"Yang tak wajib dari rasa adalah luka"

Masa-masa pdkt yang Lila lalui bersama Ossy--sebagaimana dapat diprediksi dari chapter sebelumnya--berlangsung via komunikasi elektronik. Mengingat mereka yang langsung 'LDR' setelah Ossy mengungkapkan perasaannya kepada Lila. Apakah kini artinya mereka sudah resmi 'berpacaran'? Entahlah harus dinamakan apa hubungan mereka ini. Yang pasti itu lebih condong ke masa-masa pendekatan / penjajakan / pengenalan satu sama lain lebih mendalam. Dan itu semua dilakukan melalui teknologi bernama handphone dan media sosial.

Banyak hal-hal baru yang baru mereka ketahui tentang diri masing-masing semenjak 'peristiwa' itu terjadi. Ya, sebelumnya mereka memang sudah mengenal dan berteman selama berbulan-bulan. Namun, apalah artinya durasi yang lama apabila dalam durasi yang singkat saja kau merasa jauh lebih mengenal seseorang itu?

Itulah yang sejujurnya Lila dan Ossy rasakan berkaitan dengan intensitas komunikasi mereka yang meningkat berkali-kali lipat dari sebelum-sebelumnya. Seperti orang baru pacaran saja. Lha?

Hal yang baru bagi Lila, namun nyatanya tidak bagi Ossy.

Lila pernah sekali berpacaran dengan laki-laki yang sebelumnya adalah sahabatnya. Namun komunikasi mereka berdua tetap saja tidak seintens sekarang ini--meskipun ia dan pacar lelakinya tersebut adalah teman satu sekolah. Mungkin ini yang dinamakan "the law of attraction" bagi Lila, sebab ia tak pernah tertarik dengan laki-laki. Tapi setelah ia berpacaran dengan Ossy--oke, sebut saja mereka 'pacaran' biar lebih gampang!--ia merasa, lebih hidup.

Mengenai Ossy sendiri, pada akhirnya Ossy mengakui bahwa Lila bukanlah perempuan pertama yang menjadi 'pacar'-nya--entah mengapa fakta ini tidak membuat Lila terkejut atau semacamnya--tapi Lila adalah satu-satunya perempuan yang berhasil membuat Ossy jatuh cinta berkali-kali. "Sumpah, aku enggak lagi menggombal." katanya di suatu malam pada Lila yang sedang bersandar di tepi ranjang kamarnya. Lila hanya tersipu malu dalam diamnya, sebab perempuan itu telah banyak membuatnya merasa istimewa.

Kemudian, giliran Ossy yang bertanya pada Lila terkait orientasi seksualnya. "Apakah sebelumnya kamu pernah tertarik sama perempuan?"

Detik itu pula, hanya ada satu nama yang tertancap di otak Lila. Satu nama yang bukan saja 'pernah' singgah di hatinya, bahkan 'masih' hingga saat ini.

"Pernah."

"Siapa?"

"..."

Hebatnya Ossy, dia tidak akan pernah bertanya lebih lanjut kepada lawan bicaranya apabila lawan bicaranya itu lama merespon pertanyaan yang telah dia lontarkan entah untuk alasan apa pun. Maka Lila pun bisa merasa lebih lega.

Sebelum melompat ke pembahasan berikutnya, ada baiknya penulis paparkan mengenai fakta dasar tentang Ossy yang belum diketahui pembaca--mengingat penulis yang seringkali alpa untuk memberitahu--antara lain:

- Ossy adalah anak kedua dari tiga bersaudara, yang mana adik dan kakaknya adalah laki-laki yang masing-masing berselisih tiga tahun darinya. Abangnya kuliah di Depok sedang adiknya akan naik ke kelas 3 SMA. Hubungan mereka bertiga terbilang baik, walau tidak bisa disebut akrab karena satu dan lain hal.

