Demi Pujaan Hati

Rapat dadakan diadakan di ruang sekretariat BEM, Senin sore setelah mata kuliah berakhir.

"Diana, berapa dana sudah terkumpul?" Sang ketua BEM bertanya pada bendahara.

"Dua puluh juta lima ratus lima puluh." Suara cempreng Emma sang bendahara BEM menggema. Jangan tertipu dengan tubuhnya yang mungil, begitu bersuara bisa memekakkan telinga.

"Sumbangan dana gempa terus mengalir, besok kita berangkat menuju lokasi gempa di kawasan Sarampad, Cianjur. Kabarnya di sanalah tempat yang paling parah terkena dampak gempa." Erlangga mengucapkan dengan penuh wibawa.

Meskipun Erlangga sang ketua BEM menawan mata para peserta rapat, tetapi mata Nindi tetap fokus pada pria di samping Erlangga, Ardiansyah.

"Tim relawan akan dipimpin oleh Sekum kita, Ardiansyah yang akan menjelaskan tentang teknis keberangkatan kita besok."

Begitu nama Ardiansyah disebut, mata Nindi berbinar dan jantungnya berdetak tak karuan, merasa excited seperti para K-Popers ketika bertemu idolnya.

Penjelasan Ardiansyah disimak Nindi dengan seksama. Mungkin kalau digambarkan di anime, saat ini mata Nindi membesar dengan blink blink cahaya saat menatap Ardiansyah.

"1 mobil akan membawa bahan makanan, obat-obatan, dan terpal untuk tenda. Kita butuh 1 mobil lagi untuk para relawan."

Nindi tiba-tiba mengangkat tangannya. "Pakai mobil saya aja," katanya dengan lantang. Seketika itu juga semua mata menatap Nindi pasalnya ia adalah mahasiswi baru dan rapat ini hanya untuk pengurus BEM.

Beberapa saat setelah mata kuliah berakhir, Nindi berpapasan dengan Risa di lorong kampus yang sedang menerima telpon dan ia mendengar bahwa rapat BEM segera dimulai. Rindunya pada Ardiansyah membawanya ke sekretariat BEM saat ini. Ia duduk dengan percaya diri di dekat pintu, tak peduli jika kebanyakan orang di ruang tersebut tidak ia kenal.

"Mini Cooper mana cocok buat ke tempat gempa. Rusak langsung nanti," celetuk Risa salah satu staf BEM yang terkenal tomboy, dia sering melihat Nindi mengendarai mini Coopernya.

Nindi tak mau kalah, meskipun dia bukan siapa-siapa dia harus bisa ikut bersama Ardiansyah ke Cianjur. "Kata siapa gue mau bawa mini Cooper? Range Rover nganggur di rumah itu yang mau gue bawa," katanya dengan sedikit menyombongkan diri.

Range Rover milik Daddy nya memang tangguh untuk dibawa ke jalan berbatu. Bodinya yang kokoh dan mesin dengan kapasitas 4395cc juga tenaga 523hp pasti mampu menaklukkan medan yang berat. Satu PR Nindi yaitu meminta izin sang Daddy, mungkin akan sulit mengingat mobil seharga lebih dari 5 milyar itu kesayangan ayahnya, tapi ia yakin pasti ada cara untuk mendapatkannya.

"Kamu bukan pengurus BEM, kok ikutan rapat?" protes mahasiswa berkaca mata.

Nindi mengambil napas dalam-dalam lalu berkata, "Gempa ini adalah masalah kemanusiaan dan siapapun bisa ikut membantu tanpa melihat pengurus BEM atau bukan kan? Please, jangan menghalangi niat baik orang lain."

"Perkataan Nindi ada benarnya, ini adalah bencana alam dan siapapun boleh membantu." Ardiansyah berujar.

Ada buncah bahagia di hati Nindi, pujaan hatinya mengingat namanya dan membelanya. Kalau sudah begini bisa dipastikan Nindi tidak akan berpaling ke lain hati.

***

"Pokoknya kamu tidak boleh berangkat!" Mommy Nindi memberi ultimatum.

"Come on, Mom. Aku ke sana mau kirim bantuan, bukan mau perang."

