The Girl with the Eyes
Sudahkah Anda mencoblos hari ini?
Atau golput?
Atau masih di bawah umur?
Di saat teman-teman saya pergi ke mall untuk memanfaatkan diskon besar-besaran karena sudah memilih
Saya malah mendem di kosan untuk mengetik cerita ini
Rasa-rasanya
ingin segera mengakhiri...
** * **
Berkat lingkaran pergaulannya yang luas, Joni akhirnya bisa mendapatkan mobil untuk mereka pakai dalam rangka road trip dengan cuma-cuma. Instead of renting. Tentunya ini akan memangkas biaya perjalanan mereka secara signifikan.
Adalah mobil Brio berkapasitas lima orang milik om Yohannes, seorang nature photographer sepuh dan handal asli wong Jogja, yang merupakan teman sekaligus guru Joni dalam hal fotografi. Om Yohan sudah menganggap Joni sebagai tangan kanannya sendiri dan merelakan mobilnya tersebut untuk dipinjamkan, karena dia dan keluarganya telah berkomitmen untuk menghabiskan waktu bersama di rumah mereka yang asri dengan berkebun santai sepanjang akhir pekan. Benar-benar family goals dan lelaki yang baik hati.
Ada satu hal yang menjadi perhatian utama mereka dalam road trip yang--direncanakan--jauh kali ini, yakni terkait sopir. Di antara mereka berlima, hanya Joni dan Talia lah yang fasih berkendara, Lila dan Ossy sama sekali tidak berpengalaman, sedangkan Atik belum terlalu lancar. Jadilah Joni dan Talia yang diandalkan dan diharapkan mampu menopang satu sama lain demi kelancaran perjalanan ini. Mereka harus bisa membagi waktu.
Sempat terlintas untuk mengajak teman laki-laki Joni yang mampu menyetir, agar ada personil--tepatnya sopir--tambahan dan Joni tidak merasa begitu 'sendirian'. Tapi yang benar saja! Mereka tidak ingin berdesak-desakan dan tidak mau ada orang 'asing' menyelinap masuk dalam kelompok kecil ini. Lagipula, Joni juga sudah biasa menjadi satu-satunya lelaki di antara mereka berempat sehingga, untuk apa lagi 'ditemani'?
Mereka sepakat untuk berangkat pada Kamis malam, tepatnya pukul 21.00 WIB. Mengapa malam, sebenarnya tidak ada alasan khusus. Barangkali mereka hanyalah sekumpulan anak-anak pada umumnya, yang lebih 'hidup' dan 'bernyawa' ketika malam datang hingga pagi menjelang. Jadi, untuk apa ditunda sampai esok hari.
Mulanya Joni menjemput Atik di kosannya, yang jaraknya paling dekat dari tempatnya, berlanjut ke kosan Lila. Sesampainya di sana, mereka berdua harus dihadapkan dengan fakta menyebalkan; menunggu Lila agak lama karena bocah itu mendapat panggilan alam tiba-tiba. Terakhir, mereka pun ke kosan Ossy dan Talia.
Setelah barang-barang bawaan mereka--yang hanya terdiri dari tiga daypack dan dua travel bag--diletakkan dengan rapi di bagasi, mereka pun akhirnya benar-benar berangkat pada pukul setengah sepuluh malam. And their journey begins there...
--
Formasi duduk pertama ini diisi oleh Joni sebagai sopir dan Atik di sebelahnya. Di belakang mereka ada Ossy di tengah dan sisanya di masing-masing tepi. Bukan posisi terbaik, sebenarnya, mengingat kecanggungan yang terjadi antara Ossy dan Talia.
Dan anehnya, tidak ada yang menyadari hal itu kecuali mereka berdua.
Pada dasarnya perjalanan ini tidak mempunyai tujuan lokasi yang spesifik. Tapi tetap saja mereka harus menentukan arah. Dan arah yang dipilih oleh suara terbanyak adalah timur.
Hampir setengah jam berjalan, mereka masih terjebak kemacetan di perbatasan Sleman dan Yogyakarta. Semua penumpang pun melemparkan kekesalan mereka pada Joni yang enggan melewati ring road dan malah memilih jalur kota yang jelas-jelas padat lalu lintas. Dengan tengil Joni membela diri dan berkata,
"Inget ye, kita ini lagi liburan, bukan kejar target. Jadi lu-lu pada selow wae napa. Oke?"
Teman-temannya pun hanya bisa mengelus dada pada tantangan pertama mereka yang belum seberapa ini. Entah perkara apa lagi yang akan mereka temui nantinya.
Beberapa lama kemudian mereka mampir ke minimarket untuk membeli camilan. Sebab untuk saat ini mereka belum terlalu lapar untuk makan besar. Mereka semua sudah makan malam.
Joni dan Talia keluar terlebih dahulu. Mereka duduk di kursi yang tersedia di depan minimarket. Udara dingin membuat keduanya enggan menyia-nyiakan waktu untuk menikmati sebatang rokok. Apalagi ketiga teman mereka tampaknya masih betah di dalam memilah-milih makanan dan minuman siap saji. Mereka pun terlibat percakapan. Kali ini Talia yang memulai,
"Jarang-jarang kita lagi berdua doang ya?" ucap Talia dengan senyumnya yang tipis.
"Eh, lu nyadar ternyata?" Joni menyeringai seraya membuang asap dari mulutnya.
Untuk sepersekian detik Talia mengangkat alis kirinya, lalu dia pun tertawa.
"Emang gue secuek itu ya?" tanya Talia tanpa memandang Joni. Matanya lurus ke depan menatap jalanan yang gelap.
"Secuek itu. Sampe gue sering bingung mau nyamperin lu kek gimana kalo kita lagi di dalem kelas."
Talia tertarik dan menoleh, "Maksud lo?"
Mengisap panjang rokoknya, Joni mulai menjelaskan pada Talia mengenai apa yang pernah dia ceritakan pada Lila sebelumnya--terkait dirinya. Mengenai bagaimana Talia begitu sulit didekati secara personal, kecuali bila mereka sedang berkumpul bersama-sama.
Belum sempat Talia merespon 'uneg-uneg' Joni terkait dirinya, tiba-tiba saja Lila, Atik, dan Ossy sudah berdiri di hadapan mereka dan langsung memotong pembicaraan.
"Yok?" ajak Atik. "Malah nyebat, bikin lama aja ah."
"Oi! Ngaca lu mak lampir." balas Joni menatap kantong plastik yang ditenteng Atik. "Yang bikin lama itu elu dengan jajanan lu yang berlebihan. Makin semok dah."
Sekonyong-konyong ucapan Joni tersebut langsung mendapat serangan balik dari Atik. Ujung-ujungnya mereka beradu mulut yang secara tak langsung justru memperlama perjalanan. Sama saja.
Tanpa mempedulikan yang lain, Lila bertolak pinggang memperhatikan Talia yang tertawa dan terbatuk melihat kedua sahabat konyol mereka bertengkar. Talia melirik Lila sejenak lalu kembali fokus pada Atik dan Joni. Dia semakin terkekeh tatkala Atik menjambak kencang rambut Joni, kesal, karena lelaki itu asyik mengejeknya dengan memperagakan cara berjalan Atik yang lemot.
Di sisi lain, Ossy ikut tertawa. Tapi dia juga tidak dapat menampik perhatian Lila terhadap Talia dari pandangannya. Dia tahu kalau Lila tidak pernah suka melihat Talia merokok, betapapun sering perempuan itu melakukannya. Tapi dia juga tahu kalau Lila tidak pernah lagi melarang Talia secara terang-terangan, melalui kata-kata. Sebaliknya, dia tahu bahwa Lila menunjukkan ketidaksukaannya, perhatiannya itu melalui bahasa tubuh.
Dan di situlah Ossy menangkap bagaimana Talia merespon bahasa tubuh itu dengan sebuah senyuman tipis dan tatapan intim yang tak mampu dia terjemah. Seolah-olah hanya mereka berdua yang mampu memahami gerak-gerik satu sama lain.
