Bab 16 (Repost)

Jadian sama Prasa? Sampai saat ini Jana masih gagal paham. Sengaja mengambil cuti untuk healing, istirahat panjang dari pekerjaan dan sosok Prasa. Nyatanya malah berkebalikan. Semuanya berantakan, malah berakhir dengan status in a relationship secara paksa.

Sekali lagi Jana membuang napas kasar, masih duduk manis di tempat duduk tanpa ada niat mengejar Prasa yang sudah dekat dengan mobilnya. Nggak gini seharusnya. Jana terdiam, membiarkan otaknya bekerja menarik benang merah dari rentetan sikap Prasa terhadapnya. Seharusnya bagus karena jelas. Namun seorang Jana masih bersikeras menolak semua menjadi nyata. Nggak bisa. Seorang Prasa bilang cinta sama Jana secara tidak normal.

Bagi Jana, untuk mengambil kesimpulan dari kata cinta, seseorang harus tahu dulu, harus mengenal dulu baru bisa bicara cinta. Ya, butuh pendekatan khusus menurut Jana. Tidak yang serta merta baru kenal satu bulanan dan itu pun karena pekerjaan, lalu menyimpulkan jatuh cinta. Why? Why look so easy? Sepertinya ada yang perlu diluruskan dari kesalahpahaman ini. Terutama diri Prasa. Kalau untuk becanda soal perasaan, Jana menjamin laki-laki itu salah alamat.

"Hei, ayo pulang. Nunggu apa lagi?"

Tanpa menoleh, Jana sudah tahu siapa pemilik suara itu. Apalagi dilengkapi harum parfum yang menguar dari belakang Jana.

"Prasa, kamu tahu kan..."

"Apa lagi, sayang?"

Jana mengatupkan rahangnya. Mendengar kata sayang seperti mengantarkan rasa panas yang pelan-pelan menjalar di tubuhnya. Sial. Antara logika dan bahasa tubuhnya tidak bisa sinkron.

"Bisa nggak jangan gitu? Geli dengernya," sahut Jana memutar tubuhnya serong kemudian mengangkat wajah menatap laki-laki itu.

"Dibiasakan makanya. Babe, time to go home!"

Sapaan Babe malah menyebabkan Jana seperti kehilangan napas. Apalagi ketika Prasa sedikit membungkukkan badannya. Satu tangannya terulur menunggu disambut oleh gadis yang masih menolak mempercayai hasil keputusannya.

"Kamu pulang aja sana. Aku bisa pulang sendiri."

"Ayo. Sebelum berubah pikiran."

"Memangnya kenapa kalau kamu berubah pikiran? Aku malah berharap kamu berubah pikiran. Jawaban yang kamu tulis di kertas itu terutama."

"Aku udah ingetin kamu dari awal, Babe. Ayo, kita, pulang. Sebelum ada kejadian yang nggak kamu suka."

"Apa? Kamu kiss aku?"

Laki-laki itu tertawa. Apalagi ketika Jana seketika menjauhkan diri meski masih duduk di titik yang sama. Tubuhnya menjulur ke belakang, menghindari Prasa. Hal itu membuat Prasa menghadiahi jentikan di kening Jana hingga mengaduh.

"Sakit!"

"Jadi aku di matamu identik dengan pervert?"

"Ya apa lagi?"

Pertanyaan laki-laki itu serasa menghadirkan keberanian dalam diri Jana untuk mempertahankan diri. Untuk tidak tunduk padanya. Seorang Jana pantang untuk bertekuk lutut. Begitu pemikirannya. Makanya ia mati-matian menyangkal semua benang merah yang sudah tersusun dengan logika yang ia ciptakan sendiri.

"FYI aja. Dulu aku sering ketemu Tiran di sini. Tapi nggak apa-apa sih kalau kamu nggak masalah kalau semua orang tahu kalau kita dating."

Wajah Jana mendadak memerah. Bukan blushing tapi meradang. Bisa-bisanya semua seperti berpihak pada si pria tampan sialan itu?  Tidak ada yang boleh tahu kejadian menyebalkan ini. Orang bukan lagi berbisik-bisik tapi berteriak ketika rumor yang menyebar itu seolah menjadi sebuah fakta. Di mana harga diri seorang Janarie Lukito?

