7.I'm Winning a Date With You

I'm Winning a Date With You


Arion tiba di ruang kerjanya setelah bergelut sejenak dengan rush hour di pagi hari. Letak apartemennya ke kantor tidak begitu jauh. Namun, tetap saja mobilnya terjebak kemacetan sekitar 15 menit.

Pagi itu, ia tidak sempat sarapan, jadi sebelum masuk ke ruangannya, Arion memesan kopi dan roti kepada Melissa. Arion mengambil ponsel dari dalam saku jas, dan menghubungi manajer keuangan.

"Pak Dayat, bisa beritahu asisten Bapak untuk ke ruangan saya?"

"Apakah ada masalah, Pak Arion?"

"Tidak. Beritahu saja, Ayana ke ruangan saya ya? Sekarang."

"Sekarang?"

"Iya." Arion menambahkan. "Saya mau bahas sedikit soal meeting sama Ayana."

"Oh, baik, Pak."

Meeting. Arion tersenyum.

***

Cessa memerhatikan file Microsoft Word berupa One Month Notice yang baru saja ia buat. One month notice adalah pemberitahuan satu bulan sebelum resmi mengundurkan diri dari tempat bekerja. Surat tersebut dibuat dengan tujuan agar atasan dapat memiliki waktu merekrut karyawan baru untuk mengisi posisi yang ditinggalkan.

Cessa sendiri tidak begitu yakin pak Dayat akan mengabulkan keinginannya untuk keluar dari perusahaan. Bukan berarti ia terlalu percaya diri tidak ada karyawan yang bisa menggantikan posisinya sebagai asisten manajer keuangan. Hanya saja, selama bekerja, pak Dayat selalu memuji kinerjanya. Jadi, Cessa merasa pengunduran dirinya tidak akan berjalan mulus.

Bukannya ia tidak bisa bersikap profesional dengan mengajukan pengunduran diri. Keputusan ini bertujuan untuk membuat hidupnya lebih tenang. Bekerja dengan suasana hati yang sudah tidak nyaman akan membuat pekerjaannya berantakan, karena bekerja bukan hanya soal mencari penghasilan. Namun, bekerja sebagai seorang akuntan adalah sebuah passion. Ia mencintai pekerjaannya meskipun pekerjaan itu membuatnya tenggelam dalam kesibukan nyaris 24/7, lupa memanjakan kehidupan pribadinya yaitu segera menemukan pendamping hidup.

Ia tidak bisa bekerja dalam suasana kerja yang tidak lagi nyaman. Masalah bukan terletak pada teman-teman sesama staf.

Masalah itu adalah Arion.

Bertahan selama setahun rasanya sudah cukup.

Pagi tadi, Gya sempat bertanya kepadanya saat ia akan memasuki ruang manajer keuangan mengenai keinginan Cessa untuk resign. Cessa menjawab bahwa saat itu ia hanya terbawa emosi. Ia meminta Gya untuk tidak lagi membahas hal itu apalagi sampai memberitahukan kepada teman mereka di kantor. Gya mengatakan, Cessa tidak perlu khawatir soal itu.

"Cessa?"

Cessa mendengar suara pak Dayat yang baru keluar dari ruangannya. Laki-laki tua berkacamata tersebut meletakkan laporan tahunan di mejanya. Laporan itu sudah diperiksa oleh pak Dayat. Mereka akan meeting awal tahun untuk membahas kelanjutan penyusunan anggaran sekaligus penetapan target tahunan yang akan dilaksanakan di sebuah tempat di luar kantor.

"Iya, Pak?"

"Kamu ke ruangannya pak Arion sekarang ya? Katanya mau membahas rencana meeting awal tahun." Pak Dayat mengucapkannya dengan ragu, tidak seperti biasanya. Entah, apa yang membuat wajah pak Dayat seolah diliputi kekhawatiran.

"Kenapa bukan dengan Bapak saja?" tanya Cessa.

"Entahlah, Nak Cessa. Mungkin ada hal teknis yang hanya boleh diketahui oleh asisten manajer?"

Tahun lalu tidak seperti ini, seingatnya. Urusan pelaksanaan meeting semua sudah diatur oleh sekretaris direktur bekerjasama dengan divisi lain yang biasanya sudah ditunjuk untuk mengurus masalah yang berkaitan dengan teknis dan fasilitas yang disediakan selama pelaksanaan meeting.

