8-The Stiletto

"The stiletto is a feminine weapon that men just don't have"

*

*

Cessa menunduk memandangi kedua ujung sepatu yang ia kenakan. Stiletto dengan hak setinggi 10 cm berwarna peach dari salah satu brand sepatu ternama yang terkenal di kalangan pecinta sepatu branded, Christian Louboutin.

"Strong women wear their pain like stilettos. No matter how much it hurts, all you see is the beauty of it." Maya lalu melanjutkan. "Percaya deh. Kecuali kalau kamu memang nggak gitu pusing soal fashion."

"Aku cuma pake yang aku rasa nyaman aja sih selama ini. Aku nggak anti pake stiletto, tapi nggak pernah nyoba yang setinggi ini."

Maya mengerling. "Try it and you'll love it."

Apakah ia punya pilihan lain selain mencobanya?

"Bisa aku minta model lain?" tanya Cessa, menghindari tatapan Jo yang nampaknya sebentar lagi akan mengibarkan bendera putih.

Akhirnya Cessa meminta waktu untuk memilih-milih lagi, ia yakin masih bisa menemukan sepatu yang cocok untuknya. Dan sekitar sepuluh menit kemudian, ia pun menjatuhkan pilihan pada sebuah sepatu berhias ornamen seperti payet berwarna peach.

Ia menolak stiletto hitam setinggi 12 cm setelah ia mencobanya di butik. Sepatu itu cukup nyaman untuk dikenakan, warna hitam pun memberi kesan elegan. Namun, ketinggian haknya membuat Cessa khawatir jika harus mengenakannya berlama-lama. Selama ini, ia tidak pernah membeli sepatu dengan hak setinggi 12 cm dan tidak mau menyiksa kakinya dengan sepatu berhak terlalu tinggi. Jadi, pilihannya jatuh kepada sepatu peach yang kini ia kenakan. Selain modelnya yang manis, ia pun merasa lebih nyaman saat berjalan mengenakan sepatu itu.

Kata Maya, brand sepatu mahal itu menjadi pilihan favorit yang bisa digunakan di berbagai kesempatan, termasuk untuk acara makan malam. Selain black stiletto, sepatu dari seri itu juga favoritnya.

Maya yang memang senang bercerita seputar fashion, menjelaskan jika penampilan glamor dan feminin tidak hanya ditunjang dari pakaian. Jenis sepatu yang dikenakan, pun memiliki peran penting. Sepatu tidak hanya sebatas alas kaki. Sepatu adalah fashion yang dapat menambah rasa percaya diri. Tidak heran, selain mengoleksi tas, wanita juga gemar mengoleksi sepatu karena ingin tampak stylish dan tidak ketinggalan mode terbaru. Seperti laki-laki penggemar gadget atau otomotif yang selalu tidak ingin ketinggalan produk terbaru, perempuan juga seperti itu terhadap fashion.

Cessa bukannya tidak mengetahui soal itu. Hanya saja, mendengarnya langsung dari seorang stylist yang dibayar mahal untuk pekerjaannya, membuat kebiasaan perempuan berbelanja dan mengoleksi sepatu itu terdengar lebih masuk akal. Meski tetap saja, uang adalah faktor terpenting dari semuanya; karena untuk berbelanja, tentu butuh anggaran besar, bukan?

***

Arion memelankan laju mobil saat meminggir di depan sebuah counter pengisian pulsa yang pintunya setengah tertutup. Keadaan di sekitarnya sepi. Saat ia keluar dari mobil, kendaraan yang melintas hanya sebuah motor dan gerobak pedagang kaki lima. Ia mencium aroma kurang sedap, sesuatu yang kemungkinan berasal dari saluran pembuangan. Mengingatkannya bahwa ia kini sedang berada di pemukiman penduduk kelas menengah, bukan di daerah pemukiman elit. Ia tidak bisa membayangkan dirinya berlama-lama bersentuhan dengan lingkungan semacam ini.

Kalau bukan karena Ayana, ia tidak akan mau berhenti di tempat...seperti itu.

