Calon Pacar
Masa orientasi mahasiswa sudah selesai, Nindi merasa lega. Kini ia resmi menjadi mahasiswi fakultas ekonomi di sebuah kampus bergengsi di kawasan Jakarta.
Jemari lentiknya menyentuh kaca mobil yang bagian luarnya basah oleh rintik-rintik air hujan. Nindi tersenyum sendiri mengingat momen bersama Ardiansyah di ruang kesehatan. Semenjak kejadian itu wajah sang senior kerap kali hinggap di kepalanya.
Ardiansyah, Nindi menulis nama sang Sekum BEM di kaca mobilnya lalu kemudian menulis namanya sendiri di samping nama seniornya itu. Ardiansyah memang tak setampan Erlangga sang Ketua BEM yang wajahnya sedikit Arab, juga tak sekeren Liam mantan pacar Nindi yang ke-5. Namun sikapnya yang terlihat datar tapi sebenarnya perhatian itu yang menawan hatinya.
"Non, udah sampe." Pak Arja, supir yang sudah bekerja di rumah keluarga Nindi selama puluhan tahun itu mengingatkan.
"Eh iya, Pak."
Pak Arja turun dan membukakan pintu Alphard hitam itu untuk Nindi. Sebenarnya Nindi kurang suka bepergian diantar supir ia lebih suka mengendarai mini Copper nya sendiri tetapi sang mama memaksa agar kali ini ia diantar supir, alasannya karena hujan.
Nindi melangkah dengan percaya diri memasuki mall yang kabarnya banyak dikunjungi oleh kalangan atas itu. Gucci checked wool skirt dipadukan dengan T-shirt bermerk sama mempertegas dari kalangan mana ia berasal.
Hari ini Nindi janjian dengan sahabatnya Cherry untuk sekedar hangout dan membeli beberapa barang yang dia inginkan.
"Kalo you suka tuh cowok, deketin aja dia pasti gak bakal nolak," ujar Cherry setelah menyeruput minumannya. Keduanya kini ada di sebuah resto Korea.
"Gak yakin gua. Dia tuh beda, Cher. Kharismatik, gak banyak bicara, tapi perhatian," tutur Nindi menggambarkan sifat-sifat Ardiansyah.
"Perhatian? Sama cewek-cewek? Playboy dong."
"Bukan, dia perhatian sama semua orang. Dia itu kayak care gitu sama orang lain, sering bantu siapa pun yang kesulitan. Kalau yang bukan siapa-siapa nya aja dia sepeduli itu apalagi sama pacarnya kan? Pasti sayang banget sama perempuan terdekatnya."
Cherry mengangguk anggukkan kepalanya. "Anak pengusaha mana? Punya aset apa aja?" selidik Cherry. Bagaimanapun orang yang akan jadi pacar sahabatnya ini harus jelas asal usulnya.
"Orang biasa aja. Bukan dari kalangan pengusaha." Nindi menyuapkan menu favoritnya di restoran itu, haemultang.
"What? Selera you kayaknya sekarang berubah ya. Biasanya model model Liam, sepupu I."
Liam adalah sepupu Cherry yang merupakan keturunan Chinese dan anak pengusaha ternama. Selama ini circle pertemanan Nindi memang seputar anak-anak pengusaha kelas atas, begitu juga para mantannya. Maklum Papa Nindi adalah pemilik tambang batubara dan nikel yang omsetnya perbulan bisa mencapai 1T.
"Dia memang bukan dari kalangan kita tapi sejak interaksi pertama, gua udah ngerasa nyaman aja." Nindi tersenyum, matanya menerawang membayangkan wajah lokal Ardiansyah. Ya, pria itu memang 100% berdarah Indonesia dengan kulit sawo matang dan rambut yang hitam.
"I support you, yang penting you juga harus hati-hati ada banyak gold digger," ingat Cherry. Banyak orang yang tidak tulus berteman dengan mereka. Didekati hanya karena uang, Cherry paham sekali hal itu.
"I don't think he is a gold digger. Dia tulus kok." Yakin Nindi.
