Terpelatuk
Di bookstore tempatnya bekerja Lila diomelin habis-habisan oleh bosnya, setelah Senin sebelumnya tidak memberitahukan alasannya absen kerja. Lila hanya bisa pasrah, karena waktu itu ia betul-betul lupa. Hp saja tak ia pedulikan.
Di kampus tadi ia juga malas-malasan belajar. Nyaris semua penjelasan tiap dosen tak ia dengarkan—walau matanya terus menatap. Menatap hampa. Masih mending masuk kuping kanan keluar kuping kiri, masih ada yang lewat. Lah ini? Masuk kuping kanan keluar kuping kanan; membal. Rasanya tak ada gairah untuk kuliah.
Teman-temannya juga tidak begitu ia hiraukan.
Atik tak henti-hentinya memastikan keadaannya. Bertanya, apakah kelesuannya itu terkait dengan sakitnya yang kemaren atau tidak. Joni pun sama saja, walau tak semengesalkan Atik yang selalu cangkeman tiap ada kesempatan. Joni lebih santai meski raut khawatir tetap ia perlihatkan.
Ya, mereka perhatian. Hanya saja Lila sedang tidak enak pikiran.
Ingat ya, tidak enak pikiran. Bukan tidak enak badan.
Bahkan, jadwal padat yang dulunya Lila bangga-banggakan itu mulai ia benci hingga ke ulu hati. Ia tak punya waktu yang cukup untuk mengistirahatkan pikirannya yang terlampau error.
Bukan karena ia gunakan terus-menerus. Justru sebaliknya; jarang ia pakai.
Kalaupun terpakai, apalagi kalau tidak diperuntukkan hanya untuk dia seorang.
Ah, hidupnya terlalu membosankan.
Akhirnya jeda beberapa menit yang ia miliki, ia maksimalkan untuk menenangkan pikiran. Bukan di kelas atau perpus tempat ia biasa nangkal, melainkan di toilet kampus.
Ya, toilet kampus, saudara-saudara.
Untuk sampai ke sini, ia sampai berkali-kali bersilat lidah dengan Atik yang dua kali mengajaknya untuk makan dan satu kali memaksanya ke medical center. Karena temannya itu mengira Lila masih kecapekan dan butuh pengobatan. Padahal yang dibutuhkan hanyalah kasih sayang.
Namun mengingat ia yang kurang berbakat dalam hal persilatan lidah, Lila tak mampu memenangkan perseteruan sengit dengan Atik. Makanya Lila terpaksa mengeluarkan jurus terakhirnya, yaitu jurus menghilang—seribu bayangan. Ia kabur—dalam arti yang sebenarnya—melarikan diri dari Atik setelah ia dibungkamnya dengan paksaan dan tekanan.
Untung saja temannya itu rada semok alias buntal. Kalau tidak pasti dia akan menyusulnya dengan gampang dan ujung-ujungnya tahu dimana Lila menyembunyikan badan.
Dan jadinya, tadi, di toilet yang berbeda-bedalah ia menghabiskan tiap jeda kuliahnya—yang durasinya tak seberapa itu untuk sekadar duduk di closet dan diam mengosongkan pikiran. Istilah bekennya, yoga.
Ya, yoga ala Lila.
Kosong. Pikiran. Ia ingin mengosongkan pikiran.
Setelah pikirannya runyam hanya karena satu orang.
Satu orang! Bajingan.
"Pikiran. Kosong."
Memejamkan kedua matanya, mantra itu ia lafadzkan dengan pelan dan penuh penghayatan.
Tolol
Ia merasa sia-sia.
Bisakah kau melenyapkan sesuatu dari pikiranmu tanpa memikirkannya terlebih dahulu?
Percuma.
Ia jadi teringat suatu cerita, dimana seseorang diminta untuk tidak membayangkan gajah. "Jangan bayangkan gajah!" Perintah entah siapa kepada entah siapa lainnya.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi kemudian. Tentu saja si 'entah siapa lainnya' itu malah jadi membayangkan gajah, yang barangkali saja tidak dia pikirkan sedetikpun sebelumnya. Namun perintah itu justru membuatnya kepikiran.
Tapi dalam kasus Lila, tak ada yang memintanya untuk tidak membayangkan atau memikirkan dia. Ia saja yang keras kepala. Menuntut agar kepalanya berhenti menampilkan wajahnya—dengan segala pesonanya yang luar biasa.
Masih saja ia memuja-mujinya di tengah-tengah usahanya mengosongkan pikiran.
Dan pada akhirnya, untuk ketiga kalinya Lila keluar toilet dengan pikiran yang bertambah error.
Meski begitu
tak usah kautanyakan dimana dia
karena aku tak mau tahu keberadaannya.
** * **
Kembali ke bookstore
Puas diomelin, Lila lelah.
Kalau di semester satu ia bekerja shift siang hingga maghrib, sekarang ia bekerja dari sore hingga malam, sampai mall akan tutup. Begitu terus tiap Senin sampai Jumat.
Tadi Tobing, teman sesama part-timer-nya turut mengomelinya. Bahkan lebih cerewet dari bosnya sendiri. Membuatnya jengah hingga ke ubun-ubun dan tak bisa diam terus-terusan, seperti kala ia tak berkutik di hadapan sang bos.
"Bisa diam ga kau? Capek tau dengar ceramah semua orang hari ini!" Pintanya pada temannya—yang juga dari Medan itu—sambil meremas kepalanya sendiri dengan kedua tangan. Lila sejujurnya malas berdebat.
Sontak Tobing, yang jarang mendengar Lila marah dan tampak frustasi seperti itu, bungkam. Lalu menatapnya sungkan.
Tak diteruskannya lagi omelan yang agaknya akan memperparah keadaan. Apalagi temannya itu kelihatan habis mengalami badmood sepanjang satu hari ini. Maka ditinggalkannya saja Lila sendirian dan dia pun melanjutkan pekerjaannya semula; menata buku-buku, sambil bersiul-siul.
Di belakang meja cashier Lila menempelkan jidat di atas tangannya yang terlipat. Tak peduli atas reaksi siapa pun yang hendak menegurnya kemudian. Bookstore ini terlalu sepi. Dengan harga-harganya yang terlalu mahal. Entah karena mahal atau karena sedikit manusia yang doyan baca, yang jelas bookstore ini sepi. Dan ia lebih tak peduli.
Yang ia pedulikan adalah ia telah memetik hikmah dari itu semua. Bekerja dalam kegabutan yang membuatnya bisa sering berleha-leha. Berleha-leha hingga ia hanyut dalam apa saja. Mau itu hanyut dalam tulisan ataupun hanyut dalam pikiran. Tapi kali ini Lila tak bisa memilih untuk hanyut di salah satunya, karena tiba-tiba saja ia jadi ketiduran, sehingga bisa dikatakan ia malah terhanyut di alam mimpi. Pakai 'ter', yang berarti 'tak disengaja'.
Membuat temannya—secara tak langsung—yang sedang asyik berjongkok dan bersiul merapikan buku di sudut toko, sampai harus bangkit hanya untuk melongo beberapa detik. Setelah sebelumnya mendengar deheman seseorang—deheman yang mulanya dia kira sebagai bunyi AC, hingga lama-kelamaan bunyi itu semakin keras—yang memaksanya untuk berdiri. Tobing terpana.
Ternyata Lila telah mengabaikan seorang pelanggan yang entah sudah berapa lama berdiri di depan meja cashier. Tapi herannya suara deheman itu tak mempengaruhinya sama sekali
Namun, entah mana yang membuatnya lebih terpana saat itu. Sikap temannya yang seenak dengkulnya mendiamkan pelanggan dengan tidur di belakang meja cashier, atau justru karena penampilan pelanggan bak model fashionTV yang sedang memandang temannya itu dengan raut campuraduk. Tobing speechless.
Lirikan sekilas pelanggan itu menyadarinya hingga dia tersentak dan melangkah kikuk.
Tobing yang kagok karena jarang-jarang dihadapkan dalam situasi seperti ini dengan pelanggan seperti itu, bingung akan bersikap apa dan bagaimana di depannya. Ingin marah tapi rasanya kurang sopan bila dilakukan di depan pelanggan—ditambah dengan kekhawatiran atas reaksi temannya nanti yang tadi habis emosi kepadanya—tapi kalau sekadar menegur pelan takutnya temannya itu malah semakin keenakan tidur. Dikiranya lullaby apa! Mendekati mereka dengan langkah yang lamban, Tobing semakin salah tingkah. Ia malah jadi tersenyum aneh pada pelanggan yang ikut menatapnya tak kalah aneh.
"Maaf mba, hhe..." Tobing menunjukkan cengiran kudanya kepada pelanggan itu.
"Biarin aja mas." Si pelanggan menjawab datar.
"Eh gimana mb-bak?"
"Masnya lanjut rapiin buku-buku aja, biar saya yang bangunin ya."
"Eh, kok?" Ungkap Tobing menggaruk-garuk jidat.
Talia membalas dengan sedikit gerakan kepala sambil mengangkat alis kirinya ke arah Tobing semula—tempat dia merapikan buku—mengukuhkan permintaannya agar pemuda itu tak mengganggu. Membuat Tobing, tanpa banyak cingcong, menurut saja ke tempatnya tadi. Saat sudah jongkok lagi, baru dia sadari bahwa pelanggan itu tak membawa satu buku pun di tangannya. Lalu ngapain dia ke cashier? Tanyanya bingung dalam hati sambil tetap memperhatikan tingkah pelanggan itu.
Pelanggan yang masih setia berdiri di depan meja cashier itu kemudian mengambil handphone dan berkutat di dalamnya. Lalu tiba-tiba tanpa aba-aba, suara azan berkumandang keras di seisi ruangan. "ALLAHUAKBAR ALLAHUAKBAR!"
Membuat Lila yang sedari tadi tertidur lelap menjadi kaget karenanya. Ia mengangkat kepala dengan cepat dan spontan mengucap "Astaghfirullah!" Ia mengusap air liur di ujung bibirnya dengan punggung tangan dan mencoba mengumpulkan nyawa setelah itu.
Di depannya, pelanggan yang tak lain dan tak bukan adalah Talia, tertawa lepas selepas-lepasnya, karena telah berhasil membangunkan temannya itu dengan gerak-gerik yang sudah dapat dia prediksikan. "HAHAHAHAHAHAHA."
Di sudut lain, Tobing yang sejak awal tak melepaskan pandangannya dari mereka, ikutan mengakak hebat.
Talia menoleh kepadanya. Dia terdiam dan lagi-lagi memperlihatkan gigi kudanya. "Hhe..."
Dengan nyawa yang sudah terkumpul penuh, Lila berkata dalam kekesalan, "Apaan sih"
"Hahahahahaha"
"Ada apa?" Dengan enggan ia bertanya.
"Hahaha lo harus liat muka lo sendiri pas bangun barusan, Lil!" Ucap Talia masih terkekeh, "Somplak banget hahahaha."
"Iya, terus kenapa? Ada apa ke sini?" Lila menjawab cuek dan to-the-point. Bukan kebahagiaan yang tersirat di wajahnya ketika melihat pujaan hatinya datang, melainkan tampang datar yang terkesan acuh tak acuh.
"Lo kenapa sih? Ga bisa diajak bercanda dikit."
"Oh lo lagi becanda? Hahahahaha" Jawab Lila sambil menggelitik perutnya sendiri. "Lucu banget, hahaha." Lanjutnya, sarkas.
Melihat itu, ekspresi ceria Talia berubah menjadi datar. "Lo marah sama gue?"
"Apa sih. Ga jelas."
"Lo yang ga jelas. Salah gue apa?" Tanya Talia serius.
"Plis Tal, gue lagi kerja di sini. Jangan sekarang."
"Kerja? Kayaknya kerjaan lo dari tadi cuma tidur doang. Udah, lo sebutin aja apa salah gue, karena sikap lo yang sekarang bukan yang gue kenal."
