25
Butuh waktu sekitar lima bulan bagi Ayana untuk menyesuaikan diri dengan keluarga besar Arion. Dimulai dari keluarga inti Arion yaitu kedua orangtua dan saudara-saudaranya. Awalnya, Ayana selalu diliputi rasa khawatir setiapkali Arion mengajaknya bertamu ke rumah orangtuanya. Tetapi, Arion berusaha meyakinkan Ayana jika proses adaptasi akan berjalan baik seiring perjalanan waktu. Baginya, tidak ada hal yang perlu dan patut dicemaskan. Sekalipun papa menjadi satu momok menakutkan bagi mereka, belakangan dengan dukungan dari mama, mereka bisa menjalin komunikasi yang baik. Papa memang tidak banyak bicara setiap Ayana datang, tetapi ia pun tidak pernah mengatakan hal-hal buruk mengenai Ayana. Arion melihatnya sebagai sinyal positif karena ia tidak berekspektasi tinggi terhadap sikap papa kepada Ayana. Ia paham watak papa yang keras dan kaku.
Memasuki bulan kedua, ia dan Ayana sepakat meluangkan satu hari di akhir pekan dalam seminggu untuk saling mengunjungi keluarga masing-masing. Entah sekadar makan siang, makan malam bersama atau mengobrol di waktu sore hari di halaman belakang rumahnya.
Terkadang Arion merasakan sikap Ayana masih menyisakan perasaan canggung pada setiap kesempatan bersosialisasi dengan keluarganya. Kalau sudah seperti itu, Arion menghadapinya dengan penuh kasih sayang dan meyakinkannya bahwa mereka tidak perlu terburu-buru dalam proses penyesuaian. Pelan-pelan dan jangan terburu-buru, yang penting Ayana merasa bahagia dan nyaman bersamanya dan keluarganya.
Sejak resmi berpacaran, mereka banyak mengobrol tentang berbagai macam hal. Ternyata Ayana tipe lawan bicara yang mampu membuatnya betah mengobrol selama berjam-jam. Terkadang mereka saling menelepon atau saling berkirim pesan melalui Whatsapp. Atau kalau ia lagi iseng, ia akan berkunjung ke kostan Ayana, seperti saat ini. Saat Ayana membukakan pintu, wajahnya tidak bisa menyembunyikan perasaan terkejut.
"Pak? Ngapain ke sini?"
"Saya nggak diijinin masuk nih?"
Ayana mengerutkan kening, sepertinya merasa berat membiarkannya masuk. Pertamakali masuk ke kamar kostan Ayana seminggu lalu, gadis itu mewanti-wantinya untuk tidak datang lagi ke sana. Mereka bisa membuat janji di akhir pekan di rumah mama Ayana.
Tetapi, apakah bisa ia menunggu sampai tiga hari ke depan?
"Kamu sudah makan malam?" tanya Arion sambil melepaskan jaket. Ia sudah mengirimkan chat kepada Ayana, yang dibalas Ayana dengan kata singkat. Belum.
"Tadi kan saya jawab belum, Pak." Ayana menjawab singkat.
"Gimana kalau kita makan malam di luar?" Arion mengamati Ayana sejenak. Malam itu penampilan Ayana begitu santai mengenakan kaus kebesaran berwarna putih yang nampak lusuh dan celana piama bermotif sakura. "Kamu pernah bilang kan kalau kamu suka makan bakmi yang letaknya nggak jauh dari sini?"
"Mm, maksud Bapak? Bapak ngajak saya makan di warung bakmi?"
"Terserah kamu sih mau makan di mana. Tapi saya penasaran sama rasa bakmi langganan kamu itu." Arion lalu teringat Gya yang juga kost di tempat itu. "Sekalian ngajak Gya juga, kalau kamu nggak mau makan berdua saja sama saya."
"Gya lagi ada acara keluarga. Jadi dia nginap di rumah saudaranya."
