Tersesat

Semenjak kejadian terakhir, mereka tidak pernah berkomunikasi lagi. Sudah hampir 3 minggu. Dan Lila mulai merindu.

Tapi di sisi lain, ia tak ingin mengenyampingkan egonya untuk meminta maaf. Karena ia merasa tidak bersalah. Kesalahan apa yang sudah ia lakukan? Yang sudah ia ucapkan?

Yang ia tahu ia hanya berkata jujur.

Tapi, apakah kejujurannya itu terlalu ikut campur? Dan terlebih, apakah kejujurannya itu terlalu menyakitkan untuk Talia dengar? Sehingga reaksinya sampai seperti itu?

Dan satu lagi, mengapa Lila tiba-tiba bertanya tentang hal itu? Apakah pernyataan Talia bahwa ia tidak penting di kehidupannya membuat Lila sakit hati sehingga ia ikut mengucapkan kata-kata yang pada gilirannya juga menghentakkan perempuan itu? Apakah saat itu Lila sedang 'balas dendam'? Walaupun ia memang sangat ingin mengucapkannya. Dan akhirnya ia ucapkan pula ketika ia terpelatuk.

Triggered.

Pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu dijawabnya ini menyiksanya pelan-pelan.

Lila dilema.

** * **

Dengan banyaknya waktu luang yang ia miliki, Lila menghabiskannya dengan rajin berolahraga. Terutama jogging setiap sore dan berenang kadang-kadang. Untuk yang terakhir ia akui ia masih kacau dan asal-asalan. Asal nyemplung dan masih bisa ngapung. Yang penting ia selamat dan tetap bernafas.

Jangan sampai pola hidup sehat yang ingin ia terapkan belakangan ini malah berakhir tragis dengan dirinya yang tenggelam. Jangan sampai. Ia masih muda dan masih ingin merasakan cinta.

Well, ia sudah merasa cukup untuk mencinta. Tapi untuk dicinta? Au ah, gelap.

Sekarang dirinya sedang duduk di bangku panjang yang berada di pinggir kolam. Menyaksikan pemuda-pemudi yang sibuk menggerakkan otot lengan dan kaki mereka dengan berbagai gaya di dalam air. Ada yang serius berenang dan ada pula yang main-main. Lila mengamati mereka satu per satu.

Ia sendiri sudah cukup puas berenang selama setengah jam, kalau dirinya memang layak disebut berenang. At least ia belajar, meski otodidak. Kemudian entah dipicu oleh apa, tiba-tiba terlintas di pikirannya bahwa Talia akan menjadi pelatih renang yang tepat untuknya. Dengan kesabaran dan (sepertinya) kemampuan yang dimiliki perempuan itu. Ia jadi terkenang akan kejadian di pantai dimana ia melihat Talia berenang dengan riangnya—tentunya sebelum peristiwa mencekam yang menyusul dadakan itu datang mengubah segalanya.

Tapi tidak juga sih. Mana tahan ia melihatnya dengan hanya berbalutkan pakaian renang, apalagi khusus untuk mengajarkannya berenang dengan baik dan benar. Bisa-bisa ia...

Apa?

Keringetan?

Di dalam air? Perfect match!

Hmm, ide yang bagus. Kemudian Lila tersenyum seperti orang blo'on.

Dibuangnya pikiran mesum itu tatkala ia teringat bahwa hal itu tidak mungkin akan terjadi padanya. Mengingat Talia yang sudah muak dan (barangkali) jijik melihat wajahnya. Hubungan mereka telah kembali ke titik nol. Bahkan bisa dibilang minus. Jadi untuk apa ia terus berharap?

Ketika Lila hendak berjalan menuju kamar mandi yang berada tak jauh darinya, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia pun menoleh ke asal suara itu.

"Lila bukan?" Tanya orang itu memastikan.

Lila melihat orang itu dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Ragu-ragu ia menjawab setelah menelan ludah, "Iya, siapa ya?"

