Bagian 4
Sejauh dan sekeras apa pun mencari, kautak akan menemukan apa pun. Pada kenyataanya, dunia tak lagi sama. Jadi, sudah selayaknya berhenti agar tak tersakiti lebih jauh lagi.
Usai bertemu klien ia kembali melakukan pencarian tentang keberadaan Sania. Ya, ia mendatangi lokasi kecelakaan setahun lalu. Pemuda itu berdiri kaku di tepi jurang yang membuatnya harus kehilangan calon istrinya.
"San, sebenarnya kamu ada di mana? Satu tahun telah berlalu, tetapi aku sama sekali tak dapat menemukan jejakmu. Tidak mungkin, kan, kita berada di dunia yang berbeda? Sehingga bayangmu pun tak sanggup kutemukan," bisiknya.
Tak ada jawaban apa pun terdengar, hanya gemerisik dedaunan tertiup angin yang menyapa telinga. Angin yang berembus cukup kuat, seolah ingin menegaskan bahwa Sania tak ada lagi di dunia ini. Gadis itu tak akan mungkin bisa dijangkau lagi selain hanya dengan doa. Sayang, Rafka tak mampu mengerti bahasa alam.
Sekitar hampir setengah jam, pemuda bertubuh jangkung itu merenung dengan netra yang diedarkan ke seluruh penjuru. Masih berharap dapat menjumpai Sania di sana dengan keadaan baik-baik saja. Namun, gadis itu tak berhasil ia temui. Langkahnya gontai meninggalkan tempat itu dengan tangan hampa.
Tak jauh dari tempat itu terdapat pemukiman penduduk. Jadi, Rafka memutuskan untuk kembali mencari petunjuk di sana. Tak terhitung berapa kali ia telah ke sana, tetapi tak pernah merasa bosan untuk kembali melakukannya.
"Permisi, Pak."
Seorang lelaki paruh baya yang tengah sibuk memotong rumput di halaman rumah tampak menoleh sekaligus terkejut mendapati pemuda itu kembali datang. Entah, ini kali ke berapa pemuda itu datang ke kampungnya.
"Apakah Bapak pernah melihat gadis ini di sekitar sini? Dia calon istri saya yang dinyatakan hilang dalam kecelakaan di jurang tak jauh dari sini sekitar setahun lalu." Rafka menyodorkan foto prewedding di ponselnya.
Lelaki itu menatap Rafka iba, kemudian menggeleng pelan. Ia menepuk pelan pundak pemuda di hadapannya itu sembari tersenyum tipis. Merasa kasihan karena masih belum mengetahui tentang kenyataan yang ada bahkan setelah setahun berlalu.
"Di mana pun dia berada, dia pasti baik-baik saja. Kamu tak perlu mengkhawatirkannya lagi karena akan ada saat di mana kalian akan bertemu lagi." Ia tersenyum tipis. "Bukan di sini, tetapi mungkin di kehidupan selanjutnya, lanjutnya dalam hati.
Rafka menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia tersenyum sopan, kemudian berbalik pergi. Setiap kali berjumpa dengan penduduk sekitar, ia akan menanyakan pertanyaan yang sama. Mereka cukup tahu bagaimana kondisi pemuda itu, setelah perwakilan keluarganya datang dan meminta bantuan agar mereka merahasiakan tentang kematian gadis itu dari putra mereka.
"Kasihan sekali dia, hampir setiap bulan selalu datang dan menanyakan hal yang sama." Seorang wanita paruh baya bersuara.
"Pemuda itu pasti cukup terluka, tidak bisa membayangkan andai dia tahu kenyataan yang sebenarnya. Bukankah itu akan menyakitkan?"
Wanita paruh baya itu menghela napas, menatap punggung Rafka yang semakin jauh. Sejak kedatangan pemuda itu, beberapa warga berkerumun di rumah yang baru saja didatangi. Mereka turut prihatin atas apa yang terjadi, tetapi tak bisa berbuat apa-apa.
"Bukankah hidup dalam kebohongan justru akan jauh lebih menyakitkan? Lebih baik terluka karena kejujuran daripada bahagia dalam harapan yang tak pernah ada." Bu Lisa menimpali.