"Talia, plis. Jangan tambah drama di kehidupan gue, oke? Ngapain ke sini?"
"Maksud lo apa, Lil?" Tanya Talia tak percaya mendengar pernyataan itu keluar dari mulut temannya.
"Maksud gue apa? Gue cuman nanya lo ngapain ke sini."
"Maksud lo apa tadi ngomong jangan nambah drama di kehidupan lo. Jadi lo bilang selama ini hidup gue drama?"
Tobing yang sedari tadi menguping percakapan mereka sambil tetap menata buku, kali ini betul-betul menghentikan tugasnya. Dia tertarik dengan apa yang sedang dibicarakan oleh kedua perempuan itu.
"Lo sendiri yang bilang gitu ya. Udah, gue kerja dulu kalo tujuan lo ke sini ga jelas." Lila menjawab cuek sambil pura-pura merapikan meja dan isi kotak cashier-nya. Ia hanya malas menghadapi situasi seperti ini.
"Kalo gue lagi ngomong, tatap mata gue, Lila!" Tak terduga Talia membentak dengan ekspresi marah. "Jadi menurut lo, hidup gue penuh dengan drama, hah?!"
Dengan tatapan lemah Lila mejawab, "Jangan lebay, Tal. Gue hanya ingin kerja dengan tenang, oke?" Saat mengucapkan kata terakhir, bibir Lila bergetar.
"Gue kira lo beda," Ucap Talia pelan. "Nyatanya sama aja dengan orang-orang lain yang gue kenal."
Talia memutar badan dan berjalan keluar. Namun sebelum kakinya melewati pintu kaca, dia menambahkan tanpa menoleh, "Seandainya gue bisa mutar waktu, ga akan gue cerita sama lo."
Tak beranjak dari posisinya semula, Lila terdiam seribu bahasa. Apa yang telah ia perbuat?
Sejujurnya, ia kecewa dengan sikap Talia kemaren, namun ia tak menyangka akan menyakiti hati perempuan itu seperti ini. Ia jadi lebih kecewa dengan dirinya sendiri.
Tobing menghampiri Lila dan bertanya penasaran, "Siapa kau Lil? Kawan? Kok berant—" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Tobing ditinggal sendirian. "Woy, kemana kau?!" Teriaknya pada Lila yang sudah berada diluar bersama ransel yang sudah ia kenakan.
Lila yang setengah berlari, menoleh dan balik berteriak kepadanya, "Tob, bilang sama Mbak Yusin aku ga kerja lagi!" Dan ia pun lanjut berlari untuk satu tujuan; mengejar Talia.
Di dalam mall ia tak menemukan perempuan itu, padahal ia sudah berlari sebisa mungkin mengitari setiap lantai. Dari lantai tempatnya bekerja hingga ke bawah-bawah. Tak ada.
Di luar ia juga belum berhasil. Cepat kali ngilangnya. Ia menunduk memegang lutut sambil bernafas ngos-ngos-an. Dengan pasrah ia berjalan menuju halte bus yang tak begitu jauh.
Dan di sanalah ia mendapati sosoknya. Duduk di antara beberapa orang yang sama-sama sedang menunggu bus.
Lila mendekatinya dan kini telah berdiri di depannya. "Hai," ia berkata sambil memaksakan senyum kepadanya.
Karena tidak ada reaksi, Lila menjulurkan tangan kanannya, "Minta maaf."
Ibu-ibu dan bapak-bapak di sekitar mereka melihat dengan ketertarikan. Hingga akhirnya bus datang dan membawa mereka pergi, meninggalkan Lila dan Talia sendirian.
Masih menjulurkan tangan, Lila menunggu.
"Kerjaan lo dah kelar?" Bukannya membalas dengan menyalaminya, Talia malah bertanya hal lain. Lila menganggukkan kepala dan kemudian duduk di kirinya.
"Jadi gue dimaafin?"
"Lo kenapa tadi? Emang gue udah kelewatan ya?"
"Bukan itu, lagi capek aja."
"Masih sakit?"