- Ossy berasal dan asli dari Jakarta Selatan--yang sering dinyinyirin belakangan ini karena keunikan (keanehan?) gaya tutur bahasa mereka yang dualisme. Untung saja Ossy sudah terkontaminasi budaya Jawa karena berkuliah di sana. Meski tetep orak-arik, sing penting isih Endonesiah! (nah loh)

- Ossy berasal dari keluarga dengan latar belakang menengah ke atas, di mana kedua orang tuanya adalah karyawan swasta yang masih bekerja hingga saat ini. Kesibukan orang tuanya sejak dulu telah berpengaruh pada terbentuknya sikap mandiri Ossy dan abang-adiknya.

Mengenai fakta tentang Ossy yang baru diketahui Lila semenjak mereka 'berpacaran', biarlah sementara menjadi urusan mereka berdua. Akan datang waktunya hal-hal tersebut diketahui oleh pembaca seiring berjalannya cerita, yang tentunya akan terasa aneh dan kaku apabila dipaparkan poin per poin sebagaimana yang penulis lakukan sebelumnya.

Pada suatu malam yang belum begitu larut, Lila menelepon Ossy di antara ibu dan bapaknya yang sedang bercengkerama. Entah mengapa ia ingin sekali mendengarkan suara perempuan itu lebih dini dari biasanya--karena biasanya mereka baru saling menelepon setelah berada di kamar masing-masing beberapa jam sebelum tidur demi keleluasaan berekspresi. Tapi Ossy tidak mengangkat.

Maka, Lila pun mengirimkan chat padanya seperti yang biasa mereka lakukan sepanjang waktu--chat untuk berkabar rutin secara real-time, sedangkan telepon untuk melampiaskan kerinduan yang tertahan.

"Kok nggak angkat teleponku?" chat-nya bertanya.

Hingga sejam berikutnya Lila belum juga menerima balasan.

"Sayang?" Ya, mereka sudah saling menyebut panggilan mainstream itu.

Dan masih belum ada balasan.

Lila khawatir. Namun obrolan absurd orang tuanya telah berhasil mendistraksi pikirannya untuk beberapa saat.

"Tok, kau tau kenapa makin banyak orang menggila belakangan ini, di mana-mana?" tanya ibu Lila kepada suaminya yang sedang duduk di sofa menaikkan salah satu kakinya sambil mengisap rokok.

"Bukannya dari dulu udah banyak orang gila ya?" jawab bapaknya santai kayak di pantai.

"Ih kau jawab dulu lah pertanyaanku. Ini ada ni di data penelitian dari mana lah itu, katanya makin bejibun orang setres di muka bumi."

"Ya sukak-sukak kau lah. Apa pulak kata penelitian itu alasannya?"

"Menurut kau dulu?" Ibu Lila bersikukuh.

Setelah berpikir cukup lama, bapak Lila pun melontarkan jawaban, "Napsu yang makin gede melampaui batas kewajaran, paling?" Tiba-tiba bapaknya itu melirik ke arah Lila yang segera mengerdikkan bahu tanda 'entahlah'.

Kemudian dirinya jadi ikut dilibatkan si ibuk, "Menurut adek gimana?"

"Enggak tau, buk. Menurut ibuk?"

"Kau jawab lah dulu. Udah kuliahnya kau, masih aja nanyak pendapat orang lain." Lah, bukannya ibunya juga seperti itu?!

"Karena ekspektasi dan realita yang enggak sesuai ditambah tekanan hebat dari masyarakat jaman now." ucap Lila berkerut jidat, meminta konfirmasi dari ibunya.

"Hm ya ya ya."

"Cemana jadinya? Jangan ya ya aja kau. Kasih tau jawabannya." ucap bapaknya terang-terangan.

"Apa yang kelen sebutkan itu kurang tepat, tapi gak salah juga sebenarnya. Tapi menurut penelitian, faktor terbesar kegilaan itu, atau istilah medisnya dikenal dengan skizofrenia--ngertinya kan kau perihal itu dek?" tanya ibunya yang langsung dijawab Lila dengan anggukan malas. Entah bagaimana, ibu Lila mulai menjelaskan 'pengetahuan' atas informasinya itu selayaknya dosen di kelas Lila--berapi-api. Membuat Lila dan bapaknya menguap seketika.

"Jadi, skizofrenia itu faktor utamanya adalah warisan genetik dan otak individu itu sendiri. Sementara kejadian-kejadian yang kalian sebutkan tadi, entah itu napsu atau ekspektasi yang melampaui batas atau kemampuan seseorang, itu lebih kepada emosi yang memicu kegilaan itu tadi. Bisa dimengerti?"

Lila dan bapaknya serempak menggelengkan kepala.

Ibunya pun menggelengkan kepala dan menghela nafas, kemudian meneruskan, "Artinya, warisan genetik dan otak tersebut adalah primernya, sedangkan emosi dan pengalaman hidup itu sekundernya. Semua orang bisa aja punya emosi yang labil dan pengalaman hidup pahit yang berpotensi bikin mereka jadi gilak. Tapi kembali lagi ke genetik dan otak mereka itu masing-masing. Apakah rentan atau tidak terhadap potensi tersebut?" dengan bangga ibu Lila memberikan konklusi yang dibalut dengan tanda tanya--biar terkesan misterius. Anak dan suaminya hanya mampu membentuk kata 'O' di bibir masing-masing menanggapi sang ibu.

"Kalo gitu buk, kenapa sekarang orang gila bisa nambah drastis? Padahal tolak ukurnya genetik?"

"..." ibunya jadi bingung.

Lalu Lila tersadar akan hpnya yang bergetar, tanda chat masuk.

Mendengar pertanyaan Lila, bapaknya pun menuntut jawaban dari istrinya.

"Maaf yang, baru cek hp. Aku tadi abis debat sama bang Rico.. mengenai kamu."

Membaca itu Lila segera masuk ke kamarnya, menutup pintu rapat-rapat, dan menelepon Ossy kembali. Obrolan ia bersama kedua orang tuanya, tertinggal di balik pintu. Urusan mereka.

"Halo..." suara seorang perempuan dari seberang pulau menyapa telinga Lila dengan lembut.

"Debat tentang aku? Maksudnya?" tanya Lila cus. Matanya masih terbelalak, penasaran.

"Hahaha segitu keponya kah? Sampai langsung nelfon?" goda Ossy.

"Kamu ngomongin apa memangnya?? Sampe jadi bahan perdebatan gitu." intonasi Lila mulai menurun. Rasa gelisahnya mereda karena pembawaan Ossy yang tenang.

"Aku ceritain kamu ke bang Rico... tentang kita--"

"Hah?! Kamu ngaku ke dia???" Lila kembali gelisah. Kali ini bertambah dua kuadrat.

"Jangan motong dulu, sayang," sebutan itu meluncur bebas hambatan, memunculkan debar di hati Lila yang masih merasa asing, "aku ngakunya ke dia, kamu itu teman baik aku di Jogja.."

Terdengar hela nafas lega Lila di balik telepon.

"Gitu aja panik." tutup Ossy kesal.

"Trus," Lila menyadari sesuatu, "apa yang didebatin jadinya?"

"Hmm..."

"Hmm?"

"Jangan bangga ya?"

"Kenapa?"

"Janji, nggak bakal kegeeran dulu?"

"Iye, janji. Apaan sih?"

"Abis itu kan dia minta ke aku nunjukin foto kamu, yah aku tunjukin aja lah ya. Trus dia liat foto itu lama bangeet, kayak tercengang gitu. Padahal foto yang kutunjukin ke dia itu foto selfi kita berdua. Trus yang paling menjijikkan dari itu semua...masa bang Rico maksain aku buat ngenalin kamu ke dia a.k.a. aku jadi mak comblang-nya dia sama kamu. Ogah banget lah."

Mendengar klimaks dari cerita itu, sontak Lila tergelak terbahak-bahak di atas tempat tidur empuk miliknya. Membuat bapaknya rela berjalan dari sofa tercintanya menuju pintu kamar Lila, sekedar mengetuk dan menanyakan kondisi anak semata wayangnya itu. Lila pun membuka pintu dan melongokan kepalanya sedikit, tersenyum dan mengacungkan jempol kepada bapaknya tanda bahwa ia baik-baik saja. Lalu ia menutup pintu dan kembali ke tempat tidur melanjutkan gelak tawanya tersebut.

"HAHAHAHAHAH"

"Kan ngeselin kan, Lilaaaa!"

"Loh? Aku kan cuma ketawa, bukannya kegeeran."