Raut orang itu yang tadinya tersenyum kini berubah datar. "Udah lupa sama aku? Belum juga dua bulan." Melekat nada kecewa pada suaranya.

Lila mencoba mengingat-ingat, tapi tak berhasil. Ia hanya berucap "Maaf" dengan pasrah sambil menyimpulkan senyum tidak enak.

"Puncak Klenteng Songo." Orang itu menghela nafas, lalu sudut kanan bibirnya tertarik.

"Aaah!" Lila tersenyum sumringah, terlintas sebuah nama di benaknya. "Ossy?" Lila menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

Orang yang bernama Ossy itu segera mengangguk dan membalas salam dari Lila dengan kencang. Senyum kembali merekah di wajah Ossy, seorang perempuan berperawakan sedang dengan ekspresi yang enak dipandang.

Setelah itu mereka mengobrol sebentar, sekadar berbasa-basi mengenang kembali secuil kisah di puncak hampir dua bulan yang lalu. Karena posisi keduanya masih berdiri dan Lila sedang memegang tasnya, Ossy pun dengan sadar diri segera meminta Lila untuk melanjutkan apa yang sebelumnya hendak ia kerjakan; mandi. Sedang Ossy sendiri masih akan meneruskan kegiatan berenangnya bersama dengan teman-temannya yang masih berada di dalam kolam.

Usai mandi dan berbenah diri, Lila menyapukan pandangannya ke arah kolam sambil tetap berjalan. Ia mendapati sosok Ossy yang berdiri di tengah kolam sedang melihat ke arahnya. Lila tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya sambil berteriak, "Aku duluan ya!" Ossy balas melambaikan tangan dan berujar "Hati-hati" kepadanya. Teman-teman perempuan Ossy yang awalnya terlihat asyik bermain air, kini ikut menatap ke arah Lila penasaran, membuat Lila tersenyum kikuk kepada mereka. Setelah itu, entah apa yang mereka bicarakan, Lila tak tahu. Yang ia dengarkan dari kepergiannya itu hanyalah sisa suara tawa yang membuatnya merasa sedang menjadi bahan guyonan. Ia jadi insecure.

Ossy adalah seseorang yang baru Lila kenal di salah satu puncak Gunung Merbabu, yaitu puncak Klenteng Songo. Perkenalan mereka sebenarnya tidak begitu berkesan bagi Lila pribadi, karena saat itu ia berkenalan dengan banyak orang yang satu rombongan dengan Ossy.

Beruntung tadi ia mampu mengingat nama perempuan itu dengan tepat. Kalau tidak ia pasti sudah sangat merasa bersalah. Karena perempuan itu saja masih mampu mengingat namanya dengan baik. Tapi satu hal yang paling Lila ingat dan membuatnya akhirnya mampu mengingat perempuan itu ialah, karena Ossy adalah wanita satu-satunya di dalam rombongannya yang berjumlah belasan orang. Dan saat itu Lila berdecak kagum dibuatnya.

Namun kekagumannya itu berlangsung singkat saja, mengingat Lila dan teman-temannya saat itu—setelah saling berkenalan dengan Ossy dan rombongannya—justru menghabiskan banyak waktu dengan kegiatan yang sebenarnya tak begitu berfaedah; foto-foto dan video recording yang betul-betul menyita banyak size kartu memori. Sedangkan Ossy dan rombongannya sudah jauh lebih dulu melanjutkan perjalanan mereka setelah sesi foto seadanya—tak seperti ia dan teman-temannya yang norak. Walau ia punya alasan tersendiri untuk yang terakhir ini.

** * **

Di luar rintik hujan mulai turun dan waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Lila sedang bersantai di kamar kosnya dan berencana untuk menonton film di laptop. Film yang dipilihnya adalah film Italia yang berjudul The Best of Youth dengan durasi yang amat lama. Enam jam. Sangat cukup untuk mengisi Sabtu malamnya yang biasa-biasa saja.