Ayana tengah duduk sendirian di sebuah bangku panjang. Ia duduk sambil menunduk dengan clutch di tangannya. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa melihat lagi sepasang kaki Ayana yang terekspos di bawah pakaian yang ia kenakan. Penerangan dari arah lampu jalan dan dari dalam counter. Ia sedikit kecewa karena Ayana tidak mengenakan gaun-gaun yang ia rekomendasikan melalui Jo dan Maya.

Ia menyingkirkan perasaan kecewa. Untuk saat ini rasanya sudah lebih dari cukup. Ia bisa mengajak Ayana keluar bersamanya malam itu, sudah cukup membuatnya senang.

"Udah lama nunggunya?" tanya Arion. Ayana baru menyadari kehadirannya, di saat jarak antara mereka hanya terpaut kurang dari semeter.

Ayana mengangkat wajah. "Nggak," jawabnya sebelum berdiri dan menggenggam tas mini di pangkuannya.

"Udah mau berangkat, Neng?" Suara seorang laki-laki terdengar dari dalam counter

Arion melongok untuk memastikan siapa laki-laki yang baru saja berbicara kepada Ayana.

"Ah, iya. Makasih, Pak. Tumpangan kursinya."

"Sama-sama, Neng." Suara laki-laki itu terdengar lagi. "Pacarnya, Neng?"

"Bukan, Pak."

"Ooo."

Arion hendak protes, tapi Ayana sudah lebih dulu berjalan meninggalkan counter tersebut. Ia hanya ingin meralat bahwa Ayana adalah teman date-nya malam ini. Namun, rasanya tidak perlu. Ia malah merasa kesal mengapa laki-laki tadi sampai harus bertanya soal siapa dirinya kepada Ayana. Ia tidak punya hak menanyakan hal seperti itu kepada orang lain. Apalagi ia perempuan. Dan perempuan itu adalah Ayana, date-nya malam ini.

Tidak ada yang boleh mengganggu Ayana, selain dirinya.

Arion membukakan pintu penumpang di samping kemudi sebelum Ayana membukanya. Ayana melihat ke dalam mobil, kemudian membungkukkan badan untuk masuk ke mobil.

"Kamu kenal sama laki-laki itu?" tanya Arion setelah mereka sama-sama masuk ke dalam mobil.

"Kenal. Saya sesekali beli token atau pulsa di situ," jawab Ayana.

"Token listrik?"

"Hmm, ya. Bapak pikir saya mau beli token apa?"

"Kenapa harus pakai token?"

"Karena lebih murah." Ayana melanjutkan. "Kalau Bapak juga mau tahu kenapa saya pakai pulsa, saya rasa Bapak sudah tau jawabannya."

"Kamu...jangan beli di situ lagi."

Ayana mengerutkan kening. Ia pasti sedang bersiap-siap protes, tapi Arion tidak peduli. Buatnya, Ayana adalah miliknya malam ini,

"Kenapa kamu nggak mau saya jemput kamu di rumah mama kamu?" tanya Arion, lalu tanpa pikir panjang lagi ia mulai mencecar Ayana. "Kamu lebih milih nunggu di tempat seperti itu dengan resiko digangguin laki-laki? Kamu tau gimana bahayanya perempuan duduk sendirian di jalanan sesepi itu. Apalagi dengan pakaian seperti itu."

Ayana hanya melemparkan tatapan jengah, kemudian mengambil ponsel.

"Kamu dengar kan?"

Ayana menolehnya. "Saya nggak mau mama saya tau saya pergi dengan siapa."

"Tapi kenapa harus nunggu di situ? Kamu bilang kamu mau nunggu di tempat yang ramai, tapi kenapa malah di tempat yang sepi?"

"Tempat ini biasanya rame. Ada banyak penjual. Tapi belum datang semua."

"Kenapa kamu selalu berusaha menjauhkan mama kamu dari saya? Saya malah ingin lebih mengenal mama kamu."

"Saya nggak akan pernah biarin Bapak ketemu sama mama saya."

