Bab 1

Seorang pemuda tampak duduk sendirian di taman belakang rumahnya. Taman itu tak terlalu luas, tetapi dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman hias. Mawar putih yang tengah bermekaran menebar aroma wangi yang menenangkan. Di samping taman terdapat kolam kecil yang berisikan tiga pasang ikan mas.

Rafka—nama pemuda itu—taman belakang rumahnya menjadi salah satu tempat favorit usai sang kekasih dinyatakan hilang setahun yang lalu. Di tempat itu, ia biasa bercengkerama dan tertawa bersama. Namun, sejak Sania—kekasihnya—menghilang, senyum di bibirnya pun turut hilang.

Selama setahun ini, ia sudah mencari keberadaan Sania. Namun, hasilnya nihil. Tak ada satu pun petunjuk yang dimiliki untuk bisa menemukan sang pujaan hati.

San, ke mana lagi aku harus mencarimu? Setahun bukan waktu yang sebentar, tetapi kenapa sampai sekarang aku masih belum mampu menemukanmu? batin Rafka.

Rafka mengusap wajahnya frustrasi, ia kehabisan cara untuk menemukan keberadaan Sania. Ia sudah mengerahkan orang-orang suruhannya untuk mencari gadis itu, pun menempelkan selebaran tentang pencarian orang hilang. Namun, tak ada satu pun informasi yang berhasil didapatkan. 

Jemari lentiknya mengusap figura, di sana ia dan Sania tampak tersenyum ke arah kamera. Foto itu diambil sehari sebelum kecelakaan itu terjadi dengan latar taman belakang rumahnya. Ia mengusap wajahnya yang sembab karena air mata yang menganak sungai.

Bintang-bintang yang menghias langit malam tak mampu memberi cahaya bagi pemuda itu. Bagi Rafka, bintang itu tetap berwarna kelam, sekelam suasana hatinya saat ini. Sejak Sania menghilang, pemuda beralis tebal itu seolah kehilangan separuh jiwanya.

"San. Aku selalu merasa bahwa kamu selalu ada di sini, di sampingku. Aku janji akan tetap setia padamu, sampai kita bisa bertemu kembali," lirih Rafka.

Dinginnya angin malam berembus menusuk kulit putihnya yang hanya terbalut kaos pendek tipis. Namun, ia sama sekali tak terusik. Pemuda 23 tahun itu masih tak beranjak dari tempat duduknya. Hanya dengan berada di sana, ia bisa melepas kerinduannya pada sang kekasih.

"Raf, kenapa masih ada di sini? Udara malam enggak baik untuk kesehatanmu." Sebuah suara lembut mengalun merdu di telinganya.

"Lebih baik Bunda yang masuk dan istirahat, lagi pula malam sudah larut." Rafka menimpali.

Wanita paruh baya itu tersenyum sekilas, kemudian turut duduk di sebelah putra bungsunya. Ia menyodorkan jaket berwarna abu muda pada Rafka yang langsung dikenakan olehnya.

"Kamu itu alergi dingin, kenapa malah mencari penyakit di sini?"

Irene—ibunda Rafka—menggenggam jemari putranya yang terasa dingin. Diperiksanya lengan pemuda itu yang tampak berwarna merah, kemudian membalurkan minyak angin yang sengaja dibawa.

"Rafka enggak apa-apa, Bun. Lagi pula ini enggak terlalu serius,  Bunda enggak perlu khawatir."

Irene menggangguk pelan, ditatapnya wajah sang putra yang tampak sendu. Ia tak tega melihat putranya yang terus berusaha menemukan seseorang yang mustahil bisa ditemukan kembali.

Andai bisa, Bunda ingin kamu menjadi Rafka yang dulu. Putra Bunda yang hangat dan ceria, bukan dingin dan pendiam seperti sekarang, bisiknya dalam hati.

"Bunda kenapa?" Suara Rafka menginterupsi lamunan Irene.