Tipikal film drama dengan plot datar yang Lila gemari. Tak ada snack yang menemani karena ia bukan tipe pengunyah sejati. Cukup dengan kopi hitam dan air putih, Lila tidak akan beranjak dari kasurnya. Kecuali bila ia harus pipis dan poop.

Memasuki jam keempat film tersebut, tanpa sadar Lila tidak kuat menahan rasa kantuknya. Ia terlelap dengan posisi laptop tergeletak di atas pahanya dan masih menayangkan adegan dari film tersebut.

Tak sampai satu jam ia tidur terlentang, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Menyaru dengan suara hujan yang agak deras. Meski begitu Lila segera terbangun. Ia melepaskan headset dari kedua telinganya, lalu memindahkan laptop ke samping kanannya. Lila berdiri dan menyampirkan geseran kunci ke kanan, lalu memegang handel pintu.

Betapa kagetnya ia ketika melihat Talia berdiri di balik pintunya. Lila tak mampu berkata apa-apa. Untuk sejenak ia terdiam menatap perempuan itu.

"Gue b-boleh ke dalam?" Talia meminta izin dengan agak sungkan, dan suaranya terdengar lesu.

"Oya masuk Tal" Lila membalasnya sambil mundur membukakan pintu. Matanya terpaku ke lantai, bingung harus berbuat apa.

Saat Talia melangkahkan kakinya ke dalam, Lila mencoba menormalkan getaran di dadanya. Ia ragu untuk menutup pintu, jadi dibukanya sedikit. Lila memutar badannya dengan perlahan, tidak begitu siap dengan apa yang akan dihadapinya.

Tanpa berkata-kata Talia masuk ke kamar mandi. Entah untuk melakukan apa. Lila menunggu sambil terduduk, kebingungan di kamarnya sendiri. Di daerah kekuasaannya sendiri.

Kemudian Talia keluar dari kamar mandi dan tampak memperhatikan seluruh isi kamar Lila yang berserakan. Dengan pakaian, buku, dan tas yang bertebaran di mana-mana, tidak pada tempatnya. Anak itu sungguh berantakan dan tanpa persiapan.

"G-gue bingung mau duduk di mana." Ucap Talia tiba-tiba. Sudah dua kali perempuan itu terbata-bata dalam berbicara, dan ini sangat jarang terjadi.

"Duduk di sini" Jawab Lila malu menunjuk ke arah kasurnya yang langsung menempel di lantai. "Ga punya kursi."

"Oh. Oke."

Mereka pun duduk berderetan, namun Lila memposisikan badannya berhadapan dengan Talia, meski Lila tidak mau intens menatap matanya. Ia bahkan tidak ingin bertanya lebih jauh. Begitu pula Talia. Keheningan lebih mendominasi. Walau tidak hening-hening amat, karena suara hujan sedikit meramaikan.

Lila baru menyadari sesuatu, ketika tangannya tak sengaja menyentuh pakaian Talia di bagian tangan. Lembab. Ia tak menyadarinya sebelumnya karena Talia mengenakan pakaian berwarna gelap.Tanpa bicara Lila berjalan ke arah lemarinya, mengambil kaos dan celana pendek miliknya yang terlipat. Diulurkannya kepada Talia yang menerimanya dengan seutas senyuman. Melihat itu Lila merasakan kepuasan yang teramat sangat, meski mukanya konsisten menampilkan tampang datar. Ia sungguh merindukan senyuman itu, bahkan ketika ia sudah mendapatkannya.

Bukannya ganti pakaian di kamar mandi, perempuan itu dengan cueknya berganti di depan Lila. Lila segera saja menutup pintu kamarnya yang tadi ia buka sedikit, dan kemudian pura-pura sibuk dengan laptopnya sambil menahan rasa cemasnya. Bisa-bisanya.

Tanpa melihat lawan bicaranya, Lila memberanikan diri bertanya, "Daleman lo ga basah?"

Talia menggeleng pelan. Dan Lila jadi menyesal sudah bertanya. Kemudian Talia menyibakkan rambutnya yang sedari tadi dicepol dan mengambil tempat di samping Lila.