"Enggak"
"Di kampus kok kabur-kaburan terus dari Atik? Kayak kucing sama tikus aja, kalian."
"Ngobrol di tempat lain yuk? Ga enak ini di tempat umum." Jawab Lila mengalihkan sambil memperhatikan halte bus yang kembali ramai.
"Hm, tadi di atas bilang lagi sibuk kerja, sekarang di bawah karena rame. Banyak alasan lo."
"Hehe, nyari makan sekalian. Yoklah?"
"Gue udah makan. Ngobrol di sini aja."
"Temenein gue kalo gitu?"
Talia menghela nafas. "Kapan terakhir makan?"
"Semalam, pizza."
"Serius lo?" Talia tak percaya.
"Iya, makanya ayok." Lila bangkit dari duduknya.
"Di mana?"
Lila berpikir sejenak. "Warung Demen di Nologaten?"
"Oke. Gue nunggu di sini."
"Nunggu apaan?"
"Lo bawa motor, kan?"
"Enggak, dah gue balikin ke Atik. Kita jalan aja."
"Ya ampun! Gila lu ya. Jauh gitu."
"Tapi kan dekat kalo ke kontrakan lo nanti."
"Lo jalan 3km dalam kondisi belum makan, yang ada malah pingsan nantinya." Talia geleng-geleng kepala menatap temannya itu. "Gue pesen taxi online dulu." Lalu Talia membuka aplikasi di hpnya.
"Boros!" Lila mendengus sambil mendudukkan kembali dirinya di bangku halte. Dalam hatinya ia berkata, Mahalan ongkos taxi-nya daripada makannya..hadeeh. Selain itu, ia ingin berjalan karena ia ingin lama sampai di tujuan. Memilah-milah kata-kata yang tepat nantinya.
Beberapa lama mereka terdiam menunggu taxi setelah beberapa kali bus bolak-balik mengangkut dan menurunkan penumpang di halte tersebut. Memang mereka tidak naik bus, hanya saja mereka ingin meneduhkan diri dari sengatan matahari. Jadi keberadaan mereka di halte ini bisa dibilang memakan tempat saja. Alias menyemak.
Walau begitu, ketika melihat seorang ibu paruh baya berdiri di halte dikarenakan bangku halte sudah terisi penuh, Lila dan Talia spontan bangkit bersama mempersilakan ibu tersebut untuk duduk. Setelahnya mereka saling melirik dan tersenyum satu sama lain.
Lila kepada Talia, "Duduk."
"Lo aja, belum makan kan?" Jawab Talia sinis.
"Lo aja, abis emosi sama gue kan?" Balas Lila.
"Gara-gara elu."
"Gara-gara elu juga."
Mata Talia menyipit seakan bertanya Emang gue ngapain elo, sih, tapi segera membesar kembali karena tiba-tiba seorang remaja pria mendudukkan diri di ruang kosong terakhir bangku halte yang dari tadi mereka perdebatkan untuk diduduki satu sama lain.
Talia menatap tajam remaja itu dengan maksud menyindir. Namun remaja itu terlalu asyik dengan permainan di hpnya sendiri, membuat tatapan Talia sia-sia.
Memperhatikan itu, Lila menggodanya sambil terkekeh pelan, "Dasar remaja labil."
Talia hanya mengerucutkan bibir melipat tangan di dada. Posisi mereka sama-sama membelakangi bangku memandang macam-macam kendaraan berlalu lalang di jalanan. Hening, terbuai dalam pikiran masing-masing. Dengan Lila yang sedang berpikir keras akan menjelaskan apa pada Talia nantinya, dan dengan Talia yang tidak sabar menunggu penjelasan dari temannya tersebut.
Tak ada yang memikirkan makanan. Mengingat Talia yang sudah tidak lapar, dan Lila yang hanya menjadikannya sebagai alasan. Untuk menunda-nunda waktu.
Lalu tiba-tiba, lengan kiri Talia menggandeng lengan kanan Lila, yang sontak membuatnya terkesiap. Ia menoleh ke wajahnya, lalu ke lengan mereka berdua yang saling terkait. Pikiran Lila buyar seketika.
"Itu mobil masnya," Talia menunjuk ke arah mobil Honda Jazz berwarna silver dengan plat setempat, "Ayo ke sana." Dan mereka pun turun dari halte menuju mobil tersebut. Kaki Lila terseret mengikuti langkah Talia bersama dengan gandengan lengannya yang membuat dengkul dan hati Lila lemas tak berdaya.
Sampe kapan kek gini terus? Dalam hati ia pasrah dengan hatinya yang telah bertindak suka-suka tanpa semaunya.
** * **
15 menit berlalu, dan mereka tiba di warung tersebut pukul lima kurang sedikit. Hanya ada dua orang di sana—sepasang kekasih sepertinya—ditambah mereka jadinya empat. Warung baru buka dengan segala persiapan yang dipertontonkan. Biasanya, semakin lama warung ini akan semakin ramai. Dengan antrian panjangnya yang sampai memakan waktu setengah hingga satu jam-an lebih. Herannya, para pelanggannya masih saja setia menunggu pesanan mereka, dengan muka yang menekuk suntuk. Namun saat pesanan sudah tiba di meja, jangan heran pula bila raut ceria akan muncul seketika.
Tapi di sini, Lila tahu ia tidak sedang menunggu makanan. Meski ia tetap memesan Capcay dan es Teh manis hanya untuk mengisi kekosongan di perutnya. Sedang Talia hanya memesan segelas Jeruk hangat.
Di mobil tadi mereka hanya mengobrol basabasi, bukan pada pokok persoalan, karena Lila lekas-lekas mengalihkan topik saat Talia mulai menyinggung kembali. Tapi di sini, dalam keadaan yang sudah sepi dan aman terkendali, mau tak mau ia harus siap diserbu oleh pertanyaan bertubi-tubi.
Ia bisa saja tidak mengejar Talia setelah membuatnya marah di tempat kerjanya tadi. Ralat, ex-tempatnya bekerja, karena ia dengan sewenang-wenangnya kabur dari situ, dan dengan (sok) mantapnya mengundurkan diri begitu saja—padahal sebentar lagi ia akan gajian. Ah, jadi nyesal. Tapi barangkali ia akan lebih menyesal bila tidak mengejar perempuan ini. Apalagi kalimat terakhirnya yang 'kalau dia bisa memutar waktu dia tidak akan bercerita padanya' sukses membuat Lila sedih. Jadi, tak bisa Lila begitu saja mengkhianati kepercayaan yang sudah dibebankan kepadanya dengan menyakiti hati perempuan ini—walau ia tak bermaksud—yang sekarang sedang menatapnya dengan serius. Posisi mereka sedang duduk berhadap-hadapan.
"Jadi, bisa kita mulai sekarang, Lila la land, tanpa banyak pengalihan lagi yang bikin gue jengah dengarnya?"
Lila pura-pura bego. "Emang mau ngomong apa, sih?"
"Yaampun, lo pengen gue tempeleng atau gue cipok, biar ga bego-bego amat jadi orang!" Ujar Talia geram.
Mendengar kata 'cipok' membuat wajah Lila bersemu merah karena malu. Tentu saja ia mau. Tapi malu. Tapi mau. Tapi malu. Sampai akhirnya Talia menempelengnya tanpa persiapan. Ia meringis dan menatapnya ngeri. Kenapa ga dicipok aja, sih! "Ampun, Tal." Ucap Lila sambil melindungi kepalanya dengan tangan.
"Jeruk anget dan es Teh manis ya, mbak?" Tanya seorang ibu basabasi sambil meletakkan dua gelas minuman itu ke atas meja mereka. Mereka serempak mengucapkan terima kasih.
Lila menyedot minuman dinginnya hingga tersisa setengah. Tanpa ditanya ia menjawab, "Haus."
"Siapa?"
"Gue."
"Siapa nanya?!" Talia bertanya jengkel.
"Terserah."
Beberapa detik kemudian, Talia berkata dengan nada mengancam. "Kalo lo masih kekeh gamau ngomongin perubahan sikap lo seharian ini di sini, sama gue...Lebih baik gue pulang ya?" Talia bersiap-siap berdiri dari posisi duduknya yang bersila.
