Bagian 3

Tak ada kebetulan di dunia ini, semua yang terjadi memang telah dirancang sedemikian rupa oleh Sang Pemilik Kekuasaan. Termasuk, pertemuan kita hari ini

Area kafe telah ramai pengunjung ketika Rafka tiba di sana untuk makan siang. Hampir seluruh meja telah terisi penuh, hanya menyisakan satu tempat di pojok ruangan. Namun, seorang gadis langsung duduk dengan santai tanpa menoleh ke arah pemuda bertubuh kekar yang masih berdiri sembari menatap kesal ke arahnya.

Pandangan gadis berjilbab biru langit itu tertuju pada buku di tangannya. Dalam sekali lihat, Rafka bisa menebak bahwa gadis itu gemar membaca. Tampak dari kacamata yang bertengger manis di hidung peseknya.

"Bisa pindah dari sini? Main serobot meja orang saja." Rafka berdecak kesal.

"Enggak bisa. Kamu aja yang pindah ke meja lain, aku yang lebih dulu duduk di sini kok. Memangnya kafe ini milik bapakmu," omel gadis itu tanpa mengalihkan pandangan dari buku.

"Sebelum bilang makanya lihat situasi, enggak ada meja lain. Aku yang nemu meja ini dulu, tapi kamu main duduk gitu aja." Rafka sewot.

Gadis itu mendongak, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Ia menghela napas, menyadari bahwa hanya meja itu satu-satunya yang tersisa. Namun, mengusir pemuda di hadapannya juga bukan pilihan yang tepat. Bukankah semua meja telah terisi?

"Begini saja, berhubung semua meja sudah penuh. Bagaimana kalau kita berbagi tempat? Aku tidak punya banyak waktu apalagi kalau harus nyari tempat lain." Gadis tersenyum tulus.

Rafka berpikir sejenak, tak lantas mengiakan. Namun, ia pun tak punya pilihan lain. Kafe ini merupakan tempat makan favoritnya, lagi pula ia juga harus segera kembali bekerja. Pindah ke tempat lain hanya akan membuang waktunya dengan percuma, yakin bahwa akan sulit menemukan tempat yang sepi di jam makan siang seperti ini.

Tanpa menjawab, Rafka memilih duduk di hadapan gadis itu. Tak ada salahnya, kan, makan siang bersama orang yang tak dikenal. Tak lama kemudian, seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menanyakan pesanan.

"Nasi goreng pedas level 3," jawab keduanya bersamaan.

"Minumnya?"

"Jus alpukat."

Pelayan itu tersenyum lebar ketika lagi-lagi dua orang itu menjawab sama dengan waktu hampir bersamaan, sedangkan dua orang itu memilih saling membuang muka ke arah lain.

"Baik, mohon tunggu sebentar. Pesanan Anda akan segera  kami antar."

Rafka memilih menyibukkan diri dengan ponsel, acuh tak acuh pada sosok yang duduk di hadapannya. Lagi pula tak saling mengenal, kan?

"Masnya, sering ke sini juga?" Gadis itu berucap tanpa mengalihkan perhatian dari buku bacaannya.

Rafka celingak-celinguk, bingung dengan siapa yang diajak bicara oleh gadis itu. Namun, tak menemukan siapa pun. Mungkin dia lagi ngobrol di telepon, pikirnya.

"Saya itu tanya sama kamu, memang di sini ada siapa lagi?" tanyanya lagi sembari mendongak.

Rafka menunjuk dirinya sendiri dengan kedua alis tebal yang terangkat tinggi. Merasa kesal karena gadis itu bertanya tanpa melihat ke arahnya. Kan, ia jadi tampak bodoh.

"Sering."

Hanya satu kata yang terucap dari bibir tipis pemuda itu, bahkan dijawab dengan intonasi datar seolah tak tertarik untuk melanjutkan percakapan. Itu sudah cukup mampu membuat seorang Amanda yang mencoba ramah, terbungkam seketika. Tak menyangka bahwa sosok manusia seperti pemuda di hadapannya itu benar-benar ada. Ia cukup peka dengan situasi yang ada dan bisa membaca raut wajah Rafka yang tampak tak bersahabat.

