Letter by letsflyhigher_

Ayah ....

Pernah satu waktu kita bercanda. Candaan itu pun bisa dikatakan konyol. Waktu itu aku masih kecil. Ketika kau pulang kerja, aku berlari ke kasur, menutupi seluruh badanku dengan selimut, dan pura-pura tertidur. Kau memarkirkan motormu, tersenyum jahil dan mulai pura-pura menanyakan di mana dan sedang apa aku, kepada mama. Sambil pura-pura mencari, kau masuk ke kamar. Berlari kecil ke arahku lalu berkata, "Ayah pulang. Anak kesayangan ayah jangan pura-pura tidur." Kau juga mendekapku dengan penuh kehangatan.

Waktu pun berlalu, ayah. Putri kecilmu mulai dewasa. Di usiaku yang masih delapan tahun, aku berbuat ulah di sekolahku. Sampai aku dibenci oleh guru dan teman-temanku. Ayah pun marah, tetapi ayah cukup keren untuk tidak membenciku. Dan itulah ulah pertama dari putri kecilmu yang sungguh membuatmu malu. Tak punya muka untuk mengantarku ke sekolah. Maafkan aku, ya, Ayah?

Lalu saat aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, aku berhasil membuatmu bangga. Dengan perolehan nilai Ujian Nasionalku yang berhasil menduduki posisi sepuluh besar di sekolahku. Saat itu, aku ingat betul, setelah kau menerima kertas kelulusanku, kau keluar dari kelas dengan wajah muram. Kemudian kau berkata, "kamu tidak lulus, Nak." Aku sempat bersedih dan tertunduk lesu. Sedetik setelahnya, kau berkata, "Enggak! Sepuluh besar di sekolah ini!" Kita pun lompat kegirangan. Kau mendekapku, lagi, setelah cukup lama aku tak dapat dekapan itu karena ulahku yang sebelumnya.

Ah, sekarang saatnya mengenang masa Sekolah Menengah Atas. Ayah ingat tidak? Aku kembali berbuat ulah. Sama besarnya seperti saat umurku delapan tahun. Ayah kembali malu. Mengomel sepanjang jalan, ketika kita pulang dari sekolahku untuk menyelesaikan masalah ini. Maafkan aku, Ayah.

Masa Sekolah Menengah Atas-ku hampir berakhir! Aku menyatakan, aku ingin melanjutkan kuliah di jurusan komunikasi atau broadcasting. Ayah bilang, "Untuk apa? Itu tidak  akan berguna di masa depan." Maaf Ayah, kali ini aku yang marah padamu. Aku kecewa, impianku dianggap tidak berguna.

Kelulusan tiba, saatnya aku harus benar-benar menentukan apa yang akan kupilih untuk melanjutkan pendidikan. Sekali lagi aku menyatakan, "komunikasi atau broadcasting!" tetapi sekali lagi pula, kau menolak tanpa mendengar penjelasanku terlebih dahulu.

"Pilih saja Pendidikan Bahasa Inggris! Biar jadi guru, PNS, seperti ayah."

Kau begitu keras, meski aku menolak, toh, kau akan lebih keras, 'kan? Aku pasrah. Kuturuti kemauanmu, Ayah. Aku menjalani perkuliahan yang memuakkan hanya demi membuatmu bangga. Kutebus semua kesalahanku yang dulu, dengan menuruti keinginanmu.

Meski semua menyiksa fisik dan batinku.

Iya, aku ingin berteriak, Ayah. Aku ingin memberontak. Namun, yang bisa kulakukan hanyalah diam. Menunggu semua kesialanku berakhir.

Lalu sekali lagi, aku mengecewakanmu. Saat kau tahu aku tidak suka berada di jalan yang kau pilih. Bahkan, kau berkata cukup kasar padaku. "Pergi! Kalau tidak menurut, pergi! Menyesal aku telah membuatmu hadir ke dunia ini."

Namun, maaf, Yah ... untuk kali ini aku pun kecewa. Ke mana ayahku yang dulu? Yang suka main pura-pura tidur bersamaku saat kecil. Yang bangga karena prestasiku, dan yang hanya memikirkan kebahgiaan putri kecilnya.

Aku pergi, melarikan diri. Lari dari beban yang sudah cukup berat kutanggung. Untuk sebentar saja, aku pergi. Tanpa pamit darimu. Kutinggalkan secarik kertas yang kuyakin, isinya akan menyakitkan hatimu. Aku pergi dengan pesan di kertas tersebut. Kukatakan, "Aku ingin mati. Boleh aku bunuh diri, Ayah?"

Aku yakin, kau kalut. Takut putri kecilmu ini benar-benar melakukannya. Terbukti dari berita yang kudengar, kau kalang-kabut mencari keberadaanku. Aku tidak tega. Akhirnya kembali kukabari, di mana keberadaanku. Kau minta maaf. Berjanji untuk tidak lagi memaksakan kehendakmu. Asalkan aku pulang.

Namun, janjimu ternyata hanya jadi isapan jempol semata. Aku kembali. Kau ingkar janji. Paksaan demi paksaan kembali datang padaku.

Baik, Ayah. Putrimu kini pasrah. Mungkin memang paksaanmu yang akan menyelamatkan masa depanku. Kini aku bertekad, untuk memenuhi semua keinginanmu.

Asalkan kau janji, suatu saat kau harus bangga karenaku, ya, Ayah?

Tunggu ... aku akan mengangkat derajatmu, Ayah.

Salam sayang,

Putrimu Yang Belum Bisa Membanggakanmu

a love letter by letsflyhigher_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top