"Oke oke, gue jelasin."
"Yaudah jelasin." Talia memasang telinga memperhatikan temannya dengan seksama. Dagunya dia sandarkan pada kedua tangannya yang mengepal dengan siku yang menopang pada meja.
Melihatnya seperti itu, hati dan jiwa Lila menjadi teduh. "Gue lagi jenuh sama kehidupan," Lalu mata Lila menerawang ke atas, seakan-akan meresapi pernyataannya, "Kayaknya gue salah jurusan kuliah."
Talia memandangnya heran, "Lalu?"
"Lalu?" Lila menoleh kembali padanya, "Ya gue lelah!"
Talia menghela nafas dan berkata, "Lo ga pinter bohong, Lila," Lalu dia tersenyum simpul, "Lagipula, siapa yang ga pernah merasa salah jurusan?"
"Kayaknya elo enggak."
"Udah plis, stop mengalihkan pembicaraan seakan-akan ini tentang gue," Ucap Talia dongkol. "Ada apa dengan elo hari ini? Kenapa lo menjauh dari kita?" Talia menatapnya dengan tampang terluka, lalu melanjutkan dengan hati-hati, "Apa, gue, udah berbuat salah, sama lo?"
Lila menjawab lemah, "Bukan lo yang salah, tapi gue..." Matanya menatap meja. Tangannya mengaduk-aduk es di dalam gelas dengan sedotan.
"HAH?" Talia berkata hampir berteriak, membuat sepasang pengunjung di pinggir lainnya memandang ke arahnya. "Maaf," katanya pelan kepada mereka, yang langsung kembali ke obrolan masing-masing. Dia kembali menatap Lila menuntut pernyataan lebih lanjut.
Jangan sekarang, Lila. Jangan sekarang, jangan sekarang, jangan sekarang!
"Gue ga suka dengan sikap lo semalam," Akhirnya Lila membual, "..sikap lo yang seenaknya merokok di samping gue, di saat lo udah cukup tau kalo gue ga kuat sama asap rokok.." Lila berpikir sebentar, "Kesannya lo cuek-cuek aja dan ga ada kesadaran sama sekali, dengan pergulatan yang gue alami, waktu gue di samping lo itu." Entah mengapa, ada banyak kejujuran yang terlontar dari bualan Lila tersebut. Memang ia kecewa, teramat kecewa. Namun untuk satu dan lain hal. Rokok hanya ia jadikan alasan utama untuk melampiaskan rasa kecewanya itu. Semoga dengan begitu Talia dapat menangkap kekecewaannya tanpa mendeteksi kebohongannya sedikitpun.
"Lila, gue minta maaf. Gue lupa dan ga ingat sama sekali" Talia menatap Lila dengan penuh penyesalan, "Sorry I had been such a pain in the arse yesterday. Sumpah Lil, gue lupa.."
Lupa? Dalam hati Lila kesal. Manusia dengan otak cemerlang seperti Talia lupa? Untuk hal sekecil ini? Untuk hal sekecil ini...
Karena kecil makanya tak perlu diingat...
"Dan kenapa lo ga negur gue waktu itu?" Lanjut Talia.
Ragu-ragu Lila menjawab, "Gue, ga mau merusak kenyamanan lo" sama Robi. Ingin sekali ia berterus terang. Tapi disimpannya saja dua kata terakhir dalam hati.
"Sorry ya Lil? Gue janji ga akan ngerokok di samping lo lagi." Talia bersungguh-sungguh.
Lila mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. "Gue juga minta maaf ya, tadi di mall."
Kali ini Talia yang menganggukkan kepala. Entah mengapa peristiwa tadi masih meninggalkan luka di hatinya. "Sorry kalau gue udah buat lo terjebak dengan drama hidup gue."
Lila membelalakkan mata hendak menyela, namun Talia buru-buru melanjutkan. "Tapi waktu itu, hanya ada elo di samping gue dan nyaksiin itu semua. Dan gue udah terlanjur terbuka sama elo.."
