Prasa, Jana hanya bisa pasrah menatapi kepergian mobil kantor yang tadi pagi membawanya ke Dago ini.

"Bukan kamu ada shoot untuk banner promo minggu depan?" tanya Jana dengan maksud, kenapa Prasa sampai dengan sintingnya lari ke Dago demi sebaris kalimat yang sempat Jana katakan sebelum pergi tadi pagi.

"Udah selesai. Makanya langsung ke sini agak ngebut. Takut kamu nunggu kelamaan. Oke, kamu udah makan?"

"Tapi kamu nggak perlu lakuin ini, Prasa."

"Perlu. Apapun yang berhubungan sama kamu itu perlu."

Jana menghela napas. Tidak tahu harus bersikap bagaimana. Di satu sisi dia kepikiran dengan perkataan Darren. Di satu sisi ia tidak ingin buru-buru menyimpulkan bahwa ini saatnya membuka hati. Ditambah dengan apa yang Prasa lakukan malam ini, membuat Jana merasa lelah dengan dirinya sendiri. Apa memang sudah saatnya? Apa memang Prasa jawaban yang Tuhan kirim untuknya? Sesempurna Prasa? Masa iya?

***

Tbc

18 January 2022
Salam,
S. Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top