6.Love Bites
Love Bites
"Love is impossible without bite marks."
-Nelson Rodrigues-
Sudah sejam lamanya Cessa mengurung diri di dalam kamar. Airmatanya telah mengering, namun di dalam hati masih terasa sakit. Berbulan-bulan bergelut dengan keadaan perasaan semacam ini semakin menambah perih batinnya. Seperti luka yang masih menganga, belum juga mengering.
Ia pikir ia akan baik-baik saja setelah menghadiri dinner malam itu. Ia menyangka lukanya akan sembuh seiring berjalannya waktu. Ternyata ia salah.
Ia keliru.
Karena nyatanya kini, ia menyadari hanya waktu yang bergulir, waktu yang berubah.
Perasaannya masih saja tetap sama.
Ia membenci. Ia pun yang terluka.
Apakah ada yang lebih menyakitkan daripada keadaan semacam ini?
Sepanjang perjalanan pulang, Gya terus menenangkannya. Gya tidak tahu apa-apa tentang penyebab kesedihannya karena Cessa tidak ingin memberitahukannya kepada siapapun, termasuk Gya. Menanggung perasaan sendiri jauh lebih baik. Melibatkan orang lain dalam kegundahan hatinya hanya akan menambahkan masalah baru.
Karena hal ini melibatkan atasan mereka bersama. Jika ia membongkarnya, mungkin bukan hanya karirnya yang hancur namun juga karir Arion. Sesakit-sakitnya perasaannya kini, masih ada tersisa keinginan untuk menyisakan keadaan yang lebih baik. Ia mungkin hancur di dalam, tapi di luar, ia harus terlihat tegar. Ia harus memikirkan Arion, tidak hanya dirinya sendiri.
Kesalahan ini adalah kesalahan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah hidupnya.
***
Ayana memblokir nomor WA dan nomor teleponnya. Jauh dari ekspektasinya. Selain tidak membaca dan membalas, hal terparah dari semua ini adalah pemblokiran.
Minta maaf telah ia lakukan, namun balasan buruk yang ia terima.
Sungguh ia tidak pernah mengira Ayana akan semarah ini kepadanya.
Arion berusaha memikirkan cara lain, siapa tahu ada hasilnya.
Tapi memikirkan cara apa? Satu-satunya cara ia bisa berkomunikasi dengan Ayana hanya melalui WA. Ia tidak pernah mencoba dengan cara lain.
E-mail?
Arion membuang napas panjang.
E-mail kantor hanya dibuat untuk urusan kantor.
Lagipula, jaman sekarang, komunikasi paling efektif di luar dari tatap muka hanyalah melalui Whatsapp.
Atau melalui media sosial seperti Instagram atau Twitter? Ia bisa mengirimkan DM.
Kedengarannya ia mulai frustrasi, bukan?
Ia tidak salah. Memang hanya gadis itu yang bisa membuatnya frustrasi.
Apakah ia harus ke rumahnya?
Arion tidak punya pilihan lain.
Besok, ia akan menemui Ayana di rumahnya.
Resiko apapun akan ia terima.
***
"Sa, ada tamu nyariin kamu."
"Siapa, Ma?" tanya Cessa. Tubuhnya masih terbaring, seakan enggan berpisah dengan ranjang sempit yang hanya cukup ditiduri satu orang. Kamarnya yang berukuran kecil membuatnya tidak bisa mengganti ranjang nomor dua itu dengan queen size.
Cessa belum membukakan pintu. Butuh waktu lebih baginya untuk mengumpulkan tenaga.
"Cessa??"
"Iya, bentar Ma."
Siapa yang bertamu hari Minggu pagi itu?
"Siapa sih, Ma?" Cessa akhirnya membukakan pintu setelah memastikan matanya tidak terlihat bengkak.
"Bos kamu di kantor?"
"Maksud mama? Pak Dayat?"