Adakah keputusannya untuk bergabung dalam perjalanan ini merupakan hal yang tepat?
--
Jika sebelumnya Joni memutar playlist miliknya melalui perangkat bluetooth dari ponselnya yang tersambung dengan bluetooth mobil, maka lain halnya dengan Talia.
Dua jam berlalu dan tibalah giliran Talia yang menyetir. Sebelum meneruskan perjalanan, perempuan itu mengambil sesuatu dari dalam travel bag-nya di belakang mobil. Sebuah CD kompilasi dengan cover yang tak biasa, seperti bikinan sendiri. Mixtape.
Dia memasukkan side A CD itu ke dalam player dan terputarlah sebuah lagu. Track #1: "Soon Finland" - The Girl with the Hair.
Akustik gitar mengalun dengan indah, diikuti suara perempuan yang bernyanyi tak kalah indah. Perjalanan terasa semakin menenangkan. Therapeutic. Sesekali Talia turut melafalkan lirik lagu tersebut dengan pelan.
"No pills no therapy
Won't you take my hand and travel with me
Or maybe stay inside and watch TV
Or maybe cook the fish we caught from the sea
Let's walk along the coast
Let me show you who loves you most
Or maybe just stay and lay on our bed
Talk of things that drives us mad
Or maybe go to Finland to visit your mom and dad
Travel a lot til our friends wonder where we at
I believe I can heal you and you can heal me too
I believe I can heal you and you can heal me too
I'll hold you through the night
Won't even let you go when the sun's shining bright
Let's go outside and hop on our boat
Or just drive along the road
...
I will always find you wherever you will go
Love you so hard till I fall on the ground you know
Oh I miss you my dear
And I hope to see you here
Oh I love you my dear
Soon I hope to have you nears"
--
Selagi lagu itu masih terputar, tiba-tiba Talia mendengar sesuatu. Melalui spionnya dia melihat ketiga temannya di belakang. Sepertinya salah satu dari mereka habis menggumam. Barangkali Lila, sebab dia melihat bagaimana bocah itu menggerakkan bibirnya begitu saja.
Walau duduk di dekat jendela, Lila bersandar pada bahu Ossy. Begitu pun Ossy yang tampak betah menyondongkan badannya ke Lila. Sedangkan Joni di sudut lainnya terkesan tersisihkan dari mereka berdua.
"Geblek, ya?" seketika Atik berbicara di sebelahnya. Dari awal perempuan itu memang belum beristirahat, sama seperti dirinya.
"Siapa?" balas Talia melirik Atik sekilas, mencoba fokus pada jalanan.
"Kita semua. Jalan-jalan tapi nggak ada tujuan." jelas Atik sambil menggelengkan kepala.
Talia menyunggingkan senyum. "Mungkin nggak semua hal harus ada tujuan, iya nggak sih?"
"Menurut gue harus lah. Emang lo mau jadi domba yang tersesat?"
"Sesekali tersesat ada faedahnya juga, sebenarnya. Bukannya kita baru bisa tiba di jalan yang benar kalau kita nyasar-nyasar dulu ya? Ibaratnya, jadi bahan pembelajaran lah."
"Jadi menurut lo, sengaja menyesatkan diri beramai-ramai kek gini, masuk kategori pembelajaran juga kah?"
Selanjutnya Track #2: "Elegi" - Figura Renata menjadi latar perbincangan mereka yang cukup serius.
"Haha, entahlah." jawab Talia enteng. Seketika dia jadi teringat satu hal.
"Tik, gue mau nanya sesuatu, tapi lo jangan tersinggung ya."
"Ah elah, lo kayak baru kenal gue aja." balas Atik percaya diri. Kapan dia pernah tersinggung?
"Lo seriusan nggak nangis habis putus dari Radika?"
"Yeah, I didn't cry." jawabnya santai.
"Tapi sedih?"