"Enggak apa-apa, Sayang." Irene menggeleng sembari tersenyum.

"Bun, Rafka enggak tahu lagi harus mencari Sania ke mana. Semua rumah sakit di sekitar tempat kecelakaan itu sudah kusisir, tetapi tak ada satu pun petunjuk ditemukan." Rafka menunduk lesu.

Irene tersentak. Dadanya tiba-tiba terasa sesak seolah ada ribuan batu yang menyumbat di sana ketika mendengar penuturan si bungsu. Ia ingin berteriak bahwa Sania telah tiada sejak lama, tetapi tak bisa dilakukan.

Wanita itu bukan tak pernah mencoba bicara tentang kenyataan yang terjadi. Namun, terakhir kali ia bicara, Rafka justru histeris dan melukai diri sendiri dengan meninju cermin di kamarnya . Jadi, ia memilih untuk mempercayai apa yang dipercayai oleh putranya.

"Sayang, Sania pasti aman di suatu tempat yang tidak kita ketahui letaknya. Kamu juga harus memikirkan diri sendiri, kalau sampai sakit siapa yang akan mencari dia lagi?" Irene mengusap air mata di wajah si bungsu.

Rafka menyandarkan kepalanya di bahu sang bunda, kemudian memejamkan mata untuk beberapa saat.

"Bunda percaya, kan, kalau Sania masih hidup? Pemakaman Sania setahun lalu itu hanya mimpi burukku saja, 'kan?"

Irene terpaku untuk sesaat, tetapi segera bisa menguasai diri. Ia memikirkan jawaban yang tepat untuk putranya.

"Sayang, Bunda akan selalu percaya sama kamu. Sania pasti masih hidup, hanya saja kita tidak bisa menjangkaunya untuk saat ini," lirih Irene.

"Terima kasih, Bun. Ada banyak orang yang bilang kalau Rafka harus menerima kenyataan bahwa Sania telah–"

"Jangan dilanjutkan, jika itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Percaya pada apa yang ingin kamu percayai," potong Irene cepat.

Irene bukan tak sakit, mendengar itu. Namun, ia tak bisa berbuat banyak selain turut masuk ke dunia sang putra. Satu-satunya cara menarik Rafka keluar, hanya dengan turut masuk ke dalam dunia yang ia miliki.

Dulu, ia pernah meyakinkan pemuda itu bahwa Sania telah tewas. Namun, putranya justru semakin tak terjangkau oleh tangannya. Mengurung diri di kamar dan menolak diajak bicara ataupun sekadar makan hingga si bungsu jatuh sakit karena dehidrasi.

"Terima kasih, Bun. Bunda satu-satunya orang yang percaya bahwa Sania masih hidup." Rafka mengecup pipi kanan sang bunda sebelum berlalu masuk.

Irene tak lantas masuk, ia memilih tetap berada di sana menyaksikan gemerlapnya langit malam. Sebagai ibu, ia tak ingin putranya terus terjebak dalam mimpi berkepanjangan. Namun, di sisi lain ia tak bisa memaksa pemuda itu untuk percaya pada kenyataan yang ada.

"Mas, apa yang harus kulakukan untuk membantu putra kita? Jika di sana kamu bertemu dengan Sania, sampaikan padanya untuk menemui Rafka dalam mimpi," lirihnya.

"Rafka mengidap selektif amnesia yang membuatnya melupakan semua kenangan buruk dalam hidupnya. Di sini, yang dia lupakan adalah tentang kematian Sania. Ia hanya ingat tentang kecelakaan itu dan hilangnya Sania, tetapi tidak dengan kematian gadis itu." Dokter Adi menjelaskan.

"Maaf, aku justru memupuk harapan palsu untuknya karena tak ada pilihan lain yang bisa kuambil. Apa yang kulakukan ini adalah kesalahan besar, Mas?" Irene menunduk, mengingat kembali pernyataan Dokter Adi enam bulan lalu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #love