Belajar Hidup Susah
Kompor-kompor di dapur umum telah menyala. Nindi melihat dari belakang tubuh Risa, bagaimana gadis tomboy itu cukup cekatan beraksi di dapur. Satu kompor digunakan untuk menanak nasi dan kompor satunya telah diletakkan sebuah panci besar berisi air.
"Kamu yang masak mie gorengnya ya, aku mau ngecek logistik untuk sarapan besok." Risa memberi perintah. Nindi mengangguk.
Nindi berjongkok di depan kompor membuka kerdus mie instan yang akan dimasak.
Ini cara masaknya gimana? Gumamnya dalam hati, tak berani ia bertanya pada Risa dan relawan lain bisa-bisa jadi bahan tertawaan.
Nindi membaca cara memasak mie instan yang ada di kemasan berkali-kali. Bisa dibilang Nindi tak pernah makan mie instan apalagi memasaknya. Mommy nya selalu bilang mie instan tidak sehat. Namun ia sebenarnya penasaran juga dengan rasa mie instan yang merknya sudah sangat terkenal sampai ke luar negeri itu. Bahkan kabarnya selebritis dunia pun menyukainya.
Nindi berkali-kali membuka tutup panci, berharap air segera mendidih tetapi ternyata masih juga belum. Ia memutuskan membuka ponselnya, lalu duduk di kursi kecil tak jauh dari kompor. Kemudian berbincang pada Cherry yang kini berada di Singapura.
Nindi menoleh pada panci yang telah mengeluarkan uap panas sampai tutupnya pun bergetar. Tergesa ia menaruh ponselnya lalu tak sengaja menyentuh pinggiran panci panas.
"Aww...." Nindi meniup jarinya yang terasa panas.
Aku gak boleh manja, gak boleh manja. Kalimat itu seperti mantra yang berkali-kali diucapkan dalam hati. Meskipun kulitnya sedikit melepuh ia akan bertahan, Ardiansyah tak boleh melihatnya sebagai perempuan lemah. Ardiansyah yang menurutnya "laki banget" itu hanya pantas bersanding dengan perempuan kuat. Dan Nindi memastikan perempuan kuat itu adalah dirinya.
Nindi mulai memasukan mie instan ke dalam panci dari jarak 1 meter sambil berdiri setelah berhasil membuka tutupnya yang panas tanpa melukai bagian tubuhnya. Ia takut air panas yang menggelegak itu mengenai kulit mulusnya.
Sesekali ia mundur sedikit atau bergerak sedikit ke kanan dan ke kiri untuk menghindari cipratan air panas dari dalam panci. Ternyata memasak mie instan sesulit itu bagi Nindi.
Layar ponselnya terus berkedip, Cherry melakukan video call setelah chatnya lama tidak dibalas. Nindi segera meraih ponselnya begitu semua mi instan telah masuk ke dalam panci.
"Sorry, gue lagi masak."
"Masak? Serius loe?"
"Nih, liat!" Kamera ponsel diarahkan Nindi ke arah panci.
"Bener-beber bucin, sampe rela masak demi si Ayank."
Nindi menaruh jarinya di depan bibir, jangan sampai teman-temannya tahu kalau ia naksir Sekum BEM mereka. Video call berlanjut dengan Cherry yang menceritakan acara keluarganya di Singapura termasuk soal Liam yang masih merindukan Nindi.
"Mienya udah mateng?" tanya Risa yang baru saja datang.
"Oh iya, mienya!" Segera Nindi mematikan sambungan video callnya.
"Kelembekan," sesalnya setelah mengeluarkan sedikit mie dengan spatula.
"Makanya kalo masak jangan sambil telponan, jangan ditinggal!" seru Risa dengan wajah judesnya.
"Aku masakin lagi deh, yang ini mie nya dibuang aja."
"Mubazir, jangan buang-buang makanan! Apalagi dalam kondisi bencana gini, logistik kita terbatas."
"Terus gimana dong?"
"Yaudah tirisin mie nya terus kasi bumbu. Anggap aja menu baru, mie goreng lembek." Ucapan sinis Risa membuat penyesalan Nindi semakin besar.
Semua relawan dan pengungsi berkumpul untuk makan malam. Mereka masing-masing mendapatkan satu piring yang berisi nasi, mie goreng lembek, dan sepotong telur dadar.
"Mie apaan nih? Lembek banget," keluh salah satu pengurus BEM.