Mungkin ada perubahan sistem di tahun ini?

Atau bisa jadi, laki-laki itu hanya ingin mengganggunya lagi?

"Kalau kamu nggak mau, biar Bapak suruh Ala saja." Pak Dayat seolah bisa membaca keraguan di wajah Cessa.

"Oh, nggak usah, Pak. Biar saya saja yang ke sana. Apakah ada berkas yang harus saya bawa?"

Pak Dayat terdiam untuk mengingat. "Oh, iya. Ini laporannya dibawa aja untuk jaga-jaga. Pak Arion tidak bilang apa-apa selain meminta kamu ke ruangannya."

"Kalau begitu, saya juga akan siapkan data staf, Pak."

"Ah, iya. Siapkan data itu juga."

Cessa menutup file one month notice lalu berdiri untuk mengambil data yang mungkin ia butuhkan di dalam book file, kemudian menarik dua map untuk memasukkan berkas-berkas yang ia siapkan. Pak Dayat sudah kembali ke ruangannya setelah memberitahu Cessa untuk segera menemui atasan mereka.

Cessa menarik napas dalam-dalam sebelum berjalan meninggalkan ruangannya. Ruangan Arion berada di lantai yang sama, namun letaknya di sayap seberang. Butuh waktu berjalan sekitar semenit jika terburu-buru, atau tiga menit jika berjalan santai. Ia memilih kecepatan di antaranya.

"Eh, eh kamu mau ke mana?" tanya Melissa saat Cessa berpapasan dengannya di depan ruangan. Melissa sepertinya baru tiba dari pantri. Hal itu bisa diketahui dari baki berisi kopi yang ia bawa.

Tugas membuat kopi biasanya dilakukan oleh OB. Hanya saja terkadang tugas tersebut bisa dilakukan sekretaris. Tergantung kesepakatan atau tergantung keinginan sang sekretaris. Mungkin si bos punya request khusus. Seduhan kopi ala penduduk Eskimo, misalnya?

"Saya ada urusan dengan pak Arion," jawab Cessa singkat.

Melissa meletakkan kopi di mejanya, dan mengulurkan tangan.

"Biar saya aja yang ngasih."

"Pak Dayat bilang, Pak Arion memanggil saya. Jadi, laporan ini akan saya antarkan sendiri."

"Berikan saja laporannya sama saya. Nanti saya yang sampaikan." Melissa mengucapkannya dengan nada menekan.

Sikap sekretaris ini sepertinya mewarisi sifat bosnya.

"Kenapa?" Melissa menggerakkan tangannya yang terbuka. "Jangan ragu. Pasti saya sampaikan. Biasanya juga setiap laporan pasti lewat saya dulu baru ke pak Arion."

Cessa tentu saja dengan senang hati menyerahkan berkas yang dibawanya kepada Melissa, jadi ia tidak perlu bertemu dengan Arion. Membayangkan berada satu ruangan dengannya membuat tubuhnya merinding. Bulu kuduknya mungkin sudah berdiri sekarang.

"Oke kalo begitu. Kebetulan saya juga lagi buru-buru mau kembali bekerja." Cessa memberikan map yang dipegangnya kepada Melissa yang diterima Melissa dengan pandangan menyelidik kepadanya.

"Pak Arion nggak mau menerima staf di ruangannya tanpa mengenakan blazer, jadi itu sebabnya saya nggak mengijinkan kamu masuk."

Cessa memang menanggalkan blazernya, namun ia rasa pakaiannya ini sudah cukup. Lagipula ia mengenakan celana panjang dan blus putih panjang dengan kerah tertutup sampai pangkal leher.

"Oh, gitu?" Cessa tersenyum. Melissa mengenakan rok pendek dan blus tanpa mengalasinya dengan blazer. "Makasih ya?"

Oh. Mungkin aturannya berbeda untuk sekretaris.

"Ya udah. Nggak ada urusan lagi, kan?" tanya Melissa tidak sabaran, seolah menyuruhnya untuk cepat-cepat pergi. Ia lalu mengangkat baki berisi cangkir yang menguarkan aroma kopi. Map yang dibawa Cessa tadi malah diletakkan di meja. Melissa menunjuk cangkir kopinya. "Pak Arion cuma mau minum kopi buatan saya. Kemarin-kemarin dibikinin sama OB, tapi katanya nggak enak."