***
Nindi mencari info tentang Ardiansyah dan selera cewek yang disukainya, tetapi dia tidak mendapatkan banyak hal. Ardiansyah mahasiswa fakultas teknik jurusan teknik mesin dengan IPK nyaris sempurna, penerima beasiswa full, aktif di BEM dan organisasi lain, dan yang paling penting cowok yang tingginya 178 cm itu jomblo. Mengingat seniornya itu ternyata jomblo dan tak pernah ada mahasiswi yang pacaran atau bahkan dekat dengannya, Nindi merasa ini adalah tantangan tersendiri, menaklukkan lelaki yang tak tergoda oleh cewek-cewek di kampusnya yang terkenal cantik-cantik.
Mini Cooper Nindi sudah terparkir sempurna. Saat akan membuka pintu mobilnya ia melihat Ardiansyah melintas dengan motornya, tetapi pria itu tidak sendiri. Ardiansyah membonceng gadis berkerudung. Dari penglihatannya, Nindi memastikan gadis itu bukan mahasiswi kampusnya karena sosoknya tidak pernah beredar di sekitar kampus.
Nindi bertanya-tanya, apakah itu pacar sang senior yang menjadi incarannya? Dia harus mencari tahu. Harus.
Mesin mobil kembali dinyalakan, Nindi keluar dari parkiran fakultas ekonomi menuju fakultas teknik tempat Ardiansyah mengenyam pendidikan. Perbedaan fakultas itulah yang membuat Nindi jarang bertemu Ardiansyah, selain jarak yang lumayan antar fakultas jadwal kuliah mereka juga jauh berbeda.
Mobil Nindi berhenti di depan fakultas teknik, Honda Beat keluaran tahun 2019 milik Ardiansyah ada di parkiran. Si empunya motor terlihat keluar dari gedung fakultas teknik bersama gadis manis berlesung pipi yang tadi diboncengnya. Mata Nindi memicing melihat interaksi keduanya.
Mereka akrab banget, apa itu pacarnya Ardiansyah? Belum apa-apa hati Nindi terasa panas. Padahal interaksi mereka juga baru dua kali saat di ruang kesehatan dan keesokannya saat Nindi mengucapkan terima kasih sambil membawa satu kotak Bittersweet by Najla untuk Ardiansyah.
Begitu mesin motor Ardiansyah menyala, mesin mobil Nindi juga menyala. Ia tak peduli pada mata kuliah hari ini, yang penting ia ingin tahu ke mana Ardiansyah dan sang gadis pergi. Apakah mereka akan berkencan atau melakukan hal lain?
Nindi melajukan mobilnya membelah lalu lintas ibu kota yang padat. Di tengah kemacetan, ia kehilangan jejak Ardiansyah. Tangan lembutnya memukul setir mobil, ia merutuki kemacetan yang kerap kali melanda ibu kota.
***
"Bunda, aku nyerahin tugas dulu tadi baru ke sini. Hari ini Arum ikut ke sini. Dia udah sembuh," ucap Ardiansyah. Gadis berkerudung putih di sisinya menaruh setangkai bunga mawar yang ia petik dari taman di halaman rumahnya.
"Kangen banget udah semingguan ini nggak ketemu Bunda." Arum berkata lirih. Ada gejolak kesedihan yang ia tahan.
"Selama sakit Arum tuh bandel, Bun. Sama dokter kan dia dilarang minum minuman yang dingin tapi kalau aku lagi gak di rumah pasti deh dia diam diam ambil dari kulkas."
"Abang, suka ngadu." Arum melotot ke arah Ardiansyah. "Cuma dikit doang kok, Bun," lanjutnya sambil melihat ke nisan sang ibu.
"Biarin, biar Bunda tahu kamu susah dibilangin!"
"Abang! Dasar tukang ngadu!" Tangan Arum refleks mencubit kakaknya.
Kemudian keduanya melihat ke arah batu nisan yang tertulis nama ibu mereka. Teringat bagaimana sang ibu bereaksi ketika mereka bertengkar, melerai mereka dengan penuh kasih sayang. Sang Bunda tak pernah pilih kasih, Ardiansyah dan Arum mendapat porsi kasih sayang yang sama.
Arum tak kuat lagi, dipeluknya sang kakak lalu menangis tersedu-sedu.
"Hei, kita udah janji sama Bunda untuk tidak sedih dan selalu bahagia. Ada Bunda di sini, kalau kita sedih nanti Bunda juga ikut sedih, Dek." Ardiansyah menenangkan sang adik sambil mengelus punggung Arum penuh sayang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top