"Aduh, gue gak bisa makan mie lembek gini. Eneg." Satu lagi keluhan terlontar.
"Maaf tadi saya masak mie nya kelembekan." Nindi berucap sambil menunduk.
"Yaelah, gak bisa masak harusnya jangan di dapur umum. Bahkan gak usah ikut ke sini. Anak Mami!" celetuk salah satu relawan yang juga anak BEM.
"Masak mie goreng aja gak bisa. Bisanya cuma dandan!" Mahasiswi yang duduk di samping Risa ikut mengatai.
"Nindi sudah berusaha memasak, kita harus hargai usahanya. Lagi pula mie ini masih bisa dimakan kok." Ardiansyah menyuapkan mie itu ke dalam mulutnya.
Ardiansyah sempat melihat bagaimana Nindi memasukkan mie instan ke dalam air panas sambil menghindari cipratannya. Ia tahu Nindi dari kalangan berada yang mungkin tak pernah menyentuh dapur, membantu memasak di dapur umum menjadi hal yang luar biasa. Ia ingat kebiasaan bundanya yang selalu mengapresiasi sekecil apapun kemajuan anak-anaknya.
Sekali lagi Ardiansyah membelanya, membalut hatinya yang sempat terluka akibat ucapan teman-temannya. "Makasih, Kak." Nindi berucap sambil tersenyum.
Mie goreng lembek itu akhirnya tetap mereka makan meskipun sambil sedikit menggerutu.
Pukul 10 malam saat semua relawan bersiap tidur, Nindi masih mengecek ponselnya sambil merekatkan jaketnya. Pak Arja belum juga mengirimkan pesan. Sesekali ia menepuk pipinya yang gatal akibat gigitan nyamuk
Nyamuk-nyamuk apa nggak kedinginan? Pikiran konyol Nindi melintas. Dingin terasa menusuk tulang, walaupun sudah menggunakan jaket, kaus kaki, dan kupluk masih juga terasa.
Anak-anak yang ada di tenda Nindi sudah terlelap di balik selimut, begitu juga para pengungsi perempuan.
"Non Nindi," panggil Pak Arja dari luar tenda.
Nindi bangkit dari duduknya lalu segera keluar. "Gimana, Pak?"
"Nih, sisanya ada di mobil." Pak Arja menunjukkan bungkusan makanan yang ia bawa.
"Cuma sate maranggi dan ulen bakar yang buka di pusat kota."
"Iya, gak papa, Pak. Makasih."
Setelah insiden mie lembek di sore hari itu, rasa bersalah yang begitu besar membuat Nindi segera menyuruh Pak Arja untuk membeli makanan matang di kota. Jarak yang lumayan jauh membuat Pak Arja lama kembali ke desa Sarampad.
Nindi mengajak Pak Arja ke pos tempat relawan melakukan jaga malam. Ada Ardiansyah di sana.
"A... eh, Kak," panggil Nindi. Pria yang ia panggil menoleh. Sejenak Nindi menatap wajah pria yang ia kagumi itu dalam-dalam. Di temaramnya malam, pria itu tetap terlihat tampan bagi Nindi.
"Ada apa? Kok malah ngelamun?" Ardiansyah menggoyangkan telapak tangannya di muka Nindi.
"Eh ... e... ini ada sate maranggi dan ulen bakar untuk Kakak. Sisanya ada di mobil untuk yang lain. " Nindi menyerahkan satu keresek pada Ardiansyah.
"Kamu beli maranggi di mana?"
"Tadi Pak Arja yang nyari ke kota. Ayo Kak kita ambil sisanya di mobil!" ajak Nindi.
Mobil Range Rover itu dipenuhi sate maranggi. Ada 50 bungkus sate maranggi, dan 50 bungkus ulen bakar. Para relawan dan pengungsi yang masih terjaga segera menikmati martabak tersebut sementara sisanya untuk di pagi hari bagi pengungsi yang masih tertidur.
Berbunga-bunga hati Nindi bisa menyantap sate maranggi yang terbuat dari daging sapi itu di samping Ardiansyah. Nindi ingin mengutarakan isi hatinya Tapi lidahnya kelu.
"Makasih, ya." Kalimat yang meluncur dari bibir Ardiansyah yang disertai senyuman itu membuat hati Nindi meleleh. Malam yang dingin jadi terasa hangat.
"Iya, Kak."
Ardiansyah kembali tersenyum melihat Nindi yang terlihat salah tingkah. Satu potong besar ulen bakar ia masukkan begitu saja ke dalam mulut.
