Bab 2

Rafka meminta orang-orang kepercayaannya untuk datang dan menemuinya di rumah. Ia hanya tidak habis pikir karena sampai detik ini pencarian Sania masih menemui jalan buntu. Ketika mereka tiba di halaman belakang, pemuda itu telah menunggu di sana.

"Hari ini saya ingin mendengar kabar baik tentang pencarian kalian!" Rafka berucap tanpa menoleh.

Reza dan Shauqi saling pandang kemudian menunduk bersamaan, dari keduanya tak ada satu pun yang berniat melaporkan hasil pencarian. Keterdiaman keduanya membuat Rafka menghela napas, tanpa mereka bicara pun ia sudah bisa menebak dengan sempurna.

"Kerja kalian itu ngapain aja, sih?! Setahun bukan waktu yang sebentar, tapi sampai sekarang enggak ada satu pun petunjuk yang didapat!" Rafka menatap nyalang keduanya.

Pemuda bertubuh kekar itu menghampiri Reza dan menarik kerah kemejanya. Manik hitamnya menyiratkan kobaran emosi yang begitu besar. Bahkan, kedua matanya  memerah dengan otot-otot wajah yang benar-benar tegang.

Namun, Reza memilih untuk menunduk tanpa berniat mendongakkan kepalanya. Ia sudah menduga bahwa hal semacam ini pasti akan terjadi karena sangat tahu bagaimana watak seorang Rafka Shaquille Zhafran apalagi ketika menyangkut Sania. Ia mengenal pemuda itu bukan hanya satu atau dua hari, tetapi hampir tiga tahun.

Sedangkan, Shauqi memilih mundur beberapa langkah. Berkali-kali ia menarik napas panjang guna menenangkan diri. Ini pertama kalinya ia melihat kilatan emosi di manik hitam atasannya itu apalagi sampai bersikap sejauh sekarang.

"Za, tolong temukan Sania secepatnya. Aku enggak mau sesuatu yang buruk menimpa dia, itu aja." Kilatan emosi di manik hitam Rafka berubah menjadi tatapan penuh harap.

Cengkeraman tangan pemuda itu di kerah baju Reza pun turut mengendur. Wajah yang tadi tampak garang, berubah menjadi memelas hanya dalam hitungan menit.

Reza menepuk pelan bahu Rafka, mencoba memberi kekuatan lebih untuk atasan sekaligus sahabatnya itu. Raf, apa yang harus kulakukan untuk mengembalikanmu seperti semula? Aku lelah jika harus terus berpura-pura tidak tahu apa pun tentang keberadaan Sania, batin Reza.

Reza menarik napas panjang, dan  mengembuskan perlahan. Ada banyak kata yang ingin diucapkan, tetapi lidahnya seolah kelu. Tatapan sayu Rafka mampu membungkam bibirnya. Alhasil, ia hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

Usai menemui Reza dan Shauqi, Rafka memilih kembali ke kamar. Di sisi lain, kedua pemuda beda usia itu hanya mampu menatap punggung atasannya yang telah menghilang di balik pintu dengan iba. Namun, mereka tak punya pilihan selain mengikuti alur yang telah ditetapkan oleh keluarga Zhafran—berpura-pura mengikuti perintah si bungsu.

"Mas Reza, sampai kapan kita harus akting jadi detektif seperti ini? Sementara kita tahu bahwa Mbak Sania itu udah dimakamkan," protes Shauqi.

Reza dengan cepat membekap bibir pemuda yang dua tahun lebih muda darinya itu. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, takut apabila Rafka ada di sekitar sana dan mendengar penuturan Shauqi.

"Ki, jangan pernah bahas itu di sini! Jika dengan begini bisa membuat Rafka tetap memiliki alasan untuk hidup, aku enggak pernah keberatan."  Reza menerawang jauh.

Sementara Rafka, memilih menikmati semburat jingga dari balik jendela kamarnya. Tangan kanannya menggenggam figura, sementara tangan kirinya digunakan untuk menyibak gorden dengan ronce berbentuk kupu-kupu.

