Letter by Lynaynan

Teruntuk, Ayahanda Tercinta.

Hai, Ayah, bagaimana harimu di sana? Apa pekerjaan Ayah semakin sulit? Apa Ayah mendapat banyak masalah dan beban pikiran? Atau, Ayah menyenangi pekerjaan Ayah di tempat baru itu? Yang terpenting … apa Ayah selalu mengingatku? Kuharap, Ayah sehat selalu dan panjang umur, agar aku dapat bertemu dengan Ayah lagi.

Boleh dibilang, aku rindu. Mulut ini ingin sekali berkata, "Cepatlah pulang, Ayah! Kita main bersama lagi dan belikan aku barang yang kumau!" Namun yang dirasa hanyalah kelu, kalimat itu terus berputar di kepala tanpa pernah terucap. Gadis Kecil sepertiku hanya bisa meminta dari jauh, lewat via surel yang semakin canggih saja. Ayah menyanggupi, dan aku senantiasa menunggu kurir pos datang ke rumah; membawakan kiriman dari Ayah. Kurang lebih, Ayah tidak pernah marah bila harganya sangat mahal. Ayah tetap membelikannya untukku, dan aku … merasa sangat senang. Namun, suasananya amat berbeda ketika mata kita bertemu.

Barang kali Ayah sudah di depan rumah bersama sepeda motornya, mengucapkan salam dan meminta kakak membukakan gerbang. Entah kenapa, aku selalu sembunyi. Seakan aku tidak pernah ingin bertemu Ayah. Padahal jelas-jelas aku selalu merindukan hadirnya. Ada sesuatu yang aneh dalam dada ketika Ayah pulang; letupan emosi yang mengganjal, sesak yang tak kuasa, rasa senang bercampur amarah yang terpendam. Ternyata memang benar, aku masih belum bisa memaafkan.

Barang kali hari itu kita sekeluarga berkumpul di ruang tengah bersama atmosfer suram; membicarakan keuangan, rencana masa depan, sekolah dan impian, atau apa pun, apakah hanya aku yang berdoa agar tidak ada pertengkaran kecil? Yang kutahu, itu selalu terjadi, dan mendengarnya sangat menyesakkan. Apa hanya aku … yang ingin empat orang ini tertawa bersama-sama? Melupakan segalanya dan menikmati kebersamaan yang ada, bukan membicarakan perkara masa depan yang rumit. Aku benci ketika Ayah dan Ibu saling melemparkan tatapan curiga, lantas beradu mulut untuk saling menjatuhkan. Cukup, itu melelahkan. Kendati demikian, aku selalu enggan pulang ketika Ayah ada di rumah. Berdiam diri di sekolah, sekadar membaca buku atau piket, dan baru akan pulang melihat semburat oranye. Kemudian mengurung diri di kamar, menempelkan kepalaku ke bantal, membiarkan rindu itu tak terbalaskan.

Barang kali esok lusa Ayah sudah kembali berangkat, sosok Ayah yang sedang bersiap-siap kuperhatikan dari teras. Ketika deru motornya terdengar dan perlahan melaju, aku melambai. Lagi-lagi, ada gejolak aneh dalam dada. Aku melangkah mundur, menuju kamarku dan menguncinya. Sesak itu kian menjadi, rasanya dadaku amat sakit. Tetapi, aku tidak menyesal mendiami Ayah seperti tadi. Oh, ya? Lantas mengapa aku menangis? Begitu deras, sengukan tak berdaya, gelap, tisu-tisu, dan kantuk yang mulai menguasai.

Sebenarnya, apa yang kuinginkan dari Ayah? Aku tak tahu, aku hanya merasa sesak ketika melihat Ayah dan aku rindu ketika hadir Ayah tak ada di sini. Aku … takut.

Dan barang kali dengan menuliskan surat ini, apa aku akan merasa lega? Selama ini aku tidak pernah mengerti dan tak ingin mencari tahu perasaan aneh itu. Yang kupikirkan hanya diriku; sosok yang ingin melepas kepura-puraan bahagia ini; menjadi super girl yang energik; senyum yang bukan kepalsuan; juga mengejar sesuatu yang berarti untuk diri sendiri. Sesederhana itu. Aku selalu mencoba menghapus rasa kesepianku, melampiaskannya dan kulakukan apa pun yang kumau. Aku tidak pernah mau mengerti Ayah dan orang-orang di sekelilingku. Egois, memang. Tetapi itu semata-mata karena aku merasa sakit hati.

Menjadi manja dan arogan kepada Ayah di balik telepon, mungkin adalah bentuk berontakku yang ingin diperhatikan. Menjadi dingin dan pemarah di dekat Ayah, mungkin juga adalah bentuk berontakku yang ingin diperhatikan. Tak apa. Asal aku masih bisa mendengar suara Ayah, meminta Ayah membelikan ini dan itu, berbagi pengalaman, atau pulang disertai atmosfer suram itu. Sungguh tak apa. Aku akan kuat mendengar pertengkaran itu, asalkan Ayah tidak pergi ke alam baka secepat ini. Tidak apa-apa, aku gadis yang kuat.

Cepatlah pulang, Ayah.

a love letter by Lynaynan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top