"Hmm..mungkin." Atik tergelak kecil, menyadari keanehannya.
"Nggak punya perasaan ya gue?"
Talia menggeleng, "Nggak juga," kemudian dia tertawa pelan, seolah habis membayangkan sesuatu yang lucu,
"setidaknya lo bukan bucin, Tik."
Atik menoleh menatap Talia cukup lama, "Iya.." lalu menambahkan,
"untung gue bukan elo ya, Tal."
"Sialan lo!" ucap Talia mendorong pelan bahu Atik.
Seketika tawa mereka pun pecah, menyadari kebobrokan yang terdapat di dalam diri masing-masing.
Atik yang selama ini selalu bercanda namun ternyata memiliki sisi lain yang emotionless. Dan Talia dengan segala ketidakacuhannya dalam banyak hal, tapi faktanya rapuh di dalam.
Mendengar kebisingan kecil tersebut, Ossy terbangun. Dia segera meregangkan badannya dengan gerak yang terbatas, karena dia berusaha untuk tidak membangunkan Lila yang masih betah terpejam di sampingnya. Secara reflek Ossy menyentuh lembut pipi Lila, tanpa menyadari kalau Atik dan Talia telah terdiam memperhatikan tindakannya melalui kaca spion.
"Heyooo sweet girllll, having a sweet dream?" Atik menoleh ke belakang dan bertanya dengan nada ceria. Talia diam namun mencoba mendengarkan mereka.
"Yep. Dan suara lo bikin gue kebangun dari mimpi indah itu." balas Ossy pura-pura kesal.
"Ah, iyakahhh? Mimpiin siapa sih, Oci???" respon Atik sok imut. Dari dulu dia senang menggoda Ossy dengan kenyinyirannya. Karena mereka sama-sama nyinyir.
"Tikk, sekali lagi lu manggil gue Oci, gue sleding lu." jawab Ossy ketus. Siapa saja mengerti kalau perempuan mungil itu sedang berpura-pura marah. Dia dan Atik sering melakukan kekonyolan semacam ini.
"Eh, serius tapi. Lo mimpiin siapa sih, Sy?" tanya Atik penasaran. Kali ini kepalanya tidak berhenti menoleh ke arah Ossy, malah badannya telah berputar ke belakang.
Tidak ada respon, Atik makin menjadi, "Mimpi lagi ML lo ya?" Terus menggoda Ossy hingga perempuan itu akhirnya pun bersuara.
Track #3: "Bathroom" - Grrrl Gang
"Iya, sirik kan lo?"
"Iiiih jorok! Sirik ngopo toh?" Kali ini ekspresi Atik benar-benar mengesalkan. Membuat Talia mau tak mau terkekeh geli melihatnya. Padahal sedari tadi dia mencoba menahan diri untuk tidak terlibat obrolan mereka, mengingat Ossy yang seakan menganggapnya tak ada.
Mendengar itu, Ossy melirik Talia. Lewat spion mata mereka bertautan. Kemudian Ossy kembali mengalihkan matanya ke Atik dan berujar, "Yakin lo mau denger?" memancing rasa penasaran Atik semakin dalam.
Setelah menoleh ke arah Talia yang meresponnya dengan berkerut jidat, Atik pun mengangguk pada Ossy. Saat ini Lila dan Joni masih terlelap di kursi mereka masing-masing, tak mengetahui apapun. "Mumpung si Joni sama Lila masih tidur nih." ujar Atik sok berbisik. "Lo tau sendiri kan, cuman gue sama Talia yang nggak bocor di geng ini." lanjutnya makin asal.
Menambah kesan dramatis, Ossy sengaja memberi jeda yang agak lama sebelum melanjutkan pernyataannya. Seketika Talia jadi ikut penasaran.
"Gue..."
Atik memajukan badannya ke arah Ossy.
"..abis mimpi making love sama mantan lo." ujar Ossy sambil tersenyum lebar pada Atik.
Tiba-tiba suasana berubah menjadi hening. Hanya suara vokalis Grrrl Gang yang mengisi kekosongan itu.