"Kenapa saya nggak boleh ketemu sama mama kamu?"

Ayana terlihat membuang napas.

"Cukup saya saja yang berurusan sama Bapak."

"Saya nggak akan ngomong apa-apa ke mama kamu soal...kita."

Ayana terdiam, mungkin enggan berdebat lebih jauh dengannya.

Dengan pandangannya, Arion menelusuri tubuh Ayana yang duduk di sampingnya. Ia rasa mereka bisa mengesampingkan obrolan sebelumnya, jadi ia bisa fokus memerhatikan Ayana yang malam itu tampak lebih cantik dari yang biasa ia saksikan sehari-hari di kantor. Gadis itu memang memiliki daya tarik tersendiri, entah bagaimana membahasakannya. Seolah dunia ikut tersenyum saat ia tersenyum. Menghangatkan perasaan Arion yang sebelumnya telah jatuh hati. Ia merasa perasaan ini begitu cepat datangnya.

Namun, ia tidak merasa keberatan.

***

"Kamu pakai dress."

Keheningan yang tercipta sejak Cessa masuk ke dalam mobil, terpecah oleh suara Arion.

"Jo nggak suka saya pake celana panjang. Saya cuma ngikutin keinginan dia." Cessa sendiri tidak begitu mengerti alasan Jo tidak menyarankan celana panjang hitam untuk ia pakai ke acara malam itu. Padahal, tidak ada yang salah dengan memakai celana panjang untuk makan malam.

"Kamu suka?" tanya Arion.

"Hmm." Cessa memilih menggumam daripada menjawab dengan jawaban yang lebih panjang.

Arion menolehnya, seolah jawaban itu sudah cukup.

"Saya kecewa kamu nggak pakai backless gown pilihan saya. Jadi, saya nggak punya kesempatan lihat punggung kamu." Tatapan Arion terhenti di tangannya lalu menurun ke kakinya yang dihiasi sepatu cantik itu. "Nice shoes."

"Apa gaun-gaun itu hasil request Bapak?"

Arion tidak mengangguk, hanya sebuah cengiran kecil ia tunjukkan. "Kenapa kamu ngira saya udah ngasih request kepada Jo dan Maya?"

"Jo bilang, karena Bapak sudah membayar mahal jasa mereka untuk membuat saya terlihat seksi." Cessa berkata jujur. "Cantik nggak harus dengan pakaian seksi, kan?"

"Saya nggak keberatan mengeluarkan uang untuk membuat pasangan kencan saya terlihat cantik. Soal seksi, saya rasa itu soal selera. Saya hanya ingin memastikan orang-orang nggak ngomongin yang macam-macam tentang penampilan pasangan saya."

Cessa tidak memungkiri, look setiap pakaian yang ia lihat kemarin meneriakkan energi dari barang-barang mahal dan bermerek. Dress yang kini ia kenakan saja berharga lebih dari 2.000 poundsterling. Harga dress, stiletto, bracelet dan clutch yang menjadi outfit-nya malam itu jika ditotalkan, harganya setara dengan sebuah mobil baru.

"Jo menelepon saya setelah kamu selesai fitting dan dia bilang, kamu sangat pemilih." Arion kemudian melanjutkan. "Saya bilang, kamu berbeda dengan date saya sebelumnya, dan dia hanya membalas, kamu terlalu biasa."

Cessa mendengarkan Arion berbicara tentang Jo. Jo adalah panggilan untuk perempuan yang memiliki nama Joanna entah siapa. Kedengarannya seperti nama asing. Seperti nama orang Rusia atau Swedia, Cessa tidak begitu paham. Ia bekerja sebagai fashion stylist di sebuah butik tapi Arion sesekali menggunakan jasa Jo untuk mendandani perempuan yang akan dikencaninya. Arion mungkin merasa hal ini sangat penting untuk diketahui, karena ia dengan sukarela bercerita tentang Jo tanpa diminta.