Cessa tersenyum.

Gadis sekretaris itu berbaik hati memberikan sebuah penjelasan yang sama sekali tidak ia butuhkan. Beruntung, sikap Melissa cukup ramah, jadi ia tidak perlu merasa tersinggung.

Saat Cessa hendak angkat kaki, terdengar bunyi dering suara interkom.

"Melissa. Persilahkan tamu saya masuk."

"What???" Suara Melissa terdengar tidak senang. Ia lalu kembali memasang gagang telepon ke telinganya. "Iya. Baik, Pak."

Melissa menatap Cessa jengkel. Ia menuding kopinya. "Lo disuruh masuk sambil bawa kopinya."

"What?" Kali ini gantian Cessa yang terkejut.

Membawakan kopi bukan bagian dari jobdesc-nya. Ia membuang napas dan menyambar map yang tadi sudah ia serahkan kepada Melissa. Melissa menarik lengan blus Cessa.

"Ntar dulu. Kopinya."

"Itu bukan tugas saya."

"Heiii."

Cessa mendengar Melissa menyumpah di belakangnya. Cessa berbalik, namun ternyata Melissa tidak menyusulnya ke dalam untuk membawakan kopi. Saat Cessa berjalan masuk melintasi ruangan, Arion membalikkan kursi yang tadi membelakangi meja kerjanya yang luas. Saat melihatnya, Arion tersenyum lebar.

"Nice to see you."

Cessa meletakkan map di atas meja.

"Ini laporan tahunan, buku kas, nota-nota dan data staf keuangan."

"Saya nggak minta kamu bawa map ini."

"Saya rasa Bapak pasti butuh ini."

Arion mengelus-elus dagunya. "Nggak. Saya nggak butuh ini. Saya cuma butuh kamu."

Seharusnya perempuan normal akan merasakan wajah merona, butterfly in stomach saat diberikan kalimat gombalan seperti itu, namun yang Cessa rasakan justru kebalikannya. Ia merasa telinganya berdenging dan perutnya merasakan mual.

"Pagi-pagi begini saya nggak butuh laporan yang bikin kepala saya pusing. Saya butuh penyegaran. Makanya saya panggil kamu ke sini," lanjut Arion.

"Kalau Bapak mau yang segar-segar, saya sarankan nonton TV atau Youtube saja."

"Saya butuh obyek yang nyata." Arion memandanginya dari atas ke bawah. "Kamu sepertinya suka memakai celana panjang, padahal saya suka kamu pakai rok. Saya nggak masalah kamu nggak pakai blazer. Saran saya, lain kali kalau ketemu saya lagi, kamu pakai button down shirt biar gampang dibuka tanpa bikin penampilan kamu berantakan."

Laki-laki mesum ini mulai berulah lagi.

"Bapak manggil saya ke sini cuma buat nerima sexual harrassment seperti ini? Saya nggak mau jadi bagian fantasi kotor Bapak. Saya pikir sekarang saya punya alasan kuat untuk mengundurkan diri." Cessa mengucapkannya berapi-api.

Apakah laki-laki bajingan ini tidak mengetahui alasan mengapa ia tidak pernah lagi memakai rok pendek setiap ke kantor? Ia menukar semua pakaian pendeknya dengan celana panjang dan blus atau kemeja panjang yang ditutupi blazer, untuk menghindari mata-mata yang usil? Ternyata bagi Arion, hal ini tidak banyak membantu menghalangi pikiran kotornya.

"Saya nggak akan pernah biarin kamu resign."

"Kalau begitu, jangan ganggu saya lagi."

Arion mendesah. "Kamu merasa terganggu karena sikap saya ke kamu?"

"Tentu saja."

Cessa menarik napas, berusaha menenangkan pikirannya. Ia tidak pernah suka menjadi obyek. Dan seharusnya laki-laki berhenti memerlakukan perempuan seperti obyek. Apalagi menjadi bagian dari fantasi seksual mereka.

"Jadi, tolong Bapak jangan mengusik hidup saya lagi. Kalau Bapak nggak mengijinkan saya resign, tolong jangan ganggu saya. Saya hanya ingin bekerja dengan tenang."