Saat pesanannya tiba, mereka menikmati dengan lahap. Tak ada lagi percakapan yang tercipta di sana sehingga menciptakan kesan bahwa mereka adalah pasangan yang tengah bertengkar.

Rafka yang terbatuk keras karena tersedak makanan, mengundang perhatian gadis itu. Ia pun segera menyodorkan jus alpukat miliknya pada pemuda itu yang langsung tandas dalam sekali tenggak. Gadis itu  hanya bisa melongo ketika mendapati gelas itu telah kosong.

"Terima kasih," lirih Rafka.

Gadis itu mengangguk pelan, tetapi pandangannya masih tertuju pada gelas yang telah kosong. Ia bahkan belum sempat menikmati jus alpukat itu, tetapi sudah tak tersisa lagi.

"Mbak, jus alpukatnya dua lagi, ya," ucap Rafka pada pelayan yang baru saja lewat.

"Ini buat kamu." Rafka menggeser gelas miliknya ke hadapan Amanda.

"Aku bisa pesan lagi kok, anggap saja yang tadi sebagai hadiah pertemuan kita." Amanda tersenyum tipis.

Rafka mengangguk pelan, kemudian melanjutkan acara makan siangnya yang tertunda. Ia melirik arloji di pergelangan tangan, di sana sudah menunjukkan jam dua belas lewat lima belas menit padahal ada janji temu dengan klien. Ia pun bergegas pergi dan membayar tagihan.

Amanda hanya menatap punggung lebar itu dengan heran. Pasalnya, pergi begitu saja dengan langkah yang tergesa. Mungkin, dia sedang terburu-terburu. Lumayan cakep, sih, tapi sayang aura wajahnya lebih seram dari singa," batinnya.

Tak berselang lama, seorang pelayan kembali mengantar dua gelas jus alpukat ke meja Amanda. Hal yang membuat gadis itu terheran karena tidak merasa memesan.

"Mas yang duduk di sini yang pesan. Katanya jangan marah lagi, buat pacarnya yang cantik."

Setelah mengucapkan itu, sang pelayan terkikik pelan. Menyangka bahwa ia telah membantu dua manusia yang sedang bertengkar kembali berbaikan. Namun, siapa tahu bahwa mereka hanya dua orang tak saling kenal yang tak sengaja dipertemukan. 

Mendengar itu, Amanda melongo cukup lama. Pacar? Siapa yang dianggap sebagai pacar? Salah orangkah? Pun berbagai pertanyaan lain yang memenuhi otaknya. Namun,  ia tak menemukan jawaban yang diinginkan.

Tak ingin berpikir terlalu jauh, ia pun menikmati minuman itu dengan khidmat. Rezeki anak sholeha, batinnya. Ia pun berniat mengambil dompet dari tas, tetapi barang berbentuk persegi itu tak bisa ditemukan di sana. Gadis itu mengeluarkan semua isi tasnya dan hanya menemukan pulpen, notebook kecil, powerbank, headset. Bahkan ponsel miliknya pun tak berhasil ditemukan.

"Gawat, mau bayar pakai apaan? Dompet enggak ada, ponsel pun enggak bawa. Harus bilang apa ke kasirnya?" Amanda menepuk jidatnya berkali-kali.

Mau tak mau ia harus berani  kalaupun disuruh cuci piring sebagai ganti pun tak apa. Ia mendekati kasir dan meminta tagihan miliknya.

"Ini, Mbak. Tagihannya sudah dibayar sama pacarnya kok."

"Pacar? Siapa?"

"Lho, bukannya Mas yang duduk bareng tadi pacarnya? Dia yang sudah bayar tagihan."

Amanda tersenyum canggung, tak berniat meluruskan kesalahpahaman yang ada. Ia harus berterimakasih pada pemuda itu karena telah menyelamatkan dari rasa malu akibat tak bisa membayar makanan yang dipesan. Gadis itu menghela napas lega, menyingkirkan segala kemungkinan buruk yang sempat menjelma di benak.

Siapa pun kamu, terima kasih. Jika ada kesempatan untuk membalas, aku pasti akan melakukannya dengan senang hati, batinnya sembari tersenyum lebar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #love