Bab 10 [Repost]

"Ibu!"

Seseorang memanggilnya disertai suara langkah berlari mengejar Jana yang hendak memasuki Lift menuju ke lantai atas, ruang kerjanya. Napasnya terengah-engah begitu sampai di hadapan Jana.

"Ada apa, Feb?"

"Ibu, mau, kemana?"

"Ke ruangan saya dulu. Ada hal sedikit yang harus saya kerjakan."

"Bapak udah standby di studio."

Jana mengernyit. Sepagi ini? Wah! Bagaimana bisa seorang Darren rela turun memantau jalannya event ketimbang mengurus hal lain yang jauh lebih penting.

"Darren ngapain subuh-subuh ke studio?"

"Saya sudah datang setengah jam yang lalu. Bapak sudah di sana. Setiap detik tanya mana ini Jana kok belum nongol."

"Oke, saya ke sana sekarang deh. Oya, nanti kalau kamu nggak terlalu sibuk, kamu tahu nggak bunga Aster?"

"Tahu, Bu. Ada apa ya?" tanya Febi heran karena bosnya mendadak bertanya soal bunga. Dua tahun ikut Janarie, tidak pernah sekalipun bosnya ini menyinggung soal bunga. Ada sih. Namun itupun bunga deposito bukan bunga warna warni yang idaman wanita.

"Sepele. Tapi saya penasaran aja. Coba kamu nanti cari tahu soal bunga itu ya?"

"Yang kemarin lusa dari Mas Prasa itu, Bu?"

Jana berdecak, memberi Febi tatapan tajamnya. Jari telunjuknya terangkat di depan bibir, tanda untuk Febi agar tidak banyak bicara, cukup kerjakan saja. Seakan tahu, Febi mengangguk patuh dengan senyum tertahan di bibir.

"Janarie, astaga! Udah jam berapa ini? Kamu mau bikin saya darah tinggi?"

Sebuah suara hadir ketika lift terbuka. Febi beringsut ke belakang Jana, menundukkan kepala ketika melihat kode gerakan tangan dari bos wanitanya itu.

"Ini saya mau turun," jawab Jana sambil segera masuk ke lift yang sengaja Darren tahan.

Sekilas Jana menoleh pada Febi, mengingatkan untuk jangan lupa memberinya informasi mengenai bunga Aster lewat gerakan bibir. Setelahnya ia hanya diam berdiri di samping Darren menunggu Lift sampai di Lower Ground.

"Acaranya kan jam 9. Ini masih jam 6 pagi," ucap Jana membuka suara.

"Kenapa? Saya pengen semua udah terjamin siap running. Kamu udah sarapan belum?"

"Belum," jawab Jana dengan sengaja. Barangkali Darren bisa mengerti dan memberinya sedikit waktu untuk bersantai. Ia tahu bagaimana perasaan Darren saat ini. Nervous tingkat tinggi.

"Kamu jangan bohongi saya, Jana. Masa berangkat sama Prasa nggak diajak sarapan dulu."

Apa?! Jana mendelik tanpa menunggu jeda waktu. Darren tersenyum singkat kemudian menatap lurus ke depan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana Darren bisa tahu dia berangkat bareng Prasa? Padahal Jana sengaja memisahkan diri turun belakangan di lantai Ground dari Basement.

"Udah ketemu Prasa?"

"Udah dong. Makanya saya cari kamu."

"Emang harus dikaitkan? Saya sama Prasa...,"

"Nggak harus. Tapi rasanya udah seperti satu paket. Udah, buruan grooming. Nanti abis itu briefing dulu sama host-nya. Jana, nasib kita semua hari ini ada di tangan kamu," tutur Darren sambil menepuk bahu Jana.

Kalimat awal, rasanya Jana ingin mencakar sang kepala suku. Tapi pada kalimat akhir, semua perasaan itu menguap. Jana tertunduk, tidak bisa berkata-kata. Bahkan tepukan Darren barusan rasanya seperti Darren sedang mentransfer rasa gugup dan cemasnya. Meski di mulut berkata gagal atau tidak, kami tidak akan kecewa. Kami akan selalu bangga. Namun rasanya bagi Jana, tidak semurni itu.