Kalau boleh jujur, Talia agak shocked dan kecewa mendengar jawaban Ossy barusan. Meskipun dia yakin jika perempuan itu sedang bercanda. Tapi tetap saja, tidak lucu. Talia mencoba menangkap ekspresi Atik di sampingnya.
Datar. Dia mencoba tersenyum simpatik padanya.
"SHIT, gue salah ngomong ya? Tik, I'm sorry..." Seketika Ossy tersadar dan langsung meminta maaf sambil mengguncang bahu Atik.
Tak disangka-sangka, gelak tawa Atik pecah saat itu pula. Suara menggelegarnya mau tak mau membangkitkan kesadaran Joni dan Lila.
Joni langsung melemparkan protesnya pada Atik dengan berujar keras, "Ahhh ribut lu, mak lampir!"
Sedangkan Lila hanya terdiam menautkan kedua alisnya, memandang Atik, Ossy, dan Talia secara bergantian seakan menanyakan "ada apa?"
Tapi tak satupun yang merespon, karena mereka memang tak tahu harus merespon apa.
Seiring bertambah tidak jelasnya tawa Atik yang lumayan memekakkan telinga, tawa itu pun pada gilirannya berganti menjadi tangisan. Entah mengapa Talia sudah bisa menebak hal ini.
Ya, pada akhirnya Atik pun merengek meronta-ronta. Membuat semua orang yang berada di dalam mobil itu melongo. Talia lekas melambatkan laju kendaraan dan membanting setir untuk berhenti di pinggir jalan.
--
Usai menghibur Atik yang baru saja mengalami ketidakstabilan emosi, mereka akhirnya mampu membuatnya tertidur lelap. Kini Joni telah duduk di sebelah Talia yang kekeuh menyetir, setelah dia menawarkan diri untuk bergantian.
Ossy dan Lila masih setia duduk di belakang tanpa sekalipun berpindah posisi--semenjak mereka memulai perjalanan ini lima jam yang lalu.
Mereka mulai kelaparan, karena sepanjang jalan hanya mengonsumsi camilan. Tapi mengingat Atik yang baru saja beristirahat, mereka pun mengurungkan niat untuk makan besar. Sekali lagi, mereka singgah di minimarket untuk menambah pasokan camilan atau sekadar menumpang buang air.
Cukup lama mereka beristirahat di tempat tersebut, membiarkan Atik tidur sendiri di dalam mobil dengan AC yang menyala. Mengobrol menghilangkan penat atau hanya diam menikmati angin malam.
"Hey, lagi bengong aja." ujar Talia pada Ossy yang telah berada di luar lebih dulu. Perempuan itu mengambil tempat duduk di sebelahnya di lantai tangga.
Ossy hanya membalasnya dengan senyuman tipis yang terkesan agak dipaksakan.
Karena tidak ada kelanjutan lagi dan mereka kembali dalam suasana yang canggung, Talia pun menghela nafas sebelum mengutarakan apa yang tersendat di pikirannya beberapa hari belakangan.
"Keberatan kalo gue ngeroko dekat elo?"
Ossy mempersilahkan dengan gerakan tangan.
Talia segera mengeluarkan sebatang rokok, menyalakan api, dan menghirupnya tenang, sambil mencoba mengolah kalimat yang tepat untuk dia lontarkan. Aneh juga dia sampai terganggu seperti ini.
Dia menoleh ke belakang, mendapati Joni dan Lila sedang jongkok berkutat di etalase minimarket sambil bermain suit batu-gunting-kertas. Entah apa yang sedang mereka pertaruhkan, Talia hanya bisa tertawa.
Ossy ikut menoleh dan tertawa pula. "Konyol." ucapnya, pertama kali kepada Talia sepanjang malam ini.
Merasa menemukan momen yang pas, Talia pun berkata,
"Sy, boleh gue nanya lo sesuatu? Tapi tolong banget jawab jujur."
"Apa?" jawab Ossy sedikit tersentak. Apakah pertanyaan Talia tersebut akan sesuai dengan apa yang dia cemaskan?