"Bukanlah. Kalau pak Dayat, Mama tau. Ini orangnya jauh lebih muda."
Denni?
Tapi Denni kan bukan bos?
Jangan bilang kalau yang datang itu...
"Mama bilang aku ada?" Cessa yakin mama mengiyakan.
"Iya," jawab Mama, lalu menyambung. "Namanya Ari apa gitu."
Cessa enggan menyebutkan namanya.
"Kamu nggak pernah cerita kamu punya bos anak muda. Dia sebaya sama kamu?"
Cessa terdiam, ia biarkan mama sibuk menganalisis hubungan antara usia dan pekerjaan.
" Tapi sepertinya sedikit lebih tua? Bukannya terhitung cepat untuk jadi direktur?"
Cessa terlalu larut dengan kecamuk pikirannya untuk sekadar menjelaskan kepada mama. Meskipun ia cukup yakin yang datang adalah laki-laki itu, tapi ia masih separuh berharap keyakinannya meleset.
"Ma, bisa nggak mama bilang, aku lagi nggak enak badan?"
Mama menyentuhkan tangan ke dahi Cessa. "Agak hangat. Tapi kamu kelihatannya cukup sehat untuk sekedar menerima tamu. Mama nggak mau bohong."
"Cessa memang lagi nggak enak badan, Ma."
"Kamu lagi nggak pengen nerima tamu, kan? Bukan karena lagi nggak enak badan? Harusnya sebelum tidur kamu nitip pesan sama mama. Kalo begini kan Mama jadi nggak enak harus menolak tamu."
"Ma, Please," Cessa setengah memohon.
Mama mengelus rambut Cessa dan berlalu ke dapur. "Mama buatin teh dulu ya? Kamu yakin nggak mau mandi dulu? Soalnya tamu kamu itu wangi banget, sedangkan kamu malah baru bangun gini."
"Nggak perlu mandi, Ma."
Ngapain harus mandi jika ia masih enggan beraktivitas? Ia hanya masuk ke kamar mandi untuk menyikat gigi, berkumur dengan Listerine dan mencuci muka.
Arion berdiri sambil mengamati foto keluarga di ruang tamu adalah pemandangan pertama yang dilihat Cessa saat tiba di sana. Menyadari Cessa sudah berada di situ, Arion menoleh ke arahnya; tanpa senyum.
"Kamu blokir nomor saya."
Wow. Cessa tidak menyangka, laki-laki yang disebut anak muda oleh mama itu tidak sempat berbasa-basi.
"Apakah hal itu mengganggu Bapak?" Jadi Cessa juga merasa tidak perlu beramah-tamah.
"Kamu marah sama saya sampai memblokir nomor saya? Nggak pernah ada karyawan yang memblokir nomor saya sebelumnya."
Cessa belum sempat duduk sejak keluar menemui Arion. Ia melangkahkan kaki meninggalkan ruang tamu menuju teras.
"Kamu ngusir saya?"
"Saya nggak lagi ngusir." Cessa mengais sandal jepit di teras. "Saya nggak mau mama saya dengar apapun yang mau bapak katakan sama saya."
Cessa berjalan meninggalkan teras menuju halaman. Ada bangku kayu yang cukup lebar di bawah pohon Kamboja yang tumbuh satu-satunya di halaman.
"Saya nggak mau berdebat sama kamu, Ayana."
"Makanya saya juga nggak mau bicara sama Bapak."
"APA?"
Cessa menggeser duduknya saat Arion duduk di bangku. Kini mereka duduk bersama namun berjarak.
"Saya akan pecat kamu, Ayana."
Cessa tersenyum tipis. "Harusnya bapak lakukan hal itu setahun yang lalu. Kalau boleh tau, apa alasan terkuat saya dipecat? Performa saya dalam bekerja buruk? Atau karena alasan pribadi?"
"Saya belum bilang saya mecat kamu."
"But as soon as possible bapak pasti akan memecat saya."