"Sama aja itu sih." ujar Ossy kzl.

"Yeeee. Trus, trus, apa yang kamu lakuin setelah itu?"

"Tunggu. Sebelum aku jawab, aku mau nanya sesuatu dulu ke kamu." sela Ossy. "Kok tumben tadi nelpon lebih awal?"

"Tadi feeling-ku ngerasa nggak enak aja--"

"Udah?"

"Dan aku nggak sabar denger suara emasmu..." Lila mengakui bahwa suara Ossy--entah dia sedang bicara atau menyanyi--benar-benar, empuk.

Ossy mengikik di seberang sana. Lila tersenyum. Untuk sesaat mereka menikmati lamunan masing-masing.

"Mau dilanjutin yang tadi?" tanya Ossy memecah lamunan.

"Oh iya, gimana tadi sama abangmu? Kamu apain dia supaya bungkam? Hhe.."

"Yaa aku nggak rela lah ya kalo dia naksir kamu--"

"Loh.."

"Jangan dipotong!"

"Oke oke."

"Aku bo'ong aja bilang kalo kamu udah punya pacar."

"..."

"Maksudnya pacar laki-laki..."

"Oke."

"Tapi emang dasar jomlo ngenes, dia jadi melas-melas gitu. Akhirnya kutunjukin aja foto temen-temen kampusku. Bikin nyesel tau nggak!--"

"Haha"

"Eh dianya nggak mau dong. Katanya ogah sama mahasiswi Kehutanan. Dekil lah, kek orang utan lah, malah ngejelek-jelekin jadinya--"

"Wkwk"

"Aku jadi males. Padahal temen-temenku cantik-cantik loh. Kamu tau sendiri kan."

Lila mengangguk--padahal mereka sedang telponan.

"Yaudah, karna males aku masuk ke kamar. Tapi dia masih ngarep banget dicomblangin sih."

"Emang abangmu itu susah banget nyari pacar?"

"Gimana ya. Dia baru putus sebulan yang lalu sama pacarnya. Udah jalan dua tahunan padahal." Ossy menerangkan. "Jadi dia rada kagok aja kalo disuruh inisiatif nyari cewe sendiri... Lagi pula pacarnya yang terakhir itu, aku yang comblangin loh."

"Pantes kalo gitu."

"Makanya dia percaya sama aku soal jodoh-menjodoh kayak gini."

"Kamu itu, ternyata."

"Bentar lagi dia wisuda, kasian juga gaada yang dampingi.."

"Kok jadi dangkal gitu motivasinya?"

"Hehe, bukan gitu maksudnya. Yang jelas kalo dia lulus nanti kan dia bebas nyari kerja ke mana aja, termasuk di Jogja.."

"Lah, nyari kerja mah di Jakarta aja. Jogja kebanyakan orang-orang bikin usaha."

"..."

"Hm.."

"Lil, tiba-tiba aku dapet ide nih."

"Iya?"

"Gimana kalo bang Rico kukenalin ke Talia? Cocok deh kayaknya."

Deg

"Terserah. Tapi jangan harap."

"Maksud kamu?"

"Dia dah balikan sama mantannya."

"Ngawur kamu."

"Maksud kamu?" Lila balik bertanya.

"Wong terakhir dia cerita ke aku, dia udah nggak ada hubungan spesial apa-apa sama mantannya itu. Udah closure, katanya."

"..."

"Kamu sahabatnya masa nggak tau?"

"..."

Pada gilirannya, Ossy membungkam Lila dengan kenyataan (pahit/manis?) yang terdengar tidak nyata tersebut.

Lila akhirnya membalas, "Soalnya bukan aku teman satu kosannya dia." merujuk pada Ossy.

"Tapi kamu sahabatnya. Kamu kan bisa nanya dia."

"Hpnya rusak."

"Dia udah ganti hp yang cuman bisa nelpon dan sms kok. Hubungin aja."

Entah mengapa Lila jadi pusing sendiri. Selama ini hanya termakan oleh pikirannya tentang hubungan Talia dan mantannya, Egi.

Tapi apa benar Talia sudah move on?

Dan mengapa pula Lila merasa bahagia dan sedih di waktu yang bersamaan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top