Cessa lalu teringat ucapan Maya bahwa Jo menyukai Arion. Entah Arion menyadarinya atau tidak. Atau mungkin Jo pernah jadi salah satu perempuan haremnya?

"Kamu nggak pernah bercerita sejak saya jemput kamu sampai sekarang."

"Saya nggak punya hal penting untuk diceritakan."

"Nggak mungkin. Saya rasa kamu punya banyak hal menarik yang bisa kamu bagi ke saya. Tentang diri kamu, kesukaan dan sebagainya. Saya hanya ingin tau."

"Saya nggak harus ngasih tau ke Bapak tentang hal-hal yang bersifat pribadi."

"Saya malah ingin main Truth or Dare sama kamu untuk mengetahui lebih banyak tentang kamu."

"Kencan ini nggak akan lama, jadi setelah dessert disajikan nanti, Bapak bisa antar saya pulang."

"Saya nggak ingin kencan malam ini segera berakhir, karena kesempatan saya untuk kencan hanya terbatas di malam ini."

"Saya malah pengen cepat-cepat pulang." Cessa hanya ingin menegaskan jika ia enggan menghabiskan malam itu bersama Arion.

"Kamu benar-benar nggak tertarik sama saya?"

"Saya hanya berusaha untuk nggak tertarik sama Bapak."

"Berarti saya masih punya peluang untuk jadi pacar kamu."

Cessa mengaduh dalam hati. Ia harus berhati-hati memilih kata-kata yang ingin ia ucapkan, karena Arion akan selalu menemukan celah yang bisa ia gunakan untuk memenangkan argumennya, yang tidak lain tidak bukan, untuk bermain-main dengannya.

"Kamu bisa bilang begitu, tapi kenyataannya setahun lalu kamu pernah takluk di ranjang saya."

"Saya nggak suka dengan kebiasaan Bapak membawa-bawa soal insiden malam itu di hampir setiap percakapan saya sama Bapak."

"Karena saya hanya bisa mengusik pikiran kamu dengan hal itu."

"Kenapa Bapak harus mengusik pikiran saya dengan hal itu?"

"Karena saya mau kamu memikirkan tentang saya. Hanya memikirkan tentang saya."

"Pekerjaan saya banyak. Mengapa saya harus memikirkan Bapak?"

"Saya nggak keberatan berjejalan dengan pekerjaan di dalam pikiran kamu. Asalkan hanya saya laki-laki yang kamu pikirkan."

"Bapak bahkan bukan siapa-siapa saya."

"Kamu bisa jadi siapa-siapa saya mulai malam ini, Ayana. Saya tidak akan keberatan."

"Don't push it, Sir."

"I hope you can change your mind tonight."

Cessa mengalihkan pandangan ke jendela. Enggan untuk menanggapi Arion.

"Fine. Kita masih punya banyak waktu buat ngobrol saat makan malam."

Mereka masih berada dalam perjalanan menuju restoran di mana mereka akan makan malam nanti. Arion mengemudikan sendiri M4-nya. Bersikap seperti laki-laki normal di sebuah acara kencan. Meskipun Cessa menyadari bahwa ini bukan kencan seperti biasanya. Alasan pertama, karena ia tidak pernah terpikir untuk berkencan dengan Arion. Jadi, ia melakukan kencan ini bukan untuk berlanjut ke hubungan yang lebih jauh. Dan alasan ketiga, janji Arion untuk tidak mengganggunya lagi. Ia hanya ingin segera menyelesaikan "tugas" malam ini dan semuanya akan berjalan normal seperti biasa.

"Jangan keluar dari mobil dulu." Cessa sedang membuka seatbelt ketika Arion beralih melihatnya setelah pintu di samping kemudi terbuka.

Arion memutari mobil dan kini membukakan pintu di sampingnya. Cessa mengambil clutch dan tangan kanan Arion sedang terulur padanya. Cessa menatapnya ragu. Namun, Arion masih menunggu, jadi Cessa pun mengulurkan tangan dan Arion menunggunya keluar dari kabin.