Arion tertawa untuk sebuah kalimat yang menurut Cessa tidak perlu ditertawakan.
Tawa sarkas. Ia tahu.
"Can you just see me as your boss, not your enemy?"
"Saya sudah berusaha profesional selama ini. Buktinya sampai sekarang saya nggak minta resign."
"Bagus."
"Tapi saya sedang mempertimbangkannya."
Arion menolehnya. "Kenapa? Kenapa kamu mau resign?"
"Nanti akan saya tulis alasannya di surat resign saya." Cessa mengalihkan pandang ketika Arion menatapnya tajam.
"Karena saya?"
"Bapak jangan GR dulu."
Arion mengeluarkan ponsel dari saku jaket olahraga. "Buka blokiran kamu."
"Untuk apa?"
"Ayana. Please. Jangan bikin saya marah. Saya hanya berusaha berbaikan dengan kamu tapi sepertinya kamu nggak pernah mau ngasih saya kesempatan." Arion terdengar marah sekaligus putus asa. "Saya ke sini untuk minta maaf sama kamu. Selama ini kita nggak pernah punya kesempatan untuk bicara di luar urusan kantor."
Cessa menunduk, memandangi rumput yang mulai tumbuh liar di halaman.
Ya, Arion benar. Mereka memang tidak pernah punya kesempatan untuk berbicara seperti manusia-manusia normal lainnya. Seperti antara staf satu dengan yang lain. Selama ini, interaksi di antara keduanya selalu berkaitan dengan pekerjaan. Sebab tidak ada alasan selain mengatasnamakan pekerjaan. Seolah ada tembok tebal tak kasat mata yang memisahkan. Sayangnya satu sama lain tidak tergerak untuk bertemu dan berbicara empat mata.
Penyebabnya adalah kejadian di antara mereka setahun lalu.
"Apa kamu punya pacar?"
Ada jeda sesaat.
"Atau seseorang yang dekat dengan kamu?" Arion bertanya dengan nada serius. Pertanyaan yang tidak ia sangka-sangka akan ia dengar dari laki-laki itu.
"Kenapa Bapak...,"
"Jawab saja. Saya hanya ingin mastiin saya nggak meniduri pacar atau tunangan orang. Karena kalau hal itu sampai terjadi, saya akan merasa sangat bersalah sama kamu. Yang jelas, saya tahu pasti kamu belum menikah."
"Nggak ada siapapun yang sedang dekat dengan saya sampai sekarang," jawab Cessa.
"Enam bulan terakhir ini saya juga nggak pernah lagi punya date." Arion meletakkan ponsel di atas bangku. "Saya harap transferan bulanan saya bermanfaat buat kamu."
Cessa kagum pada Arion yang selalu meninggalkan topik lama untuk topik baru seperti menekan ON OFF. Bagaimana kini ia terpikir soal transferan bulanan itu saat ia baru saja menanyakan sesuatu yang bersifat pribadi.
"Apa perlu saya buatin laporan pembukuannya, Pak?" kata Cessa sinis.
Tanpa ia sangka Arion tertawa.
"Tidak ada yang lucu." Cessa gusar. Kesal, sudah pasti.
"Kamu memang selalu berhasil mengusik ego saya, Ayana." Pandangan Arion menelusuri bibirnya. "Sampai-sampai saya pengen menyiksa kamu dengan menggigit bibir kamu lalu menyelipkan lidah saya ke dalam mulut kamu, merasakanmu dan mencium kamu sampai kamu kehabisan napas."
Kata-kata itu ibarat muntahan meriam beruntun
Cessa merasakan tenggorokannya tiba-tiba kering.
Laki-laki ini pasti sudah gila.
"Dasar mesum. Apa seperti ini cara seorang laki-laki yang punya jabatan tinggi dalam memperlakukan perempuan?"
"Hanya pada orang-orang tertentu. Perempuan-perempuan yang spesial." Arion menekankan nada suaranya di akhir kalimat.