Arion tersenyum jika mengingat cerita Ayana bahwa Gya kerap menanyainya tentang status hubungan mereka. Gya dan teman-teman staf di kantor boleh jadi menaruh curiga kepada interaksi antara dirinya dan Ayana. Mereka sepakat akan mengumumkannya setelah mereka resmi bertunangan. Artinya harus menunggu sebulan lagi, ketika mereka menyebarkan undangan pertunangan.
Ia telah menyiapkan sebuah kalung sejak kemarin-kemarin yaitu kalung yang ia pesan khusus untuk dikenakan Ayana di luar dari cincin pertunangan. Cincin Chanel yang pernah ia tunjukkan kepada Ayana di Singapura, telah ia berikan sehari setelah ia bertamu ke rumah mama Ayana. Waktu itu, Ayana sempat menolak dengan alasan mereka belum terikat pertunangan. Arion tetap bersikukuh memberikannya karena ia menyukai cincin itu dan ingin melihat cincin itu menghiasi jari Ayana. Ia mengakui dirinya cukup kemaruk setiap melihat cincin yang menurutnya sangat indah hingga secara impulsif membelinya. Ayana tidak pernah memakai cincin itu di kantor untuk alasan yang mereka sepakati, dan hanya memakainya sesekali ketika mereka meluangkan waktu bersama.
"Kalau gitu, berarti kita bisa berangkat sekarang?"
Ayana nampak berpikir-pikir. "Bapak nggak masalah makan di warung bakmi yang sederhana?"
"Nggak. Saya justru penasaran dengan rasa salah satu makanan kesukaan kamu," jawabnya mantap.
"Bapak nggak pernah makan di warung kaki lima kan?" Ayana mengingatkan.
"Kalau street food di luar negeri bisa dihitung nggak?"
"Ya, nggak tau. Mungkin bisa keitung."
"Berarti pernah." Arion menjawab untuk dirinya sendiri.
Ayana lalu beranjak, katanya untuk mengganti pakaian. "Kalau gitu, Bapak tunggu sebentar ya?"
Sekitar sepuluh menit kemudian, Ayana kini muncul kembali dengan pakaian berupa kardigan yang ia pasangkan dengan celana jins. Kardigan itu adalah kardigan yang sama yang dipakai Ayana di hari pertama mereka di Singapura. Rambutnya diikat seadanya. Ditambah sentuhan parfum hasil menukarkan voucher kepada adiknya, Adel. Ia mengenali aromanya yang begitu lembut.
"Parfum yang saya kasih ke Bapak kok jarang dipake?" tanya Ayana saat Arion menyinggung soal aroma parfum yang ia sukai. Mereka kini berjalan menuju warung bakmi berupa tenda yang terlihat sepi.
"Disayang-sayang, biar nggak cepat habis," jawab Arion. "Tapi kalau kamu suka sama aromanya, pasti bakal saya pake terus tiap hari."
"Ya dipakai aja. Nanti kan bisa beli lagi."
"Nilai historisnya nggak akan sama. Waktu itu kan kamu beli waktu kamu masih marah sama saya. Saat kamu bersenang-senang di Seoul, sementara di sini saya kesal sama kamu karena kamu malas membalas chat dari saya."
"Kan waktu itu, saya sama Bapak belum ada hubungan apa-apa." Ayana berhenti untuk melihat menu yang tertulis di sebuah kertas ber-laminating di atas meja. Arion ikut melihat daftar menu. "Bapak mau pesan yang mana?"
"Kamu sukanya yang mana?" Arion balik bertanya.
"Bakmi ayam jamur pakai bakso, tapi baksonya dipisah." Ayana menjelaskan, dan sebentar saja Arion sudah dibuat kaget dengan fakta kalau Ayana sanggup menghabiskan semangkuk bakmi, semangkuk bakso plus pangsit goreng atau rebus.
"Saya kagum sama kapasitas lambung kamu, Ay." Arion memandangi wajah Ayana sekali lagi dan menggeleng-geleng. Ia menyerahkan urusan memesan makanan kepada Ayana.
"Tapi nggak pa-pa kan, Pak?"
"Maksud kamu?"
"Selera makan saya yang seperti itu."
Arion tersenyum. "Nggak masalah. Nanti kalau kita sudah menikah, kita bisa membuka resto bakmi biar kamu bisa puas makannya sekaligus punya bisnis sendiri."
