Timing is Crucial

Flashback

Ponsel Lila berdering. Namun ia enggan mengangkatnya. Tampak nama Ossy di layar.

Memasuki liburan semester, ia akan pulang ke Medan. Pulang pertamanya sebagai anak kuliahan.

Seperti yang diketahui, pada liburan semester pertama ia tidak pulang. Maka di kesempatan sekarang ini, ia tidak akan menyia-nyiakan waktu libur panjangnya. Ia sungguh merindukan kedua orang tuanya.

Tiket sudah dipesan online dan bapaknya sudah mentransfer biayanya jauh hari. Lusa pulang. Ia sudah tidak sabar.

Ponselnya berdering kembali. Lila pun mengangkatnya. Hanya untuk men-silent-kan, lalu menutup ponselnya di atas meja. Ia tidak sedang mood berbicara pada siapa pun, mau lewat telepon atau pun secara langsung. Tangannya masih sibuk memasukkan beberapa helai pakaian dan sedikit perlengkapan-barang ke dalam baby-carrier miliknya.

Masih ada satu ujian terakhir yang harus ia hadapi esok siang. Dan ia merasa tidak perlu belajar--sebagaimana ujian-ujian lain yang telah ia lewati tanpa belajar. Memasrahkan semua nilainya pada Tuhan yang Maha Esa dan kapasitas otaknya yang biasa-biasa saja.

Bukannya pesimis. Hanya saja Lila kira untuk apa belajar ulang apabila selama ini ia sudah rajin datang ke kelas mengikuti pelajaran. Walau memang ia tak jarang mengantuk atau bahkan tertidur pulas di kelas. Yang jelas ia sudah mencoba. Sekian.

Selesai packing, Lila terduduk. Kedua sikunya ditopang di atas paha dan telapak tangannya menempel ke pipi. Merenungi kisah cintanya yang kandas sebelum sempat dimulai. Ia berdelusi. Talia tak pernah menganggapnya lebih dari teman. Tentu saja perempuan itu akan kembali ke mantan pacar tersayangnya.

Beberapa minggu lalu, waktu ia di Bogor menemani Talia kurang lebih sepekan di rumahnya, Lila tidak membayangkan hidupnya akan jadi sepayah sekarang. Saat itu ia hanya memikirkan kondisi Talia yang sebatang kara. Sampai-sampai ia masa bodoh dengan urusan kuliahnya yang membuatnya kehilangan kesempatan mengikuti ujian pada 3 matakuliah sekaligus.

Walau dari lubuk hatinya yang terdalam, ia tahu bukan itu penyebab deritanya. Tak bisa mengikuti ujian hanya pelengkap penderitaan saja. Sedang derita yang sesungguhnya adalah menyaksikan Talia kembali ke pelukan sang mantan. Dan tega membiarkan dirinya pulang sendirian. Padahal malam sebelumnya Lila baru saja memberikannya kado. Kado istimewa yang sudah ia persiapkan jauh sebelum Talia berulang tahun. Kado yang terlalu dini direncanakan dan cukup telat ia serahkan. Menurunkan kadar keistimewaannya.

Apalagi melihat reaksi Talia yang hanya membalasnya dengan ucapan terima kasih, lalu segera menaruh pemberiannya itu ke atas meja dan lanjut membicarakan tentang sang mantan yang ingin merajut jalinan pertemanan setelah sekian lama berpisah.

"Kita udah pacaran selama hampir 3 tahun. Mengakhiri hubungan dengan enggak baik adalah hal yang sangat tidak mengenakkan yang pernah gue alami, bahkan sampai sekarang. Dan tiba-tiba, dia menawarkan pertemanan yang nggak pernah gue sangka bakal mau dia lakukan."

Bilang aja mau ngajak balikan! Rasa sayang entah posesifnya terhadap Talia membuat Lila merasakan kepedihan luar biasa. Ia mendendam.