"Tapi tempat itu berbahaya, gimana kalau ada gempa susulan? Mommy gak mau kamu kenapa-kenapa."

"Mom, it's only a few days. Nothing bad gonna happen."

"Few days?! Seminggu, kamu bilang seminggu kamu di sana. Makan kamu gimana, tidur kamu gimana, kalau ada gempa susulan gimana?"

Keributan di meja makan itu menarik perhatian Daddy Nindi yang biasanya tak banyak bicara. "Biar saja, Mom. Biar dia tahu hidup susah."

"Justru karena dia belum pernah hidup susah, makanya aku gak kasih izin."

"Selalu ada yang pertama untuk semua hal. Biarkan Nindi belajar sesuatu yang baru."

Nindi senang, Daddy nya membela tanpa ia harus bersusah meminta izin pada sang Daddy. Ia bangkit dari duduknya lalu mendekati sang ayah. "Thanks. Daddy emang the best!" Lalu ia mengecup pipi ayahnya.

Ia begitu senang mendapatkan isin dari sang ayah, tapi kemudian ia ingat soal mobil Range Rover ayahnya. "Dad, aku pinjam Range Rovernya ya buat ke sana?" Hati-hati Nindi bertanya.

"What?!" Mata Daddy membola.

"Aku kan gak mungkin bawa mini Cooper ke daerah bencana gitu, Dad. Yang paling cocok untuk medan berat gitu ya Range Rover punya Daddy."

Daddy mengembuskan napas berat. Mobil itu baru sebulan ia miliki dan sedang sayang-sayangnya. Range Rover 2022, warna hitam.

"Please, Dad." Nindi mengeluarkan jurus andalannya, memohon dengan puppy eyes. "Mobil itu pasti aman banget buat perjalanan ke sana. Aku juga bisa tidur di mobil jadi aman."

Daddy tidak tega melihat putrinya memohon seperti itu. "Dengan satu syarat, Pak Arja yang mengendarainya bukan kamu."

"Terus Pak Arja ikut nginap di sana atau balik ke sini lagi?" tanya Mommy.

"Dia akan tetap di sana, berjaga-jaga kalau hal buruk terjadi."

"Ah, good." Mommy merasa sedikit tenang. Pak Arja bisa melindungi putri kesayangannya itu dan pastinya ia akan bisa memantau selama 24 jam apa saja yang putrinya lakukan.

Nindi sebenarnya ingin protes, kalau supirnya itu tahu soal Ardiansyah dan mengadukan pada kedua orang tuanya, urusan bisa runyam. Namun, jika ia protes bisa jadi sang Daddy akan berubah pikiran dan ia tak jadi pergi.

***

Perjalanan ke desa Sarampad terasa amat lama, karena memang mereka harus memutar melalui Jonggol bukan Puncak. Area Puncak mengalami longsor dan jalanan rusak berat. Dan yang paling membuat perjalanan ini terasa kurang menyenangkan adalah Ardiansyah ada di mobil logistik. Impian Nindi duduk berdampingan di mobil bersama Ardiansyah musnah sudah.

Jalanan rusak bebatuan tidak terlalu berasa guncangannya di dalam Range Rover. Nindi yang sejak tadi memejamkan matanya pun masih terlelap. Meskipun di mobilnya ada para pengurus BEM, ia tidak berniat mengobrol dengan mereka sepanjang perjalanan, karena itu ia memilih untuk tidur.

"Non, udah sampe." Pak Arja mengingatkan.

Mobil diparkir di sebuah lapangan tanah. Nindi turun dari mobil, seketika itu juga sepatu kets putihnya ternoda oleh tanah yang basah karena hujan semalam. Ia berdecak kesal, itu sepatu Gucci kesayangannya. Matanya kemudian mencari sang pujaan hati yang sudah lebih dulu turun dari mobil logistik, dalam jarak 10 meter ia melihat Ardiansyah sedang berbincang dengan seseorang. Rasa kesal akan sepatunya yang kotor menguap begitu saja. Begitulah cinta, hal yang terasa menyebalkan jadi menyenangkan jika bersama orang yang kita puja.