Ayana membalas dengan senyum masam. "Mulai pamer deh."
"Kamu tuh sukanya negative thinking ke saya." Arion menambahkan. "Bahkan kalau kamu mau, saya bakal borong makanan di sini semuanya buat kamu."
"Ih, lebay deh." Ayana benar-benar terlihat alergi dengan ucapannya barusan.
"Nggak lebay, Sayaang. Kamu tau kan rasa sayang saya ke kamu sebesar apa?"
"Iya, paham. Terimakasih." Ayana memindahkan fokus yang semula ke wajahnya kini beralih kepada deretan mangkuk yang diletakkan di depan mereka.
Apakah tampilan bakmi lebih menarik dari wajahnya?
"Kamu segitu sukanya sama bakmi."
Enggan melanjutkan komplain, Arion mengikuti Ayana mengambil sambal untuk memberi rasa pedas pada kuah bakminya. Dari aromanya saja sudah demikian menggoda. Ditambah kepulan uapnya. Makanan berkuah, pedas dan panas benar-benar godaan besar.
"Surga banget," gumam Ayana setelah selesai menyantap sesuap besar bakmi.
Arion melakukan hal yang sama, dan ia harus mengakui jika rasa bakmi itu sangat lezat. Tidak kalah dengan rasa bakmi GM yang terkenal itu. Perpaduan tekstur mi yang lembut dan rempah-rempah beserta side dishes semuanya juara. Pantas saja Ayana suka makan bakmi di tempat itu.
"Gimana, Pak? Enak kan bakminya?"
Arion mengangguk. "Thanks buat ngenalin makanan seenak ini."
Sambil makan mereka mengobrol meski hanya beberapa patah kata. Rasanya kurang nyaman berbicara sambil makan di depan dua orang pelanggan yang duduk di meja yang sama di depan mereka.
"Mobil siapa sih itu? Keren banget." Salah seorang dari dua cewek itu membuka obrolan.
"Pasti mahal banget. Jadi penasaran siapa yang punya," balas cewek satunya yang mengenakan hijab.
"Semoga saja bukan punya anak pejabat yang suka korup."
"Kalau nggak, pasti dia anak pengusaha tajir melintir. Tapi heran sih, kok parkirnya di situ? Apa iya orang kaya mau makan di tempat seperti ini?"
Baik Arion maupun Ayana tetap sibuk melanjutkan makan. Mereka mendengarkan obrolan kedua cewek di depan mereka yang masih betah di topik yang sama.
"Makanya, cari pacar yang punya mobil, jangan yang kere cuma modal motor butut. Gengsi lagi."
"Nah lo sendiri masih jomlo. Kenapa sih? Gara-gara standar lo yang ketinggian?"
"Nggak juga. Cuma nggak dapat yang cocok aja." Si cewek berambut panjang mengibaskan rambutnya. "Eh nggak ding. Cari yang tajir juga."
"Huu dasar matre."
"Ih, realistis dong. Mana ada sih cewek yang nggak mau sama cowok tajir?"
Arion mengambil es teh dan meneguknya pelan-pelan. Ia melirik Ayana yang juga telah selesai makan. Piring berisi pangsit goreng pun telah bersih tanpa sisa. Ayana balas meliriknya sambil menyeruput es teh. Setelah memastikan makan malam mereka benar-benar tuntas, Arion meminta Ayana menunggunya di luar warung sementara ia membayar pesanan mereka.
"Kamu tunggu di mobil aja, biar saya yang bayar." Arion mengeluarkan dompet dari saku celana dan memberikan dua lembar uang seratusan ribu.
"Saya nunggu di sini aja," jawab Ayana.
"Banyak banget, Pak," sahut si mas setelah menerima uang.
"Sisanya buat tip, karena bakminya enak."
"Oh iya, makasih banyak, Pak. Kapan-kapan mampir lagi, saya kasih gratis."
Arion tertawa dan hanya bisa menganggukkan kepala. Ia kemudian menghampiri Ayana dan mereka berjalan bersama keluar dari warung tenda yang kini mulai sepi.