Jana menarik napas dalam-dalam sebelum memberikan senyuman lebar pada Darren. Tangannya mengepal, terangkat ke atas. Semangat! Kakinya kini melangkah penuh percaya diri, keluar dari Lift. Bukan percaya diri yang sepenuhnya. Tapi ia lakukan agar Darren tidak begitu nervous.

"Selamat pagi!" sapa Jana renyah memasuki ruang grooming para model.

"Semangat pagi, Ibu!" sahutnya serentak menoleh ke arah pintu. Ada suara hembusan napas lega begitu sosok Jana memasuki ruangan penuh kesibukan itu. Seseorang menarik sebuah kursi untuk Jana.

"Ibu, ini untuk yang acara pagi, kita pakai dari Mas Digtya ya, Bu? Ada dua kali sesi. Yang pertama kita pakai merah maroon dan yang kedua pakai yang hitam. Yang hitam ini kata Bapak untuk sesi Q and A." Seorang petugas wardrobe menghampiri Jana yang sedang mulai make up.

"Oke," jawab Jana singkat sambil menerima lembar kertas script untuk live nanti dari seseorang yang lainnya. Rasanya melebihi dari tumpukan deadline menjelang akhir bulan. Di dalam hatinya, ia terus merayu Tuhan agar kalaupun gagal, setidaknya tidak yang parah.

"Bu, gugup nggak?" tanya Gweny menghampiri Jana dengan menarik kursinya.

"Awalnya nggak. Tapi pas lihat Bapakmu subuh-subuh udah standby di sini, itu rasanya kayak orang yang mau dieksekusi dengan sekali tembakan," bisik Jana yang malah membuat tawa orang-orang sekitar yang mendengarnya.

"Ganbatte, Bu Jana! Kalau Ibu gugup, nanti kita malah jadi lebih gugup lagi," ucap Amara disetujui oleh model lainnya. Mereka lantas duduk mengerubungi Jana, saling memberikan semangat.

***

Sesi special Live edisi Valentine sudah resmi dibuka beberapa saat yang lalu dengan memperkenalkan deretan dress karya anak bangsa. Digtya Murtomo. Beberapa rancangan sudah diperagakan oleh para model silih berganti di depan kamera. Bedanya live kali ini, host yang akan mendeskripsikan setiap rancangan. Tidak seperti biasanya, para model yang mendeskrisikan sambil mengenakan.

"Nah terakhir aku akan kenalin rancangan spesial di hari spesial Valentine ini. Sesuai tema kita, Romansa in Frame. Dress model mermaid dengan tambahan ekor kipas. Detail belahan dada rendah tanpa lengan. Daann, aksen pita di lengan yang menyempurnakan dress merah maroon ini. Untuk bahan yang digunakan adalah bahan tile payet premium... "

Seorang host mulai menjelaskan gambaran rancangan dress dari Digtya yang dikenakan oleh Jana. Tidak berapa lama Jana memasuki studio live dengan pasrah sudah kali ini. Kakinya yang berbalut heels hitam melangkah seolah sangat percaya diri. Ia merekahkan senyuman, menyambut Prasa yang sudah siap di pintu studio. Laki-laki itu terdiam sejenak, sedikit syok dengan apa yang melekat di tubuh Jana.

Sial! You burn me on!

Kalimat bernada merutuk itu dalam hati dia tujukan untuk Jana. Ditambah lagi dengan sedikit belahan dada yang tercipta jelas mengintip dari potongan belahan dress yang rendah. Sementara Jana tidak sedikitpun menyadari bagaimana reaksi Prasa. Ia menatap lurus ke depan, melangkah anggun memasuki studio live bersama laki-laki itu yang mengenakan setelan Jas semi formal rancangan Digtya.

Oh?! Double sial!