Seorang petugas menutup pintu mobil dan sepertinya ia yang akan mengurus parkir untuk mobil Arion karena Arion menyerahkan kunci berikut tip.

"Bapak sudah sering ke sini?" tanya Cessa.

"Hmm." Arion menggenggam tangan kanannya saat mereka berjalan memasuki restoran.

Cessa merasakan canggung akan sentuhan yang terasa begitu intim itu. Ia tidak tahu jika genggaman tangan bisa terasa sehangat ini.

"Sepatu mahal nggak selalu bikin perempuan nyaman ya?" tanya Arion. "Saya akan buang sepatu itu kalau sampai bikin kaki kamu sampai lecet."

"I'm fine." Cessa mencoba menarik tangannya keluar dari genggaman tangan Arion. "Saya bukan nenek-nenek yang perlu dituntun saat berjalan. Lagian, sepatu ini cukup nyaman."

"Apa perlu saya telepon orang butik untuk bawain sepatu yang baru buat kamu?" Arion meraba saku jasnya dan mengambil ponsel dengan tangan kiri.

"Jangan nyusahin deh. Sepatunya baik-baik aja. Saya cuma nggak gitu terbiasa sama tinggi haknya. Saya pikir tinggi hak 10 cm itu udah pas."

"Lalu kenapa masih kamu pakai?" Suara Arion terdengar kesal.

"Karena saya merasa cukup nyaman sama sepatunya."

"Ya sudah." Arion memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. "Ayo masuk."

Cessa tidak mengerti mengapa Arion harus bersikap seperti itu hanya karena sebuah sepatu. Lalu, ia hendak menelepon seseorang untuk membawakan sepatu yang baru. Membuang sepatu itu andai menyebabkan kakinya lecet.

Apakah menyusahkan orang lain adalah hobinya?

Ia tidak tahu harus senang atau marah dengan sikap Arion.

Arion terlihat begitu... posesif?

Atau Arion kesal kepadanya karena ia selalu bersikap keras kepala?

***

Sesaat setelah memasuki restoran bergaya klasik Eropa tersebut, Arion mengarahkan langkahnya menuju ke meja resepsionis. Ia meminta Cessa menunggu sebentar, saat memastikan meja untuk mereka telah siap.

"I've got a reservation in the name of Arion Gunandhya. At 07.00 p.m."

"Table 4, 7, 10 for two, Sir?" Resepsionis tersebut menggelengkan kepala ringan. Ia tersenyum sopan setelah memastikan. Ia kemudian berbicara kepada seorang waiter yang telah menunggu untuk memberikan table service.

"Would you follow me, please?"

Arion memberikan kesempatan kepada Cessa berjalan lebih dulu mengikuti langkah waiter ke sebuah meja kosong di dekat jendela. "Please, be seated."

Apakah Arion memesan tiga meja untuk mereka? Resepsionis itu sama bingungnya dengan dirinya.

Untuk apa memesan tiga meja untuk dua orang?

"Bapak pesan tiga meja?" Cessa tidak tahan untuk bertanya. Ia yakin, ia tidak salah paham.

"Hmm." Arion mengatur posisi kursi yang akan diduduki Cessa. Laki-laki ini tidak pernah membiarkannya melakukan segala sesuatunya sendiri. "Bapak bisa pesan VIP room."

"Saya sukanya di meja ini. Dan karena saya nggak mau meja terdekat menguping, makanya saya reservasi 3 meja." Arion menerima buku menu yang diberikan oleh waiter.

"Is there anything that you would like to have?"

"I will have this, Soupe au Truffes V.G.E, Live Canadian Lobster, XO Sauce, sama Granny Smith Apple Gourmandise. Terimakasih." ucap Arion dengan polite.

"Certainly. Is there anything for your drink?"

"Silky red."

Cessa masih membolak-balik buku menu ketika Arion memesan beberapa menu, mulai hidangan pembuka, hidangan utama dan hidangan penutup.