Arion bangkit dari kursinya, wajahnya terlihat marah. Entah apa yang akan Arion lakukan kepada dirinya. Namun jika Arion tidak mau menjaga anggota tubuhnya dari dirinya, Cessa tahu apa yang bisa ia lakukan. Ia bisa menendang benda di antara selangkangan laki-laki itu dan menelepon polisi.

"Kalau nggak ada lagi yang mau diomongin, saya permisi kembali bekerja."

Cessa mundur selangkah saat Arion telah berdiri di hadapannya.

"Would you like to go on a date with me?"

Apa?

"No, thanks."

"Sekali saja, dan saya nggak akan ganggu kamu lagi."

"Saya nggak pernah mau kencan sama Bapak." Cessa mengucapkannya dengan nada lantang.

"Jadi kamu maunya kencan sama siapa?"

"Siapa saja selain Bapak."

Suara tawa Arion terdengar. Laki-laki ini memang senang menertawai setiap Cessa mengucapkan kata-kata yang sekiranya membuatnya tidak puas.

Arion menggeleng-geleng. "Kamu memang suka bikin saya marah, Ayana."

"Masih banyak perempuan yang mau kencan sama Bapak. Contohnya, sekretaris Bapak."

"Sssh," desis Arion. "Kamu nggak bisa ngatur-ngatur saya mau kencan sama siapa! Saya ngajak kamu, bukan orang lain. Apa kata-kata saya kurang jelas?"

"Bapak mau kencan sama siapa aja, itu urusan Bapak." Cessa berbalik dan mulai melangkah menjauhi meja kerja.

"I'm going to tell your mother."

Cessa menghentikan gerakan pump shoes-nya di atas lantai. Arion mulai menggunakan masa lalu mereka sebagai senjata untuk mengancamnya.

"Bapak nggak akan setega itu." Cessa masih berharap Arion tidak benar-benar akan melaksanakan ancamannya.

"Mungkin. Semuanya tergantung sikap kamu." Arion mengulurkan tangan untuk menarik Cessa mendekat hingga tubuh Cessa merapat padanya. "Kamu sayang sama mama kamu, dan kamu nggak mau dia khawatir sama kamu kan?"

Cessa melepaskan rengkuhan sebelum tangan Arion sempat memeluk pinggangnya. Cessa menatap Arion dengan matanya yang mulai berkilat.

"Saya nggak suka lihat kamu nangis." Arion urung menyentuh wajahnya, karena Cessa menahan pergerakan tangan Arion.

"Saya benci sama Bapak."

"Saya suka sama kamu." Arion membalas ucapannya tanpa ragu. "Saya mau date sama kamu, karena saya suka sama kamu."

"Saya benci sama Bap..."

"Saya nggak suka dipanggil bapak saat sama-sama kamu. Saya nggak mau disamakan dengan orang tua." Arion melepaskan dekapan di pinggang Cessa dan menjauhkan tubuhnya. "Saya mau besok malam kamu terlihat cantik dan mewah. Saya akan kirim Jo untuk nemanin kamu belanja dan dandanin kamu."

"Saya nggak mau dandan khusus buat kamu."

Arion tergelak. "We'll see."

***

Gya dan Jenn sedang mengobrol di meja Firman saat Cessa melintas. Kedua staf yang juga rekan kerja terdekatnya di kantor sama-sama menatap Cessa. Mulut Gya menggumamkan tentang cash inflow dan cash outflow, investasi dan beberapa istilah lainnya.

"Eh buru-buru amat. Lo dari mana tadi?" tanya Jenn.

"Biasalah, bawa laporan ke direktur."

"Oo. Lo dari ruangannya pak Arion?" Nada suara Jenn bercampur antara pertanyaan maupun jawaban. "Tumben, biasanya Farah kan yang nganterin kalo ada laporan?"

"Ada bagian yang Farah nggak ngerti," jawab Cessa kemudian menjawil pipi Jenn. "Kenapaa??"

Gya tersenyum. "Tapi nggak ada masalah kan? Maksud gue, laporan tahunan kita aman kan? Kemarin sih udah dievaluasi akhir tahun ya kan?"

"Iya, nggak ada masalah kok. Laporannya diperiksa lagi karena kan bentar lagi kita mau annual meeting."

"Jadi meeting khusus manajerial kapan?"

Jenn merujuk kepada staf keuangan di divisi yang lebih kecil, jadi yang ikut rapat hanya manajer hingga staf dari bagian kecil divisi tanpa melibatkan direktur keuangan.