Ia memilih tidak tergolong spesial jika harus menerima perlakuan kurang ajar seperti itu. Arti spesial bagi Arion bisa saja berupa orang-orang yang mendapat perlakuan khusus yang jelas-jelas jauh dari kata beradab.
Cessa tidak heran jika suatu hari ia mendengar Arion melakukan hal yang sama kepada perempuan-perempuan spesial lainnya.
Apakah Arion sedang mencoba mengintimidasinya?
"Kalau kamu nggak mau hal itu terjadi, jangan buat saya marah." Arion mengambil ponsel. "Saya akan memastikan kamu buka blokiran kamu sebelum saya sampai di rumah. atau..."
"Atau apa?"
"Atau saya akan ngasih tau mama kamu soal kejadian tahun lalu. Mama kamu tidak akan terkesan mendengar anak manis kesayangannya ternyata sudah tidak..."
Cessa melayangkan tangan untuk menampar Arion, namun Arion lebih dulu menangkapnya. "Saya pemegang sabuk hitam Taekwondo, Ayana. Jadi gerakan selemah ini terlalu mudah terbaca untuk saya. Bahkan saya bisa nyium kamu sebelum kamu sempat menyadarinya."
Arion belum melepaskan tangannya, lalu melakukan gerakan yang tidak sempat terbaca olehnya. Bibir Arion meluncur cepat hingga menempel di bibirnya dan kini Arion benar-benar menggigit bibir bawahnya.
Wajah Cessa memanas.
Laki-laki itu menggigit bibirnya! Tidak ada seorangpun yang lancang melakukan tindakan asusila ini kepadanya.
"Brengsek!" Cessa mengucapkannya tepat di depan wajah Arion. Setelah tindakan kurang ajar itu, tidak tersisa lagi keinginannya untuk menghargai laki-laki itu sedikitpun.
He's a jerk, asshole, bastard, dan semua julukan bergabung jadi satu.
"Saya suka melihat kamu marah. Terlihat lebih seksi di mata saya." Arion memasang wajahnya. "Silakan kamu balik gigit saya. Saya nggak akan melawan. Ayo."
"Saya bakal mastiin ke dokter besok, saya nggak bakal kena rabies."
Arion menyeringai. Lidah gadis ini boleh juga.
"Saya nggak nyangka kamu ternyata juga bisa melucu." Arion kembali memandangi bibirnya. "Bikin saya gemas."
Julukan Thief yang ia sematkan kepada laki-laki itu ternyata memang benar mencerminkan kelakuan bejatnya. Laki-laki itu sudah mengambil semua darinya. Ciuman pertamanya, kegadisannya yang berarti juga harga dirinya.
Ia merasa tidak lagi dihormati sebagai seorang perempuan.
"Lain kali ingatkan saya untuk French kiss kamu. Melatih lidah kamu biar nggak kaku merespon ciuman saya."
Cessa merasakan seolah jantungnya jatuh ke kaki. Darahnya berdesir.
Bagaimana laki-laki ini begitu santai mengatakan sesuatu yang begitu vulgar?
"Oh, iya. Salam buat mama kamu." Arion beranjak dari kursi. Tidak berapa lama terdengar suara bip saat ia meng-unlock mobil. Ia berbalik untuk mengatakan sesuatu.
"And thank you for this." Arion memberi isyarat dengan menggigit bibir bawahnya.
Bajingan.
***
"Tamu kamu udah pulang?"
Mama muncul di pintu kamar ketika Cessa keluar dari kamar mandi, setelah mencuci bibirnya berkali-kali.
Laki-laki itu benar-benar tidak bisa membuatnya hidup dengan tenang.
"Hmm."
"Kalian nggak ada hubungan apa-apa kan?" tanya mama sambil membantunya merapikan tempat tidur. Mama pernah mengatakan kepada Cessa untuk mengabaikan laki-laki yang berpotensi mengambil keuntungan darinya. Entah jika mama mencurigai kepribadian laki-laki itu.