"Gue baru putus sama Robi." Talia berkata sambil menyisir rambutnya dengan tangan.

...

"Gue udah putus, Lil." Talia mengulangi ucapannya dengan pelan di dekat telinga Lila. Pelan dan tegas.

Pelan namun berhasil membuat Lila merinding untuk beberapa alasan yang tak jelas.

"Siapa yang mutusin?" Pentingkah?

"Gue." Jawab Talia singkat-padat, lalu dia membaringkan tubuhnya di kasur, membuat Lila sontak bergeser.

"Gimana perasaan lo sekarang?" Lila memandang Talia yang menatap kosong langit-langit kamar.

Talia sedang menangkup belakang kepalanya dengan telapak tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menyelinap ke balik bajunya, menyentuh perutnya sendiri. Perempuan itu menjawab datar, "Lega."

Lila memberanikan diri untuk ikut berbaring di samping Talia, meski jantungnya semakin lancang dan tak bisa diajak berkompromi. Biarlah bila jantungnya itu berdetak kencang, pikirnya kemudian. Paling perempuan itu juga tidak sadar. Jadi, untuk apa lagi ia berusaha menutupinya. Itu hanya akan menimbulkan kecanggungan yang tak masuk akal.

Sekarang keduanya sama-sama menatap langit kamar. Membisu. Tak ada gerakan sedikit pun. Keduanya terdiam dan tenggelam dengan pikiran masing-masing.

Sampai kemudian Lila merasakan sebuah kehangatan menjalari seluruh tubuhnya secara mendadak. Talia memeluknya dengan erat dan berucap lembut di dekat telinganya, "Terimakasih dan maaf untuk selama ini." Embusan nafas Talia membuat Lila terbuai dengan kehangatan yang semakin dalam. Dari hangat tubuhnya menjadi panas.

Lila ingin balas mengucapkan sesuatu, namun ia tak sanggup mengeluarkan suara. Tanpa ia kehendaki, air mata jatuh dari pelupuk matanya. Talia masih belum melepaskan pelukannya, dan Lila menikmati sensasi sesak di dalam tubuhnya.

"Gue sayang sama lo.." Kali ini Lila berbicara dengan sangat pelan, bahkan ia ragu bisa mendengar ucapannya sendiri. Sepertinya Talia juga.

Tapi ternyata perempuan itu malah bertanya kembali, seakan-akan memastikan, "Apa?"

"Aku sayang kamu, Talia." Meluncurlah kalimat terkutuk itu dari bibir Lila dengan cepat dan tepat. Tepat sasaran. Entah bagaimana Lila tak mampu menahan gejolak di dadanya. Tiba-tiba saja tangisnya pecah di balik punggung perempuan itu. Kata-kata itu menyeruak begitu saja tanpa dapat ia saring sama sekali. Akibat lelah memendam cinta yang sudah tak lagi terkendali, tangisnya pun semakin menjadi-jadi.

Walau Talia kaget dengan reaksi Lila yang tak pernah dia sangka-sangka, perempuan itu mencoba menenangkan Lila dengan mengelus-elus punggungnya berkali-kali, bak menenangkan bayi yang sedang menangis hebat. Walau dia mulai merasa ganjil dengan situasi ini. Jadi dia bertanya, "Lila, lo kenapa?"

Sesudah menarik kepalanya dari pelukan, Lila menatap dalam mata Talia penuh arti dan cukup lama. Ia mengangkat tangan kirinya untuk menyentuh lembut pipi perempuan itu, lalu jempolnya ia arahkan ke sudut bibir merah jambu itu. Lalu ia memejamkan matanya yang masih meneteskan air dan memajukan kepalanya ke wajah Talia tanpa keraguan. Dan akhirnya ia mengecup bibir perempuan itu penuh cinta dan kasih, yang mampu seseorang berikan untuk seseorang lainnya tanpa bisa berekspektasi lebih.

Setan telah merasuki dirinya..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top