Dengan tidak gamblang—namun tidak juga diam-diam—ia menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap Talia. Ia bilang, "Mantan ngajak temanan itu nggak mungkin Tal. Dia cuman ngerasa simpatik sama keadaan kamu sekarang. Apalagi dulu kamu udah nyakitin hati dia. Mungkin dia kasian Tal."

Begitulah pernyataan Lila yang tidak ia maksudkan menyinggung perempuan itu. Justru sebaliknya, ia tidak ingin perempuan itu disakiti. Ia begitu ingin menjaganya. Tapi entahlah, mungkin Talia menangkap lain.

Beberapa jam terlibat dialog sengit, malam itu Lila mengajak Talia agar pulang keesokan harinya. Dan menceritakan pada Talia bahwa ia sebenarnya masih ingin di sini bersamanya, hanya saja jatah bolos kuliahnya sudah habis. Dan untuk itu ia meminta agar mereka pulang saja ke Jogja bersama.

Tapi Talia hanya menjawab singkat, yang pada intinya menyuruh Lila untuk pulang sendiri saja. Karena dia masih punya banyak urusan yang harus segera diselesaikan.

Maka dari itu, dengan berat hati Lila terpaksa pulang lebih dulu. Menyimpan kemarahan yang enggan ia sembunyikan.

"Heartless!" ujarnya keras.

Mereka tidur tanpa banyak berbincang sebagaimana malam-malam sebelumnya, di kota hujan itu.

Siangnya Lila berangkat ke stasiun tanpa minta diantar. Perempuan itu bahkan tidak menawarkan diri untuk mengantarnya.

Akhirnya mereka berpisah dengan perasaan yang tidak puas terhadap satu sama lain.

Kembali di kamar kosannya. Lila mengambil ponselnya dari atas meja. Masih menapak lantai, ia membaringkan badannya di atas kasur yang—sudah—berdipan. Kedua tangannya mengangkat ponsel berjarak dua jengkal dari mukanya. Empat panggilan tidak terjawab dari Ossy. Namun tidak ada satu chat pun darinya yang menandakan hal penting. Dahi Lila berkerut heran.

Kemudian ia letakkan ponsel itu di samping kepalanya, menautkan jemari-jemari di kedua tangannya di atas perut. Ia pejamkan mata.

Tak sampai semenit, sudah ada seseorang yang mengetuk pintunya. Menggagalkan usaha Lila untuk istirahat menenangkan jiwa dan raga.

"Sy?"

Ossy membalas tatapan heran Lila dengan senyuman. Senyuman yang terasa dipaksakan.

"Eh masuk, masuk Sy." ujar Lila setengah sadar. "Maaf berantakan, baru selesai packing hhe." ia jadi merasa bersalah terhadap Ossy. Ditambah dengan empat panggilannya yang ia abaikan.

"Oh lagi packing toh. Pantesan telpon dariku nggak diangkat."

Respon Lila yang datar dan tidak menunjukkan kekagetan semacam 'o kamu nelpon aku ya?' menyadarkan Ossy kalau Lila memang telah mengabaikannya.

"Tadi gimana ujiannya?" tanya Ossy memantik percakapan.

Sambil menidurkan kopernya di bawah tempat tidur, Lila menjawab, "Nggak ada ujian sih, jadinya lancar-lancar aja."

"...oh."

"Harusnya ada, tapi karena kebanyakan bolos jadinya nggak ada." Menaikkan salah satu sudut bibirnya, Lila menyatakan itu dengan tawa miris.

Ossy hanya bisa tersenyum simpatik.

"Talia ada di kosan, Sy?" Sial, ia malah menanyakan tentang Talia. Perempuan itu racun!

"Nggak tau. Aku tadi dari kampus, bukan dari kosan." balas Ossy singkat.

"Ngomong-ngomong, kamu ada apa ke kosanku?" tanya Lila kemudian, seakan baru tersadar akan kedatangan Ossy semenjak tadi. "Sampek miskol berkali-kali segala?"