"Gue perjelas lagi ya di Pak Dayat? Siap-siap aja. Kalo nggak sore ini, besok pagi."

"Sore ini aja, Cess. Gue mager banget kalo harus meeting pagi."

"Me too. Gue nggak ngerti deh. Padahal gue minum kopi sebelum meeting pagi, tapi tetap aja gue ngantuk. Kalo sore sih malah nggak gitu ngantuk karena kan ah bodo amat. Udah mau pulang juga kan?" Gya mengutarakan alasan mengapa ia tidak menyukai harus meeting pagi hari.

Jelasnya, bukan hanya mereka yang tidak menyukai meeting pagi, namun nyaris semua staf merasakan hal yang sama. Entah mengapa, aktivitas itu jika dilakukan di pagi hari terasa sangat lama.

Setelah mengonfirmasi ke pak Dayat, meeting akhirnya digelar siang itu karena ternyata meeting akan dilaksanakan dengan kehadiran direktur keuangan. Mendengar hal itu, rata-rata mereka merasa tidak terlalu bersemangat. Bisa diperkirakan, meeting yang dimulai siang nanti akan berakhir jauh lebih lama dari yang bisa dibayangkan. Taulah jika sudah melibatkan direktur keuangan, sudah pasti agenda rapat akan jadi lebih banyak.

"Lumayanlah bisa cuci mata lihat Dewa Hermes," Ala nyengir. Sekadar penghiburan diri.

"Iya. Tapi emang lo udah siap kinerja lo dibahas?" kata Jenn.

"Siaplah. Emang kinerja gue jelek?" tantang Ala.

"Ya, ya. Tapi Pak Arion kan suka gitu. Ada masalah kecil aja pasti dibahas," jawab Jenn. "Dia tuh tampangnya aja yang kaya Dewa. Tapi mulutnya bisa pedes kaya Samyang kalo nemuin kerjaan nggak beres."

"Gue penasaran, apa kalo lagi sama cewek sikapnya bakal kaya gimana ya?" tanya Gya.

Ala dan Jenn kompak meliriknya.

"Kok tiba-tiba lo kepikiran nanya soal itu?" tanya Jenn. "Eh gue penasaran juga sih, tapi."

"Pasti bedalah. Kalo sama cewek dielus-elus manja gitu. Kalo sama kerjaan ya seperti itulah."

Gya mengaduh karena jawaban Ala.

"Maksud gue. Dia kan kalo kerja bisa serius gitu, tapi sama cewek kok suka kaya main-main gitu nggak sih? Kontras banget ya nggak?"

"Mungkin dia orangnya nggak gampang puas? Maksud gue, perfeksionis dalam kerjaan bisa jadi kebawa sama kehidupan pribadi ya kan? Mungkin selama ini dia nggak nemu yang sempurna jadi kelihatannya nggak ada yang serius. Padahal kan bisa aja dia nyari yang benar-benar pas yang bikin puas." Terang Ala.

"Pas yang bikin puas apa dulu nih?" Jenn tersenyum nakal. Ia melirik ke arah Cessa. Lalu kepada Gya dan Ala. Tidak lama Jenn cekikikan sendiri.

"Astaga, Jenn. Gue tau yang lo pikirin," seru Ala tanpa bisa mengontrol suaranya. "Pas yang itu kan? Kalo lagi ehem ehem."

"Anu-nya."

"Penetrasinya."

"Dan cetakannya."

"Emang kue lumpur?"

"Hahaha..."

"Ssshh, shhh."

"Blasteran Europe gitu pasti gede ya kan?" Jenn lalu menutup mulutnya.

"Kalo yang lokal aja seret, gimana yang impor? Hahaha."

"Ih, kan blasteran. Medium lah ya. Ukuran pas, nggak gede nggak kecil."

"Stop, stop. Lanjut ke chat aja deh." Gya menyuruh mereka menurunkan volume suara. Lalu mereka bertiga tertawa cekikikan bersama.

Cessa merasakan wajahnya memanas.

"Eh, Cess, lo kok diam aja sih dari tadi. Jangan-jangan lo lagi ngebayangin yaa???" Ala mencolek pinggangnya.

"Astaga, La. Ngapain sih gue bayangin yang begituan?" elak Cessa.