"Kita udah temenan cukup lama, ya bisa dibilang satu semester lebih. Malah semenjak itu, kita satu kosan pula. Gue tahu kita bisa jadi teman kayak gini tuh barangkali karena ada peran si Lila ya,"
Talia memberi jeda pada ucapannya untuk mengisap batang rokoknya. Sambil mengembuskan asapnya, dia melanjutkan, "makanya pertemanan kita datar-datar aja. Dengan begitu ada positifnya juga sih. Kita jadi jarang konflik..."
"Tapi akhir-akhir ini, kok gue merasa ada yang aneh dengan sikap elo ya, Sy? Apa gue pernah ngucapin atau ngelakuin sesuatu yang menyinggung perasaan elo? Karena jujur aja, gue nggak ngerti salah gue di mana. Awalnya gue kira, lo yang lagi ada masalah. Tapi lama kelamaan gue perhatiin, kayaknya elo cuma jaga jarak sama gue deh."
Ossy tak bisa berkata apa-apa. Dirinya telah tertangkap basah. Ternyata Talia cukup sensitif untuk merasakan perubahan sikapnya. Dan Ossy masih belum siap dengan jawaban yang akan dia berikan.
"Jadi...?"
Mana bisa Ossy jujur.
Mana bisa perempuan itu mengungkapkan keresahannya, kecemburuannya, pada Talia. Mana bisa dia meminta Talia untuk menjauh dari kekasihnya!
Ossy benar-benar tersedot ke dalam arus pusar ketakutannya sendiri. Dan parahnya, dia tak tahu harus menceritakan itu kepada siapa!
Tanpa dia kehendaki, matanya tiba-tiba terasa basah. Dadanya sesak, seolah-olah emosinya ingin lekas-lekas diluapkan saja.
Lalu, Lila dan Joni keluar bersamaan, menyaksikan kecanggungan yang berlangsung di antara Ossy dan Talia.
Dengan spontan Ossy beranjak dari duduknya, menuju ke dalam toilet minimarket. Lila pun langsung menyusulnya.
Talia melotot tak percaya dan mengangkat kedua tangannya pada Joni, menandakan dia juga sama bingungnya dengan Joni.
Tapi nyatanya, Joni paham betul dengan apa yang tengah terjadi. Dapat dia simpulkan bahwa drama percintaan Lila baru saja dimulai--atau berakhir?
Entah Talia menyadari itu atau tidak, dirinya telah menjadi salah satu pemeran utama di dalam drama tersebut.
Tanpa diminta, Talia mencoba menerangkan apa yang baru saja terjadi. Setelah itu dia bertanya pada Joni,
"Salah gue apa, sih?"
Dan Joni hanyalah saksi bisu yang cuma bisa menahan semua yang dia ketahui di dalam kerongkongannya, seolah-olah dia tak tahu apa-apa.
"Don't ask me. Ask her." Hanya itu yang bisa Joni katakan.
"Siapa?"
Joni menggeleng dan menarik satu sudut bibirnya.
Ketika Talia hendak berdiri, Joni menahannya dan bertanya, "Mau ke mana?"
"Ke mana lagi?" jawab Talia ingin menyusul mereka ke toilet.
"Duduk bentar temenin gue. Biarin mereka kelarin urusan mereka dulu."
Talia menatap Joni heran. Namun dia akhirnya menuruti kemauan lelaki itu.
--
Sementara itu di luar toilet, Lila masih menunggu Ossy yang belum keluar.
"Sayang?" tanyanya pelan, "Kamu kenapa? Kamu baik-baik aja kan?" Lila mengetuk pintu itu beberapa kali.
Beberapa menit kemudian Ossy pun keluar. Wajahnya basah karena dia baru saja mencuci muka. Walau begitu dia tak dapat menghilangkan raut sedih dari matanya.
"Kenapa kamu mau nerima aku?" tiba-tiba saja Ossy bertanya.