Prasa baru menyadari ketika Jana memutar tubuhnya membelakangi kamera untuk memperlihatkan bagaimana gambaran dress itu dari belakang. Separuh punggung mulus Jana terekspos sempurna. Layar proyektor menampilkan data viewers dan likers yang terus bertambah kilat begitu Jana memasuki studio live. Dalam diam, laki-laki itu membuang napas keras beberapa kali. Sampai kemudian live sesi pertama selesai, laki-laki itu menggelengkan kepala di hadapan Jana. Ia sengaja menarik Jana mencari ruang untuk bicara berdua.

"Jana!"

"Kenapa sih?"

"Dari sekian rancangan Digtya, kenapa malah ambil yang ini? Kamu tahu nggak? Ada berapa bagian yang kamu ekspos di kamera yang sialnya malah makin banyak yang like?"

"Prasa. Bisnis is bisnis. Ini adalah rancangan yang paling menarik banyak minat."

"Tapi bisa kan nggak kamu yang pakai?"

"Alasannya? Kamu kenapa sih? Kamu tahu? Bahkan kalau bisa, aku nggak turun lagi nge live. Tapi Im the key of DeGantium."

"Kamu bisa ambil dari model pro. Nggak harus kamu relain punggung kamu dilihat banyak orang!"

Jana mengernyit. Laki-laki di hadapannya kini bernapas dengan tersengal-sengal. Kenapa dia harus marah? Itu yang Jana tak habis pikir. Ia menggelengkan kepala sebelum memilih meninggalkan Prasa sendirian. Setelah itu dia memasuki ruang wardrobe untuk bersiap ke sesi selanjutnya. Hingga setengah jam kemudian, Darren mengetuk pintu.

"Masuk!" ucap Jana sambil berdiri membiarkan seorang karyawan bagian wardrobe merapikan dress hitam yang ia kenakan.

"Live pertama, dua jempol. Saya bilang berkat kamu. Youre the best!" katanya dengan senyum lebar. Gurat kakunya mulai sedikit mengendur. Dengan kata lain, kadar nervous nya sudah menurun.

Jana turut tersenyum puas. Kalau Darren sudah bicara seperti itu, indikasi kalau penjualan dress dari Digtya sudah melebihi target yang sudah ditentukan. Atau malah bisa jadi benar-benar meroket. Lagipula Jana tadi tidak sempat melirik pada layar monitor yang menampilkan deretan angka viewers dan likers. Apalagi komen dari viewers.

"Kira-kira bisa lebih nendang nggak yang sesi ke dua, setelah ini?"

"Kalau nendang gimana?" tanya Jana menantang.

"Jadiin proyek tahun depan," jawab Darren melebarkan senyumannya. Karena memang sebelumnya ada wacana jika nanti meledak dan animo masyarakat tinggi, kemungkinan rencana akan membuat cabang di negeri tetangga akan direalisasikan.

"Butuh investor nggak?"

"Lihat pergerakan dulu. Saat ini sih, nggak. Makanya kamu push, gimana caranya meningkatkan daya beli masyarakat."

"Event ini sukses, kasih hadiah ya?"

"Bukannya udah saya kasih?"

Jana mengerutkan kening. Mencoba mengingat-ingat apa yang pernah Darren berikan untuk event valentine ini.

"Nggak ada!" jawab Jana menggeleng keras.

"Emas!"

"Nggak ada. Itu kamu kasih ke mbak Nada ya!" jawab Jana tidak terima, tidak lagi mempedulikan boss atau teman.

"Ada, Jana. Coba kamu ingat lagi."

"Nggak ada. Kemarin cincin diamond kan buat mbak Nada. Gimana sih."

"Mas Prasa!" jawab Darren meledek kemudian bergegas menutup pintu meninggalkan Jana sebelum dia merasakan lemparan heels di kaki Jana.

"Darren!!!" teriak Jana kesal.

Seketika terdengar tawa pecah dari luar. Jelas sekali tawa milik kepala suku yang jahilnya luar biasa.

"Nyebelin. Becandanya nggak lucu!" gerutu Jana, kembali menghempaskan pantatnya ke kursi.

***
Tbc

Selamat pagi, selamat hari senin.
Masih butuh liburan? Sama kalo gitu 🤣🤣🤣

10 January 2022
Salam,
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top