Cessa menggeleng.
"Bagus kalau begitu."
Cessa mengambil bantal kemudian menyusunnya rapi.
Betapa bajingan laki-laki itu, karena kini di pikiran Cessa hanya terlintas bayangan wajahnya dan tindakannya yang kurang ajar.
"Laki-laki jaman sekarang sulit dipercaya, Sa. Apalagi kalau punya tampang ganteng dan kaya. Mendingan cari yang biasa saja, tapi bertanggungjawab."
Hati Cessa tergelitik. Bahkan mama saja tahu bahwa laki-laki itu bejat.
"Kamu jaga diri kamu baik-baik. Apalagi kamu masih gadis, mama khawatir kamu dijahatin sama laki-laki." Mama mengusap bahunya saat mereka duduk bersisian di tepi ranjang.
Cessa enggan menatap kedua mata mama.
Mama tidak boleh tahu tentang hal ini.
"Sa. Kamu kenapa? Dari tadi banyakan diam aja."
Cessa menggeleng.
"Kamu kalau ada masalah di kantor, cerita-cerita dong ke Mama." Mama kali ini mengusap punggungnya. "Kapan-kapan kalau ada waktu, kita jalan-jalan ya? Siapa tau ada promo lagi di Indomarket."
Cessa langsung memeluk mama erat-erat.
Ia benar-benar tidak mau mama merasa sedih dan khawatir.
"Sa? Kok kamu tiba-tiba aja meluk Mama?"
Cessa tidak peduli mama protes karena pelukannya terlalu erat.
"Cessa sayang sama mama."
"Dan mama paling sayang sama kamu."
***
Damn it.
Mengapa Ayana belum juga membuka blokiran nomor Whatsapp?
Gila! Ini benar-benar gila!
"Tumben lo ke sini."
Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap yang tengah mengepit raket tenis, menyambar Evian di atas meja. Ia mengenakan dri-Fit Men's Tennis polo putih yang sudah melekat di badan oleh keringat, dan 9 inch shorts mens dari brand apparel Nike.
"Selama gue masih sepupu lo, kapan aja gue boleh datang," jawab Arion.
"Kenapa? Mau ngajakin hunting cewek lagi?" Tytan melepas headband biru langit dari kepala. "Udah lama banget lo nggak ke sini."
"Gue sibuk."
Tytan mulai menghitung dengan jari. "Two months. Handuk gue."
"Lo sendiri juga nggak pernah ke apartemen gue." Arion meletakkan ponsel dan melemparkan sebuah Parachute Fouta Stripe Towels ke arah Tytan.
Tytan menangkap handuk bergaris itu kemudian menyeka leher, tangan dan kakinya. Lawan main Tytan tadi masih berdiri di pinggir lapangan, mengibas-ngibaskan raket.
"Ben masih pengen ngalahin gue."
"Gay mate lo?" Arion meneguk Guinness Zero Abv yang tadi diantarkan ART.
"Bukanlah. Ben itu kakaknya Helen."
"Helen of Troy?" Arion terkekeh.
"Helen yang lulusan MS RE Development Columbia University itu."
"Helen pacar lo?"
"Mantan. Tapi gue baik-baik aja sekarang sama dia. Gue udah terlanjur akrab sama kakaknya ya udah. We are bestfriends now." Tytan memanggil Ben untuk beristirahat sejenak. "Lo gimana sekarang?"
"Gimana apanya?" tanya Arion. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling Tennis Court yang terletak di area backyard rumah orangtua Tytan.
"Cewek lah? Love life lo yang nomaden."
Arion nyengir. "Kaya lo nggak aja."
"At least, gue masih ada planning lah buat nikah. Cuma sama Helen aja gue putus nyambung berkali-kali. Tapi serius, gue nggak mau main-main kaya dulu lagi." Tytan menawarkan tumbler minuman isotonik kepada Ben. "Lo belum jawab, Ri."