"Hah?" tanya Lila memastikan ia tidak salah dengar.
"Kenapa waktu aku nembak kamu dulu, kamu mau nerima aku?"
"..."
"...karna aku...sayang kamu..."
"BOHONG!"
Lila segera menutup mulut Ossy dan mengatakan, "Nanti ada yang dengar." Ia menariknya masuk ke dalam kamar mandi lalu mengunci pintunya dengan pengait yang tersedia.
"Maksud kamu apa?"
Tak sanggup lagi berkata-kata, Ossy hanya mengeluarkan lipatan kertas dari dalam sakunya. Dilemparkannya ke wajah Lila.
Lila memungut kertas tersebut dan mulai membacanya.
"I-i-i-ni a-aku yang nulis."
Entah bagaimana ekspresi Lila tampak kaget luar biasa. Baru ia teringat kalau puisi itu ia tulis di kamar Ossy kala perempuan itu pergi, dan ia buang di tempat sampahnya karena merasa coretannya itu, sampah. Ia tak menduga kalau Ossy akan memungutnya begitu saja dari dalam tempat sampah. Betapa tolol dirinya.
"Untuk siapa? tanya Ossy bergetar.
Lila diam seribu bahasa. Ia menatap mata Ossy dengan rasa bersalah.
"SIAPA?"
"Kamu." jawabnya bohong. Jelas sekali ia berbohong, dan anehnya, ia pun tahu kalau Ossy tahu dirinya berbohong.Jadi untuk apa?
Mendapat kebohongan itu, Ossy hanya mampu menggelengkan kepala. Dia menatap tajam mata Lila untuk menemukan secuil kejujuran di dalamnya. Tak ada.
Dia pun mengambil ponselnya dari dalam tas selempang kecil yang selalu dia kenakan, dan mencari-cari sesuatu di dalamnya. Beberapa detik kemudian, dia memperlihatkan sebuah gambar pada Lila; foto ia dan Talia tengah berpelukan di sebuah café--yang mana terekam jelas bahwa Talia juga mengecup sudut bibirnya.
Lila merasakan seluruh organ tubuhnya melemah. Sebuah pedang tak kasat mata seakan-akan sedang menghunusnya, tepat di jantungnya. Ia langsung berlutut tidak berdaya.
Ternyata itulah yang membuat Ossy berubah belakangan ini. Kekasihnya telah mengetahui fakta yang sebenarnya.
Walau begitu Lila masih ingin memberikan sebuah klarifikasi,
"A-apa yang k-kamu lihat di café itu, b-b-belum menjelaskan secara keseluruhan." bibirnya masih bergetar. Lila tak mengerti mengapa kini ia yang menangis.
Ossy turut berlutut memposisikan dirinya sejajar dengan Lila. Dia pun tersenyum dan berucap, "Kamu playing victim sekarang?" Walau begitu Ossy tidak bisa menyembunyikan air matanya.
"Bukan, Ossy!" Lila langsung memeluknya. Bukan untuk mencari alasan, ia hanya ingin mencoba menguatkan dirinya sendiri lewat pelukan itu. Namun Ossy kelewat emosi dan serta merta mendorong badannya ke tembok kamar mandi.
Rasa sakit akibat dorongan itu tidak seberapa dengan rasa sakit di hatinya. Dan ia pun tahu kalau Ossy juga mengalami kesakitan yang lebih darinya.
"Aku tahu aku salah selama ini, karena udah bohongin kamu. Dan aku sungguh-sungguh minta maaf..." ucap Lila lemah.
"Kamu baru bisa bilang begitu karna kamu udah ketahuan kan?!!" Ossy membentak Lila dengan kasar. Tak bisa dipungkiri, dia tak ingin mengonfrontasi Lila di tempat sempit ini. Namun keadaan telah memaksanya.
"Dengerin aku kali ini aja." Lila memberi penekanan pada setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya yang bergetar.
Lalu tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar mandi. Mereka pun terdiam.
"Mbak, mbak? Halo?"
