Letter by adityaavery

Dear Papa,

    Ini aku, anakmu yang paling pemalas dan sering membangkang keinginan dan harapanmu. Aku tidak peduli, akan momentum yang terjadi, tentang hari ayah atau semacamnya karena aku pun tak ingat kapan terakhir kita merayakan ulang tahunmu karena memang tidak ingin dirayakan.

    Papa, hubungan seorang anak dengan ayahnya tidak seremeh itu, bukan?

    Papa, aku akan mengagumimu dengan caraku sendiri, tanpa perlu update tentang hari ayah atau semacamnya, toh Papa sendiri juga tidak akan menganggapnya serius. Jadi, status whatsapp-ku hari ini adalah tentang kehilangan dan tentu saja tentang buku Anggap Saja Kucing Liar.

    Papa, dalam surat yang singkat, atau mungkin bisa panjang dengan sendirinya ini. Dan ya, mungkin pulsa sepuluh ribu itu tidak akan cukup membuatku melamar dia, mengadakan resepsi sederhana, dan boom, aku menikahinya. Tidak semudah itu kan? Jadi, tidak masalah menang atau tidak.

    Papa, sosokmu bukan sebuah bayangan. Kau nyata dan berarti meskipun aku tidak pernah sanggup menyatakannya, meski aku jarang sekali memelukmu seperti aku memeluk Mama, yang hampir setiap hari kulakukan. Aku masih ingat saat terakhir kali menangis sejadi-jadinya tahun lalu saat tidak kuat menghadapi tekanan kerja di masa SPT Tahunan, pajak memang menyebalkan, kau setuju juga. Itulah terakhir kali aku memelukmu, di saat Mama takut melihatku, dan adik justru memarahiku. Aku ingin tertawa.

    Papa, aku minta maaf dan terima kasih untuk segalanya. Minta maaf karena aku tidak pernah bisa menjadi yang terbaik, yang kau harapkan. Aku minta maaf, ketika aku memberitahumu bahwa aku tidak menyukai akuntansi juga pajak, hitungan apapun itu bentuknya, tapi tetap saja aku adalah tipe yang tidak suka berpaling, dan harus kusyukuri atas selesainya kuliahku. Aku mencari hikmah dari setiap peristiwa baik juga menyebalkan dalam hidupku. Terima kasih, aku bahagia, saat kau memuji buku Anggap Saja Kucing Liar juga beberapa puisinya, yang akhirnya membuatmu mulai mendukung keinginanku untuk menjadi penulis. Pa, tidak perlu pikirkan seberapa lama, pedih, dan menyebalkannya percaya pada impian di mana tidak ada yang mendukung, bahkan sebaliknya, menyuruh untuk berhenti dan fokus pada apa yang tidak disukai.

    Kita sama Pa, pria dengan beberapa ambisi besar. Papa pernah bercerita, membungkam teman-teman kantor Papa yang meremehkan Papa, meskipun Papa sendiri juga tidak menyukai bidang itu. Itulah Pa, kita perlu dorongan. Dorongan memang tidak melulu dengan perkataan Semangat ya!, Kamu pasti bisa, justru aku mulai muak dengan kata yang mudah diucapkan itu Pa. Dorongan yang kita maksud adalah ketika kita diremehkan, ketika kita tidak didukung, ketika kita ditendang masuk ke dalam selokan dari perkataan orang-orang, dipaksa mengikuti arus, dan ya aku rasa dari hal-hal menjengkelkan itu kita bisa berkembang, kuat dan liar.

    Satu lagi Pa, tentang janji bahwa aku tidak boleh menyakiti perasaan orang yang aku sayang. Aku tidak mengerti. Aku ragu, aku tidak bisa menepatinya. Cemburu, ego, dan lelah, juga kenyataan bahwa dompetku berkata tidak mungkin menikahinya dalam waktu singkat, membuatku ingin menyerah dan berujung membisu. Aku telah melukainya.

    Itu saja Pa, surat aneh ini kubuat. Tetaplah begitu, Pa. Semoga aku bisa menjadi seorang yang sabar dan hebat sepertimu.

Dari anakmu,
Achmad Aditya Avery

Tangerang, 12 Nopember 2018

a love letter by adityaavery

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top