Mendadak Relawan
[Kak, coba cek transferan nya udah masuk belum?]
Hanifah menatap gawainya, sudah lebih dari tiga puluh menit ia melakukan itu. Mengkoordinasikan bantuan untuk korban gempa Cianjur, ia lakukan selama beberapa hari ini.
[Iya udah masuk. Mau dibeliin apa?]
Jawaban Abidzar melegakan hati Hanifah. Sumbangan berupa dana titipan teman-temannya telah sampai di rekening sang kakak.
[Apa aja sesuai kebutuhan pengungsi, Kak.]
[Terpal dan obat-obatan yang paling mereka butuhkan saat ini.]
[Oke beliin itu aja.]
Hanifah bersyukur kakaknya sangat membantu kegiatan sosialnya. Ia menggalang dana di Jakarta bersama dengan keponakannya Arum. Sementara Ardiansyah dan Abidzar ada di lokasi bencana untuk menyalurkan bantuan. Mendadak jadi relawan, itulah kegiatan keluarga mereka saat ini.
Abidzar yang telah kehilangan istri dan anaknya masih tetap berada di Cianjur untuk membantu penyaluran bantuan. Putri sulungnya selamat dari bencana dan tetap berada sana bersama dirinya. Saat Abidzar berkeliling mendistribusikan bantuan sang putri bersama keluarga almarhumah istrinya atau bermain di posko menunggu dirinya kembali.
Di hari nahas itu, Ainun istri Abidzar sedang meninabobokan Zaidan si bungsu. Sementara Zahra si putri sulung menolak untuk tidur siang karena sedang asyik bermain dengan anak tetangga mereka. Takdir Allah tak ada yang bisa menduga, sang istri dan putranya menghadapi Ilahi saat itu juga.
Bersama para santri dari pesantren milik keluarga almarhumah istrinya ia akan membelikan kebutuhan para pengungsi di pasar area Cianjur, jadi bantuan yang ia terima dari berbagai pihak berupa uang tunai membantu dua pihak yaitu pengungsi dan para pedagang Cianjur.
Bantuan diutamakan untuk mereka yang belum dapat bantuan dari pemerintah dan mereka yang ada di pelosok yang sulit ditempuh dengan kendaraan. Tak jarang Abidzar harus menggunakan motor trail dan bahkan berjalan kaki menuju lokasi warga yang butuh bantuan.
Mendadak jadi relawan adalah hal yang tak pernah terbersit di benak Hanifah, Abidzar, Arum, dan Ardiansyah. Dunia yang tiba-tiba tidak baik-baik saja memanggil hati nurani mereka untuk bergerak. Allah Yang Maha Baik membuka pintu beramal seluas luasnya saat itu. Mereka yang menjadi korban beramal dengan kesabarannya dan mereka yang selamat beramal dengan kepeduliannya.
[Kak, Zahra gimana?]
Hanifah merubah topik pembicaraan mereka.
[Alhamdulillah baik, nih lagi main di posko.]
Keponakan Hanifah yang satu itu menolak untuk dibawa ke Jakarta. Ia ingin terus bersama sang ayah. Kehilangan ibu kandungnya membuatnya begitu takut ditinggal sang ayah.
[Kakak sendiri gimana kabarnya?]
Lama Hanifah menunggu jawaban sang kakak meskipun chatnya telah dibaca bermenit-menit yang lalu. Ia paham sang kakak pasti masih berduka.
[Alhamdulillah, baik.]
Singkat.
Tak pernah ada kalimat lain yang disampaikan sang kakak saat ditanya soal kabarnya.
Hanifah merapal doa untuk kebaikan kakaknya, para keponakan dan semua korban gempa. Kemudian ia pun berdoa untuk kebaikan dirinya sendiri yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Tak ada anggota keluarga yang tahu kehidupan rumah tangganya yang hampir karam, Hanifah pandai menutupi kondisi sebenarnya, tak pernah berkeluh kesah pada manusia hanya Allah yang menjadi tempatnya bersandar.
***
"Bun, aku mau nasi uduk." Putra Hanifah yang berusia 5 tahun memohon.
Hanifah melihat isi dompetnya, satu lembar uang berwarna ungu dan satu lembar uang berwarna coklat ada di sana. Tak jauh darinya sang suami masih mendengkur di saat matahari mulai bersinar.
Tak tega rasanya melihat sang anak yang memohon. Uang 15 ribu miliknya hanya cukup untuk 2 bungkus nasi uduk, bagaimana dengan makan siang dan malam?
Bismillah, Hanifah memantapkan hati untuk mewujudkan keinginan anaknya. InsyaAllah siang ini akan ada cukup uang untuk makan.
Jarak antara penjual nasi uduk dan rumahnya hanya sekitar 5 meter saja. Dalam 5 detik ia sudah ada di depan warung tersebut.
"Ibu, pesan nasi uduknya 2."
"Eh, si Teteh. Sebentar saya bungkusin."
Penjual nasi uduk itu melihat ke arah rumah Hanifah. "Ada tamu, Teh?"
"Enggak, nasi uduknya buat sarapan kami aja kok."
"Mm, tapi bukannya semalam ada tamu yang datang?"
"Nggak ada, Bu. Di rumah cuma kita bertiga aja."
"Tapi semalam Ibu liat ada yang datang, sekitar jam setengah satu lah. Kan Ibu mau mulai nyiapin bumbu, terus buka pintu. Di rumah Teteh, di depan pintu ada perempuan kayak Teteh gini lah pake jilbab putih putih, bawa anak kira-kira umur 3 tahun. Dia ngetuk pintu, terus Ibu bilang ketuk aja yang keras soalnya Teteh lagi tidur. Dia ngangguk."
Hanifah mengernyitkan dahinya, sejak kemarin tidak ada tamu yang datang ke rumah. "Ng... nggak ada yang dateng kok Bu, semalam."
"Bener deh Ibu liat sendiri, Ibu gak merinding liat dia makanya Ibu kira itu tamu Teteh dari Cianjur. Perawakannya mirip Teteh, bawa anak laki-laki umur 3 tahun."
Apakah itu Teh Ainun? Yang perawakannya mirip denganku kan si Teteh Ainun. Pikiran Hanifah mengembara.
"Eum ... tapi nggak ada siapa pun ke rumah saya semalam, Bu."
"Oh, gitu ya. Mungkin Teteh lagi ada yang ngunjungin kali ya."
"I... iya kali, Bu."
***
Ada yang kangen sama Nindi? Dia ikut ke Cianjur jadi relawan. Penasaran?
Next gimana Nindi yang anak mommy harus tidur di tenda dan melakukan kerja kasar membantu para pengungsi gempa demi mendekat pada Ardiansyah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top