Mendadak gadis itu terdiam. Bukan menyalahkan keadaan. Tapi teringat doa yang dulu pernah ia teriakkan untuk segera mengirim jodoh agar bisa berbagi hidup. Tidak semuanya ia telan sendiri. Dulu ia iri setiap kali Gummi dijemput kekasihnya. Tiran yang sibuk kencan di akhir pekan. Geiz yang setiap hari dapat kejutan. Kemudian terakhir si Bos besar yang bahagia paling tinggi karena ketemu lagi sama kekasihnya. Keadaan itu dulu seperti rongga besar yang mengurung dirinya.

Hingga tiba kali ini, Jana meraung di dalam hati. Tuhan, emang iya aku dulu yang minta. Tapi... Jangan yang begini juga. Bisa nggak yang setidaknya bukan seasing dan segila ini?

"Babe?"

Itu lagi! Jana menahan diri untuk tidak berteriak merasa gemas dengan keadaan yang menyeret dirinya. Ia segera beranjak tanpa mempedulikan laki-laki itu.

"Ja.. Na? Jana, lo betulan? Ngapain lo ke sini?"

Seseorang dari arah pintu sudah berseru kemudian bergegas menghampiri Jana memperjelas bahwa apa yang dilihat memang benar Jana. Sial. Jana berhenti dari langkahnya.  Buntu. Tidak tahu harus bagaimana karena ia tidak sesiap itu menghadapi semuanya. Rupanya kali ini Prasa serius kalau dulu sering bertemu Tiran di sini.

Laki-laki bernama Tiran itu datang dengan segerombol teman prianya. Sepertinya mereka saling mengenal dengan Prasa. Sekilas Jana melihat mereka saling menegur say hi dengan bodi contact. Sementara Jana hanya meringis kaku. Akan menjadi sebuah pertanyaan besar karena tidak biasanya Jana menghabiskan masa cuti untuk keluyuran nongkrong di kawasan pusat.

"Jana. Malah bengong. Oh, elo sama Prasa? Prasa!"

"Kenapa, bro?" Laki-laki itu bergegas menghampiri Tiran begitu mendengar namanya dipanggil.

"Lo sama Jana? Wah gue mencium ada something."

Prasa tertawa. Ia tahu kemana arah pertanyaan Tiran. Sementara Jana melemparkan tatapannya pada Prasa, mengintimidasi. Namun sayang, laki-laki itu malah mengalihkan tatapannya.

"Apaan? Gue tadi ketemu di Dojang tempat biasa Kevin latihan. Gue tadi nemenin Kevin. Eh pas mau pulang gue lihat dia sama temennya. Mau jemput keponakannya katanya. Tapi keponakannya lagi tantrum. Makanya gue ajak bareng aja biar temennya anter keponakannya pulang. Nanti dia, gue yang anter."

"Temen?"

"Iya. Si Karen apa siapa tadi. Jana siapa nama temen kamu?"

"Karen," jawab Jana singkat.

Ia tidak memungkiri bahwa ada kelegaan yang luar biasa ketika Prasa dengan baik hati tidak membuka mulut lancangnya. Kalau begini kan tambah gantengnya! Wait. Jana menahan napas,  merutuki dirinya yang kembali hilang kendali. Menyadari kekeliruannya, ia bergegas meninggalkan Tiran dan Prasa.

"Jana! Nggak pamitan sama gue? Masih temen gue bukan sih? Yee, ini anak. Gue jitak juga lo!"

"Iyaa, gue pulang duluan."

"Hei! Mau duluan kemana? Kan yang nganterin lo masih di depan gue ini!"

Aduh! Jana menggeram dalam hati. Tiran, astaga! Serta merta dia membalikkan badan memberikan tatapan kesalnya pada Tiran. Seharusnya tidak ada Tiran sebelum dia pulang. 

"Ya udah, gue pulang duluan. Have fun, Bro!"

Prasa segera berpamit dari Tiran. Mengikuti langkah Jana dengan bibir menahan senyum. Kenapa seorang Janarie bukan menakutkan namun malah menggemaskan? Prasa menggelengkan kepala. Menepis keinginannya terhadap Jana. Tangannya segera membuka pintu mobil.

"Kamu nggak mau bilang makasih?" tanya Prasa membuka suara sembari memasangkan seatbelt.