Cessa tidak menemukan padanan kata yang pas. Hanya satu kata itu yang terlintas di benaknya saat memerhatikan sikap Arion menghadapi pelayan saat akan memesan menu. Cessa merasa table manner-nya akan jauh lebih baik jika ia bisa mempelajarinya dari Arion secara langsung. Sewaktu di Amuz, ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Saya pesan main course Grilled US Prime Beef Sirloin. Selebihnya, samakan saja pesanannya." Cessa mengembalikan buku menu kepada pelayan yang menerima buku itu sambil tersenyum padanya.

Cessa mengakui pilihan meja ini berada di spot terbaik di restoran itu. Mereka berada di meja yang dekat dengan jendela yang menyajikan view indah berupa kerlip lampu kota. Ia tidak menyadari posisi restoran itu berada di dataran tinggi dan bisa langsung terhubung dengan pemandangan seindah ini.

"Kamu suka?" tanya Arion.

Cessa mengangguk penuh semangat. "Aku nggak tau ada restoran seperti ini di Jakarta."

"Ini restoran milik tante saya," kata Arion. "Mengadaptasi konsep The Ascher salah satu restoran di Swiss yang terletak di pinggir tebing."

"Serius?"

"Kapan-kapan saya ajak kamu liburan ke Swiss biar kamu merasakan sendiri sensasi makan di restoran itu."

Cessa tersenyum kecut. "Apa ini sebuah penawaran?"

"Lima hari liburan di Swiss barter dengan tidur bersama di apartemen saya selama lima malam?" Arion tersenyum nakal.

"I don't sell myself for you, Your Highness," cibir Cessa.

"Oke malam ini saja di apartemen saya? Stay with me tonight and you'll get a 5 days Swiss trip. Deal?"

"No."

"Free pass ini bakal expire satu jam lagi." Arion melongok jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Benda itu meneriakkan angka miliaran. "Masih satu jam dari sekarang. Kamu masih punya banyak waktu buat mikir."

"Saya nggak mau."

"Baiklah. Saya akan tetap tunggu jawaban kamu satu jam lagi."

Cessa membuang napas pelan.

Laki-laki ini bener-bener ya...

Arion memandanginya beberapa detik tanpa berkedip. Cessa mengalihkan tatapan, namun saat kembali menghadapi meja, kedua mata Arion masih terarah kepadanya.

"Lipstik merah selalu jadi favorit saya setiap kencan."

"Bapak suka pakai lipstik merah?"

"Kamu tau bukan itu maksud saya, Ayana. Tell me. Kenapa kamu nggak pake lipstik merah?"

"Merah terlalu mencolok."

"Saya suka warna merah di bibir perempuan yang ingin saya cium. Sangat sensual."

"Saya bersyukur nggak pake lipstik merah malam ini."

"Saya akan tetap cium kamu sekalipun kamu pake lipstik neon, atau warna hitam sekalipun."

Cessa menelan ludah. Di kiri kanan mereka, meja masih kosong. Praktis hanya ia yang bisa mendengar ucapan Arion barusan.

Arion seolah menyiapkan semuanya dengan begitu matang.

"Apa ini? Teori ciuman yang membuat date berlanjut ke tempat tidur?" ucap Cessa sinis.

"So that's the plan. Kamu yang tentukan tempatnya. Saya sih oke mau di mana saja. Tempat tidur saya luas dan empuk. Atau di dalam mobil saya? Kabin M4 cukup nyaman untuk seks berjam-jam. Saya akan tersinggung kalau kamu cuma mau minta quickie."

Astaga. Sebenarnya apakah di dalam pikiran laki-laki ini hanya tentang seks dan bermain-main dengan perempuan?

"Saya ke sini buat makan, bukan meladeni omongan Bapak yang makin lama makin melantur."

Arion malah hanya tertawa.

"Oke. Saya sudah bikin kamu nggak nyaman. Tapi saya nggak bisa berhenti, Ayana. Karena saya senang menggoda kamu."

***

Segini dulu ya. Berhubung kepanjangan kalo satu chapter sampe 5000-an words, jadi next chapter aja ya kejadian luar biasanya :D apakah itu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top