Suara yang asing. Barangkali karyawan minimarket yang mendengar kericuhan di dalam kamar mandi.
"Sebentar, mas!" balas Lila kencang.
Mungkin di sini dan sekarang inilah kesempatan Lila merangkumkan segalanya dalam kalimat yang jelas, singkat, dan padat. Ia berbicara dengan suara yang pelan dan tertahan, karena karyawan tersebut tak henti-hentinya memanggil mereka untuk keluar.
"Aku udah naksir sama Talia dari dulu, dari pertama kali aku masuk kuliah dan satu kelas dengannya. Dan makin lama perasaan itu makin membesar, karena aku selalu mencoba untuk berteman sama dia, hingga kami jadi dekat. Aku selalu berusaha untuk ada buat dia karena aku sayang dia, tapi sialnya, rasa sayangku itu makin hari makin melebihi rasa sayang seorang teman kepada temannya."
"Dan Talia, masih aja berhubungan dengan laki-laki yang aku ga pernah rela tiap lihat dia sama mereka. Sebaik apapun lelaki itu. Tapi aku ga pernah berani buat ngungkapin perasaan aku yang sesungguhnya sama dia, karena kamu tahu, aku takut kehilangan dia."
"Tapi tiba-tiba kamu hadir dalam hidupku. Dan dengan tiba-tiba pula, kamu jujur dengan perasaan kamu ke aku. Jujur, aku ga pernah nyangka kalau di dunia ini masih ada orang yang sayang sama aku, apalagi orang itu berjenis kelamin sama dengan aku. Dan itu kamu, Ossy. Aku ga tahu apa yang kamu lihat dari aku yang ga jelas ini. Tapi yang jelas, kamu udah bikin aku merasa berharga dan ga sia-sia."
"Setelah kamu melihat apa yang kamu lihat di café waktu itu, kamu berhak buat benci sama aku dan menyimpulkan apapun. Tapi yang perlu kamu tahu, aku berusaha buat ga menyia-nyiakan kamu. Karna aku juga tahu betapa sakitnya disia-siakan! Ga bisakah kamu menyadari itu? Kamu berarti di hidup aku, Ossy."
"Dan mengenai Talia, yang dia lakukan ke aku di café itu, itu murni di luar ekspektasiku. Aku yakin 100% dia straight, dan aku mohon ke kamu untuk tidak membawa dia ke dalam permasalahan kita. Dia ga tahu apa-apa dengan perasaan aku."
"Tolong, Ossy..."
--
Akhirnya mereka keluar dari kamar mandi setelah meminta maaf dan menjelaskan panjang lebar kepada karyawan minimarket bahwa salah satu dari mereka telah muntah-muntah akibat perjalanan jauh.
Sesampainya di luar, pandangan Joni dan Talia menyapu langkah Lila dan Ossy yang berjalan berjauhan dengan mata yang sama-sama merah menuju mobil. Kedua perempuan itu tak menghiraukan keberadaan Joni dan Talia sedikit pun.
Tanpa menanyakan lebih jauh terkait hal itu, Talia mematikan ujung rokoknya ke asbak dan mengeluhkan sakit kepala. Joni pun turut mengakhiri aktivitas merokoknya, berdiri, dan menarik tangan Talia ke arahnya.
"Giliran gue yang nyetir ya?"
--
Track #4: Dialog Dini Hari - Lagu Cinta (feat. Kartika Jahja)
"Menari di atas rumput gemulai
Jemari cinta membelai
Bersemu merah bersinar di wajah
Roman berkembang indah
Mengukir cerita di rindang pohon tua
Atas nama cinta
Mata menggoda semayam di hati
Keinginan tanpa henti
Hasrat abadi kisah kasih
Cinta menerima memberi
Lagu cinta nan merdu
Kumbang merayu
Bunga menyambut menyatu
Nada merajut rindu
Direntan waktu
Terpisah jauh merindu
Bersiaplah meluka terluka
Laya sajam rejang hujan
Kuasa cinta mencengkram sanubari
Di ujung langit tetap bersemi
..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top