Gadis itu menoleh seketika. Sepasang alisnya sudah menukik tajam. Tanpa perlu dijelaskan lagi, kondisi emosinya saat ini pasti sudah di level ubun-ubun. Boleh dikatakan bagi Jana ini adalah hari pertama cuti yang paling menyebalkan sepanjang hidupnya. Sementara laki-laki itu hanya menyunggingkan senyum. Sayangnya itu masih dalam kategori menawan.

"Makasih buat apa?"

"Makasih buat nggak bicara terus terang. Aku bisa aja lho ngomong apa adanya tadi."

"Kenapa nggak ngomong aja?"

"Besok senin aja. Pas ada Pak Darren sekalian."

"Prasa!!!"

"Mas!"

"Kamu bener-bener menguji kesabaran aku ya?"

"Iman lebih tepatnya."

"Maksud kamu?"

"Pulang. Lebih cepat sampai rumah itu lebih baik."

Laki-laki berambut coklat gelap itu lantas melajukan mobilnya menuju ke Apartemen Jana. Sementara di sepanjang perjalanan gadis itu lebih banyak diam. Bukan apa-apa. Jana hanya sedang berusaha menahan diri, membentengi dirinya dari sosok Prasa. Semua tahu, siapapun yang berada di dekat cowok setampan Prasa, radius 5 meter pun sudah meleleh. Apalagi sampai menyatakan cinta. Dan Jana masih mempertahankan otak warasnya untuk tidak mudah leleh. Terutama untuk tahu diri bahwa jatuh itu tidak semanis mencintai.

"Sayang, kamu marah sama aku?"

Astaga! Jana semakin membungkam mulutnya. Namun kepalanya menggeleng. Dari sudut matanya ia melihat laki-laki mengulum senyum. Dipikirnya lucu mungkin. Atau memang senang rasanya menggoda anak gadis.

"Sakit gigi?"

Jana berdecak. Kepalanya menoleh menatap Prasa dengan geram.

"Awal datang my first impression about you, youre so cool. Its perfect to be our model. Then now, why? Aku nggak tahu kenapa kamu semakin aku kenal, kok berbeda. Last, youre so handsome, youre cool, humble. But now, I've no word for you."

"Emang. Tapi saat ini, kita bukan lagi dalam satu frame. Kita juga nggak sedang di kantor atau hari kerja. Di luar pekerjaan dan hanya di mata kamu, ini aku sekarang."

"Prasa, sumpah. Aku nggak ngerti sama kamu."

"Good. Begini Jana yang aku kenal," katanya bernada puas.

"Prasa!"

"Iya, Sayang. Besok senin pagi aku jemput kamu ya?"

"Nggak ngantor."

Prasa mengangkat alis. Laki-laki itu tidak tahu sama sekali bahwa Jana mengambil cuti untuk tiga hari kedepan disatukan dengan dua hari libur akhir pekan.

"Kenapa?"

"Kenapa kamu harus jemput aku?"

"Karena mulai hari ini, youre mine."

"Ketemu di kantor aja. Aku nggak mau semakin banyak rumor yang beredar."

"Oke. Besok pagi aku ke rumah."

"Ngapain?"

"Harus dijelasin?"

Jana meluruskan pandangannya ke depan. Bicara banyak dengan laki-laki itu berpotensi membahayakan mentalnya. Padahal sudah mati-matin Jana mempertahankan diri. Tidak lucu rasanya kalau harus luntur begitu saja hanya lewat obrolan yang mengalir.

Jadian secara paksa? Pertanyaan itu hingga kini masih bergelayut di pikiran Jana. Apa yang akan Jana jelaskan nanti pada Karen yang sudah pasti akan memberondongnya dengan segenap pertanyaan. Juga pada teman-teman kantornya. Karena Jana tahu pasti Tiran tidak akan bungkam begitu saja. Entah kedepan nanti kondisi apa yang harus Jana hadapi. Yang jelas, baru membayangkan saja sudah membuat kepalanya berdenyut.

"Beri aku alasan kenapa kamu bilang love ke aku?"

"Jangan tanya alasannya apa. Yang jelas tangan Tuhan yang sudah meletakkan perasaan itu untuk kamu. Jadi, kalau kamu nanya alasannya ya aku nggak tahu."

"Manipulative!"

"Nggak lah. Bicara fakta," bantahnya. Sialnya bernada meyakinkan.

***

Tbc

Selamat berakhir pekan

16 January 2022
Salam,
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top