"Abis lo diem-diem aja. Ketawa juga nggak." Ala masih tersenyum-senyum.

Bagaimana ia bisa bersikap santai dan tenang ketika obrolan dewasa perawan-perawan kantor itu menyeret nama Arion di dalamnya? Bagaimana mungkin ia tidak memikirkan apa yang dipikirkan oleh mereka, sedangkan ia pernah menjadi salah satu bagian dari petualangan seksual Arion?

Ia ingin berteriak kepada mereka untuk menghentikan obrolan yang sangat tidak ramah di telinganya itu. Teman-temannya bisa tertawa dengan mudah untuk candaan semacam itu. Namun, tidak demikian dengan dirinya. Ia masih merasa takut.

Tapi mengapa mereka harus membahas tentang organ reproduksi sih?

Perawan-perawan ini memang punya pikiran ajaib.

"Ssshh...sshhh. Udahan rumpinya. Ntar kena sidak kan bahaya?"

Jenn lalu balik ke meja kerjanya diikuti Ala dan Gya yang juga kembali pada kesibukannya.

***

"You have a really really slim waist. I envy it."

"I'll take it as a compliment, Jo."

Cessa berada di sebuah ruangan yang difungsikan sebagai fitting room. Maya ditugasi oleh Jo untuk mendandaninya. Sejam sebelumnya, Jo dan Maya masih mengutak-atik wardrobe yang cocok untuk dikenakan oleh Cessa. Cessa menolak dengan halus paling tidak lima dress yang ditawarkan kepadanya. Pilihan pertama ia tolak karena warnanya merah, pilihan kedua karena bahannya terlalu tipis, pilihan ketiga karena potongannya terlalu pendek, pilihan keempat karena modelnya backless, dan pilihan terakhir pun Cessa tolak karena ia tidak ingin terlihat seperti penari flamenco.

Cessa menarik sebuah Vintage Stretchy Pencil Dress yang buru-buru dikembalikan oleh Jo ke clothing rack.

"No, no. You wanna go on a date not to go for funeral."

"Aku nggak mau yang terlalu seksi, Jo."

"Hmm, the red one is looking good on your skin tone."

Maya bersedekap. "Tapi gaun itu bakal bikin dia kaya pole dancer."

"Honey, Arion bayar kita mahal untuk bikin date-nya jadi spesial. Just like the other girls before her."

"Aku minta maaf udah nyusahin kalian. Tapi aku hanya ingin pakaian biasa. Lagipula ini hanya makan malam biasa. We are not dating."

"Yeah, i see." Jo lalu menelusuri deretan black dress dengan jari berkuku mengkilapnya. "Let me think for a while. A super ordinary black dress for an ordinary girl."

Maya berbisik kepada Cessa. "Dia emang suka cranky kalo ketemu cewek yang nggak suka didandanin macam-macam. Maaf ya?"

Cessa tersenyum. "It's okay."

Maya segera menghampiri Jo yang sudah menemukan sebuah little black dress ruffle model one shoulder di bagian bahu yang desainnya sederhana.

"That's Yves Saint Laurent Vintage silk ruffle mini dress, Darling."

"Oh, oke."

"Black stiletto. Louboutin. 120 mm high heels. And Salvatore Ferragamo clutch."

Setelah mendapatkan semua outfit yang diperlukan, Maya lalu mengarahkan Cessa untuk mencoba dress yang ternyata ujungnya begitu pas jatuh di atas lutut. Stiletto itu juga cocok dengan ukuran kakinya (Jo sudah nyaris membongkar shoe closet selama sejam terakhir untuk menemukan sepatu dengan model dan ukuran yang cocok untuknya, jadi ia pasti tidak akan keliru kali ini). Dan clutch di tangannya terasa ringan, simpel dan mudah untuk digenggam.

"I forget this Cartier love bracelet."

Maya membuka kotak dan memakaikan ke pergelangan tangan.

"Aah you look expensive. He might take you to his bed tonight."

Ucapan Jo tadi entah mengapa terdengar begitu aneh.

Ucapan Maya mempertegasnya.

"Dia suka sama Arion."

*

*

Akhirnya bisa ngepost lagi :D kasih vote dan komen kalau suka ya? Thank you

Next chapter bakal nyeritain gimana mereka date. Apa bakal biasa aja atau ada hal yang luar biasa? Mari menebak-nebak :D


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top