Entah mengapa, pertanyaan yang semestinya wajar-wajar saja itu terdengar kasar di telinga Ossy. Ia merasakan kehadirannya tidak begitu diharapkan. Tapi, bukan Ossy namanya kalau tidak bisa menyingkirkan perasaan buruk sangka.

"Mau tau keadaan kamu lah!" ucapnya ceria. "Emang nggak boleh?"

"Baru kemaren ketemu."

"Kemaren ramean, kurang puas."

Entah bagaimana Lila harus merespon. Saat ini ia antara lelah dan terkesima dengan pernyataan itu.

"Lagian kamu lusa udah pulang ke Medan, kan?"

Lila mengangguk.

"Ya anggap aja ini pertemuan terakhir kita sebelum libur panjang."

"Hush, kok ngomong gitu??" mata Lila melotot.

Ossy mengakak, senang akhirnya Lila terlihat sedikit peduli padanya. "Yakan emang benaar. Nanti baru ketemu lagi setelah sebulanan."

"Tapi omonganmu bikin aku khawatir."

Sekali lagi, Ossy senang karena Lila kembali seperti biasa. Lila yang peduli.

"Kita jalan-jalan yuk, Lil?"

Lila menghela nafas, "Ke mana?" Sejujurnya ia malas ke mana-mana, tapi, demi menebus rasa bersalahnya ke Ossy... Ya sudah lah.

"Alun-alun? Mumpung masih ada sekaten."

Lila melihat jam dinding, baru pukul 7 lewat sedikit. Malam masih panjang. Oke lah. Lagian ia takkan belajar untuk ujian esok siang.

Mereka berangkat naik Grab, mengingat keduanya yang tidak memiliki kendaraan pribadi.

Memasuki jalan Mataram, mereka sudah dihadapkan pada kemacetan. Baru malam Jumat sudah ramai sekali.

Setengah jam berlalu sejak mereka berangkat dari kos Lila, akhirnya mereka tiba di perempatan Panembahan Senopati—mereka tidak lewat jalan Malioboro saking macetnya. Berbelok kanan, mereka bertemu tantangan lainnya. Di sepanjang jalan menuju alun-alun, kemacetan semakin parah. Ternyata hari ini adalah hari terakhir sekatenan—berdasarkan informasi mas-mas driver Grab-nya.

Ossy dan Lila saling melirik. Bagai memahami isi hati masing-masing, Ossy meminta kepada sang driver agar diturunkan di situ saja—dekat Taman Pintar—melihat kemacetan jalan yang luar biasa. Sang driver tampak lega.

Mereka pun mulai berjalan menuju alun-alun.

Selama di jalan, Ossy tak henti-hentinya menggenggam tangan Lila. Barangkali takut Lila kesasar di tengah kerumunan. Yang dipegang hanya bisa pasrah diperlakukan bak anak kecil semacam itu.

"Rame banget, Sy." ujar Lila shocked. "Mana laper lagi." ia jadi bawel.

"Iya, kita makan di sana aja," tunjuk Ossy ke arah entah mana. "Ada sate enak di sana." katanya tanpa menoleh pada Lila. Fokus mencari jalan menembus keramaian.

Setengah jalan, tiba-tiba Lila menarik tangan Ossy—yang masih menggenggamnya—untuk berhenti. "Capee." ucapnya kelelahan.

Melihat peluh di dahi Lila, Ossy mengusapnya dengan telapak tangan. Lalu mencubit pipi perempuan itu pelan. "Gitu aja capek. Kamu kurang olahraga nih. Kapan-kapan ayo kita naik gunung bareng. Udah lama..."

Mendapat perlakuan seperti itu, Lila berasa menjadi anak kecil dan nenek-nenek di waktu yang bersamaan. Yang sama-sama tampak tidak berdaya di hadapan seorang dewasa yang kuat.