"Gini cara makannya," kata Ardiansyah sambil mencubit sedikit ulen lalu mencocolnya ke sambal oncom baru kemudian memasukkannya ke dalam mulut.
Hati gue jedag-jedug, jantung gue disko.
Nindi mengikuti cara Ardiansyah makan. Sate maranggi yang manis gurih bertemu ulen bakar yang gurih dan sambal oncom yang manis pedas terasa begitu nikmat.
"Ini sambal apa? Kok enak?" tanya Nindi yang merasakan rasa baru di mulutnya.
"Itu sambal oncom."
"Oncom?"
"Kamu gak tau oncom?"
Nindi menggelengkan kepala.
"Itu makanan rakyat, murah meriah dan enak. Terbuat dari bungkil kacang atau ampas tahu."
"Owh." Nindi mengangguk. Ia tidak terlalu paham yang dikatakan Ardiansyah tapi tetap mengangguk.
Pak Arja yang duduk tak jauh dari mereka cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anak majikannya.
"Non, tidur di mobil aja, biar gak digigit nyamuk. Lebih nyaman di mobil, nggak kedinginan juga," saran Pak Arja setelah mereka menikmati maranggi.
Nindi melihat sekitarnya, sungguh tidak enak jika dia tidur di mobil sementara yang lain di tenda. Belum lagi hal itu akan membenarkan perkataan mereka tentang dirinya yang anak manja, anak mami.
Ponselnya berbunyi, dilihat layar itu adalah panggilan dari Mommy.
"Ya, Mom."
"Jangan tidur di tenda, tidur di mobil akan lebih nyaman buat kamu."
"Tapi, Mom, yang lain tidur di tenda masa aku di mobil."
"Kalo tendanya tenda Naturehike atau Eiger, boleh. Ini tenda terpal biasa, bagaimana kalau hujan, kamu bisa sakit!"
"Kok Mommy tahu jenis tendanya?"
"Nggak usah banyak nanya, patuhi perintah Mommy atau kamu pulang malam ini juga!"
Nindi melihat ke arah Pak Arja yang menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Pasti supirnya itu yang melapor.
Ultimatum Mommy tak bisa dibantah, daripada harus pulang malam ini juga dan kehilangan momen bersama Ardiansyah, Nindi memilih tidur di mobil.
Di dalam mobil, Nindi memulai ritual sebelum tidurnya. Membersihkan wajah dengan sabun muka, lalu meratakan toner di wajahnya dengan kapas sambil melihat ke arah cermin yang ia taruh di atas dashboard mobil. Ia kemudian mengambil serum di tas kosmetiknya, beberapa tetes serum diteteskan di area wajahnya lalu diratakan. Setelah serum itu rata Ia kembali mencari perlengkapan kosmetiknya, ah ternyata maskernya tertinggal di rumah, Nindi berdecak kesal. Untungnya krim malam ia bawa, kemudian ia mulai mengulas wajahnya dengan krim malam. Walaupun di tempat pengungsian tentu saja harus tetap glowing kan. Jangan sampai terlihat kusam hingga Aa Ardiansyah tak menoleh padanya. Aa, panggilan itu mulai Nindi terapkan setelah tahu bahwa pria yang ia sukai itu berdarah Sunda.
Nindi melihat kukunya yang sedikit rusak, ia mengembuskan napas kasar. Ternyata belajar hidup susah itu banyak pengorbanannya: sepatu yang kini kotor dan sewarna dengan tanah, kuku yang rusak, omongan teman yang tidak enak, dan makan mie instan untuk pertama kalinya. Nindi bertekad, sepulang dari tempat pengungsi gempa ini ia akan melakukan perawatan wajah dan kuku, juga memanjakan lidahnya dengan makanan enak dan sehat.
Mata Nindi sudah begitu lengket, ingin segera terlelap saat rintik hujan mulai turun dan kemudian deras. Ia melihat tenda-tenda terpal itu basah dan tertiup angin.
"Aa pasti kedinginan, mereka juga." Ia melihat dirinya sendiri yang terbungkus selimut tebal dan berbaring di alas yang empuk. Sebelum ia masuk ke mobil Pak Arja telah menyiapkan mobil itu untuknya tidur dengan memasang kasur mobil yang dibawa dari rumah.
Hatinya terasa dicubit, ia seharusnya bersyukur dengan segala nikmat yang diberikan Tuhan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top