Arion menyesap minuman, lalu menoleh ke arah lapangan.
"I have a crush."
Tytan menggeleng-geleng. "Lo selalu gitu setiap ketemu cewek. Like thousand times."
"Yang ini beda, Tan."
"Shut up. Semua cewek juga lo bilang beda setiap lo have a crush on her, on her, and her. Countless. Basi." Tytan memandangnya dengan pandangan meremehkan. Tytan bahkan tertawa.
"Setan lo. Serius gue."
"Siapa?"
"Karyawan di kantor gue."
Tytan terkejut. "Noooo. Not again. Lo pernah bilang, keep your professional and personal life apart. But you ruined it. "
Arion tidak memungkiri hal itu. Ia pernah gagal sebelumnya. Tapi apakah kali ini ia tidak lagi memiliki kesempatan untuk menjalin hubungan dengan rekan kerja sendiri? Bukan berarti mereka akan jadian besok, tapi setidaknya ada sedikit peluang untuk bermain-main?
He likes to play a game.
"Tan, i'm head over heels for her." Arion merasa malu mengatakannya, tapi lidahnya mengkhianatinya.
"Wow. Kayanya yang satu ini beneran serius."
"Kalian udah jadian atau gimana? Pedekate? Oh, shit. Players don't do that."
"Gue rasa dia bukan cewek yang gampang diajak date." Arion mengatakannya dengan jujur.
"Gue tebak. Lo pasti pernah bikin dia ilfeel sama lo."
Tebakan yang sangat telak, Tytan!
"Soal itu nggak perlu dibahas."
"Kasian banget lo. Selama ini lo kalo mau sama cewek tinggal tunjuk, sekarang malah lo yang ngejar."
"Nggak ngejar-ngejar banget juga, Tan. Gue cuma melihat peluang yang ada. Sama seperti dalam bisnis, di mana kita selalu mengeksekusi setiap peluang dan menghasilkan profit sebesar-besarnya."
"Man, love is not a bussiness. Kalo nyokap lo atau nyokap gue dengar, mungkin lo udah kena gampar.
"I might love her, okay? Mungkin."
"So, lo mau gimana sama nih cewek? Mau sekadar lo ajak date atau lo seriusin?"
Arion mengetuk-ngetukkan jarinya di permukaan kaleng minuman.
"Lo tanya gue aja lagi bulan depan."
Tytan tersenyum. "Gimana kalo kita taruhan?"
"Eh?"
Tytan melihat wajah Arion yang agak-agak cemas. "Why? Are you afraid of losing to me?"
"What kind of gambling?"
"Gue mesti ketemu dia dulu, biar gue terawang." Tytan tersenyum.
"No way."
"Kenapa? Lo takut dia naksir gue sebelum lo sempat ngajak date?"
"Kaya gue insecure aja."
Tytan tertawa. "Dari semua pihak sepupu laki-laki keluarga Gunandhya, cuma gue yang bisa nyaingin ketampanan lo. Gue jijik mengakuinya, tapi cuma tampang lo yang bisa membangkitkan sisi gayness diri gue. Like Hermes the Greek God. Ya Lord. Kalo gue cipok lo sekarang, gue bisa ketangkap CCTV."
Arion menatap jijik kepada Tytan.
"Sebelum itu sampai kejadian, gue pastiin lo udah tersungkur kena Ap Chagi gue."
Ben mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang dimaksud Arion barusan. Tytan lalu menjelaskan kepadanya, dan Ben balik bertanya apakah Arion cukup expert dalam Taekwondo. Saat Tytan mengatakan Arion sudah berada pada level black belt DAN II, Ben mengangkat jempolnya.
"Jadi, kapan gue bisa ke kantor lo buat ketemu tuh cewek?"
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kasih love and comments kalau suka :)))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top