Letter by SalmaNaru7

Buat Papa

Jujur aja, tepat sebelum ngetik surat ini, Alma buka Google dan search : Hari ayah Indonesia. Dan respon Alma kayak, “Eh? Hari ini?” Hehe. Jahat enggak sih, Alma enggak tahu kapan hari ayah Indonesia? Enggak, lah. Ya kan, Pa? Setiap hari kan hari ayah!

Papa, sekarang di mana? Jakarta? Batam? Padang? Palembang? Lampung? Atau Aceh? Kok Alma suka kikuk ya kalau ada yang nanya Papa kerja di mana? Habis, Papa kan kerjanya keliling Indonesia bagian barat.

Di mana pun Papa sekarang, Alma cuma berharap Papa sehat, kerjanya lancar, gajinya juga lancar, biar bisa ngasih Alma uang, hehe. Papa jangan lupa makan. Iya, Alma tahu, makan Papa kan disediain sama orang kantor. Tapi tetap aja, jangan lupa makan. Jangan lupa tidur juga. Tidur yang cukup. Hati-hati pas naik pesawat. Jangan lupa baca doa.

Pas dengar pesawat Lion Air jatuh tempo hari, jujur aja Alma hampir ngira Papa penumpangnya. Rasanya napas Alma tercekat beberapa detik. Syukurlah ternyata enggak. Maaf, Pa, anak kesayangan Papa ini suka parno.

Eh, ini kan harusnya jadi surat cinta. Kok jadi surat curhat sama omelan.

Papa, Alma boleh jujur enggak? Boleh kan ya? Sebenarnya, sejak saat itu, selalu ada satu pertanyaan besar yang ada di kepala Alma.

Kenapa? Kenapa, Pa? Kenapa?

Alma selalu ingin tanya “kenapa”, tapi Alma enggak mau tahu reaksi Papa nantinya bagaimana. Apa nanti wajah Papa kayak terluka? Marah? Atau justru datar tanpa ekspresi? Membayangkan itu saja Alma jadi takut. Semuanya terasa menyakitkan. Alma cuma mau lihat Papa senyum, jadi lupakan saja pertanyaan itu.

Pa, tahu enggak? Dulu, Alma punya tipe ideal cowok masa depan seperti ini: Ganteng dan pintar kayak abang-abang, dan bijak kayak Papa. Sekali dengar juga enggak mungkin ada cowok kayak gitu, tapi netapin target enggak ada salahnya, ‘kan?

Tapi, salah enggak sih, kalau sekarang Alma enggak mau lagi suami masa depan Alma kayak Papa?

Tuh, kan. Lagi-lagi melenceng dari tujuan surat cinta. Udahlah, surat cinta Alma ini anggap aja curahan hati. Tetap ditulis dengan cinta, kok.

Alma sedih. Kenapa sih, Papa harus jauh? Kenapa enggak kerja di sini aja? Kan Alma jadi lebih terbiasa sama Mama, lebih senang sama Mama, dan malah nunggu-nunggu Papa supaya pergi kerja lagi dan ninggalin rumah. Sekarang mah enggak akan lagi perasaan “nunggu Papa pergi kerja lagi”.

Dulu, Alma enggak terlalu iri sama orang yang diantar jemput sama papanya, soalnya kan hari Sabtu atau Senin, Papa masih bisa ngantarin Alma sekolah. Tapi sekarang, duh! Maafin Alma, Pa. Alma iri! Tapi Cuma iri sedikit, kok. Enggak sampai dengki.

Alma penasaran, Papa dan Mama hebat banget, sih. Terutama Papa. Meskipun Papa sibuk, pulang sekali dua minggu atau lebih, jarang ada waktu buat Alma, kenapa Alma enggak merasa terlantarkan sedikitpun? Kenapa rasanya seperti tetap dapat perhatian seperti orang lain yang orangtuanya enggak kerja jauh? Apa karena Alma sejak awal memang enggak tahu rasanya, ya?

Papa itu hebat. Pas mental Alma rasanya down sebelum kompetisi besar, suara lembut Papa selalu berhasil menenangkan Alma. Saat Alma sedih karena kalah, Papa juga selalu punya kalimat yang tepat untuk membuat perasaan Alma jadi lebih baik. Meskipun suara Papa bikin Alma makin nangis, tapi setelah menangis rasanya lega. Papa hebat sekali. Papa terhebat buat Alma. Enggak ada orang yang menggantikan Papa.

Banyak banget yang mau Alma bilang, bisa-bisa suratnya enggak selesa-selesai.

Makasih ya Pa, buat “kencan” ke Palembangnya. Makasih ya Pa, buat ensiklopedianya. Makasih ya Pa, buat waktu yang Papa luangin pas Alma lomba ke Yogja. Makasih ya Pa, buat nasihat-nasihat berharganya. Makasih buat semuanya, Pa. Semua. Dari awal Alma lahir sampai sekarang. Untuk pelajaran hidup yang berharga. Untuk semuanya, mau sedih, sakit, bahagia, dan haru.

Meskipun kalau dihitung, waktu kita bersama kalau dijumlahkan mungkin enggak sampai setengah umur Alma, eksistensi Papa tetap selalu ada di dalam hati Alma. Selamanya.

Sudah. Segini saja mungkin, masih banyak yang mau Alma bilang sebenarnya. Tapi untuk sekarang, ini dulu saja.

Maafkan Alma, untuk semua kesalahan Alma selama ini. Meskipun Papa pasti bakal jawab, “Sudah Papa maafkan dari dulu.” Tetap saja Alma mau minta maaf.

Maafin Alma. Makasih ya, Pa. Alma sayang Papa.

If someone ask me, why I love you, I couldn’t really answer it properly. I just can list your lacks. But even though it like that, the feeling of love is still so big. So, doesn’t that mean I love you so much?

Selamat Hari Ayah, Pa.

I love you so much.

Dari Salma, anak kesayangan Papa.

a love letter by SalmaNaru7

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top