"Eh, itu yang punya mobil. Duh ganteng banget."
"Ceweknya juga cantik. Serasilah."
"Astaga. Hidup kadang nggak adil ya?"
Arion tersenyum mendengar komentar-komentar berbalasan dari dua cewek yang duduk di meja yang sama dengan yang ia dan Ayana tempati. Ia bermaksud menanyakan jika Ayana mendengar obrolan tadi.
Seharusnya Ayana memang bisa mendengar dengan jelas.
"Apa semua cewek memang pasti bakalan suka sama cowok kaya?" gumam Ayana.
"Kamu kenapa menggumam begitu?" tanya Arion setelah mereka sama-sama duduk di dalam mobil.
"Saya jadi merasa saya matre banget mau pacaran sama Bapak."
"Kamu kok mikirnya gitu?"
"Apakah bakal seperti itu penilaian orang-orang ke saya nanti?"
Arion tidak pernah menyangka Ayana akan mengeluarkan kalimat-kalimat yang menunjukkan perasaannya seperti itu.
"Penilaian orang terhadap hidup orang lain nggak akan pernah berhenti, Ay. Hal terbaik yang perlu kita lakukan adalah hidup bahagia tanpa terlalu risau memikirkan penilaian orang lain terhadap hidup kita. Ya, maksud saya bukan berarti kita mengabaikan penilaian orang, tapi jangan terlalu dirisaukan juga apalagi sampai jadi beban pikiran."
"Saya nggak mau kalau saya dianggap menyukai Bapak karena harta Bapak."
"I know, Sayang. Saya tahu kamu cinta saya karena saya terlalu ganteng dan punya pesona yang sulit kamu tolak."
Ayana menyarangkan cubitan di perutnya yang dibalas Arion dengan cengiran lebar.
"Bapak nyebelin tau, nggak? Masih sempat-sempatnya bercanda saat saya lagi ngomong serius."
"Maaf, Sayang. Habis urat saraf kamu kayanya lagi tegang semua gara-gara omongan cewek di warung tadi." Arion mengelus pipi Ayana untuk menenangkannya. "Kamu hanya perlu tahu satu hal kalau kita saling mencintai. Nggak lama lagi kita bakal nikah. Jadi, seharusnya hal kaya gini nggak perlu kamu cemasin lagi, kan?"
"I am just too sensitive about that because that's what i am insecure about. Perasaan saya tulus ke Bapak sejak saya menerima kehadiran Bapak dalam hidup saya."
Arion mendengarkan baik-baik ucapan Ayana barusan. Ayana tidak hanya sekali dua kali mengatakan tentang satu hal yang membuat Ayana takut bersamanya.
"Saya nggak pernah meragukan ketulusan hati kamu, Ay. Jadi jangan sering berpikir seperti ini lagi ya? Kamu berarti banget buat saya. Saya hanya ingin membahagiakan kamu, bukan membuat kamu tertekan dengan penilaian orang tentang hubungan kita. Yang penting kita saling cinta, oke?"
Ayana mengangguk pelan. "Maaf."
"Jangan minta maaf, please." Arion mengelus-elus jemari Ayana yang kini pasrah dalam genggamannya. "Kita pulang sekarang?"
"Oke."
***
"Hah? Serius?"
Gya melihatnya serasa nyaris membelalak ketika Cessa menunjukkan tumpukan undangan yang telah ia persiapkan untuk dibagikan kepada para staf di divisi keuangan. Undangan lain dibagikan melalui kepada divisi masing-masing untuk diteruskan kepada staf di bawahnya. Khusus untuk divisi keuangan, ia dan Arion yang akan menyerahkannya sendiri.
"Nggak usah kaget gitu. Gue kira lo udah curiga sejak lama?"
"Ii..iya sih. Tapi ekspektasi gue belum sampai ke... kalian tunangan." Gya menunduk, tiba-tiba saja ia terdengar terisak. "I'm so happy for you. Akhirnya lo bakal duluan sold out dibanding gue."
"Eh, Gy." Cessa tidak sempat mengelak saat Gya memeluknya.
"Ntar kerjaan lo gimana? Kalo lo nikah sama Pak Arion kan artinya salah satu dari kalian bakal keluar dari Padma. Nggak mungkin Pak Arion kan yang resign?"
Cessa mengangguk-angguk. "Itu udah gue bicarain sama Pak Arion. tapi gue nggak bisa ngasih tau lo sekarang, karena jujur aja, gue juga nggak tau rencana Pak Arion."
"Please semoga bukan lo yang resign."
Cessa tersenyum tipis saat Gya mengatakan kalau alasan ia menangis ada dua, yaitu tangis bahagia mendengar kabar pertunangannya, dan tangis sedih karena Gya membayangkan kemungkinan Cessa tidak akan bekerja lagi di Padma.
"Lo sendiri maunya gimana sih, Cess?" Gya mengambil sebuah undangan. "Eh, tapi nggak usah bahas itu dulu kali ya? Mending lo cerita gimana asal muasalnya lo jadian sampai lo akhirnya mau tunangan sama Pak Arion."
"Ceritanya panjang, Gy."
"Gue siap mendengarkan sepanjang apapun ceritanya."
"Tidur gih. Kan besok mau ngantor?"
"Astaga, Cess. Tanggungjawab lo ya kalo gue malam ini nggak bisa tidur gara-gara penasaran."
"Ya udah, gue persingkat aja." Cessa akhirnya mengalah, karena ia yakin Gya tidak akan melepaskan kesempatan untuk menginterogasinya malam itu juga. "Singkatnya, Pak Arion dan gue sepakat untuk menikah karena dia udah nggak sabar pengen nikah dan punya anak."
"Trus? Trus? Yang naksir duluan, siapa? Yang nembak duluan, siapa?"
Cessa menghela napas panjang. Gya nampak antusias bertanya sekaligus tidak sabaran mendengarkan jawaban-jawaban atas pertanyaannya.
"Pak Arion dong yang naksir dan nembak duluan. Gue mana berani duluan?"
"Yaah siapa tau aja kan lo yang nembak duluan?" Gya tersenyum-senyum. "Trus, jadiannya kapan?"
"Nggak ada tanggal jadian," jawab Cessa singkat.
"Ih, serius lo? Itu momen bersejarah lho? Masak nggak pake tanggal?"
Cessa tertawa geli melihat tampang protes Gya. "Menurut gue dan Pak Arion, malah status pacaran udah nggak gitu penting lagi sejak dia mutusin buat serius sama gue. Lagian, umur segini apa iya gue sama dia masih butuh tanggal jadian dan status pacaran? Karena kami udah sepakat, hal yang lebih penting dari hubungan kami adalah pernikahan yang langgeng dan perasaan kami yang tulus satu sama lain."
Gya mengangguk, meski sepertinya dengan berat hati. "Iya juga sih. Yang lebih penting kan pernikahan?" Gya berhenti sejenak, mungkin menyiapkan pertanyaan baru. "Trus. Kapan Pak Arion ngajakin lo nikah?"
"Gue juga nggak ingat persis sih. Tapi sejak kami resmi punya hubungan, ya saat itu juga Pak Arion ngajak nikah. Sekitar tiga bulan lalu."
"Oh, gitu ya?" Gya semakin mengangguk-anggukkan kepala. "Jujur deh, Cess. Gue curiganya udah lama. Sejak pulang outing."
"Serius?" kali ini gantian Cessa yang kaget mendengar kata-kata Gya. "Padahal waktu itu, gue biasa-biasa aja deh."
"Yeee, yang gue curigai tuh Pak Arion. Lo-nya malah pinter banget aktingnya."
Cessa tidak tahu apakah Gya sedang memuji.
"Curiga gimana?"
"Ya curiga aja. Setiap makan siang kan Pak Arion sering berada di kafetaria. Lo nggak pernah nyadar dia merhatiin lo terus? Trus, pernah nih ya, Ala bilang waktu dia ke ruangannya Pak Arion, setelah lo keluar dari ruangannya, dia senyum-senyum sendiri dan kaya bergumam nama lo. Jenn juga pernah mergokin kan lo keluar dari mobil Pak Arion? Waktu kalian jalan bareng di lobi kantor itu lho? Jenn sama Ala kan sama-sama kayak radar tuh matanya. Dia bilang, Pak Arion ngeliatin lo terus sambil senyum-senyum."
Mendengar rangkuman peristiwa yang dituturkan Gya, Cessa tidak bisa menahan senyuman mengembang di wajahnya. Arion tidak pernah mengelak jika ia memang sebucin itu kepadanya. Tetapi, ia pikir sikap Arion tidak akan terbaca oleh orang lain. Terkadang sikap Arion yang begitu perhatian membuatnya terharu hingga tidak bisa menahan airmatanya di hadapan Arion.
"Gue bahagia bersama Pak Arion." Cessa berujar singkat.
"Iya, Cess. Gue juga ikut bahagia kalau lo bahagia. Dari yang gue lihat, mungkin nih ya kemarin-kemarin gue skeptis sama reputasi Pak Arion yang semua orang tahu, gimana. Tapi gue pikir, kalo Pak Arion udah sampai tahap ngajak lo nikah, berarti memang dia serius sama lo. Lo tau kan, tipe cowok player bakal susah buat berkomitmen?" Gya berdehem. "Eh, masa lalu seharusnya udah nggak diurusin lagi ya? Semua orang harus selalu jadi lebih baik di masa depan."
Cessa mengiyakan. Ia tidak ingin lagi merisaukan masa lalu Arion yang dikelilingi perempuan-perempuan cantik serta pasangan yang berganti-ganti. Ia menyadari semua manusia memiliki masa lalu. Pilihan ada di tangan masing-masing apakah akan mengubah dirinya jadi lebih baik di masa depan atau tetap stuck dengan sifatnya di masa lalu.
Gya kembali berkata setelah mereka sama-sama terdiam.
"Eh, ngomong-ngomong, Pak Arion ada saudara atau siapa gitu yang bisa dikenalin ke gue?"
Cessa mengerutkan kening. Mereka lalu sama-sama tertawa.
"Nggak ding. Gue mau nyari yang biasa-biasa aja deh."
"Ntar gue tanyain ke Pak Arion," jawab Cessa yang dibalas Gya dengan menutup wajahnya karena malu.
***
"Saya gugup, Pak."
"Nggak pa-pa, Sayang."
Arion menggandeng Ayana memasuki ruangan staf tempat mereka akan mengumumkan pertunangan. Ia sendiri juga cukup gugup saat itu, tetapi ia berhasil menghalaunya hingga kini jadi lebih rileks. Di sampingnya, Ayana berjalan sambil berpegangan erat di lengannya, seolah takut akan jatuh karena kedua kakinya lemas tidak kuat menopang tubuhnya sendiri.
Arion memandangi setiap orang dan berakhir memandangi wajah Ayana sejenak sambil tersenyum. Kemudian setelah yakin dengan susunan kata-kata yang telah ia siapkan, ia pun mulai berbicara. Hanya beberapa patah kata, sekadar menyampaikan rencana pertunangannya dengan Ayana kepada para staf.
Seperti yang sudah diprediksi, terjadi kegemparan di divisi keuangan setelah ia dan Ayana mengumumkan pertunangan mereka yang akan digelar Sabtu malam. Arion bisa melihat ekspresi takjub bercampur terkejut dari wajah para staf divisi tersebut.
"Ay?" Arion memanggil Ayana yang kini masih melingkarkan siku di lengannya. Ia ingin memastikan Ayana tidak lagi merasa gugup seperti saat sebelum memasuki ruang kerja di mana para staf diminta berkumpul untuk mendengarkan pengumuman sekalian membagikan undangan.
"Saya baik-baik saja, Pak." Ayana menoleh kepadanya, dan fokus kedua mata Arion kini tertuju pada bibir yang dipulas warna nude yang menjadi salah satu warna lipstik kesukaan Ayana. Butuh lima bulan lagi untuk bisa memuaskan dirinya mencecap bibir gadis itu.
Para staf kemudian berbaris rapi untuk bergantian memberikan ucapan selamat kepada mereka. Padahal acara pesta pertunangan belum berlangsung, tetapi suasana sudah menjadi semeriah ini.
"Selamat yaa...Cessa."
Arion memberikan ruang bagi staf perempuan yang sehari-hari akrab dengan Ayana untuk bergantian memeluk dan mengucapkan selamat kepada Ayana. Airmata haru dan bahagia memenuhi ruangan itu. Mereka tergelak ketika seseorang berteriak untuk menyimpan airmata mereka di hari pernikahan nanti.
Ia sebenarnya ingin segera menculik Ayana dan membawanya ke KUA terdekat sehingga mereka bisa menikah secepatnya. Namun, mengingat begitu banyak yang harus dipersiapkan oleh keluarganya, ia harus bersabar menanti hingga tanggal yang ditentukan untuk menikahi Ayana.
Lima bulan tidak akan lama.
Ia selalu mensugesti pikirannya seperti itu. Sembari menunggu hingga hari H tiba, ia dan Ayana bisa memikirkan konsep rumah yang akan mereka tempati setelah menikah, menyelesaikan pekerjaan kantor sebaik mungkin, hingga tiba waktu yang ditentukan untuk resign dari kantor.
Jadi siapa yang akan resign, ia atau Ayana?
***
"I can't wait, Sayang."
"Sabar. Kan tinggal dua minggu lagi?"
Cessa terkikik geli memandangi wajah Arion yang ingin menciumnya, tetapi ia halangi dengan majalah yang tadi ia tempelkan ke wajah Arion. Hari itu mereka baru saja selesai fitting baju pengantin di bridal milik salah satu relasi keluarga Gunandhya yang terkenal karena disain ekslusif dan elegan. Dan kini mereka duduk-duduk di tepi kolam renang di rumah yang akan mereka tempati setelah menikah. Cessa menyukai rumah tersebut karena ukurannya yang tidak begitu besar, disain minimalis dengan suasana asri dan sejuk. Ia selalu ingin memiliki rumah dengan kolam renang di halaman belakang juga tempat untuk mengadakan acara makan bersama, misalnya acara barbeque. Menurut Arion, halaman belakang rumah mereka ini cukup mengakomodasi keinginan Cessa. Malah kalau ia mau, dinding belakang bisa dirobohkan untuk menambah luas halaman. Masih tersisa lahan kosong di balik tembok. Kata Arion, ia sengaja mencari rumah yang sisa lahannya masih bisa digunakan. Lebih fleksibel saja jika sewaktu-waktu mereka merenovasi rumah.
Hebat ya? Belum juga menempati rumah itu, Arion sudah kepikiran untuk melakukan renovasi. Mungkin itu sebabnya, Arion mengklaim dirinya sebagai seorang visioner. Di balik sikapnya yang terkadang membuat Cessa hanya bisa geleng kepala, Arion memiliki deretan rencana yang sesekali ia bahas saat mereka menghabiskan waktu luang bersama. Arion tidak pernah memungkiri, privilege yang dimiliki seseorang di bidang finansial akan menjadikan segala rencana hidup akan jauh lebih mudah.
Saat melihat-lihat rumah, ada beberapa alternatif yang ditawarkan Arion. Arion sendiri juga punya rumah favorit sendiri untuk mereka tempati. Tetapi, Cessa merasa rumah tersebut terlalu besar untuk mereka huni berdua. Karena Arion juga enggan melepas rumah favoritnya, akhirnya ia pun membelinya. Jadi kini mereka memiliki dua rumah yang dibeli atas namanya. Kata Arion rumah yang satu itu bisa jadi investasi. Atau kalau mereka bosan di rumah yang dipilihnya, mereka bisa pindah ke rumah pilihan Arion.
Benar-benar tukang pamer ya?
"Ay..,"
"Mhh. Kenapa?"
Arion bangun setelah puas merebahkan diri di tepi kolam dan menjadikan paha Cessa sebagai bantal. Rambutnya yang berantakan segera dirapikan Cessa dengan jemarinya.
"Kamu kan bentar lagi dipingit, nggak ada niat untuk cheat gitu?" Arion memandangi bibirnya. "Please, Sayang. Sekalii aja."
"Maksud kamu?"
"Kamu nginap di apartemenku. Tidur di kamarku."
"No."
"Nggak ngapa-ngapain kok, Ay. Cuma tidur bareng aja."
"Mending kamu banyakan puasa deh, biar nafsunya bisa ditahan." Cessa menggeleng pelan ketika Arion menarik satu garis lurus dengan telunjuknya di area antara leher dan dadanya. Cessa menurunkan tangan Arion dengan halus sebelum Arion sempat membuka kancing teratas blus yang dikenakannya.
"Cium aja, gimana?"
Cessa tetap menggeleng. Membuat Arion semakin frustrasi.
"Nyebur di kolam sana, biar kepalanya dingin." Cessa tertawa setelah mengucapkannya. "Memangnya kamu yakin, abis nyium nggak pengen yang lain?"
Arion menatapnya gemas, hingga akhirnya harus puas mengecup keningnya.
"Ya udah. Aku mau mandi aja kalo gitu."
"Aku ambilin handuk deh."
"Tapi kamu ikutan renang kan?"
Cessa menggeleng. "Nggak ah. Males."
"Males mulu jawabannya setiap diajakin ngapa-ngapain."
Cessa mencubit hidung Arion. "Aku nggak bisa renang."
"Aku ajarin. Yakin bisa sampai pro. Dan gratis."
"Udaah. Kamu renang aja sana. Kebanyakan ngomong dari tadi."
"Iya, deh."
Arion meraih tangan Cessa yang kini dihiasi sebentuk cincin emas putih yang di bagian dalam lingkaran terukir nama Arion. Ia mengecup cincin itu berikut mengecup jari-jari tangan Cessa satu-persatu. Kemudian ia tersenyum kepada Cessa.
"I love you."
Cessa tersenyum. "Hari ini udah berapa kali ngomong kalimat itu?"
"Countless." Arion mencium lagi cincin di jari manis Cessa. "I love you. Dijawab dong."
"I love you too."
Cessa membalasnya tanpa ragu dan mereka sama-sama terdiam. Hanya saling memandang.
"And i love you more."
Cessa selalu mensyukuri setiap detik yang ia lalui bersama Arion. Setiap detik yang begitu berharga telah mereka lalui bersama. Tersisa menunggu detik-detik lainnya di masa yang akan datang. Saat-saat yang ia yakini hanya ingin ia lewati dan ia habiskan bersama satu sosok yang ia cintai dan mencintainya.
Sosok itu kini tengah berenang mengitari kolam. Sesekali singgah di depannya dan memercikkan air hingga bajunya jadi basah.
Arion Gunandhya.
Sosok yang akan menjadi suami dan imamnya, dua minggu dari sekarang.
***
"How do you feel?"
"Seperti mimpi."
"Yang semalam bukan mimpi, yang jelas."
"Apaan sih, Mas?"
Arion menunduk untuk mencium bibir Ayana, menikmati setiap detik yang begitu berharga, setiap detik yang hanya ingin ia habiskan untuk menuntaskan hasratnya yang selama ini ia tahan. Penuh perjuangan, namun benar-benar setimpal dengan yang ia dapatkan. Semalam benar-benar pengalaman yang luar biasa, jika bisa ia katakan penuh sensasi yang tidak pernah ia bayangkan bisa ia rasakan. Seindah, sepuas dan sebahagia ini.
Hingga pagi itu, ia ingin sekali lagi.
Sebelum mandi.
***
Segitu dulu ya :D
Jadi, tadinya aku udah nulis adegan kipas2 tapi aku rasa terlalu frontal untuk di-share jadi aku cut aja di bagian akhir seperti yang kalian baca sekarang. Aku masih akan nulis adegan mereka menikah dan setelah menikah. Tapi mohon maaf kalau bakal super slow update. Kemarin aku target 10 part tapi ga yakin bakal mampu nulis sebanyak itu :D ditunggu aja ya berikutnya bakal jadi seperti apa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top