"Tapi sekarang, gue jadi takut kebablasan membuka diri gue lebih dalam. Hingga elo melihat kebusukan-kebusukan yang ada di diri gue. Lo akan illfeel, Lil.."
Lila memotong, "Tal, gue—"
"Kalo saat itu juga ada Atik dan Joni, atau hanya salah satu dari kalian bertiga, gue juga pasti mau ga mau akan jujur. Karena saat itu, emosi gue udah ga bisa ditahan lagi."
Hening sesaat. Pengunjung mulai bertambah mengisi lesehan-lesehan yang semula kosong. Lila melihat mereka satu per satu. Akhirnya ia membalas, "Jadi, lo cerita" dengan raut terluka, "bukan karena, percaya sama gue?"
Talia menghela nafas panjang, menatap lekat temannya itu, "Jangan baper, Lila. Gue cerita sama elo bukan berarti gue percaya sama lo. Waktu itu gue cerita karena hanya elo yang ada di samping gue saat itu terjadi..."
Bagai tertusuk belati, Lila sangat tersakiti. Talia juga. Meski dia turut menyakiti.
"Jadi tolong jangan anggap diri lo spesial di hidup gue." Skak mat.
Setelah tiga puluh menit sejak mereka tiba di tempat ini, makanan Lila akhirnya datang. "Makanannya Capcay aja kan, mbak? Tanpa nasi?" Tanya ibu tadi kepada mereka sambil menaruh piring ke atas meja.
Dengan pelan Lila mengiyakan tanpa terimakasih yang menyertai.
Ia kemudian mencoba fokus menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Mencoba menelannya hingga ke perut. Berat, berat, ia tak selera. Dengan kekuatan seadanya ia melakukannya berulang kali. Walau air mata rasanya ingin keluar dari pelupuk mata, ia mencoba bertahan dengan tegar. Tak rela air matanya jatuh di depan perempuan heartless seperti ini. Karena perempuan heartless ini.
Dan tiba-tiba ia berbicara, "Jangan ngucapin sesuatu yang bakal lo sesali, Tal."
"Kenapa lo bisa mikir gitu?" Tanya Talia heran. Sedari tadi dia memperhatikan temannya itu makan dalam diam.
"Ini bukan terkait sekarang, tapi semalam."
Talia menatapnya semakin heran. Tertarik dengan apa yang akan dikatakannya.
"Waktu Robi bilang dia cinta sama lo dan lo balas kalo lo juga cinta sama dia," Lila mengambil jeda, sendok tak lagi ia pegang, "Padahal jelas-jelas lo belum bisa move on dari mantan lo itu."
"Bukan, urusan, lo." Talia menekankan setiap kata yang dia lontarkan pada Lila.
"Lo sendiri yang bilang."
"Terus lo mau apa? Mau cerita sama Robi?!" Cepat-cepat dia membalas gerah.
Dengan sinis Lila bertanya, "Gue cuman ingin tahu, emang, segampang itu mengumbar kata cinta sama orang yang ga benar-benar lo cinta?" Senyum tipis mengakhiri kalimatnya.
Pertanyaan Lila sukses membangkitkan amarah dalam diri Talia. Keningnya berkerut dan mukanya merah karena geram. Tanpa berucap kata, dia bangkit dengan keributan yang dia akibatkan; Talia menghentak meja. Meninggalkan Lila sendiri bersama Capcay-nya yang sedikit tumpah.
Lila membiarkan Talia pergi tanpa ada niat untuk mengejarnya kembali. Ia ingin meredam emosinya sendiri kali ini. Dicobanya untuk menghabiskan makanannya yang masih tersisa banyak dengan tampang sedatar mungkin. Walau wajah-wajah di sekelilingnya memandangnya dengan heran atau bahkan kasihan, Lila berusaha memasang muka tebal. Ia hanya tak rela bila makanan ini jadi mubazir, seperti dirinya saat ini. Ia tak rela.
Hatinya remuk
pikirannya berkecamuk
dan masih saja ia terduduk
mengutuk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top