Nindi melangkah melalui tanah basah yang benar-benar becek, sebagian tanah itu menempel di sepatu putihnya. Ia mendekati Ardiansyah yang sedang serius berbincang. Semakin dekat, ia melihat kemiripan antara si pujaan hati dengan pria yang diajak berbincang. Sungguh seperti Ardiansyah versi matang.

Ardiansyah menoleh ke arah Nindi dan teman-temannya yang lain. Ia memperkenalkan pria yang bersamanya. Abidzar nama pria itu, adik dari almarhumah ibunya.

Setelah melakukan briefing singkat, mereka masing-masing melakukan tugas. Para mahasiswa mendirikan tenda yang berfungsi untuk dapur umum dan para mahasiswi menyapa anak-anak pengungsi.

Nindi tidak suka tugas itu, dia tidak pandai bergaul dengan anak-anak. Karena itulah ia hanya berdiri duduk di pojok tenda sementara teman-temannya bercengkrama dengan anak-anak.

Ia memutuskan keluar dari tenda, dilihatnya Ardiansyah memegang sebilah golok dan memotong batang bambu yang akan digunakan untuk mendirikan tenda.

"Laki banget," puji Nindi dengan suara pelan.

Semenjak berangkat hingga sekarang, Nindi belum pernah bicara berdua saja dengan Ardiansyah. Ini sepertinya saat yang tepat, karena tiap orang sedang sibuk dengan tugas-tugasnya.

"Biar aku bantu, Kak." Tangan lembut Nindi memegang bambu yang akan dipotong.

"Gak usah, tanpa kamu pegangin juga bambu itu bisa saya potong," ucap Ardiansyah tanpa menoleh pada Nindi.

"Saya ingin membantu." Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir merah Nindi. Padahal ia ingin mengeluarkan banyak kalimat, tapi bibirnya terasa kelu. Berada di dekat Ardiansyah membuat otaknya sulit berpikir.

Ardiansyah melihat ke arah Nindi. "Tugas sudah dibagi, kamu harusnya bersama anak-anak, bukan ngurusin tenda."

"Mm... saya gak ahli dekat anak-anak."

"Dan mendirikan tenda bukan tugas perempuan," tukas Ardiansyah.

Nindi merasa diusir, apalagi Ardiansyah mengucapkan kalimat itu dengan dingin.

"Tapi, aku..."

"Lakukan tugas kamu dengan baik!" Belum juga selesai kalimat Nindi, Ardiansyah sudah memotongnya dengan tegas.

Dengan malas Nindi pergi menjauh dan menuju ke tenda anak-anak.

Di luar tenda, seorang anak terlihat melamun. Merasa memiliki masalah yang sama, Nindi mendekati anak itu.

"Kok gak main sama yang lain?" tanya Nindi.

Gadis kecil itu tidak menjawab hanya menggelengkan kepala.

Nindi mengeluarkan ponsel canggihnya. "Main game yuk!" ajak Nindi.

Gadis kecil itu menoleh ke arah ponsel Nindi.

"Suka game apa? Nanti aku download." Nindi membuka app store, memperlihatkan berbagai game untuk anak-anak.

Gadis itu menunjuk salah satu aplikasi game dan Nindi mengunduhnya. Bermenit-menit berlalu, mereka berdua asyik memainkan permainan di ponsel Nindi.

"Zahra, mau ikut ke makam?" Pertanyaan Ardiansyah membuyarkan aktivitas keduanya. Nindi terkejut, bagaimana bisa Ardiansyah mengenal gadis kecil di sampingnya itu.

"Mau ke makam Umi ya, A? Zahra ikut."

"Kok Kakak kenal Zahra?" Nindi menginterupsi.

"Dia adik sepupu saya, almarhum ibunya wafat kemarin saat gempa."

Mendengar Ardiansyah bicara, Nindi hanya mengangguk. Rasa kasihan saat itu juga mengalir, Nindi mengusap kepala Zahra.

Ardiansyah menggandeng tangan Zahra lalu berlalu dari hadapan Nindi. Nindi menarik kesimpulan, Zahra bisa menjadi jalannya mendekati Ardiansyah.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top