Akhirnya mereka tiba di warung sate favorit Ossy. "Oh ini." ucap Lila menyadari sesuatu.

"Pasti tau lah." balas Ossy.

Dulu, Talia dan dirinya pernah makan di sini untuk yang pertama kali. Tapi Lila tidak mood untuk menceritakan itu pada Ossy.

Menunggu hampir setengah jam, sate mereka pun datang. Akibat ramai, mereka harus sabar mengantre.

Sambil makan, mereka mengobrol santai. Membicarakan tentang apa yang akan Lila lakukan di rumah nantinya. Menanyakan hal-hal menarik apa yang terdapat di Medan.

Obrolan didominasi oleh Ossy yang ceriwis, walaupun di sini dia hanya berperan sebagai penanya. Sedangkan Lila sungguh pasif. Menjawab singkat seadanya, seperti ini:

"Paling reuni kecil-kecilan sama temen SMA. Sisanya baca buku."

"Kulinernya paling, apalagi masakan bapakku. Sisanya aku lebih nyaman di Jogja."

Begitu lah.

Saat Ossy tanyakan kenapa memilih pulang padahal lebih nyaman di Jogja, Lila hanya menjawab, "Kangen orang tua dan binatang-binatang di rumah."

Benar-benar percakapan yang pasif dan satu arah.

Usai makan, Ossy menatap mata Lila yang memandang keluar. Entah apa yang sedang dipikirkan mereka berdua.

"Rame banget.."

"Iya."

"Kalau kita balik aja kamu keberatan nggak, Sy?"

"Eh, kenapa?" Ossy tampak linglung karena dari tadi dia asyik bermain di kedalaman mata Lila yang melanglang buana. Bahkan saat perempuan itu bicara, matanya masih setia memandang keluar. Ke kerumunan manusia-manusia beserta cahaya kerlap-kerlip yang menerangi mereka.

"Pulang aja yuk. Kalau kita masih mau naik kora-kora, ombak banyu, atau bianglala, kayaknya masih bakal ngantre panjang dan lama.."

"Yakin? Kita udah jauh-jauh loh ke sini." tanya Ossy pada Lila yang masih belum mengalihkan pandangannya dari jalanan di luar warung sate.

Hanya anggukan yang Lila berikan. Bukan ia yang mengajak ke sini. Walau sebenarnya ia penasaran dengan kora-kora, sih. Tapi tempat seramai ini hanya menguras energinya.

"Kalau aku pengen nonton Tong Setan, kamu mau nggak?"

Akhirnya Lila menatap Ossy. "Kalau aku nungguin di sini aja, gimana? Kamu nonton aja, aku tungguin."

Jawaban yang sangat mengesalkan dari seorang Lila. Ossy memilih mengalah. Malah, ia tersenyum. Walau dirinya ingin sekali marah.

Setelah membayar makanan mereka pun berjalan menuju nol kilometer Yogyakarta. Untuk menunggu angkutan yang akan membawa mereka pulang ke kosan.

Lagi-lagi selama di jalan, Ossy tak bosan-bosannya menggenggam tangan Lila. Lila sesekali menggelitik telapak tangan Ossy dengan jari telunjuknya selama mereka bergenggaman, membuat perempuan mungil itu terkekeh karena geli. Orang-orang di sekitar mereka menatap aneh. Namun mereka berdua acuh tak acuh.

Grab akhirnya datang menjemput mereka. Lila melihat arloji yang sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. Tidak main-main saja sudah pukul segini, apalagi mereka tadi main. Bisa-bisa pulang teramat larut. Di dalam mobil mereka tidak banyak bicara.

Hampir sampai, Lila membuka suara. "Kita ke kos kamu dulu ya, Sy."

"Kamu dong. Kan duluanan lewat kosan kamu."

"Kamu aja. Pak, nanti ada Dunkin lurus aja ya Pak, abis itu masuk gang sebelah kanan." Lila memerintah sang bapak..

Ossy menatap Lila kesal, "Langsung kanan Pak, sesuai aplikasi! Kalau enggak saya kasih rating buruk." ancamnya. Lila mati kutu.

Si bapak tak bisa mengabulkan permintaan Lila. Maka dia menurunkan Lila terlebih dulu di kosannya.

Tak dinyana-nyana, disusul oleh Ossy yang lekas mengucapkan 'Makasih' pada si bapak supir sebelum menutup pintu mobilnya.

Lila hanya melongo dan berkata, "Kok?"

"Ada sesuatu yang belum aku sampaikan ke kamu."

Sesampainya di dalam kamar, Lila menggantungkan tas selempangnya ke kaitan yang menempel pada pintu. Ia membiarkan pintu kamarnya terbuka.

"Ada apa, Sy?" tanya Lila, masih tidak mengerti hal se-urgent apa yang ingin diutarakan temannya itu, padahal semenjak Maghrib tadi mereka bersama selalu.

Ossy belum memberikan jawaban. Dia terlihat cemas di duduknya. Untuk itu Lila menanyakan kembali, "Kamu sakit?" Lila melandaskan punggung tangannya ke dahi Ossy, merasakan panas yang tidak wajar.

Ossy hanya menatapnya diam, cenderung cemberut.

"Bentar. Aku kayaknya masih punya panadol." Lila mengobrak-abrik laci mejanya.

"Untung aja tadi ga main macam-macam. Kalo enggak bisa tambah sakit." gumam Lila pelan masih mencari-cari panadol di tempat lain. Ia lupa menaruhnya di mana.

"IYA AKU SAKIT!"

Lila tersentak dengan Ossy yang tiba-tiba membentaknya."

"SAKIT KARNA KAMU, TOLOL!"

Beberapa detik terdiam, Lila lalu mengambil gelas dan mengisinya dengan air dari dispenser. Ia duduk di samping Ossy di atas tempat tidur dan menyerahkan air hangat kepadanya. Ossy menerimanya dan langsung meneguk habis minumannya. Lila hanya menggosok-gosokkan telapak tangannya pada punggung perempuan itu yang dibalut dengan kemeja satin.

Melihat emosi Ossy yang kembali stabil, Lila berkata, "Maaf.." entah untuk apa. Mungkin atas keegoisannya yang telah menolak permintaan Ossy di alun-alun tadi. Atau karena telah mengabaikan panggilan teleponnya siang hingga sore tadi. Atau karena ia yang bersikap cuek selama mereka bersama tadi. Lila akhirnya menyadari itu.

Hanya saja, segala sikap yang ia tunjukkan seharian ini terhadap Ossy bukanlah masalah Ossy, melainkan masalah mentalnya sendiri. "Maaf." katanya lagi.

"Emang kamu tau kenapa aku sakit?"

"Karna aku?"

"Iya, kenapa?" Bego!

"Karena aku udah jahat sama kamu..?"

"Karna kamu udah bikin aku jatuh cinta sama perempuan, Lila!"

"Dan perempuan itu kamu!"

** * **

Begitu lah awal mula Ossy mencurahkan perasaannya kepada Lila. Seseorang yang—sebagaimana kita ketahui—sama seperti dirinya; mencintai perempuan. Sama tapi tak sama. Yang satu berani sedang yang lainnya hanya lah sosok pengecut yang butuh banyak belajar. Dan Ossy—sepertinya—akan menjadi guru yang potensial yang akan mengajarkan Lila banyak hal—pada chapter-chapter (tidak penting) berikutnya.

Jadi, apakah para pembaca yang budiman siap dengan chapter-chapter—yang barangkali tidak akan ada habisnya dengan jangka waktu yang tidak ditentukan—itu di masa yang akan datang, atau justru sudah muak dan eneg?

Biarlah waktu dan kolom komentar yang akan menjawabnya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top