Mereka yang ada di sana mengangguk setuju, membenarkan ucapan Bu Lisa. Bukankah justru akan semakin sulit untuk keluar ketika terlanjur terpenjara dalam harapan itu? Tak hanya itu, risiko terluka juga jauh lebih besar, kan?
"Kita hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk pemuda itu karena tak punya wewenang untuk ikut campur. Semoga saja dia bisa menemukan pengganti yang membuatnya bisa melupakan masa lalu bersama gadis malang itu."
Sementara itu, Rafka kembali melajukan mobil menuju rumah. Fossil di pergelangan tangannya telah menunjukkan jam setengah lima sore, sedangkan perjalanan dari tempat kecelakaan itu dan rumah sekitar satu jam apabila tidak macet.
Tantangannya bukan hanya itu, tetapi juga kondisi jalan yang sempit pun belum beraspal. Ditambah banyaknya pasir dan kerikil yang memenuhi jalan demi menutupi lubang-lubang yang membahayakan. Salah fokus sedikit, ia bisa terguling ke jurang di sisi kanan dan kiri jalan yang cukup curam.
Sekelebat bayang kecelakaan itu kembali terputar di memori, membuat kepalanya pening seketika. Beruntung karena potongan ingatan itu muncul ketika telah memasuki jalan besar. Ia menepikan mobil untuk beristirahat sejenak. Sudah sangat lama sejak potongan ingatan itu mengusiknya terakhir kali. Namun, ia masih tak dapat mengingat dengan jelas. Semakin memaksakan diri, kepalanya justru berdenyut semakin sakit. Jadi, ia memilih berhenti dan menunggu waktu untuk mengungkap kembali memorinya yang hilang.
"Maafkan aku yang tak bisa mengingat dengan jelas kejadian itu, San. Aku yang menyebabkanmu hilang bahkan tak kembali hingga sekarang. Apakah semua ini sebagai balasan atas kelalaianku dalam menjagamu?" lirihnya.
Cukup lama Rafka menenangkan diri pun meyakinkan bahwa semua masih akan baik-baik saja. Mungkin saat ini Sania sedang menjalani pengobatan atau menungguku untuk menjemputnya pulang. Ya, Sania pasti baik-baik saja, batinnya.
Setelah cukup yakin, ia kembali melanjutkan perjalanan. Lagi pula hari sebentar lagi gelap dan sudah harus tiba di rumah paling tidak selepas magrib. Ia bersyukur karena jalanan lengang sehingga mobilnya bisa melaju tanpa hambatan berarti.
Rafka tiba di rumah bersamaan dengan kedatangan Reza. Ia sengaja datang setelah mendapat kabar dari warga kampung bahwa hari ini sahabatnya datang ke sana dan menayakan hal yang sama. Tentu saja itu membuat khawatir.
Keduanya tak lantas masuk, tetapi lebih memilih duduk di beranda dan saling berbincang. Lebih tepatnya, Reza yang berperan sebagai pendengar yang baik bagi sang sahabat.
"Za, aku benar-benar tidak tahu harus mencari Sania ke mana lagi. Kenapa semua petunjuk tentang kecelakaan itu seolah dilenyapkan dari dunia ini?Penduduk di sekitar jurang pun tak
ada satu pun yang mau bicara soal kecelakaan itu. Bukankah itu aneh?" Rafka mengusap wajah frustrasi.
Reza menunduk, tak berani membenarkan ataupun menyalahkan opini sang sahabat. Ia sendiri sering merasa serba salah ketika harus menciptakan kebohongan yang satu dan kebohongan selanjutnya agar tak menimbulkan kecurigaan apa pun.
"Aku pikir bisa menemukan Sania secepatnya dan melangsungkan akad nikah sesuai rencana. Namun, kenyataannya semua itu hanya mimpi belaka. Bahkan, rencana pernikahan itu telah berlalu begitu saja tanpa bisa kuwujudkan."
Reza tak mampu berkata-kata, cukup tahu bagaimana perasaan sang sahabat. Namun, ia tak banyak menanggapi karena tahu bahwa pemuda di sampingnya itu hanya butuh didengarkan, setidaknya untuk sekarang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top