"San, dulu kamu pernah berjanji untuk menemani ketika aku menikmati senja dari sini. Namun, kenapa kaumengingkari janji? Sudah ada 365 senja yang kunikmati sendirian tanpa kehadiranmu," lirihnya. 

Rafka menutup gorden itu, membiarkan kamarnya kembali gelap tanpa penerangan. Ia sengaja tidak menyalakan lampu kamarnya meski malam telah menjelang. Seterang apa pun lingkungan ia berada, tak akan mampu memberi setitik cahaya bagi jiwanya.

"San, aku tak lagi bisa melihat cahaya seterang apa pun itu. Bagiku, dunia ini tetap tampak kelam tanpa kehadiranmu di sisiku."

Dari balik pintu, Irene mendengar semuanya. Ia berniat mengantar camilan untuk si bungsu, tetapi justru mendengar ratapan pemuda itu. Hatinya seolah diiris sembilu, mendengar kata demi kata yang diucapkan oleh putranya.

Wanita paruh baya itu memilih berbalik pergi, tak sanggup jika harus berhadapan dengan si bungsu untuk saat ini. Ia meletakkan nampan itu di dapur, kemudian duduk di kursi yang tersedia di sana. Jemari lentik itu menyeka air mata yang terus menghujani wajah mulusnya. Ia membekap mulut ketika isakannya terdengar semakin kuat, takut si bungsu akan mendengar. 

"Sampai kapan aku harus menyaksikan putraku terus hidup di alam mimpi? Aku tidak sanggup melihatnya seperti ini lebih lama lagi," lirih Irene.

Irene memutar otak untuk mencari solusi terbaik atas masalahnya. Lengkungan tipis tergambar semu di bibir tebalnya usai mendapat ide bagaimana cara mengembalikan si bungsu seperti semula.

"Aku harus mengenalkan gadis lain pada Rafka. Siapa tahu dengan begitu fokusnya mencari Sania akan teralih bahkan terlupakan sepenuhnya," lirihnya.

Wanita paruh baya itu kembali mengambil nampan berisi camilan dan segelas susu cokelat hangat, mengantarkan kembali ke kamar putranya. Ia akan tetap mengikuti kemauan Rafka untuk mencari Sania, tetapi juga menyusun rencana sendiri. Jika tidak bisa memaksakan Rafka untuk mempercayai kematian gadis itu maka harus menghadirkan sosok lain sebagai penyembuh luka.

"Raf, buka pintunya. Bunda bawakan susu dan nastar kesukaanmu." Irene mengetuk pelan pintu kamar sang putra.

Namun, hampir lima menit berdiri di depan pintu tetap tak mendapat jawaban dari dalam. Ia membuka pintu perlahan, ternyata tidak dikunci seperti sebelumnya. Gelap, itu kesan pertama yang didapat ketika kakinya melangkah masuk.

"Raf. Ini Bunda, Sayang. Lampunya mati atau memang sengaja kamu matikan?"

Hening. Irene menatap ke segala arah,  tetapi hanya kegelapan yang ia lihat. Ia meraba-raba dinding mencari-cari saklar lampu, tetapi tidak berhasil menemukan.

"Rafka, kamu di mana?"

Irene terus melangkah maju, gelapnya ruangan itu membuat ia harus hati-hati agar tidak menabrak apa pun. Sorot lampu dari luar sana berhasil memberikan sedikit penerangan, wanita itu meletakkan nampan di atas nakas. Kemudian, beralih menekan saklar on  yang ternyata berada di samping rak buku.

Kegelapan itu berganti dengan cahaya terang, si bungsu tampak telah terlelap di sofa dengan figura dalam pelukannya. Wajah pemuda itu tampak lebih tirus dari sebelumnya, kedua mata bulat itu pun tampak cekung dengan lingkaran hitam yang kentara.

Perhatiannya teralih pada ruas-ruas jari kanan pemuda itu yang tampak berdarah. Meskipun darahnya telah mengering, tetapi luka itu masih baru.  Luka itu dibiarkan begitu saja tanpa diobati apalagi diperban.

Raf, apalagi yang kamu lakukan? Bunda benar-benar takut akan kehilanganmu untuk selamanya, batin Irene.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #love